Share

Aku Bersedia

Lama Vivian berdiri terpaku setelah Revan meninggalkan kamar, tiba-tiba hilang kemampuan untuk berpikir. Ia baru bergerak ketika fungsi otaknya telah kembali, membentuk sebuah kesimpulan.

Suaminya tidak sedang bercanda. Revan serius ingin menceraikannya.

Intuisi Vivian mendesaknya untuk bergegas menyusul Revan, untuk mengajak lelaki itu berbicara. Dia pergi ke ruang makan, tempat Revan setiap pagi menonton berita streaming di ponsel, ditemani secangkir kopi panas dan menu sarapan favorit.

Namun meja makan itu kini kosong. Segelas kopi berdiri di atasnya, dengan isi yang masih utuh. Roti panggang mentega yang telah disiapkan oleh Supatmi, asisten rumah tangga mereka, juga sama sekali tidak disentuh.

Supatmi yang biasa dipanggil Mbak Mi itu baru saja masuk ke ruang makan. Ia membawa segelas jus apel untuk Vivian yang menjadikannya menu wajib setiap pagi.

"Tuan nggak sarapan, Mbak?" Vivian bertanya sambil memandangi gelas jus apelnya.

"Endak, Nyonya. Tuan langsung berangkat tadi."

Vivian menghela napas kecewa. Ia memutuskan untuk berangkat kerja, melewatkan sarapan yang telah tersaji. Mengambil tas dan memakai sepatu, semua dilakukannya dengan pikiran kosong. Tubuhnya bergerak otomatis bagai robot yang telah terprogram.

"Nyonya, Nyonya, buat makan malam nanti mau dimasakkan apa?" cegah Mbak Mi terburu-buru saat Vivian hampir keluar dari pintu.

"Masak saja sesuai daftar." Vivian menjawab singkat tanpa menoleh.

"Tapi tadi malam Tuan ndak makan. Takutnya ndak suka sama lauknya."

Informasi itu membuat Vivian menghentikan langkah. Lagi-lagi ia harus berpikir keras mencari alasan di balik sikap tidak biasa suaminya. Revan tadi malam tidak makan. Apa karena menunggunya?

"Nggak usah masak, Bi. Nanti saya sama Tuan makan di luar," jawab Vivian mengambil keputusan. Sekalian akan diajaknya suaminya itu untuk berbicara serius.

Vivian duduk di kursi pengemudi city car miliknya dan menjalankannya menuju gerbang yang telah dibukakan oleh penjaga. Dia tidak perlu memanaskan mesin mobilnya lagi karena Revan telah memerintahkan sopir untuk melakukannya setiap pagi.

Dari kaca spion tengah, Vivian melihat Supatmi berlarian mengejarnya. Ia terpaksa menginjak pedal kopling dan rem. "Kenapa lagi?" tanyanya tak sabar setelah menurunkan kaca jendela.

"Ba-barusan Tuan telpon, Nyonya." Supatmi berhenti sebentar untuk mengatur napasnya yang tersengal. "Tuan bilang dasinya ketinggalan, minta diantar ke kantor."

Vivian menipiskan bibirnya geram. Jangan salahkan kalau ia jengkel karena Revan menolak menghubunginya dan malah meminta asisten rumah tangga mereka yang mengambilkan dasi. Jelas-jelas letak dasi ada di dalam lemari kamar. Dan Revan melarang orang lain masuk ke dalam kamar pribadi mereka. Laki-laki itu pasti sengaja melakukannya agar tak perlu berbicara dengan Vivian.

Tanpa kata, Vivian turun dari mobil dan berjalan kembali ke dalam rumah. Supatmi mengekor di belakangnya dengan takut. Pintu mobil yang dibanting sudah cukup untuk membuatnya mengerti bahwa suasana hati majikannya sedang tidak baik.

Di dalam kamar, Vivian membuka laci tempat penyimpanan dasi. Keningnya langsung berkerut. Ia bingung karena Revan punya banyak koleksi dasi.

"Mbak, Tuan nggak bilang dasi yang mana?" tanyanya pada Supatmi yang berdiri menunggu di luar kamar.

"Katanya yang warna biru garis-garis silver hitam."

Vivian kembali ke dalam kamar dan mencari dasi dengan warna biru. Ada banyak. Karena tak ingin membuang waktu dengan meneliti satu per satu motif, ia membawa semuanya. Biar nanti Revan saja yang memilih, gumamnya pada diri sendiri.

Supatmi masih menunggu di luar. Melihat Vivian telah membawa dasi, ia mengulurkan tangannya berniat mengambil.

"Ngapain?" tanya Vivian ketus.

"Saya disuruh Tuan antar dasinya ke kantor."

"Biar saya yang antar."

"Tapi kata Tuan-"

"Biar saya yang antar," desis Vivian geram. Ia menggeretakkan gigi demi tidak membentak Supatmi. Mimik wajah serba salah asisten rumah tangganya itu membuatnya mengerti mengapa Supatmi begitu gigih menentangnya. "Nanti saya jelasin sama Tuan biar kamu nggak dimarahin."

Benar saja. Supatmi langsung mengangguk dengan senyum lebar. Vivian meninggalkan rumah dengan helaan napas. Demi mengantar dasi Revan, ia terlambat masuk kantor. Namun paling tidak, bisa diusahakannya agar keterlambatan itu tidak melebihi satu jam. Ia mengirim pesan W******p pada atasannya, memberitahu akan datang terlambat pagi itu.

Di depan gedung megah yang menjadi bangunan kantor Revan, Vivian menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan perasaan gugupnya. Aneh memang. Ia akan menemui suami sendiri, tetapi rasa gugupnya menyerupai saat pertama kali dirinya terjun ke lapangan menemui calon klien yang akan ditawarinya Kredit Tanpa Agunan.

Setelah melicinkan rok sepan dengan tangan yang menjadi kebiasaannya ketika gugup, Vivian melangkah menuju pintu masuk kantor Revan dengan mantap. Dari luar ia terlihat begitu percaya diri dengan bibir menerbitkan senyum tipis.

Senyum penuh percaya diri itu langsung luntur tatkala pihak keamanan gedung mempertanyakan tujuan kedatangannya. Sialnya lagi, Revan yang menjadi alasan kedatangannya ternyata belum tiba. Padahal laki-laki itu lebih dulu berangkat. Tadinya Vivian berpikir semua akan beres begitu ia menelepon suaminya itu. Namun Revan dengan kurang ajar berkali-kali menolak panggilannya.

Vivian tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dua lelaki bertubuh tegap dengan seragam khas putih biru tidak mengijinkannya memasuki gedung milik suaminya sendiri. Vivian dibiarkan berdiri menunggu di luar. Ia merasa lucu sekaligus mengenaskan pada saat bersamaan.

Dulu, saat ia dan Revan baru saja menikah, laki-laki itu berniat memberinya kartu akses agar dia leluasa keluar-masuk kantor sang suami. "Biar kamu percaya kalo di kantor aku nggak pernah macam-macam, Sayang," kata Revan berbisik mesra saat itu.

Kartu itu Vivian tolak mentah-mentah. Statusnya sebagai istri seorang Revan Halim tidak diketahui banyak orang. Ia tidak pernah berencana mendatangi suaminya itu di tempat kerja, apalagi melakukan kunjungan dadakan karena cemburu tak berdasar. Dulu ia sangat yakin, semesta seorang Revan Halim hanya berpusat pada dirinya. Kini ia mempertanyakan hal tersebut.

Setelah menunggu selama dua puluh menit yang terasa seperti dua jam bagi Vivian, Toyota Land Cruiser milik sang suami berhenti dengan gagah di depan kantor. Revan turun dari mobil dan berjalan dengan langkah cepat, tampak sangat berkuasa. Kedua satpam langsung menyapa direktur utama mereka dengan takzim. "Selamat pagi, Pak."

Vivian ingin sekali meledakkan emosi pada suami yang telah membuatnya menunggu lama, tetapi ia sadar hal itu hanya akan membuat dirinya dan Revan menjadi tontonan. Akhirnya hanya panggilan pelan yang terucap dari bibirnya. "Rev."

Revan memberi Vivian lirikan dingin. "Biarkan dia masuk," ucapnya pada dua penjaga sebelum masuk ke dalam gedung melewati pintu transparan. Vivian cepat-cepat mengikutinya. Untung saja pagi itu masih sepi. Benar-benar pagi yang memalukan baginya.

Ini kali pertama Vivian datang ke kantor Revan. Segala sesuatu yang dilihatnya membuatnya takjub. Ia nyaris tak percaya gedung semegah dan semodern ini adalah milik laki-laki yang menikahinya dua tahun lalu. Mereka naik lift yang diperuntukkan khusus untuk direktur utama. Vivian menahan diri agar tetap diam, karena ia tak yakin sanggup mengendalikan nada bicaranya.

Terletak di lantai tujuh, ruang kantor Revan lebih memanjakan mata. Pemandangan kota Surabaya dengan lalu lintasnya yang padat dapat terlihat jelas begitu Vivian menginjakkan kakinya di ruangan itu. Ia tidak sadar Revan sudah duduk dan menunggunya dengan tidak sabar.

"Kenapa ke sini?" tanya laki-laki itu.

"Ini, aku bawain dasi kamu." Vivian mengeluarkan beberapa dasi warna biru dengan berbagai motif dari dalam tasnya. "Jangan marahin Mbak Mi. Aku yang suruh dia nggak usah ke sini," tambahnya cepat-cepat setelah melihat wajah marah Revan.

"Dasi satu lemari kamu bawa semua?" Ejekan terlontar dari mulut Revan.

Sedikit rona merah muncul di pipi Vivian. "Enggak satu lemari, by the way. Aku nggak tahu mana yang kamu maksud, jadi—"

"Taruh di meja," potong Revan cepat.

"Okey." Vivian melakukan seperti yang diminta oleh Revan. Setelahnya dia berjalan mendekati meja sang suami. "Rev, kita harus bicara."

"Sepuluh menit."

"Nggak cukup dong, Rev, kita harus—"

"Sepuluh menit atau nggak sama sekali," ancam Revan.

"Aku nggak mau cerai!" jawab Vivian cepat. Ia tidak jadi bertanya mengapa suaminya itu tadi malam tidak makan dan tadi pagi tidak sarapan.

Revan memperlihatkan gigi taring saat sudut bibirnya terangkat membentuk seringai sinis. "Keberatan kamu sama sekali nggak ada pengaruhnya."

"Apa karena masalah anak?" tanya Vivian dengan suara yang ia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba memelan.

Tatapan mata Revan kini tajam menghunjam. Vivian menjadi gugup. Ia tergagap saat mengucapkan kalimat berikutnya. "A-aku bersedia hamil. Kalo itu yang kamu mau."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status