Share

Part 4

DIPAKSA MENIKAHI PRIA LUMPUH

Part 4

Malam harinya, ketika hendak tidur, kembali terjadi drama di dalam kamar kami. Aku yang sudah lelah hendak merebahkan tubuh di atas tempat tidur, kembali harus mendengar hardikannya lagi.

"Berapa Nenek membayarmu hingga Kau rela menukar tubuhmu untuk tidur bersamaku? Apa kau begitu tak laku, hingga menawarkan diri pada Nenek untuk menjadi istriku?"

"Maaf Mas, aku tak seperti yang kamu katakan, jadi jangan menghinaku seperti itu!" sergahku membela diri.

"Kamu tak terima dengan ucapanku, lalu apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah keluargamu sendiri yang mengantarkanmu untuk menikah denganku? Apa namanya kalau bukan menjualmu?"

Telingaku terasa panas mendengar setiap kata yang diucapkannya. Dadaku bergemuruh menahan amarah, namun tak bisa meluapkannya. Meski memang kenyataannya aku menikah dengannya demi biaya rumah sakit ayah, namun aku tak terima diperlakukan seperti ini. Kalau berbicara tentang perasaan, tentu aku yang lebih menderita di sini. Sudah harus menanggung malu karena gagal menikah, kini justru dipaksa untuk menikah dengan orang yang sama sekali tidak aku kenal sebelumnya.

Tak ingin terlihat lemah di depan matanya, aku berlari menuju kamar mandi, dan membenamkan wajahku di sana. Berharap bisa mendinginkan isi kepalaku yang serasa mendidih.

Setelah berhasil menenangkan diri, aku keluar dengan mata yang masih sembab. Sementara pria itu, sudah meringkuk di tengah tempat tidur. Kalau posisinya begini, lalu aku harus tidur di mana? Padahal tubuhku sudah terasa sangat lelah, bukan hanya raga, namun jiwaku juga.

Ketika aku baru saja hendak naik ke tempat tidur, tiba-tiba kembali terdengar teriakannya. Ampun dah, rupanya dia belum tidur dan sengaja menungguku keluar dari kamar mandi.

"Siapa yang menyuruhmu tidur di sini? Turun! Aku tak sudi tidur seranjang dengan perempuan murahan sepertimu!"

Ya Tuhan, aku baru saja bisa menenangkan pikiranku, namun kini harus kembali mendengar makiannya. Tanpa belas kasihan, dia melemparkan bantal dan selimut ke lantai.

"Kamu tidur saja di situ!"

Ya Allah, pernikahan macam apa ini, apakah aku sanggup menjalaninya?

Air mata yang sejak tadi kutahan, akhirnya keluar juga. Rasanya lengkap sudah penderitaanku hari ini. Tanpa banyak bicara, aku mengambil sajadah sebagai alas tidurku. Terpaksa kugunakan itu, karena tak ada alas lain di kamar ini.

Mas Rendi memang tidak menyakitiku secara fisik, namun dia menyiksa batinku.

Mungkin karena efek kelelahan, akhirnya mataku terpejam juga meski tidur di lantai yang dingin hanya beralaskan sajadah tipis.

Ketika baru sejenak memejamkan mata, tiba-tiba aku merasakan ada benda jatuh menimpa tubuhku. Rupanya dia sengaja melemparkan bantal untuk membangunkanku.

"Hei, bangun! Aku mau ke kamar mandi!"

Aku yang belum sepenuhnya sadar, bingung dengan apa yang diucapakannya.

"Kamu dengar tidak? Aku mau ke kamar mandi! Teriaknya lagi mengulangi kalimatnya.

"Iya, tapi aku harus apa?" Tanyaku masih bingung.

"Kamu pikir aku bisa ke kamar mandi sendiri!"

Lelaki itu kembali membentakku. Seakan terbangun dari mimpi, aku meloncat dan segera membantunya berdiri.

"Kirain udah nggak butuh orang lain, eh ternyata masih butuh juga." gerutuku dengan kesal.

"Kamu bilang apa tadi?"

"Enggak, aku cuma mau bilang, hawanya dingin banget." jawabku sembari menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Memangnya kenapa kalau dingin? Jangan harap aku akan menyuruhmu tidur di kasur lantas memelukmu ya, karena itu hanya mimpi!"

Ya ampun, kalau saja tidak mengingat kami telah mengucap janji suci di hadapan Tuhan, mungkin sudah kudorong saja pria dingin namun bermulut pedas itu ke kamar mandi, biar dia tahu betapa sakitnya hati ini.

Meski lumpuh, namun dia masih bisa membentakku dengan keras. Kalau tahu akan seperti ini, lebih baik kemarin aku menolak diajak kemari. Nasib ... nasib.

Meski dengan sedikit terhuyung karena kantuk, namun aku tetap membantunya. Bagaimanapun juga Mas Rendi adalah suamiku. Mungkin dia juga sama sepertiku, belum bisa menerima perjodohan ini.

Setelah membantu ke kamar mandi dan kembali ke tempat tidur, aku berusaha memejamkan mata namun tak bisa. Bayanganku berkelana kemana-mana.

Tiba-tiba aku kepikiran, kenapa Mas Rendi bisa menjadi duda? Masalah apa yang telah menimpa keluarganya?

Berbagai pertanyaan berkelindan dalam benakku, namun aku tak tahu harus kemana mencari jawabnya. Tak mungkin juga aku bertanya pada Mas Rendi, sedangkan untuk bertatap muka saja dia sepertinya begitu enggan.

Eh, tapi ngapain juga aku memikirkan pria itu. Dia saja tak menganggap keberadaanku. Lebih baik aku memikirkan diriku sendiri, bagaimana caranya agar bisa segera lepas dari situasi yang sulit ini.

Lelah berkutat dengan pertanyaanku sendiri, tanpa sadar aku kembali tertidur malam itu. Kalau tak mendengar suara bentakan dari atas tempat tidur, mungkin aku akan kesiangan menunaikan Shalat Subuh.

"Hey bangun, dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Pantas saja jadi perawan tua, tidur saja kaya kebo begitu!"

Kembali kudengar makiannya pagi ini. Baru sejenak melupakan masalahku dalam mimpi, kini harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa sekarang aku telah menjadi seorang istri yang tak diharapkan. Miris memang, namun itulah kenyataannya.

Rupanya sudah jam 05.15, pantas saja dia sudah berteriak seperti itu. Tak ingin terlambat , aku bergegas ke kamar mandi, mengambil wudhu kemudian menunaikan Shalat Subuh. Di atas sajadah itulah kutumpahkan segala resah dan masalahku. Karena untuk saat ini, hanya Tuhanlah tempatku memohon, dan mengadukan keluh kesahku.

Setelah selesai shalat, aku bergegas pergi ke dapur untuk membantu Nenek. Namun sesampainya di sana, aku terkejut karena di atas meja sudah siap dengan aneka makanan yang menggugah selera. Aku jadi malu sendiri, karena harusnya aku yang menyiapkan, bukannya nenek.

"Maafkan Alisha Nek, karena kesiangan jadi tak bisa membantu menyiapkan sarapan." ujarku penuh rasa bersalah.

Meski cucunya galak seperti ayam habis mengeram, tapi Nenek sangat baik, sehingga membuatku merasa ada yang menghargai keberadaanku di rumah ini.

"Tak apa-apa, Nenek maklum kok, kamu pasti lelah, apalagi ini yang pertama bagimu."

Aish, apa maksud Nenek bicara seperti itu? Apakah beliau mengira kami telah melakukan malam pertama? Boro-boro mau honeymoon, tidur seranjang aja nggak boleh.

"Kenapa diam seperti itu? Sudahlah, kamu bisa mandi dulu, setelah itu urus suamimu!" baik Nek, jawabku patuh.

Setelah mandi, badanku kembali segar. Tak lupa, kulakukan tugasku untuk mengurus Mas Rendi. Ritual mandi, itulah yang terbetat bagiku, karena belum pernah sekalipun menyentuh tubuh seorang pria selain berjabat tangan. Meski sedikit canggung, namun aku berusaha bersikap sewajarnya saja, takut disangka memanfaatkan keadaan. Aku tak ingin mendengar makiannya lagi, bila harus bereaksi yang berlebihan.

Setelah memakaikan baju, segera kudorong kursi roda Mas Rendi ke meja makan, untuk sarapan bersama. Kuambil posisi duduk di sebelahnya, agar lebih mudah membantunya ketika membutuhkan sesuatu.

"Alisha, makan yang banyak ya? Setelah ini, kemasi barang-barangmu karena kita akan melakukan perjalanan jauh!"

"Kemana Nek?" tanyaku penasaran.

"Ikuti saja, nanti kamu akan tahu sendiri jawabannya!"

Bersambung...

Komen (6)
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
wah si Rendi
goodnovel comment avatar
Silver Girl
kemana ya mereka
goodnovel comment avatar
Goresan Pena93
next kakak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status