Usai berucap demikian, Bapak Edi pun berlalu. Pria itu diam saja saat berpapasan dengan Tania. Dia sama sekali tidak merespon walau mendapat anggukan ramah dari gadis yang sudah mengenakan dress rumahan itu."Aku laper nih," ujar Tania cuek begitu mendekat.Tanpa canggung ia mengambil piring bersih di kabinet atas dapur. Lalu langsung duduk tepat di hadapanku. Tanpa malu-malu pula ia langsung menyiduk nasi dan lauk. Tidak lupa mengambil ayam goreng kremesnya.Aku sendiri tidak peduli. Tania yang beberapa waktu lalu datang dengan gaya malu-malu kucing, kini sudah menjelma ke wajah aslinya. Tanpa permisi dia langsung melahap semua makanan. Melihat gaya makan Tania yang bagai orang kesetanan, seleraku kian hilang."Orang hamil memang makannya banyak, Mik," ujarnya dengan meringis. Tania seolah tahu isi hati ini lewat tatapanku padanya."Emang kamunya yang rakus," cibirku sinis. Tania mencebik, tetapi detik berikutnya dia kembali meringis. "Di mana-mana orang hamil muda itu biasanya gak d
"Mama kecewa padamu, Mika," ketus Bu Gina berlalu marah.Aku terhenyak. Semudah itukah Ibu Gina tidak mempercayai aku? Ketulusanku selama ini lenyap hanya karena foto yang tidak jelas itu. Gambar yang kuyakini pasti kiriman dari Tania atau Bian.Hati ini semakin tertikam perih saat semua orang yang kusayang hanya bergeming. Tidak ada yang angkat bicara. Apalagi mau membela. Baik Bapak Edi dan Ega terbisu menekuri lantai. Dan itu dinikmati sekali oleh Tania. Ekor mataku menangkap senyum kemenangan di sudut bibirnya."Ibu Gina, saya bisa jelaskan." Tidak disangka Bian berdiri dan menginterupsi. Membuat langkah Ibu Gina terhenti. Lelaki yang malam ini terlihat sedikit rapi dengan mengenakan kaos putih berbalut blazer hitam mendekati mertuaku. "Saya harap Ibu Gina jangan salah paham dulu," pinta Bian terdengar begitu sopan.Mata Ibu Gina memincing. "Apa yang mau kamu jelaskan untuk gambar-gambar itu?" tantang Ibu Gina terdengar dingin dan angkuh.Terlihat Bian terlebih dulu mengatur napas
"Bian! Apa yang kamu lakukan?!" tegur Ega lantang. Aku sendiri terkesiap melihat betapa geramnya Bian mencekik leher Tania. Langkahku maju berdiri di samping Ega.Mendengar gertakan Ega, sontak Bian dan Tania menoleh."Kenapa kamu kasar pada Tania, Yan?" protes Ega terlihat tidak terima melihat kekasih hatinya dikasari. Matanya tajam memang sosok jangkung itu.Bian bergeming. Namun, cekalan kedua tangannya pada leher Tania mulai mengendur. Begitu terlepas Tania terbatuk-batuk sembari mengusap kerongkongan.Leher jenjang mulus itu tampak memerah. Bisa kubayangkan betapa kuat Bian mencengkeram leher wanita yang malam ini begitu seksi. Karena hanya mengenakan gaun tidur bertali satu."Yan?!" Ega kembali menegur karena mulut Bian masih terkunci rapat."Eum ... anu, Ga, tadi ... kami ... eum maksudku ...." Tania tampak terbata saat berbicara. Padahal pertanyaan Ega dilayangkan bukan padanya. Melainkan untuk Bian. "Biasa, Ga, cuma masalah sepele." Akhirnya Tania bisa meneruskan ucapannya.E
Kini tangannya mengambil sendok, lalu mengambil bubur buatannya. "Tolong cobain bubur buatanku," pintanya dengan sendok yang sudah terjulur hingga ke bibirku. Maka mau tak mau kulumat juga nasi lembek itu. "Enak gak?" tanya Bian dengan wajah harap-harap cemas."Eum ... boleh juga."Bian tersenyum senang. "Lagi?" Ia kembali menyorongkan sendok hingga mulutku.EHEM-EHEMRefleks aku dan Bian berpaling. Sosok Ega menatap kami dengan tajam."Setrikain kemejaku, Mik!" suruhnya datar."Iya." Aku mengangguk pelan.Ega kini menatap Bian. "Dan kamu tolong panaskan mesin mobil," titahnya kali ini dingin."Oke." Bian menjawab santai. "Tan!" Dia melambai pada Tania yang datang. "Siapkan bubur ini untuk sarapan, ya," suruhnya begitu Tania mendekat."Oke." Tania membalas dengan senyuman manis.Selanjutnya Bian beranjak menuju garasi untuk memanasi mesin mobil. Sedangkan aku dan Ega kembali menuju kamar."Ngobrol apa aja tadi bareng Bian?" kepo Ega ketika aku mulai menggosok kemeja warna kremnya."Ga
"Pedasss!" Tania berteriak keras. Tangannya langsung meraih gelas yang berada tepat di depannya. Wanita itu menenggaknya hingga tandas. "Ahhh ... masih pedas!" Dia merengek dengan mata yang telah berair."Kenapa dia?" tanya Bapak Edi mengernyit heran. Ibu Gina juga menatap Tania dengan tatapan aneh. Sementara Ega hanya bisa melongo bingung.Lain dengan Bian. Lelaki itu berjalan tenang menuju lemari pendingin. Tangannya mengambil sekotak susu cair besar, lantas menuangkannya pada gelas kosong. Baru mengangsurkan pada Tania."Minum susu lebih cepat mengurangi pedas dari pada air putih," ucapnya terdengar tulus.Tania mengangguk cepat. Gelas itu langsung ia sambar. Hanya butuh waktu beberapa menit isu gelas itu telah berpindah ke perutnya."Sudah baikan?" tanya Bian kembali terdengar lembut dan peduli. Dan pertanyaannya ditanggapi senyuman manis oleh Tania. Di sisi lain kulihat Ega mendengkus panjang karenanya."Tahu lagi hamil, kenapa malah sarapan cabe?" tegur Ibu Gina ketus pada Tania
Tidak kupedulikan lagi Tania dan tingkah lakunya. Terserah saja dia mau pergi ke rumah sakit dengan siapa. Lebih baik membersihkan diri saja.Ada mertua yang harus dilayani. Aku tidak mau tubuh lengket ini membuat nilaiku turun di mata mereka. Aku mengenal Ibu Gina dan Bapak Edi. Keduanya sangat menjaga kebersihan dan kerapian. Makanya sesibuk apapun aku harus tampil rapi di depan keduanya.Ketika akan memasuki kamar mandi, ponsel yang tergeletak di nakas bergetar. Tadinya ingin abai, tetapi benda persegi tujuh inchi itu terus berdering. Saat kutengok, ada nama Ghani yang tertera di layar.Ada apa? Semenjak menikah dengan Ega enam bulan lalu kami sudah tidak pernah lagi berhubungan. Baik secara langsung maupun telepon. Walau begitu kontak nomornya masih kusimpan.Ini untuk pertama kalinya dia menghubungi aku, setelah malam perpisahan kami yang begitu menyisakan luka. Masih hangat di kepala, betapa kecewanya Ghani saat kuputuskan secara sepihak.Ragu-ragu kuraih ponsel yang baru sebula
Ketika kami masuk mata Ibu memang tengah terpejam. Namun, wanita itu lekas terjaga begitu kami mendekat. Bibirnya yang pucat melempar senyum manis untuk kami."Ibu, bagaimana keadaanmu?" tanyaku khawatir. Tanpa ragu kupeluk wanita yang telah berjasa dalam hidup itu."Ibu baik-baik saja, Mika," balas Ibu begitu mengurai pelukan. Ceruk di pipinya tersembul saat ia tersenyum. "Jeng Gina dan Bapak Edi apa kabar?" sapanya lemah."Kabar kami baik," sahut mertua perempuanku ramah. "Jeng Utami sendiri bagaimana? Maaf kami ke sini tidak bawa buah tangan. Habisnya Mika mendadak kasih tahu jika Jeng ada di sini," tutur Ibu Gina panjang.Ibuku tersenyum. "Kalian datang saja saya sudah bahagia. Kenapa harus repot bawa oleh-oleh?""Ibu sakit kenapa tidak menghubungi aku?" protesku sedikit kesal.Ibu sekali lagi hanya sanggup tersenyum. "Ibu hanya kelelahan. Kebetulan kemarin banyak orderan. Banyak hajatan jadi katering ibu laris. Makanya drop.""Kenapa tidak panggil aku untuk membantu, Bu?" Aku mas
EHEMAku tersadar. Begitu juga dengan Ghani. Kami refleks menoleh ke sumber suara. Sosok dingin Ega menatap tajam dengan tatapan elangnya. Di belakang Bian mendampingi dengan kedua tangan di celana. Dari cara pandang mereka, aku seolah maling yang baru tertangkap basah."Ga?" Aku menyapa kikuk. Ega tidak membalas. Dia dan Bian hanya maju mendekat. Tatapannya masih tidak berubah. "Ngapain ke sini ... eum ... maksudku-""Ngapain ke sini?" Mata Ega memincing mendengar pertanyaan yang tidak sengaja terlontar dari bibir ini. "Mertuaku sakit. Salah jika aku berkunjung?" Dia bertanya sinis. Matanya sama sekali tidak mau menatap Ghani.Aku sendiri agak terkesima mendengar Ega memanggil Ibu dengan sebutan mertuaku. Setelah lima bulan menikah baru ada pengakuan kali ini. Selama ini dia selalu menghindar jika ibu ingin bertemu.Seingatku Ega baru dua kali menginjakkan kaki di rumah. Satu saat acara lamaran. Kedua saat kami baru menikah. Walaupun Ibu sudah berkali-kali menyuruhnya untuk memanggil