Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
Tania. Selalu saja nama wanita itu yang ia sebut ketika kami bercinta. Nama yang ia racau di setiap lelapnya. Bahkan fotonya masih tersimpan rapi di dompetnya.Sakit hati? Itu pasti. Hati wanita mana yang tidak akan terluka jika suaminya masih saja memikirkan masa lalunya. Tidak peduli walau kini ia telah menikah. Namun, setiap saat masih saja berhubungan dengan mantan. Bukan mantan karena menurut suamiku jalinan cintanya dengan sang kekasih masih terjalin begitu erat.Malam ini seperti malam-malam sebelumnya. Tanpa cinta, tanpa rayuan, apalagi cumbuan, dia kembali meminta haknya. Sebagai seorang istri tentu aku tidak berani menolak. Apalagi usia pernikahan kami baru berjalan tiga bulan.Orang bilang sedang panas-panasnya. Memang benar hasrat Ega, suamiku begitu besar. Namun, lagi-lagi aku harus menelan kepedihan saat mendengar dia mengucap nama Tania. Amarah yang memuncak membuat aku mendepak tubuhnya. Membuat ia terjengkang dan menatapku tajam. Aku sendiri lekas memunguti pakaian,
"Mika!"Tidak kugubris panggilan dari Ega. Kakiku terus melangkah menuju kamar. Walau perut masih dilanda lapar. Namun, selera makan seketika hancur setelah mendengar omongan Ega barusan.Memang benar pernikahan kami tidak dilandasi cinta. Hanya karena keterpaksaan baik dariku maupun Ega. Walau begitu aku tidak mau alasan itu ia gunakan untuk berlaku semena-mena.Ketika tengah membuka pintu lemari.Ponsel di nakas bergetar. Penasaran akan siapa yang mengirim pesan, lekas kusambar benda tipis warna putih tersebut. Rupanya Ibu yang mengirim pesan.Mika, datang ke rumah Ibu, ya! Hari ini Ibu ada banyak pesanan. Tolong bantu Ibu ya, Nak.Ibu tunggu!Sudut bibirku naik ke atas. Kebetulan sekali aku yang sedang ingin menyegarkan pikiran memang berniat mengunjungi Ibu. Sudah lebih dari dua pekan aku tidak bertandang ke sana.Sekarang Ibu sudah tidak bekerja menjadi buruh pencuci piring. Ayah mertua memberinya modal yang cukup lumayan untuk membuka usaha. Hobi masak Ibu ia salurkan dengan me
Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.Se
Melihat kedatangan Tania, aku dan Ega sama-sama tercekat. Ega bahkan tiba-tiba menurunkan aku dari gendongan. Langkahnya tergesa menghampiri gadis berambut panjang sepinggang itu. Dengan rambut yang sudah terlihat sangat basah, penampilan Tania tampak begitu memprihatinkan."Ta-Tania?" sapa Ega cukup terdengar lirih. Namun, binar matanya menunjukkan kebahagiaan. "Ke mana saja kamu selama ini?" Ega bertanya penuh kepedulian. "Ga ... aku butuh tempat berteduh sekarang," ujar Tania tidak mengindahkan pertanyaan Ega. "Aku diusir dari kontrakan." Tania melapor dengan memasang wajah memelas."Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebulan ini kamu ke mana saja?" desak Ega terus menunjukkan kepedulian."Aku-""Kita bicara di dalam. Ayuk!" Ega menyela dan langsung mengajak Tania masuk.EHEM!Aku berdaham cukup keras. Membuat kedua sejoli itu menoleh. Wajah pucat Tania bertambah pias menyadari keberadaanku. Sementara Ega terlihat tidak peduli."Apa maksudnya dengan berbicara di dalam?" tanyaku menunj
"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian. Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa."Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi."Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih."Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas."Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris."Jangan seperti itu, Ta
"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar."Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania."Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap."Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan."Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku ti
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in