"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
"Kalian?!" Ibu Gina mematung melihat ada Tania di dekatku. Wajah cantiknya terlihat memerah. Wanita itu langsung menatap sengit ke arah Tania. "Sejak kapan dia berada di rumah ini, Mika?" tanya Bu Gina tanpa mau menyebut nama Tania."Eum ... sudah dua tiga malam, Ma," jawabku pelan.Bu Gina menghela napas panjang. Dirinya bergantian menatap aku, lalu beralih pada Tania. "Ega yang membawanya ke sini?" Wanita yang hari ini memakai kaos lebar berlengan panjang itu masih menatap Tania serius. Membuat gadis berjanggut lancip itu menunduk."Bukan, Ma. Dia datang atas kemauannya sendiri." Bu Gina kian terlihat kesal, "malam-malam lagi," imbuhku sedikit mengadu."Saya datang ke mari tidak ada niat lain selain meminta pertanggung jawaban Ega." Tania mulai berani membuka mulut."Kamu itu ngomong apa, hah? Saya gak paham," sambut Bu Gina sinis."Ini kok lama banget sih, Ma." Dari luar Ega masuk. Seketika lelaki itu membatu kaget melihat Tania berdiri tegak di depan ibu angkatnya."Saya mengandun
"Bagaimana? Bagaimana hasil tesnya, Mika?" tanya Bu Gina begitu aku menemuinya di kursi tunggu. Wajahnya berserta sang suami sama-sama menyiratkan keinginan tahuan."Hasilnya sesuai dengan perhitungan, Ma," jawabku lesu."Maksudnya gimana, Mika?" Bapak mertua yang sedari diam ikut bertanya.Ketika aku akan menjawab, serombongan petugas medis lewat dengan menarik brankar. Terdapat seorang yang sepertinya tengah kritis ditarik ke ruang ICU. Di belakangnya di susul oleh beberapa orang yang mungkin saja keluarga dari pasien."Kita bahas di rumah saja, Ma." Kuajukan usul demikian karena di sini rasanya kurang etis membicarakan masalah pribadi."Ya, kamu benar." Bapak Edi menyahut, "sebaiknya kita pulang sekarang!" ajaknya seraya menggandeng tangan sang istri.Ibu Gina dan Bapak Edi berjalan tenang mendahului aku menuju parkiran. Aku sendiri menengok ke belakang. Ega terlihat begitu perhatian menuntun Tania melangkah. Aku menghembuskan napas. Lumayan terasa sesak melihat seseorang yang kit
Melihat kelakuan busuk Tania tentu saja hati ini meradang. Enak saja rumahku dijadikan sarang mesum. Ini tidak bisa dibiarkan. Ega harus tahu.Sayangnya lelaki itu teramat polos. Apapun yang dikatakan Tania, dia akan menelannya mentah-mentah. Sedangkan permintaan Tania, ibarat titah yang harus dikerjakan.Oke. Aku tetap harus main cantik.Untuk meredam emosi, aku menarik napas dalam-dalam. Lalu membuangnya perlahan. Tidak lupa beristighfar. Agar bisikan setan untuk melabrak Tania bisa aku kendalikan.Tanganku gegas merogoh ponsel dalam tas panjang berwarna hitam ini. Di depan sana Tania dan pemuda yang tidak kuketahui wajahnya, masih asyik bercengkerama. Saatnya mengabadikan kebersamaan mereka.CEKREK!CEKREK!CEKREK!Mendengar bunyi flash dari ponselku, sontak Tania dan sang pemuda langsung menoleh. Wajah Tania terlihat menegang. Pastinya dia ketakutan karena telah terpegok olehku. Namun, entah kenapa sang cowok tampak santai saja. Bibirnya bahkan melengkungkan senyum untukku.Dalam
Bian masih belum menyadari kehadiranku. Pemuda itu berdiri membelakangi. Ada sesuatu yang tengah ia pandangi. Kantukku hilang seketika karenanya. Merasa begitu penasaran, aku maju mendekat.EHEMMM!Dari belakang kulihat tubuh Bian menegang."Ngapain kamu di sini?" Aku menegur begitu pemuda itu membalikkan badan.Bian terdiam. Bola matanya terlihat berputar. Mungkin sedang mencari jawaban yang tepat."Hai ... Mik! Habis dari mana? Kok baru pulang? Ngelayap terus ya kerjaaannya." Bian mencoba mengalihkan perhatian. Dia mendekat. "Bibir kamu belepotan. Habis makan-makan di luar, ya?" Bian kembali berbasa-basi. Ketika tangannya berusaha menyentuh bibirku, aku mengelak."Gak usah pegang-pegang bisa gak sih!" protesku kesal, "kamu belum jawab pertanyaanku? Ngapain kamu masuk kamar ini?" Aku mencecar dengan berkacak pinggang.Bian terdiam. Tangannya merogoh kantung celana jeans belel robek-robeknya. "Aku disuruh ambilin ini oleh Ega. Ketinggalan katanya," jawab Bian sambil memperlihatkan seb
"Emang kamu mau ngomong apa?" tantang Ega seraya berkacak pinggang. Andai bukan suami sendiri sudah getok kepalanya. Abisnya songong."Kalian pesta, makan-makan dan minum. Membuat kacau rumah. Aku yang harus merapikannya, Ga.""Ya kan itu memang tugasmu," sahut Ega meremehkan."Maka dari itu, wajar dong kalo aku kelelahan. Ketiduran sampai sore," kilahku merasa benar, "lagian Tania yang bukan nyonya rumah saja bebas tidur siang, masa aku harus capek-capek kaya babu di rumah sendiri," lanjutku tidak terima."Mau disayang seperti Tania? Makanya hamil."Jleb!Seperti ada belati tajam yang menghujam batin. Ega benar-benar keterlaluan."Kamu amnesia apa sengaja melinglungkan diri?" balasku kesal, "ingat siapa yang belum menginginkan anak di antara kita?" Aku mengungkit marah."Sudah-sudah! Lupain itu!" Ega menyambar cepat. "Eum ... tadi katanya ada yang mau dibicarakan. Apa?" Kali ini Ega merendahkan nada bicaranya."Gak jadi." Aku membuang muka. Dongkol!"Mik!"Aku menarik napas dalam-da
Otakku berpikir keras. Siapa wanita dalam foto ini? Mungkin teman wanita Bapak Edi? Atau jangan-jangan mantan kekasih?Jika benar ini gambar mantan kekasih Bapak Edi, lalu hubungannya dengan Bian apa? Kenapa sampai pemuda begajul*n itu menyimpannya?Dari cerita, Ega bilang jika dia bertemu dengan Bian akibat terkena gempa. Mereka satu nasib. Sama-sama kehilangan kedua orang tuanya.Apakah ... wanita dalam foto ini ibunya Bian? Dan Bapak Edi dengan Bian punya pertalian darah? Ohhh ... kenapa aku bisa berpikir sejauh itu?Aku menepuk jidat. Mertua lelakiku adalah orang yang baik. Rasanya tidak mungkin jika dia punya wanita simpanan.Namun, bukankah Ibu Gina memang tidak bisa mempunyai keturunan. Makanya mereka mengadopsi Ega. Mungkin kah alasan itu yang membuat Bapak Edi berselingkuh. Dan tahu kah beliau tentang asal usul Bian?Aku harus mencari tahu. Foto lawas ini aku masukkan ke kantung piayama. Lalu mulai melangkah menuju meja makan kembali. Ternyata Ega dan Tania sudah selesai maka
"Dasar wanita jal*Ng!" geram Bian tampak naik pitam. Tidak keras, tetapi penuh dengan penekanan. Bahkan tangannya terlihat mengepal keras. Lelaki itu melangkah cepat menuju meja yang kutunjuk.Wahhh ... sebentar lagi akan ada drama. Aku penasaran apa reaksi Tania dan juga Mas Galih. Lihatlah betapa terkejutnya Tania menyadari kehadiran Bian.Jarak ini membuat percakapan mereka tidak tertangkap kuping. Tapi, jika dilihat dari lagaknya, sepertinya Tania tengah berpura-pura lagi. Gadis itu tersenyum kecut seraya mengenalkan Mas Galih pada Bian. Dan Bian menerima uluran tangan itu, walau wajahnya masih menampilkan rona kecemburuan."Mika, kenapa tidak ikutan gabung dengan mereka?"Deg!Aku tertegun. Suara yang setiap hari tidak asing itu terdengar. Benar saja, ketika aku berpaling ada sosok Ega tengah menatapku heran.Kenapa Ega bisa ada di sini juga?"Kenapa tidak gabung dengan mereka?" ulang Ega masih menatap heran.Belum sempat menjawab, pria itu beranjak menuju meja Tania. Akhirnya, k