Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali.
"Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.
Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing.
"Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta."
"Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya menggelitik wajah.
"Kamu yang jangan percaya diri!" Aku menukas tenang. "Jelas-jelas Bapak Edi dan Bu Gina sangat menyukai aku. Sementara Tania ...." Aku sengaja menjeda omongan. Ingin menatap ekspresi Ega yang tadi terlihat begitu pongah. "Gadismu yang sangat aduhai dan lemah gemulai itu ... nyatanya tidak disukai kedua orang tuamu."
"Itu karena kamu pandai menjilat mereka."
Aku tertohok mendengar balasan Ega. Ingin rasanya menampar mulut pedas itu. Namun, kembali semua kutahan. Selain tidak ingin menjadi istri yang durhaka. Aku juga tidak mau dicap sebagai wanita yang kasar.
Ibu pernah bilang, api dibalas api hanya akan menghasilkan abu. Mengalirlah seperti air, yang tenang menghanyutkan. Serta mampu membuat rapuh sebuah batu.
"Aku tidak pernah menjilat ke pada orang tuamu," bantahku tenang. "Ingat siapa yang memaksakan perjodohan ini?" Ega terdiam. Lelaki itu membuang muka. "Bapak Edi dan Ibu Gina yang memohon-mohon agar aku mau jadi menantunya," pungkasku tegas.
Ega mendengkus kasar. Tiba-tiba dia menarik tengkukku. Membuat hidung kami saling beradu.
Tidak diduga ia mecium kasar bibirku. Bahkan bibir bawahku ia gigit perlahan-lahan. Cukup lama. Ketika aku berontak karena kehabisan oksigen, Ega mencegah.
"Itu hukuman bagi wanita yang banyak bicara," ucapnya begitu melepas ciuman.
Napasnya memburu. Pastinya ia pun tersengal kekurangan oksigen. Usai mengusap bibirnya yang basah, pria itu itu berlalu.
Aku masih terpaku. Menit berikutnya, embun di pelupuk mata mencair. Ega sungguh keterlaluan! Hatiku sesak diperlakukan seperti tadi. Tapi, tidak munafik juga jika aku mulai nyaman tidur dalam pelukannya.
"Mika?"
Suara lembut itu menyadarkan kesedihanku. Aku menoleh. Seraut wajah cantik tanpa make-up tersenyum manis.
Tania dengan gaun tidur tipisnya mendekat. Keterlaluan! Bagaimana jika Ega yang melihat? Pastinya suamiku akan tergoda melihat kaki jenjang mulus itu.
"Ada apa malam-malam ke sini?" tegurku mencoba sedatar mungkin. Pipi yang basah langsung lekas kuelap dengan telapak tangan.
"Eum ... Aku lapar, Mik," jujur Tania seraya mengusap perutnya yang masih rata. "Tadi Ega janji mau beliin aku pizza," lanjut lirih.
"Tuh pizza-nya udah habis dimakan sama aku dan juga mama papanya." Aku menunjuk kotak pizza yang telah teronggok di tempat sampah.
"Yahhh!" Tania mendesah kecewa. Matanya kini terlihat berkaca-kaca. "Dari semenjak kamu dan Ega pergi ke salon aku belum makan lagi, Mik," ujarnya menjual kesedihan.
"Kenapa gak beli makanan saja kalo lapar? Kenapa mesti juga menunggu Ega pulang?"
"Aku gak ada duit, Mik."
"Tania cantik." Kudekati gadis ramping yang lebih tinggi beberapa centimeter dariku itu. "Jangan suka mengandalkan diri pada suami orang. Gak berhak dan gak pantas!" saranku tegas.
"Maaf," ucap Tania terdengar tenang juga, "tapi mulai dari sekarang, cobalah untuk bersikap terbuka. Ega adalah ayah dari bayi yang dikandung. Mau tidak mau ... apapun yang dia berikan padamu, harus kamu bagi denganku," pungkas Tania menatapku berani.
Wanita itu berlalu. Mataku mengekor langkahnya. Ternyata dia menuju kamar mandi tamu. Beberapa menit kemudian. Dia kembali ke kamar.
Ketika akan membuka pintu kamar, dia menatapku. Senyum manis bercampur licik ia lempar untukku. Wahhhh ... belum tahu dia. Mika ini terkenal cerdik dari zaman sekolah.
Tunggu saja kejutan dariku, Tania!
Aku melangkah ke atas usai melihat Tania mengunci pintu. Ega sudah bergelung dengan selimut ketika aku masuk. Perkataan Tania barusan kembali terngiang. Gadis itu sudah menunjukkan taringnya dan siap menabuh genderang perang.
Aku harus bermain cantik.
Mataku sulit terpejam karena terus memikirkan Tania. Ketika tengah merenung, tiba-tiba pikiranku tertuju pada laci nakas. Di sana ada anak kunci kamar yang di tempati Tania.
Wanita itu harus diberi pelajaran!
Perlahan aku beringsut turun dari ranjang. Tanganku mengambil anak kunci kamar Tania. Dengan hati yang berbunga aku kembali turun menuju kamar gadis itu. Tanpa membuang waktu, lekas kukunci dari luar kamar Tania.
Rasakan! Kamu akan terkurung lama di dalam.
Usai tersenyum puas, aku gegas menuju kamar kembali. Anak kunci kecil ini aku selipkan di bawah vas bunga di meja kecil. Aman! Sekarang sudah saatnya untuk beristirahat. Malam ini aku berharap mimpi yang indah.
***
Adzan subuh berkumandang di ponsel pintarku. Walaupun baru tertidur sekitar tiga jam setengah, aku harus tetap bangun untuk menunaikan kewajiban. Kutoleh ke samping. Ega masih terlelap memeluk guling.
"Bangun, Ga! Udah subuh ini." Kubangunkan Ega seraya mengguncang tubuhnya perlahan.
"Berisik!" umpat Ega dengan mata terpejam. Pria itu memiring badan dan memunggungi.
"Ingat ada papa di sini! Kamu mau diseret dia ke mesjid buat jama'ah?"
Mendengar nama papa, sontak Ega langsung bangkit duduk. Pria itu menguap. Merenggang badan sebentar, lalu gegas menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Usai mensucikan diri, Ega bergegas menggnti baju tidurnya. Dengan koko dan songkok putih, paras tampannya semakin mencuat. Tidak munafik aku memang sudah jatuh hati.
Begitu Ega ke luar kamar, gantian aku mensucikan diri. Lalu sholat subuh sendiri. Setelah merasa cukup damai, aku turun ke lantai bawah.
Ibu Gina berdecak kesal karena kulkas tidak ada isinya. Hanya ada minuman dan sayuran kering.
"Kita ke pasar pagi saja yuk, Ma!" ajakku lembut, "ada banyak sayuran, buah, daging, serta ikan yang segar-segar dan yang pasti murah. Karena boleh ditawar."
Ibu mertua terlihat berpikir sejenak. "Ide yang bagus. Mama sudah lama tidak menginjakkan kaki ke pasar," jawabnya dengan mata yang berbinar.
Aku tersenyum senang. Ternyata mudah sekali membuat wanita bermata bulat ini bahagia. Tanpa membuang waktu, aku langsung berlari ke atas untuk berganti pakaian dan mengambil tas. Begitu juga Ibu Gina.
"Pamit dulu pada Ega kalo mau ke pasar. Biar dia dan Papa gak nyari-nyari nanti," suruh Bu Gina ketika kami akan melangkah ke luar rumah.
"Oke."
Kupatuhi perintah itu. Tanganku dengan cepat mengetik pesan untuk Ega. Memberi tahu jika aku dan ibunya akan pergi berbelanja. Usai mengirim pesan, aku dan Ibu Gina melanjutkan langkah.
Matahari masih belum bersinar ketika aku mengeluarkan motor dari garasi. Udara kota juga masih terasa segar. Ibu Gina memeluk pinggangku begitu membonceng di belakang.
Sepanjang perjalanan, kami berbicara ringan. Saling bercerita tentang kesibukan masing-masing. Sesampainya di pasar, Ibu Gina tampak begitu antusias. Wanita itu semangat sekali saat menawar harga barang yang dibeli. Dan ternyata dia sangat pandai meminta harga miring.
Tidak terasa sudah tiga jam kami berada di pasar. Puas mengelilingi pasar dengan membawa banyak belanjaan, Ibu Gina mengajakku makan bubur ayam yang ada di trotoar jalan. Lagi-lagi aura kebahagiaan terpancar dari wajah yang mulai diselimuti keriput.
Pukul sembilan pagi, kami tiba di rumah. Dua buah sterofom berisi bubur ayam kuangsurkan pada Ega.
"Kami sudah sarapan. Beli ketoprak yang lewat barusan," ujar Ega seperti mau menolak.
"Tapi, perut papa masih muat untuk diisi semangkok bubur ayam kok," timpal Pak Edi meringis. Pria berkaca mata itu meraih bungkusan pada tanganku.
"Ayo makan, Pa! Enak banget ini bubur ayamnya." Ibu Gina menarik kursi meja makan untuk sang suami.
Aku dan Ega meninggalkan sepasang suami istri itu. Langkah kami beriringan menuju ke kamar. Ketika aku hendak mandi pagi, terdengar ponsel Ega berbunyi. Otomatis Ega langsung mengangkat telepon itu.
"Ya, Tan," sapanya dibuat pelan. Kuurungkan niat untuk membersihkan badan.
[ ... ]
Ega tidak menyalakan tombol loud speaker, sehingga aku tidak bisa mendengar suara Tania.
"Apah?" Ega tampak terkejut. "Tidak ada yang menguncimu dari luar," tutur Ega meyakinkan.
"Tania terkurung di kamar?" Aku pura-pura bertanya dan mendekat pada Ega.
"Diam!"
Ega meletakkan telunjuknya di bibir. Isyarat menyuruh tutup mulut. Karena penasaran, kurebut ponsel yang menempel di kuping Ega.
"Mika, kembalikan!" gertak Ega kesal.
Aku tidak peduli. Begitu dapat tombol loud speaker kuaktifkan.
"Ega, tolongin aku, pliss! Aku kebelet banget pipis. Dari semalam aku menahan lapar dan juga kencing. Demi Tuhan aku udah gak tahan lagi. Haruskah aku kencing di kamar ini?"
Suara lembut berisi rengekan dari Tania membuat aku tersenyum. Itu baru permulaan Tania. Ada banyak kenikmatan yang akan kamu dapatkan jika serius ingin merebut Ega dari tanganku.
Next.
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet