"Pak, kenapa panik begitu? Ada apa?" tanya Clarissa saat supirnya yang bernama Tono datang dengan motor maticnya. "Gawat, Non. Gawat!" ujar Tono panik dan gugup. Clarissa meminta Tono duduk di kursi teras sebelum menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Sejak kepergian Rena, sebenarnya Clarissa sudah mulai curiga dengan gerak-geriknya yang cukup aneh. Hanya saja, Rissa berusaha positif thinking. Namun, setelah terlalu lama menunggu dia mulai yakin jika Rena pasti punya rencana lain dan mungkin tak terlalu menguntungkannya. "Pasti ada hubungannya dengan teman saya tadi kan, Pak?" tebak Rissa cepat. Dia tak ingin membuang waktu karena penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada Rena. "Rena kenapa, Pak? Apa dia kabur atau terjadi sesuatu padanya?" tanya Rissa lagi setelah melihat supirnya mulai tenang. "Dia kabur setelah dua polisi datang ke rumahnya, Mbak. Bahkan tadi teman Non Rissa itu kejar-kejaran sama polisi. Suasana di rumahnya makin heboh karena tetangga pada datang ke sana
"Itu Rena!" Teriakan seorang warga membuat Rena menoleh seketika. Kedua matanya membulat lebar saat melihat beberapa tetangganya bergerombol di dekat mobil polisi itu. "Rena! Itu dia!" Ibu yang lain ikut berteriak sembari menunjuknya. Mawar dan Rudy pun setengah berlari ke halaman rumah, menyusul dua polisi yang sudah lari lebih dulu mengejar Rena. Supir Clarissa ikut keluar rumah, melihat Rena yang lari tunggang langgang ke jalan raya. "Ada apa ini, Bu?" tanya supir itu pada beberapa ibu yang semakin heboh membicarakan Rena dengan segala tingkah buruknya. "Dia itu buron, Pak. Dia dilaporkan saudaranya sendiri karena berulang kali membuat celaka orang." Supir Rissa melotot lebar saat mendengar penjelasan perempuan paruh baya di sampingnya. Beragam pertanyaan kembali lalu lalang di benak. Tanpa bertanya, laki-laki itu lebih memilih untuk mendengarkan obrolan para ibu di sana. Setidaknya dengan begitu, dia tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai rasa penasarannya tentang maslaah in
"Kenapa, Ren?" teriak Rissa masih dari tempat yang sama di ruang makan. "Tiketnya masih ada nih. Sore nanti kita berangkat. Gimana?" tanya Rissa lagi membuat Rena sedikit panik. "Kenapa?" tanya Rissa lagi tiba-tiba muncul di ambang pintu. "Pasporku ketinggalan di meja rias, Ris. Duh, gimana dong!" Rena mulai cemas. Rena takut pulang karena merasa tak aman di rumah. Selain gunjingan tetangga yang semakin menyala, Rena juga takut jika tiba-tiba digrebek polisi. Namun, alih-alih memperlihatkan kecemasannya, Rena lebih memilih tetap tenang supaya Rissa tak ikut khawatir dan takut sepertinya. Bagi Rena, hanya Rissa yang saat ini bisa menolongnya. Oleh karena itulah, dia harus bisa menenangkan perempuan itu agar mau mengantarnya kembali ke rumah untuk mengambil paspor sebelum benar-benar pergi meninggalkan negara ini. "Telepon ibumu saja. Minta dia antar paspor dan barang-barangmu yang lain ke sini," pinta Rissa kemudian. "Benar juga ya! Aku nggak harus pulang karena malas jika harus
"Siapa sih yang mata-matain kita, Ren?! Bisa-bisanya dia rekam semua obrolan kita di cafe!" oceh Rissa setelah naik mobil. Rissa sengaja parkir di tepi jalan depan rumah Rena dan tak berniat untuk turun atau sekadar basa-basi dengan ibunya. Bagi Rissa, hal seperti itu tak terlalu penting. "Nggak tahu, Ris. Makanya aku juga kesel banget. Dia punya bukti makin banyak untuk menjebloskan ke penjara." Rena menutup pintu mobil lalu memakai seat beltnya. "Sialan memang perempuan itu! Dia sudah merebut mimpiku dan kini mulai memporak-porandakan semuanya," balas Rissa dengan hembusan napas kesal. "Nggak cuma kamu yang kesal, Ris. Aku pun sama. Apalagi sekarang rumah tanggaku hancur berantakan, sementara dia justru terlihat semakin bahagia. Rasanya benar-benar muak! Kalau aku nggak nikah sama Azziz, nggak mungkin dia sebahagia ini sekarang," sesal Rena. "Terus rencanamu sekarang gimana, Ren? Kita harus apa?!" Rissa begitu gelisah setelah Rena menceritakan semuanya. Kedua perempuan itu sam
Tiga hari setelah kepergian Ken dan Hanum di rumah itu, Mawar mulai berubah. Dia sedikit lebih memperhatikan suaminya. Tak seperti sebelumnya yang abai bahkan tak peduli suaminya sudah makan atau belum, kali ini dia mulai memperhatikan semuanya. Mulai dari sarapan, makan siang, makan malam sampai pakaian suaminya. Rudy sempat terheran-heran melihat keanehan itu. Namun, ada syukur dalam hatinya jika memang Mawar mulai berubah. Karena jika perempuan itu tak kunjung introspeksi dan menyadari kesalahan-kesalahannya selama ini, Rudy sudah memantapkan hati untuk berpisah. Semua demi kewarasan jiwanya dan demi kebaikan Hanum juga. "Sarapannya, Pak," ujar Mawar sembari menyiapkan nasi goreng dengan telur dadar di meja makan. Rudy sudah rapi dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Stelan yang biasa dia pakai untuk ke bengkel setiap hari. "Makan siangnya pulang saja, Pak. Ibu mau ke rumah Melati nanti jadi nggak bisa antar ke bengkel," sambungnya lagi. Rudy mengangguk pelan lalu menarik ku
"Kamu jadi pindah sekarang, Num?" tanya Rudy saat melihat Hanum dan Ken keluar dari kamar dengan dua kopernya. Hanum tersenyum seraya mengangguk pelan, sementara Ken mengunci pintu kamar lalu menyerahkan kunci itu pada mertuanya. "Duduk dulu, bapak mau bicara," ucap Rudy lagi. Ken dan Hanum saling tatap lalu mengangguk pelan. Sepasang suami istri itu mengikuti bapaknya duduk di sofa ruang tengah. Jarum jam menunjuk angka sembilan pagi. Suara Ibu-ibu yang menunggu tukang sayur keliling terdengar di luar rumah. Mawar pun ikut menunggu di sana sembari ngobrol dengan ibu lainnya. Setelah Ken dan Hanum duduk, mereka menunggu beberapa saat sebelum akhirnya Rudy memulai obrolan. "Ada apa, Pak? Apa bapak belum rela kalau Hanum pindah rumah sekarang?" tanya Hanum pelan, takut menyinggung perasaan bapaknya. Rudy tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dia tahu kecemasan putri kesayangannya itu tiap kali berencana pindah ke rumah suaminya. "Nggak, Num. Justru bapak senang akhirnya kalian sepaka