"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah.
Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuannya yang lain pun ikut membantu memuluskan jalannya. Bukan tanpa sebab Soraya melakukan hal itu. Salah satu alasannya karena dia bertemu dengan Vonny. Gadis cantik yang magang di kantor Baim itu sepertinya menaruh hati pada Baim. Vonny mengaku sebagai anak bungsu Wicaksono, seorang pengusaha yang kini tinggal di Jogja. Berkat Lina, Soraya jadi tahu siapa Wicaksono yang disebut Vonny sebagai papanya itu. Seorang pengusaha properti yang cukup ternama di kota Jogja. Dari penelusuran Lina di internet akhirnya Soraya paham siapa yang sedang mendekati anak lelakinya akhir-akhir ini. Tak ingin membuang kesempatan yang baginya cukup langka itu, Soraya menyusun beragam cara agar Baim dan Meira berpisah. "Kenapa diam saja, Im? Kamu menyesal sudah menceraikan Meira?" Pertanyaan Soraya membuat Baim terjaga. "Nggak, Bu. Ngapain menyesal? Dari dulu aku tak suka pengkhianatan. Aku kecewa dan terluka kenapa Meira sampai hati berselingkuh dengan Arya, teman baikku sendiri. Jika dia bermain hati dengan lelaki lain, mungkin sakit hatiku tak sedalam ini." Baim men desah. Dia kembali mengusap wajahnya lalu meneguk minuman yang tersisa separo di gelasnya. Sembari menunggu Vonny keluar dari toilet, Baim terus mengobrol dengan ibunya via handphone. Baim merasa bersyukur karena ibu dan saudara-saudaranya berhasil memberikan bukti perselingkuhan sang istri. Karena itu pula akhirnya dia berani menjatuhkan talak pada Meira. Perempuan yang begitu dia cintai saat itu bahkan hingga kini rasa cinta itu masih ada. Tak mudah melupakan Meira karena dia adalah cinta pertama Baim. Teringat betul saat dia masih aktif di kampusnya untuk melakukan bakti sosial di panti asuhan tempat Meira tinggal. Dia, Arya dan beberapa teman lain memang beberapa kali melakukan bakti sosial di sana. Sejak itulah cinta itu tumbuh hingga akhirnya Baim memberanikan diri untuk melamar Meira setelah dia lulus SMA. Meira yang cantik dan polos itu pun memiliki rasa yang sama hingga akhirnya mereka benar-benar menikah. Rasa cinta yang cukup besar pada gadis itu membuat Baim cukup protektif. Dia tak mengizinkan Mei bekerja bahkan melanjutkan pendidikannya ke bangku perkuliahan. Baim terlalu takut jika ada lelaki lain yang lebih baik darinya berusaha mencuri hati Meira. Oleh karena itulah, Baim meminta Meira di rumah saja dan dia yang akan berusaha mencukupi semua kebutuhannya. Lagi-lagi Baim menghela napas panjang. Tiap kali mengingat Meira, tiap itu juga rasa sesak itu menghantam dadanya. Baim berusaha menolak dan mengelak pengkhianatan istrinya, tapi bukti-bukti yang diberikan ibu dan kedua saudara perempuannya cukup membuatnya yakin jika Meira dan Arya memang memiliki hubungan spesial. Apalagi Baim tahu sejak dulu Arya memang menaruh hati pada Meira. "Im ... kamu melamun? Memikirkan Meira lagi?" tanya Soraya setelah beberapa kali memanggil nama anaknya tapi tak ada jawaban. "Ah, nggak, Bu. Aku baru ngobrol sama Vonny. Dia sudah selesai dari toilet," balas Baim dusta. Dia tak ingin ibunya kecewa melihatnya masih memikirkan mantan istri. "Vonny? Jadi kamu sama Vonny sekarang?" tanya Soraya semringah. "Iya, Bu. Kami baru selesai makan siang. Rencananya mau ke rumah, makanya aku minta Meira segera pergi karena nggak mau dia salah paham." "Salah paham pun tak apa dong, Im. Dia juga berselingkuh sama teman baikmu sendiri. Kamu juga berhak selingkuh kan? Biar impas. Jangan sampai dia mikir kalau kamu nggak laku, padahal kalau kamu mau ada banyak perempuan yang antri agar bisa menjadi istrimu." Soraya begitu menggebu. "Selingkuh nggak harus dibalas dengan selingkuh juga, Bu. Aku mencintai Meira, tapi melihatnya berkhianat aku benar-benar tak bisa memberikan kesempatan kedua buatnya." Lirih Baim lagi. "Kamu ini. Masih saja bilang cinta sama perempuan yang sudah jelas-jelas mengkhianatimu. Buang jauh-jauh nama Meira dalam hatimu, Im. Ingat, ada Vonny yang sekarang di sampingmu. Dia perempuan yang jauh lebih baik dibandingkan Meira dari segi apapun. Vonny itu cantik, modis, berpendidikan dan memiliki asal usul yang jelas. Berbeda jauh dengan istrimu yang-- "Cukup, Bu. Aku tahu Meira salah karena sudah berkhianat, tapi ibu tak berhak menyudutkannya terus menerus. Tak seharusnya ibu mengulik masa lalunya lagi dan lagi. Jika bisa meminta, tentu Meira juga tak pernah menginginkan kehidupan yang pahit itu. Meira tak ingin tinggal di panti asuhan dan terbuang. Sudahlah. Aku mau jalan dulu sama Vonny. Dia bilang mau beli oleh-oleh buat ibu." Tak ingin mendengar Soraya terus menjelek-jelekkan Meira, Baim lebih memilih memutus obrolan. Dia sangat mencintai Meira, tapi dia juga sangat menghormati ibunya. Jadi, Baim tak ingin membuat ibunya lebih sakit hati jika dia terus membela Meira saat berdebat dengannya. "Terserah kamu sajalah, Im. Ibu capek dengar kamu selalu membela perempuan itu. Buat ibu sekarang yang penting dia sudah pergi dan kamu bisa dekat dengan Vonny. Dia memang calon menantu idaman. Lihat saja, belum resmi menjadi istrimu saja dia sudah sering memberi oleh-oleh buat ibu dan adikmu kan? Makanya, lekas urus perceraianmu dan menikahlah dengan Vonny. Ibu sangat setuju." Baim tak membalas. Dia hanya mengucap salam lalu mematikan panggilan. ***Malam ini, langit seperti ikut bersyukur. Bintang bersinar cerah di angkasa. Rembulan pun begitu gagah menyinari bumi, menambah kehangatan di rumah Hanum dan Ken yang kini disesaki beberapa tamu dan keluarga besarnya. Meja panjang penuh hidangan khas syukuran. Ada nasi kebuli, rendang, rawon, opor dan beragam jajanan pasar serta kue-kue manis. Di sudut tenda bertumpuk nasi kotak yang diisi dengan sate dan gulai kambing aqiqahan Lintang. Semua tertata rapi dan siap diberikan untuk para tamu saat pulang nanti. Lintang Adiputri Wicaksono. Bayi mungil itu tertidur pulas dalam dekapan Hanum yang mengenakan gamis putih gading dan kerudung senada. Wajah Hanum bersinar, matanya lembap karena rasa haru yang tak bisa diucapkan.Ken berdiri di sampingnya, mengenakan kemeja koko biru langit dan sarung batik. Sesekali tangannya membenarkan selimut bayi yang membungkus Lintang."Lintang tidur terus dari tadi, Mas," bisik Hanum pelan lalu mencium kening putrinya."Namanya bayi begitu, Sayang. Masi
Suara salam dari teras kontrakan membuyarkan lamunan Rena yang sedari tadi termenung di depan cermin ruang tengah. Wanita itu menoleh lalu menjalankan kursi rodanya menuju pintu. Rena tersenyum tipis saat tahu siapa yang bertamu siang-siang begini. Kedua sepupu itu pun saling peluk. Pasca keluar dari rumah sakit, Rena memang berubah lebih kalem dan tak banyak bicara.Tak banyak barang di kontrakan tiga ruang itu. Hanya ada kasur, beberapa alat masak dan karpet kecil di ruang depan untuk duduk lesehan tamu. Mawar belum membeli banyak perkakas di sana karena uang yang dia miliki fokus digunakan untuk modal usaha. Mawar ingin jualan nasi uduk di pagi hari di depan kontrakannya."Mbak, kamu diundang acara aqiqahan anaknya Mas Ken dan Hanum kan?" tanya Dara setelah menjatuhkan bobotnya di tempat tidur."Iya. Kenapa? Mau ikut?" tanya Rena singkat. Dara menggeleng pelan lalu meletakkan kado berwarna biru muda di meja kecil. "Buat apa ini?" tunjuk Rena. "Kado buat anaknya Mas Ken.""Modus?"
Setelah sampai rumah sakit Mutiara Bunda, Ken memarkirkan mobilnya lalu dengan tergesa mengikuti arahan Bagas menuju ruang persalinan. Ken berusaha tetap tenang, meski dalam hati rasanya campur aduk tak karuan. "Mas, selamat ya! Beneran jadi ayah," ujar Bagas saat melihat bosnya melangkah tergesa mendekatinya. Bagas dan Ken saling jabat tangan lalu berpelukan sesaat. Bagas menepuk-nepuk punggung bosnya. Setelah itu mempersilakan Ken masuk ke ruang inap Hanum. Air mata Hanum kembali menetes saat melihat suaminya datang. Sepasang suami istri itu saling berpelukan. Ken berkali-kali mencium pipi dan kening istrinya. Dia minta maaf berulang kali karena tak bisa menemani istrinya melahirkan. Ada sesal yang terselip di hatinya, tapi melihat Hanum tersenyum dan memaafkannya, Ken merasa sedikit lega. "Selagi lagi maaf ya, Sayang. Kupikir masih dua mingguan lagi sesuai hari perkiraan lahir. Makanya, aku urus masalah di kantor secepatnya biar nanti bisa menemani kamu tiap hari. Nggak tahunya
Langit yang tadi bersinar cerah kini berubah kelabu. Awan menggantung di angkasa dan Ken tahu sepertinya hujan deras akan segera turun dalam waktu dekat. Laki-laki dengan hoodie hitamnya itu mempercepat langkah keluar minimarket setelah membayar belanjaannya. Sampai teras minimarket, gerimis mulai datang mengguyur bumi. Ken buru-buru masuk mobil tepat saat air langit jatuh lebih deras. "Syukurlah nggak basah," ujarnya lirih sembari memakai sabuk pengaman. Baru saja menyalakan mesin mobil, tiba-tiba handphonenya berdering. Muncul kontak istri tersayangnya di layar. Wajah yang sebelumnya cukup lelah karena bertemu client yang ribet kini terlihat semringah. Ken tersenyum saat menekan tombol hijau di layar. Berharap suara istrinya terdengar, tapi ternyata justru suara asisten rumah tangganya yang terdengar gugup. Tubuh Ken menegang. Dia berusaha mencerna kata perkata yang diucapkan Bi Santi dari seberang. Derasnya hujan membuat suaranya tak terdengar jelas. Berkali-kali Ken menanyakan
Birru Wicaksono Pratama adalah nama anak lelaki Raka dan Meira. Jagoan tampan yang akan meneruskan jejak papa dan Opanya sebagai pengusaha. Bisnis turun temurun yang kini semakin sukses dan memiliki cabang di mana-mana. Tak hanya di Jogja, tempat kelahiran mereka. Tapi, juga di Jakarta, Bandung, Surabaya, Pontianak, Solo dan kota-kota besar lainnya. Syukuran aqiqah sekalian pencukuran rambut sudah usai. Semua berjalan lancar. Bahkan mantan suami Meira, Baim dan keluarganya pun datang. Selain ingin mengajak Aldo liburan ke Jakarta, mereka juga ingin bersilaturahmi karena sudah lama tak bertemu. Baim ingin mempererat hubungan antara ayah dan anak. Dia juga berharap Aldo bisa menerima istri barunya, yang kini sudah sah menjadi ibu sambungnya. "Kami minta maaf nggak bisa datang di acara pernikahanmu bulan lalu, Mas. Maklum, sudah mendekati hari lahir jadi takut bepergian jauh," ujar Meira saat Baim dan keluarganya menjemput Aldo untuk diajak liburan bersama. Rencananya mereka ingin men
Waktu terus berjalan. Ken dan Hanum kembali ke Jakarta dengan dunia barunya. Raka dan Meira pun kembali disibukkan dengan pekerjaan kantor, mengurus Aldo dan Dee, bahkan kini sibuk mempersiapkan lahiran. Sementara Wicaksono dan Sundari seperti biasanya, menikmati hari tuanya dengan banyak istirahat dan liburan. Semua bahagia dengan cara yang berbeda. Sekalipun sibuk dengan dunianya, Sundari dan Wicaksono selalu menyempatkan waktu untuk menjenguk kedua cucu, anak dan menantunya. Mereka yang kini sudah pindah ke rumah sendiri karena ingin mandiri. Rumah yang tak terlalu jauh dari rumah utama yang kini hanya dihuni oleh Sundari dan Wicaksono bersama asistennya. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Raka panik saat melihat istrinya meringis kesakitan di tepi ranjang. Meira meremas daster polkadotnya sembari memejamkan mata. Seolah dengan itu bisa mengurangi sedikit sakitnya kontraksi. Raka yang baru saja mandi buru-buru memanggil supir untuk menyiapkan mobil. Tas hitam yang sudah berisi barang-