Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu.
"Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo tahu bunda itu hebat. InsyaAllah Aldo akan aman bersama bunda. Nggak mungkin kelaparan dan jadi gelandangan seperti yang diucapkan nenek tadi. Iya kan?" Meira mengangguk pasti lalu kembali memeluk anak lelakinya. Kata-kata menyakitkan yang diucapkan ipar dan mertua Meira tadi ternyata masih melekat di benak Aldo. Mungkin ada sedikit ketakutan di hati bocah itu, tapi dia berusaha baik-baik saja untuk menenangkan bundanya. Aldo tahu selama ini sang bunda hanya di rumah saja dan tak memiliki penghasilan sendiri. Mungkin dia pun khawatir jika ucapan tantenya benar. "Pergi! Kalian pasti akan jadi gelandangan di luar sana! Dan kamu, Al. Bisa jadi akan kelaparan dan putus sekolah karena bundamu nggak punya pekerjaan. Darimana dia akan mendapatkan uang untuk biaya makan dan sekolahmu. Iya kan?" Lina bersedekap sembari menatap lekat wajah polos keponakannya. Gadis itu memang tak menyukai Aldo sejak dulu. Sering kali membandingkan bocah itu dengan Angga, anaknya Rumi yang kini duduk di bangku kelas empat sekolah dasar. Hanya beda setahun dengan Aldo, tapi tingkah laku mereka berbeda jauh. Angga yang sering tantrum jika tak dituruti kemauannya, sementara Aldo yang memilih diam dan menunggu bundanya mendapatkan rezeki lebih jika keinginannya belum dikabulkan. "Bunda janji sama kamu, Sayang. Nggak akan membiarkan kamu kelaparan apalagi putus sekolah. Bunda akan kerja dan kita bisa bahagia sama-sama. Iya?" Senyum tipis terlukis di bibir Meira meski setengah dipaksakan. Senyum yang mengembang di tengah guyuran air bening di kedua matanya. Lagi-lagi Aldo mengangguk. Jagoan kecil itu benar-benar memahami bagaimana perasaan bundanya saat ini. "Andai kakek masih ada, bunda pasti tak akan sesedih ini." Aldo kembali menggumam di pelukan bundanya. "Kakek sudah tenang dan bahagia di sisi Allah, Sayang. Jadi, kita nggak boleh berandai-andai lagi. Allah akan menguatkan kita sepeninggal kakek, Sayang. Kita harus tetap semangat ya?" Lagi, Meira mengusap rambut anak semata wayangnya pelan. Keduanya kembali saling tatap lalu tersenyum bersamaan. "Aldo nggak akan menyusahkan bunda," ujarnya lagi. "Kamu nggak pernah menyusahkan bunda, Aldo. Percayalah. Kamu itu malaikat kecil bunda. Mana mungkin membuat bunda susah. Justru bunda yang minta maaf karena selama ini belum bisa mewujudkan semua keinginan kamu. Maaf ya, Sayang." Aldo menghela napas lalu menggamit lengan bundanya. "Aldo sayang sama bunda. Sayang banget." Tak kuasa membalas, Meira hanya mengeratkan pelukannya. Ibu dan anak itu saling peluk hingga sebuah taksi berhenti tepat di depan mereka. Keduanya masuk ke taksi lalu meminta supir menuju ke terminal. "Sekarang kita ke terminal bus, Sayang. Ada Tante Una yang menunggu di sana." "Memangnya Tante Una ikut ke Jogja, Bun?" "Nggak, cuma ingin lihat kita saja sebelum berangkat ke Jogja. Kamu tak perlu khawatir nanti tinggal di mana. Tante Una sudah minta tolong temannya untuk mencarikan kita tempat tinggal." Meira kembali tersenyum. "Alhamdulillah. Syukurlah, Bun. Tadi Aldo sempat khawatir kita mau tidur di mana." "Bunda sudah bilang kan? Nggak akan menjadikan ancaman nenek dan tantemu tadi menjadi kenyataan? Bunda akan berusaha membuatmu bahagia. Kita akan bahagia sama-sama, Sayang." Aldo melepaskan pelukan saat handphone bundanya berdering. Kedua mata Meira kembali berkaca saat membaca dan melihat foto yang terkirim di layar handphonenya. [Bukannya Baim kerja di Bandung ya, Mei? Apa sekarang dia liburan ke Jakarta? Soalnya aku lihat dia makan siang di Cafe Mahkota dengan seorang perempuan. Tadinya kupikir kamu karena stylenya mirip. Ternyata setelah dekat bukan kamu. Teman kantornya kali ya, apa clientnya?] Pesan dari Rosa, tetangga Meira membuat dadanya kembali berdebar. Meira berusaha positif thinking jika itu adalah teman kantor atau client suaminya, tapi ucapan Aldo tadi mendadak terngiang di benaknya. 'Mungkinkah itu yang bernama Vonny? Perempuan yang sempat diperkenalkan Mas Baim pada Aldo?' batin Meira bergejolak. "Kenapa, Bun? Apa ada pesan dari ayah?" Aldo tahu perubahan ekspresi bundanya. Dia ikut melirik layar handphone sang bunda yang masih menampilkan foto ayah dan seorang perempuan di depannya. Mereka sedang menikmati makanan yang terhidang di meja. "Itu Tante Vonny, Bun. Ayah bilang teman kerjanya." Meira menghela napas panjang lalu berusaha mengangguk pelan. Tak ingin menambah beban pikiran jagoan kecilnya, Meira mengiyakan dan meyakinkan Aldo jika itu adalah teman kerja ayahnya. "Enak jadi ayah ya, Bun. Punya banyak teman dan bisa makan enak-enak. Sementara bunda hanya di rumah saja, tiap hari cuma bisa dengerin omelan nenek dan Tante. Tapi sekarang Aldo lega karena kita akan pindah ke Jogja. Jadi, bunda nggak akan mendapatkan omelan nenek lagi. Bunda juga akan punya banyak teman kalau sudah kerja nanti. Aldo pun akan punya teman-teman baru." Ucapan dan wajah polos Aldo membuat Meira semakin terharu. Dia mengangguk pelan lalu mengusap puncak kepala anaknya lagi. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Meira mengirimkan pesan itu untuk suaminya, lebih tepatnya mantan suami. Tak lupa dia mengirimkan foto yang didapatkan dari Rosa tadi. Setelah itu, Meira mengambil sim card dari handphonenya lalu mengganti dengan kartu baru yang dia beli di depan sekolah Aldo tadi. Meira ingin move on. Berusaha melupakan kenangannya di masa lalu dan membuka lembaran baru mulai detik ini. ***"Assalamualaikum." Salam terdengar dan semua yang duduk di ruang tamu itu pun membalas salamnya. Tak hanya Rudy yang kaget melihat tamu itu, tapi juga Ken dan Hanum. Mereka saling tatap lalu Rudy meminta Hanum duduk kembali saat menantunya itu akan menyambut tamunya. "Biar bapak saja. Kamu ajak ngobrol mama dan papa dulu, Num," pinta Rudy sembari beranjak dari sofa. Laki-laki itu menatap tajam ke arah tamunya lalu menarik pergelangan tangan perempuan itu untuk menjauh. Di bawah pohon mangga halaman rumah, Rudy menghempaskan tangan perempuan itu. "Aku sudah cukup sabar selama ini, War. Bahkan setelah kujatuhkan talak pun, aku masih mengurusi tempat tinggal dan jatah iddahmu. Jangan bikin aku semakin muak dan menjadi mantan suami yang tega. Mau apalagi datang ke sini?" sentak Rudy tak terima kedatangan mantan istrinya itu. Rudy yakin Mawar sengaja datang tepat di saat kedua orang tua Ken berkunjung. Entah apa rencananya, tapi Rudy yakin jika itu rencana yang buruk. "Kamu apa-apaan
"Kenapa, Ken?!" pekik Sundari yang spontan memeluk menantunya lebih erat. "Hati-hati, Mas. Ada apa?" Hanum ikut bertanya. "Astaghfirullah. Ada kucing nyebrang tiba-tiba. Maaf, Ma, Pa, Sayang. Itu kucingnya sudah diseberang," tunjuk Ken ke seberang jalan. Seperti yang lain, Ken pun berdebar tak karuan. Dia nyaris menabrak kucing itu kalau nggak mengerem mendadak tadi. Jantungnya berdegup kencang. Ken memilih menepikan mobilnya lebih dulu untuk menetralkan debar dadanya. "Atau papa yang gantiin nyetir?" Wicaksono menawarkan. "Nggak, Pa. Tadi memang aku agak kurang fokus, makanya sedikit oleng saat ada kucing." Ken kembali melajukan mobilnya perlahan. "Kenapa kurang fokus? Ada masalah di kantor?" tanya Wicaksono lagi. Sundari mengusap punggung Hanum beberapa kali untuk menenangkan. Tak lupa mengusap perut menantunya yang makin membuncit itu. "Sudah nggak apa-apa," ujar Sundari pada Hanum. Kedua perempuan itu pun saling tatap lalu sama-sama tersenyum. "Nggak ada masalah, Pa. Cuma
Jarum jam menunjuk angka tujuh pagi. Suasana di rumah Ken cukup berbeda kali ini. Kemarin sore, papa dan mamanya datang dari Jogja untuk menjenguk mereka, sekalian akan berkunjung ke rumah besan. "Akhirnya mama merasakan kembali masakan Hanum," ujar Sundari di ruang makan. Hanum tersenyum, sembari menuangkan air putih ke gelas mertuanya. Dia sengaja menyiapkan sarapan pagi untuk mereka hari ini. Ada soto, rawon dan ayam goreng. Dibantu Bi Santi membuat sate telur puyuh, perkedel dan beberapa gorengan. "Kangen ya, Ma?" Ken menimpali. "Kangen banget. Nggak cuma masakannya yang bikin kangen, tapi orangnya juga. Bulan depan mama sudah longgar, nggak banyak kegiatan. Makanya, pengin ajak Hanum keliling Jogja. Nanti kalian bareng mama sama papa ke Jogja ya? Kita adakan acara empat bulanan Hanum sama tujuh bulanan Mbak Meira sekalian di sana biar makin seru," ujar Sundari begitu bersemangat. Ken menatap Hanum beberapa saat lalu sama-sama tersenyum. "Iya, Ma. Kan sejak awal juga begitu
Malam ini langit terlihat lebih cerah dengan hiasan beragam bintang. Malam pertama setelah Mawar pergi dari rumah yang sudah lebih dari 10 tahun dia tinggali. Rudy baru keluar dari pintu dengan secangkir teh hangat dan pisang goreng yang dibelinya di warung tadi. Dia memilih duduk di teras sembari menikmati cerahnya langit dan lalu lalang kendaraan di depan rumah. Sesekali terdengar suara tawa dari pos ronda yang tak jauh dari rumahnya. Baru menyeruput tehnya, tiba-tiba terdengar dering handphonenya di ruang tengah. Perlahan Rudy bangkit dari kursi lalu melangkah ke sofa ruang keluarga. Handphone masih menyala dengan seringnya yang nyaris usai. Senyum pria lebih dari setengah abad itu pun tampak jelas di sudut bibir. Anak kesayangannya memanggil, membuatnya lebih tenang tiap kali mendengar suara merdunya. "Assalamualaikum, Pak. Bapak lagi ngapain? Sudah makan?" tanya Hanum terdengar semringah dari seberang. "Wa'alaikumsalam, Num. Bapak lagi ngeteh sama makan pisang goreng di teras.
Heboh. Ulah Mawar tak hanya membuat keluarga Rudy berantakan, tapi juga menimbulkan kehebohan di lingkungan rumahnya. Para tetangga mulai sibuk membicarakan mantan istri dan anak tirinya itu. Rudy masih cukup bertanggungjawab atas kepergian mantan istrinya itu. Dia mencarikan kontrakan selama tiga bulan untuk Mawar, setidaknya sampai masa iddahnya selesai. Rudy tak mau melepas tanggungjawab begitu saja. Dia cukup tahu agama. "Biaya sewa sudah kulunasi sampai tiga bulan ke depan. Kamu tak perlu memikirkan soal itu. Aku juga akan memberikan nafkah iddah satu juta lima ratus ribu selama tiga bulan ke depan. Tenang saja, aku nggak akan lalai dengan tanggung jawabku sendiri. Tapi, kalau selama iddah kamu kembali berhubungan dengan lelaki itu, otomatis tanggungjawab nafkah iddahku selesai," ucap Rudy sebelum Mawar meninggalkan rumahnya. Mawar cukup kaget dengan pernyataan mantan suaminya itu. Namun, di balik rasa kecewanya karena diceraikan, Mawar masih bersyukur Rudy bertanggungjawab at
Pagi ini begitu cerah dan bersinar, tapi tidak buat Mawar. Semalaman menangis ternyata tak membuat nasibnya berubah. Tetap saja mendung dan suram. Bahkan sepagi ini dia sudah menata semua barang-barang penting miliknya dan milik Rena. Wajahnya sembab karena kebanyakan menangis. Dia juga sudah mulai lelah merutuki diri sendiri, menyesali semua kekhilafannya dan memaki orang-orang yang menyakitinya. Namun, tak ada manfaat. Hatinya justru semakin pedih dan sakit. Jarum jam menunjuk angka enam dini hari. Suasana di sekitar rumah yang biasanya lengang, entah mengapa ini mulai berisik. Ada yang menyapu di halaman, dengan obrolan-obrolan yang benar-benar terdengar jelas di telinganya. Pagi hari yang dia harapkan sedikit lebih menenangkan, nyatanya membuat hati Mawar semakin panas. "Kalian tahu kan soal Jeng Mawar." Suara tetangga terdengar lagi. "Videonya viral di mana-mana.""Video apa? Saya belum tahu.""Dih, kamu mah jeng. Sibuk kerja makanya nggak tahu gosip terhot di kampung kita."