“Yasmin,” ucapnya. Aku perlahan membuka mata dan membalas tatapannya. Matanya begitu teduh menenangkan. Rasanya aku ingin tenggelam di sana.“I-iya,” jawabku masih gugup. Debaran jantung semakin tak menentu.“Eemh ….” Dia kemudian bangkit dan duduk bersila. Aku pun mengikuti hingga kami berhadapan.“Maaf, kalau saya belum bisa memberikan … nafkah batin sama kamu,” ucapnya dan menelan saliva berat.Deg.Apa karena wanita cantik itu masih belum bisa dia lupakan? Aku bertanya dalam hati, tetapi tak mampu aku ungkapkan.“Ah, tidak apa-apa,” jawabku dengan suara sedikit gemetar. Ingin aku menanyakan alasannya, tetapi malu rasanya.“Kita baru kenal beberapa minggu. Masih butuh waktu bagi kita untuk saling mengenal lebih jauh,” lanjutnya. Aku pun mengangguk pelan.“Apa kamu tidak keberatan?” tanyanya lagi dan membuat aku kembali gelagapan.“Ah, tentu tidak, Pak Dokter,” jawabku sambil mengibaskan tangan.“satu lagi,” katanya. Aku pun kembali mendongak menatapnya.“Bisakah kamu untuk tidak me
POV Yasmin“Siapa lagi?” tanya dr.Radit yang masih fokus menyetir.“Emh, itu … Bu Mae,” jawabku pelan.“Bu Mae ibunya Mas Agus?” katanya melirikku sekilas.“Mas tahu?” Aku menatapnya penasaran.“Ya, tahu. Waktu kecil sampai SMA aku sering bertemu sama Bu Mae. Aku juga tahu masa kecilnya Mas Agus. Dia sering meledek dan menghinaku kalau bermain,” katanya. Bagaimana aku sampai lupa jika mereka satu kampung. Aku hanya memperhatikan dr.Radit bercerita sambil menyetir. Begini saja aku sudah merasa senang, karena dia mau mulai terbuka. Bahagia rasanya karena aku dianggap ada.“Dia anak orang terpandang. Ayahnya pernah jadi kepala desa. Sedangkan aku hanya seorang anak yatim yang dibesarkan oleh seorang ibu yang hanya pembuat kue,” lanjutnya membuatku terenyuh.“Tapi … walaupun begitu, Bu Wati hebat. Dia bisa menjadikan Mas Adit seorang dokter,” timpalku membesarkan hatinya.Dia menyungging senyum. Manis sekali.“Beliau memang seorang wanita yang hebat. Tak peduli cacian orang, dia terus ber
“Mas Adiitt!” pekiknya sambil berdiri menghalangi jalan. Dr.Radit langsung menghentikan mobilnya. Untung saja dia menjalankan mobilnya pelan-pelan, kalau tidak, mungkin perempuan itu sudah tertabrak.“Lilis. Bahaya itu,” ujar dr.Radit sambil mengeluarkan kepalanya dari jendela.“Ah, biarin. Lilis seneng banget bisa ketemu Mas Adit lagi,” katanya sambil mendekati jendela mobil. Dr.Radit hanya geleng-geleng kepala.“Lilis ikut, ya?” tanyanya sambil melihat-lihat ke area aku dan Bu Wati duduk.Terdengar dr.Radit mengembus napas kasar. Dia menatap bingung pada wanita yang disebut Lilis itu, yang tanpa malu langsung berputar ke sebelah kiri mobil.“Bukaaa,” katanya dengan nada yang manja sambil menarik-narik handle pintu. Dr.Radit memutar bola mata lalu menekan tombol di sebelahnya hingga pintu itu bisa dibuka.“Yeeaa!” Dia bersorak ketika sudah duduk di sebelah dr.Radit. Lalu mobil kembali melaju, sementara Lilis dengan hebohnya menyapa setiap orang yang ada di jalan.Mataku melebar saat
POV Maemunah“Pak, minta duit dong. Gas abis nih. Mana beras juga tinggal sedikit,” cerocosku pada bapaknya anak-anak. Dia lagi asik mandiin burung di halaman.“Duit Bapak tinggal 50 ribu, nih,” katanya sambil merogoh saku celana. “Berapa emang gas?”“Dua puluh lima ribu. Kagak cukup ini mah. Cuman bisa beli gas sama beras dual liter juga abis.” Aku menggerutu.“Ya gimana, duitnya tinggal segitu. Cukup-cukupin aja dulu,” katanya sambil terus aja ngurusin ntu burung. Kesel. Bukannya pergi nyari duit.“Jual aja burungnya, buat makan.” Aku memberengut sambil menyambar lembaran warna biru itu.“Huush! Enak aja. Ini burung mahal. Kalo dijual bisa jutaan ini.”“Makanya jual aja, biar dapet duit buat makan.” AKu semakin kesal.“Langkahi dulu mayatku! Ini burung udah kurawat seperti anak sendiri.” Suamiku menghalangi sangkar burung yang mau kuambil.“Kalo gitu, cari duit sana! Masa iya mau makan angin?” Aku berjingkat dari sana. kesal juga punya suami kagak mau cari duit.Pergi ke warung Bu I
“Iya, Bu Badru. Ini saya, Bu Mae. Ada gamis yang bagus, ga?” tanyaku.“Gamis? Oh, ada. Kebetulan saya baru pulang dari Pasar Baru ini. Stok masih baru semua belum ada yang nyentuh. Bu Mae mau?” tawarnya.Iyes! Bagus.“Ya sudah, saya ke sana sekarang ya, Bu.”Klik. Aku menutup telepon tanpa menunggu dia menjawab.Sambil mengendap-endap, aku ke rumahnya Bu Badru yang tak begitu jauh dari rumahku. Hanya 100 meter. Demi gamis baru, harus berjuang walaupun hari lagi panas-panasnya.“Samlikum, Bu Badru.” AKu mengetuk pintunya sambil larak-lirik ke kiri dan ke kanan takut ada yang melihat. Tak lama pintu terbuka dan menunjukan wajah Bu Badru yang masih keringetan.“Ayo masuk Bu Mae. Saya baru aja pulang belanja stok,” katanya. Aku mengangguk dan segera masuk.“Pintunya tutup aja Bu Badru, biar gak silau.” AKu beralasan, paadahal takut ada yang mergoki. Wanita bertubuh gempal itu menuruti keinginanku.Wah, ternyata memang benar. Ada banyak baju baru di tas besar dagangannya Bu BAdru. Aku lang
“Eh, Bu Badru, enak aja kalau ngomong. Kamu salah lihat, kali, atau lupa. Kapan aku ambil baju dari kamu?” ibunya Mas Agus langsung marah saat ditegur oleh ibu-ibu yang disebut Bu Badru. Namun, Bu Badru tak mau kalah. Dia semakin berani menarik baju yang sedang dikenakan oleh mantan ibu mertuaku.“Salah lihat? Lupa? Apanya yang lupa? Bu Mae, kan, baru tadi siang datang ke rumah saya buat ngambil baju. Nggak mau pake DP. Mana langsung dipake segala. Nggak malu apa? Bilangnya aja banyak duit, buat uang DP aja kagak sanggup.” Bu Badru mendongak dengan wajah menantang.Aku dan dr.Radit salling melempar pandang. Aneh rasanya di hajatan orang mereka malah bertengkar. Dan kini mereka malah saling menarik jilbab masing-masing. Bu Mae mendorong kuat tubuh Bu Badru yang gempal hingga mau terjengkang. Namun, Bu Badru mempertahankan keseimbangannya dengan memegang pada baju Bu Mae. Kain brokat itu rupanya tidak kuat menahan beban tubuh Bu Badru yang besar hingga ….Sreettt.Baju yang sedang mer
“Emmh, sebenernya, sih, saya nggak berani. Tapi … buat Bu Mae saya tawar 2 juta setengah. Gimana?” tawarnya lagi.Waah, lumayan ini bisa naik 500 ribu. “Ok, lah. DP-in dulu sini, 500 ribu. Nanti saya bawa burungnya ke sini.” Aku berbisik lagi.“Ok.” Pak Didi merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompet yang tebal. Wuiihh, terlihat deretan duit merah berjejal di sana. Keren juga Pak Didi, nggak kayak suamiku yang ngasih duit jarang-jarang.Aku bergegas pulang setelah mendapat lima lembar berwarna merah dari Pak Didi. Saat tiba di rumah, ternyata burung itu sedang siap-siap dimasukan ke dalam rumah oleh suamiku.“Jam segini masih saja ngurusin burung. Si Minul aja dimandiin, yang punyanya masih dekil,” sindirku. Suamiku langsung menoleh.“Kenapa bajumu sobek begitu, Bu?” tanyanya heran.“Digigit anjing gila,” jawabku ketus. “Udah sana, mandi. Kagak usah ngurusin aku.” Aku mengusirnya.“Iya, bentar, masukin dulu si Minul,” katanya.“Halah, ntar aja. Aku pengen lihat secantik apa si Min
POV Maemunah“Bu, Bu.” Terdengar suara Mas Undang sambil menggoyang-goyangkan tubuhku. Emangnya aku kenapa tadi?Aku mengerjapkan mata sambil mengingat-ingat kejadian sebelum pingsan.Si Minul. Astaga. Aku berasa pengen kembali pingsan tapi tidak bisa. Pokoknya aku harus ambil lagi itu burung, bagaimanapun caranya. Enak saja si Pak Didi beli burung itu dengan setengah harga. Pantesan dia ijo saat aku bilang si Minul mau dijual.“Ibu kenapa pingsan segala?” tanya Mas Undang. Harus jawab apa coba?“Aku … aku kaget waktu kamu bilang soal harganya si Minul, sementara dia sudah hilang,” jawabku setengah berbohong.Mas Undang mengambilkanku segelas air dan aku langsung menghabiskannya. Haus juga tadi abis makan Lemonilo belum minum, langsung pingsan.Pokoknya aku harus menyusun rencana agar si Minul balik lagi ke tanganku. Apapun caranya. Malam ini, aku mau ambil lagi itu si Minul. Soal uangnya, nanti saja aku balikin kalau si Minul udah beneran laku 5 juta. Atau … aku bikin aja drama seol