POV Lilis.Tunggu, bagaimana mungkin mereka bisa tahu kalau aku sedang hamil? Aku melongo melihat keributan ini.“Iya, ayo kita bawa saja ke dokter biar yakin.” Mbak Santi menimpali ucapan ibunya.Mampus gue!“Eh, eh, sebentar-sebentar. Kenapa kalian mau maksa aku ke dokter. Aku nggak mau pokoknya! Ini fitnah! Pencemaran nama baik.” Aku meneriaki mereka yang terus saja menarik tanganku.“Heh, tadi, aku dan Mbak Santi udah ngetes air kencing kamu pake tespek dan hasilnya positif. Masih juga kamu mau nyangkal, hah?” bentak Mas Agus.Aku langsung menatap kakak ipar yang tadi pagi sempat meminta aku menampung air kencing yang katanya untuk membuat Mas Agus menurut padaku, tapi ternyata semua itu bohong. Rupanya ini hanya akal-akalan mereka saja untuk mengetesnya.“Sorry, ya, Lis. Aku cuman bantu adekku aja. Soal itu bikin kamu kesel, resiko kamu sendiri udah bohongin kami semua,” katanya dengan enteng.“Sekarang kamu jawab, anak siapa yang ada di perutmu itu?” bentak Mas Agus dengan mata
“Hei, Bu Mae. Apa-apaan ini? kenapa kalian mengarak anakku seperti ini? kalian anggap apa si Lilis?” teriak Ibu lagi yang sepertinya berbicara pada Bu Mae dan ibu-ibu yang mengiringinya.“Hei, Bu Kardun, kamu sudah membohongi kami. Ternyata si Lilis sudah hamil duluan. Sekarang dia mau dibawa ke rumah orang yang seharusnya bertanggungjawab!” kata Bu Mae sama-sama berteriak.“Si-siapa?” tanya Ibu tergagap.“Siapa lagi kalau bukan si Adit? Dokter mesum yang sok baik,” katanya lagi. Aku semakin tertawa dalam hati.Ibu pasti setuju kalau dr.Adit yang mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya tugas si Wahyu. Dr.Adit jauh lebih ganteng dan lebih mapan.“Waduh, jadi yang hamilin si Lilis itu Dokter Adit?” terdengar ibu-ibu itu menanyakannya pada Bu Mae.“Ya, itu kata si Lilis. Bener nggaknya saya juga nggak tahu. Makanya sekarang mau ditanyakan sama si Adit,” jawab Bu Mae.“Kalau seandainya bener, nggak nyangka banget ya. Dia itu dokter paling terkenal baik di sekecamatan ini. Dia udah
“Emh, itu … iya, Pak Dokter, saya sedang mengandung anaknya Pak Dokter,” ucap Mbak Lilis sambil senyam-senyum genit.Mas Adit semakin melongo dengan keningnya tambah mengerut. “Saya?” tanyanya bingung. “Kapan saya nyentuh Lilis?”“Ah, Pak Dokter. Kalau kemarin belum nyentuh Lilis, sekarang, kan, bisa,” katanya yang langsung mendekat dan menarik tangan Mas Adit tanpa malu. Mataku melebar. Hatiku terasa panas.“Maaf, Lis. Kenapa jadi begini?” tanya Mas Adit menepis sopan tangan Mbak Lilis yang terus menarik tangan suamiku.“Kalian ngaku saja! Aku tidak mau menanggung perbuatan orang lain! usir saja si Lilis dan si Adit dari kampung ini!” teriak Mas Agus lantang.“Iya, usir saja manusia mesum dari kampung ini. bikin sial!” teriak Bu Mae.“Sebentar, ibu-ibu. Saya tidak mengerti dengan tuduhan ini. Saya sama sekali tidak pernah wanita selain istri saya,” ujar Mas Adit dengan tangan menunjuk padaku.“Kalau istri saya hamil, tentu saja saya tidak akan mengelak dari tanggungjawab. Kalau saya
Aku terkesima dengan kata-kata yang diucapkan oleh Mas Adit. Aku pikir dia tidak mengelak karena mengakuinya, ternyata … begitu.“Ayo, buktikan saja, Lis, kalau bayi itu memang anaknya si Adit!” kata Bu Mae penuh semangat.Mbak Lilis tampak salah tingkah dan melirik pada ibunya.“Mbak Lilis berani, kalau misalnya Mas Adit minta tes DNA?” Aku menimpali.Mas Agus mengangguk-angngukan kepalanya sambil menatap Mbak Lilis.“Tes DNA gimana maksdunya?” Mbak Lilis tampak kebingungan.“Tes DNA, ngetes bayi ini dengan si Adit. Dengan tes itu bisa dilihat apakah benar bayi ini anaknya si Adit atau bukan.” Mas Agus yang bantu menjawab sambil berkacak pinggang.“Eemh, itu … kenapa harus dites segala?” Mbak Lilis celingukan. Wajahnya terlihat semakin pucat.“Kalau hasil tesnya menunjukan jika bayi ini benar anaknya Mas Adit, Mbak Lilis berhak untuk minta tanggungjawab dari suami saya. Tapi jika hasilnya ternyata tidak sesuai, jangan salahkan jika Mas Adit menuntut Mbak Lilis atas pencemaran nama b
Apa? aku tersentak kaget. Jadi, ternyata Mbak Lilis beneran hamil?“Kami bawa ke sini, agar bisa dicek juga sama Dokter Radit. Apa kamu bisa tolong bilang sama dia?” pinta Mbak Santi. Aku terpaku sejenak. Namun, sedetik kemudian kembali sadar.“Baiklah, tunggu sebentar. Tapi saya harap, jika memang Mbak Lilis terbukti hamil, Mbak Lilis harus mengatakan siapa ayah sebenarnya dari bayi itu,” ujarku sebelum akhirnya berbalik menuju ke dalam.Kembali terdengar riuh ibu-ibu yang mencibir Lilis karena dia sudah berbohong juga karena telah hamil sebelum nikah.Aku mencari Mas Adit ke dalam rumah. Dia ternyata sedang sarapan dengan santainya. Sandwich telur, keju dan sayuran kesukaannya.“Mas, Mbak Lilis hamil,” kataku mendekatinya.“Ya terus kenapa? Biarin saja. Kita buktikan saja di pengadilan,” katanya lalu meneguk susu.“Bukan begitu. Mbak Lilis sudah mengakui kalau dia melakukan itu karena didesak oleh Mas Agus dan Mbak Santi. Dia bilang dia tidak hamil—““Membingungkan. Katanya hamil,
POV Maemunah“Hei, Bu Kardun, tunggu!” Aku berteriak sambil mengejar besanku itu. Bu Kardun seperti yang ketakutan karena terus saja berlari.Agus dan Santi juga ikut mengejar di belakang. Ibu-ibu yang ada di depan warung Bu Ipah, celingukan melihat pada kami.Bu Kardun hampir sampai di rumahnya. Dia semakin mempercepat langkahnya. Aku tak ingin sampai ketinggalan, lalu aku percepat langkah kaki. Wuussh … seperti Ultraman.“Eiit, tunggu dulu Bu Kardun.” AKu menarik tangannya yang hampir saja membanting pintu.“Apa-apaan, sih, Bu Mae ini? Kok maksa mau masuk ke rumah orang?” Bu Kardun berusaha menutup pintu rumahnya.“Tunggu dulu, kita perlu bicara.” Aku semakin mendorong pintu itu kuat-kuat hingga Bu Kardun terjengkang ke belakang. Hahaha. Puas. Itu balasan untuk penipu.“Kenapa Bu Kardun malah lari saat saya bilang mau bicara?” Aku menyeringai. “Apa karena Bu Kardun sudah menyadari kelicikan Bu Kardun pada saya dan Agus?” tuduhku.“Licik? Siapa yang licik? “ katanya sambil mundur den
Beberapa hari berlalu. Aku ketakutan. Takut jika Pak Kardun benar-benar melaporkanku ke polisi. Aku hanya berdiam diri di kamar. Setiap hari aku suruh Agus yang belanja ke warung untuk beli sayuran juga beras. Uang yang semakin minim, sisa pinjaman dari bank yang banyaknya sudah kubuang-buang untuk pesta pernikahan yang hanya berumur satu hari.Kenapa si Agus ini nasibnya buruk sekali? Umur perkawinannya selalu pendek. Cuma satu hari. Padahal pestanya ngabisin duit banyak. Pengen mewek rasanya. Mana ke bank haru tetap dibayar. Gaji Mas Undang tinggal sisa beberapa ratus ribu karena dipotong langsung oleh bank.“Bu, ada surat,” kata Mas Undang mengetuk-ngetuk pintu kamar.Surat? Dari mana? Jam segini pula. Oh, mungkin karena jauh, jadi kurirnya baru sampai jam segini.“Dari mana, Pak?” tanyaku dari atas tempat tidur.“Dari … polisi. Ini surat panggilan kayaknya,” kata Mas Undang lagi.Mampus! Ini pasti si Kardun yang udah melapor. Harus gimana ini? aku nggak mau kalau sampe dipenjara.
POV Maemunah“Ayo buruan bangun!” Mas Undang menarik tanganku lagi. Dia awalnya narik tangan Pak Didi, tapi aku ikut keangkat karena kami saling menempel.Ini kenapa, sih, bisa jadi gini? Punya Pak Didi beneran kayak kesedot gitu. Nempel di dalem gak bisa lepas. Parah. daripada begini, aku mendingan dipenjara aja, deh. Nggak terlalu malu-maluin. Kalau begini, malah jadi tontonan orang sekampung.“Nggak bisa lepas, Pak Undang. Kami nempel,” kata Pak Didi sambil meringis kesakitan. Akupun juga sama, sakit banget. Perih.“Kalau begitu kita angkut saja mereka pakai keranda mayat,” kata Mas Undang. Waduhh, edan. Apalagi orang-orang pada berteriak setuju dan terdengar orang yang lari setelah Mas Undang menyuruhnya mengambil keranda di mesjid.“Apa-apaan ini? kami ini masih hidup, bukan mayat,” ucap Pak Didi saat orang-orang mulai mengangkat tubuh kami. Kain yang menyelimuti kami hampir saja merosot kalau saja aku tidak menahannya.“Pak Didi, tahan kainnya jangan sampai lepas. Malu saya.” AK