Share

DOA KUBUR TAK SEMPURNA
DOA KUBUR TAK SEMPURNA
Penulis: Citra Rahayu Bening

PERCANTIK DAN TUNTASKAN DENDAM

“Uang memang manis, Jenderal! Namun, aku lebih tertarik dengan tetesan darah dari daging tubuhmu yang tersayat.”

“Siapa kamu? Apa yang kau inginkan? Di mana gadis itu?”

Pria berjubah hitam dengan balaclava full wajah yang hanya menyisakan lubang di kedua mata tertawa terbahak-bahak.

Langkah kaki bersepatu boots penuh lumpur mendekat ke arah tubuh pria tergantung dengan kedua kaki terikat tali ke plafon. Dalam posisi terbalik, beberapa kali ia meludah dengan emosi.

Sang pria meronta sekuat tenaga dengan kedua tangan terikat menjuntai hampir menggapai lantai. Ia bisa pastikan, tubuhnya akan jadi sasaran cambuk dan torehan belati si jubah hitam kembali.

Namun, apa daya perwira polisi bertubuh tegap bertelanjang dada tersebut, kini tergantung lemah mulai kehabisan darah.

Beberapa bagian tubuh tampak penuh bekas sabetan dan luka sayatan yang menganga. Dari urat nadi kedua tangan yang sengaja dilubangi, tetesan darah sudah mulai tersendat-sendat.

“Ha ha ha ... darahmu hanya segini doang, Jendral?”

Si jubah hitam jongkok mengamati wadah plastik berisi cairan merah tersebut. Sesaat kemudian, ia memidai sekeliling ruangan yang tampak kotor dan berdebu di semua bagian.

“Nduk, kamu di mana? Bapak udah dapatkan kesukaanmu.”

Terdengar suara desiran angin beraroma anyir bercampur bau bangkai menguar di sekeliling si jubah hitam.

“Baumu udah busuk lagi. Bapak siapin ritual dulu. Sengaja Bapak lakuin pagi hari, biar banyak darah terkumpul.”

Pria jubah hitam bangkit perlahan lalu berdiri menatap tubuh perwira polisi yang tergantung sudah tak bernyawa. Ia mengambil kapas dan mengusap bekas luka lalu memerasnya ke dalam wadah plastik.

“Bapak rasa udah tak ada darah tersisa di tubuh pria bajingan ini. Kamu siap-siap jadi cantik dan harum lagi. Jerat para pria durjana yang telah merenggut paksa kehormatan dan hidupmu.”

Desiran angin beraroma anyir bercampur busuk perlahan menghilang. Pria jubah hitam melangkah ke luar ruangan, lebih tepatnya sebuah gudang tua yang mulai reyot.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak ke belakang gudang menuju sebuah hutan. Langkahnya sudah sampai di sebuah gundukan tanah yang baru dua bulan ia buat khusus untuk menguburkan jasad sang putri. Pria ini terpaksa memindahkan jasad yang telah terkubur setahun demi sebuah ritual.

Pria berjubah hitam melepas balaclava lalu membuka gembok sebuah papan tak jauh dari gundukan. Tampak kini sesajen berisi nasi dengan aneka lauk dan juga satu stoples berisi bunga tujuh rupa.

Ia sengaja membuat sebuah kotak bercor semen untuk penyimpan sarana ritual. Tangan pria separuh umur ini agak gemetar mengambil sesajen karena semalam menaikkan dan mengikat tubuh tinggi besar sang jenderal teramat menguras tenaganya.

Bau anyir bercampur busuk bangkai menguar bersama angin semilir mengitari gundukan tanah. Pria ini tersenyum lalu segera menuangkan air bunga ke dalam darah di dalam wadah plastik. Sesajen diletakkan di sebuah cor semen khusus, sebelah kepala gundukan.

Sekarang penutup kecil di kepala gundukan dibuka. Pria berjubah merapalkan mantra persembahan bagi penguasa kegelapan. Dupa dan kemenyan telah dihidupkan. Aroma wangi dupa bercampur bau mistis kemenyan berbaur mengelilingi area pekuburan keramat. Asap kedua benda tersebut menggumpal dan menghitam.

Gumpalan asap semakin pekat membentuk sosok tinggi, yang tampak hanya kedua mata bersinar hijau. Sosok tersebut mengeluarkan suara mendesis dari garis lengkung di bawah mata. Garis ini semakin melebar hingga memutuskan separo bagian atas bermata hijau.

Bagian yang terlepas jatuh lalu membulat mirip bola dan seketika menggelinding ke arah pria berjubah. Sosok gumpalan asap seketika lenyap. Sementara sesuatu serupa bola semakin mendekat ke arah pria berjubah berubah warna menjadi hijau bersinar bagai lampu pijar. Si pria berjubah segera memutar posisi duduk dengan menghadap bola pijar hijau.

“Hatur kasih Sinuhun sudah sudi rawuh [datang. Jw],” ucap pria berjubah sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Bola pijar mengeluarkan air beraroma anyir dan wangi melati dari sisi depan. Pria berjubah segera menampungnya dengan botol plastik hingga penuh. Air seketika berhenti mengalir dan terdengar suara desis dari lubang air.

“Mangsaku kali ini benar-benar nikmat ... Hi hi hi hi.”

Suara barusan menghilang bersamaan dengan lenyapnya bola pijar. Pria berjubah tersenyum bahagia telah memuaskan nafsu makan bangkai Sang Ratu Ular. Ia segera mengambil wadah campuran darah dan air bunga setaman lalu memercikkan sedikit air dari botol. Mulut pria ini komat-kamit baca mantra kemudian mendekat ke arah lubang gundukan.

“Nduk, kamu siap-siap tebar pesona lagi. Ambil yang kau suka dari korbanmu. Bapak akan bantu tuntaskan dendam kamu.”

Kemudian dengan corong kecil, pria berjubah mulai tuangkan cairan berwarna merah bening ke lubang hingga tandas. Sesaat setelah cairan sudah tak tersisa, tiba-tiba dari lubang keluar aroma wangi bunga. Dari lubang yang sama kemudian keluar asap putih lalu menyelimuti area gundukan. Sang jubah hitam tertawa bahagia.

“Nduk, kamu udah cantik dan wangi kembali. Buruan kejar mangsamu kembali,” ucap pria berjubah sembari bangkit menatap asap yang mulai menggumpal membentuk sebuah sosok.

Kini di hadapan pria berjubah ini berdiri sosok gadis cantik jelita. Jauh lebih molek dan menarik dari semasa hidupnya.

“Aku Nikita Surasmi anak Atmo Sukiman si kembang desa telah kembali untuk menuntut balas,” ucap gadis molek berambut ikal sepinggang sembari tertawa nyaring hingga binatang seisi hutan berhamburan keluar.

“Pergilah, Nduk! Tuntaskan dendammu,” suruh Pak Atmo sembari percikan air dari botol.

Seketika sekujur tubuh gadis ini mengeluarkan bara api dan Pak Atmo gegas menyingkir karena tak ingin ikut terbakar. Dalam hitungan detik tubuh berkobar tersebut lenyap. Tinggal Pak Atmo dengan tawa terbahak-bahak siap untuk mengeksekusi korban berikutnya.

Utang kematian sang anak harus terlunasi dengan cara yang lebih menyakitkan hingga bisa menghantui hidup para pelaku sebelum menemui ajal mereka. Walau setelah tawanya reda, Pak Atmo tertunduk lesu lalu berurai air mata menyesali nasib yang menimpa sang putri satu-satunya.

“Dewi Sukanti, istriku. Pelan tapi pasti kesedihanmu akan terbayar, meski kalian tak bisa dihidupkan kembali. Janji ini akan kulaksanakan agar kau tenang di alam kubur bersama putri kita,” kata pria berjubah ini sembari mengelap tetesan air bening dari kedua kelopak matanya.

Pak Atmo kini mulai membersihkan sisa ritual dan menutup kembali lubang di gundukan tanah. Ia beranjak ke kotak penyimpanan barang ritual. Jubah dilepas lalu menyimpannya dalam kotak bersama alat-alat ritual.

Sesajen sengaja ia tinggalkan di atas gundukan agar jadi makanan hewan liar. Atmo Sukiman kini merapikan baju dan celana serta kembali memakai topi caping. Ia telah siap kembali bertugas sebagai penggali kubur tempat pemakaman umum. Senyum sumringah mengiringi setiap langkahnya menuju tempat kerja dengan melewati gudang tua.

“Ah, rupanya gagak-gagak Sang Ratu tengah berpesta. Tubuh perwira ini sangat berisi, mereka pasti puas menyantap dagingnya,” ujarnya sembari melihat puluhan burung pemakan bangkai tersebut beterbangan lewat genting yang pecah serta pintu dan jendela yang sengaja ia buka lebar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status