“Uang memang manis, Jenderal! Namun, aku lebih tertarik dengan tetesan darah dari daging tubuhmu yang tersayat.”
“Siapa kamu? Apa yang kau inginkan? Di mana gadis itu?”Pria berjubah hitam dengan balaclava full wajah yang hanya menyisakan lubang di kedua mata tertawa terbahak-bahak.Langkah kaki bersepatu boots penuh lumpur mendekat ke arah tubuh pria tergantung dengan kedua kaki terikat tali ke plafon. Dalam posisi terbalik, beberapa kali ia meludah dengan emosi.Sang pria meronta sekuat tenaga dengan kedua tangan terikat menjuntai hampir menggapai lantai. Ia bisa pastikan, tubuhnya akan jadi sasaran cambuk dan torehan belati si jubah hitam kembali.Namun, apa daya perwira polisi bertubuh tegap bertelanjang dada tersebut, kini tergantung lemah mulai kehabisan darah.Beberapa bagian tubuh tampak penuh bekas sabetan dan luka sayatan yang menganga. Dari urat nadi kedua tangan yang sengaja dilubangi, tetesan darah sudah mulai tersendat-sendat.“Ha ha ha ... darahmu hanya segini doang, Jendral?”Si jubah hitam jongkok mengamati wadah plastik berisi cairan merah tersebut. Sesaat kemudian, ia memidai sekeliling ruangan yang tampak kotor dan berdebu di semua bagian.“Nduk, kamu di mana? Bapak udah dapatkan kesukaanmu.”Terdengar suara desiran angin beraroma anyir bercampur bau bangkai menguar di sekeliling si jubah hitam.“Baumu udah busuk lagi. Bapak siapin ritual dulu. Sengaja Bapak lakuin pagi hari, biar banyak darah terkumpul.”Pria jubah hitam bangkit perlahan lalu berdiri menatap tubuh perwira polisi yang tergantung sudah tak bernyawa. Ia mengambil kapas dan mengusap bekas luka lalu memerasnya ke dalam wadah plastik.“Bapak rasa udah tak ada darah tersisa di tubuh pria bajingan ini. Kamu siap-siap jadi cantik dan harum lagi. Jerat para pria durjana yang telah merenggut paksa kehormatan dan hidupmu.”Desiran angin beraroma anyir bercampur busuk perlahan menghilang. Pria jubah hitam melangkah ke luar ruangan, lebih tepatnya sebuah gudang tua yang mulai reyot.Ia berjalan menyusuri jalan setapak ke belakang gudang menuju sebuah hutan. Langkahnya sudah sampai di sebuah gundukan tanah yang baru dua bulan ia buat khusus untuk menguburkan jasad sang putri. Pria ini terpaksa memindahkan jasad yang telah terkubur setahun demi sebuah ritual.Pria berjubah hitam melepas balaclava lalu membuka gembok sebuah papan tak jauh dari gundukan. Tampak kini sesajen berisi nasi dengan aneka lauk dan juga satu stoples berisi bunga tujuh rupa.Ia sengaja membuat sebuah kotak bercor semen untuk penyimpan sarana ritual. Tangan pria separuh umur ini agak gemetar mengambil sesajen karena semalam menaikkan dan mengikat tubuh tinggi besar sang jenderal teramat menguras tenaganya.Bau anyir bercampur busuk bangkai menguar bersama angin semilir mengitari gundukan tanah. Pria ini tersenyum lalu segera menuangkan air bunga ke dalam darah di dalam wadah plastik. Sesajen diletakkan di sebuah cor semen khusus, sebelah kepala gundukan.Sekarang penutup kecil di kepala gundukan dibuka. Pria berjubah merapalkan mantra persembahan bagi penguasa kegelapan. Dupa dan kemenyan telah dihidupkan. Aroma wangi dupa bercampur bau mistis kemenyan berbaur mengelilingi area pekuburan keramat. Asap kedua benda tersebut menggumpal dan menghitam.Gumpalan asap semakin pekat membentuk sosok tinggi, yang tampak hanya kedua mata bersinar hijau. Sosok tersebut mengeluarkan suara mendesis dari garis lengkung di bawah mata. Garis ini semakin melebar hingga memutuskan separo bagian atas bermata hijau.Bagian yang terlepas jatuh lalu membulat mirip bola dan seketika menggelinding ke arah pria berjubah. Sosok gumpalan asap seketika lenyap. Sementara sesuatu serupa bola semakin mendekat ke arah pria berjubah berubah warna menjadi hijau bersinar bagai lampu pijar. Si pria berjubah segera memutar posisi duduk dengan menghadap bola pijar hijau.“Hatur kasih Sinuhun sudah sudi rawuh [datang. Jw],” ucap pria berjubah sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.Bola pijar mengeluarkan air beraroma anyir dan wangi melati dari sisi depan. Pria berjubah segera menampungnya dengan botol plastik hingga penuh. Air seketika berhenti mengalir dan terdengar suara desis dari lubang air.“Mangsaku kali ini benar-benar nikmat ... Hi hi hi hi.”Suara barusan menghilang bersamaan dengan lenyapnya bola pijar. Pria berjubah tersenyum bahagia telah memuaskan nafsu makan bangkai Sang Ratu Ular. Ia segera mengambil wadah campuran darah dan air bunga setaman lalu memercikkan sedikit air dari botol. Mulut pria ini komat-kamit baca mantra kemudian mendekat ke arah lubang gundukan.“Nduk, kamu siap-siap tebar pesona lagi. Ambil yang kau suka dari korbanmu. Bapak akan bantu tuntaskan dendam kamu.”Kemudian dengan corong kecil, pria berjubah mulai tuangkan cairan berwarna merah bening ke lubang hingga tandas. Sesaat setelah cairan sudah tak tersisa, tiba-tiba dari lubang keluar aroma wangi bunga. Dari lubang yang sama kemudian keluar asap putih lalu menyelimuti area gundukan. Sang jubah hitam tertawa bahagia.“Nduk, kamu udah cantik dan wangi kembali. Buruan kejar mangsamu kembali,” ucap pria berjubah sembari bangkit menatap asap yang mulai menggumpal membentuk sebuah sosok.Kini di hadapan pria berjubah ini berdiri sosok gadis cantik jelita. Jauh lebih molek dan menarik dari semasa hidupnya.“Aku Nikita Surasmi anak Atmo Sukiman si kembang desa telah kembali untuk menuntut balas,” ucap gadis molek berambut ikal sepinggang sembari tertawa nyaring hingga binatang seisi hutan berhamburan keluar.“Pergilah, Nduk! Tuntaskan dendammu,” suruh Pak Atmo sembari percikan air dari botol.Seketika sekujur tubuh gadis ini mengeluarkan bara api dan Pak Atmo gegas menyingkir karena tak ingin ikut terbakar. Dalam hitungan detik tubuh berkobar tersebut lenyap. Tinggal Pak Atmo dengan tawa terbahak-bahak siap untuk mengeksekusi korban berikutnya.Utang kematian sang anak harus terlunasi dengan cara yang lebih menyakitkan hingga bisa menghantui hidup para pelaku sebelum menemui ajal mereka. Walau setelah tawanya reda, Pak Atmo tertunduk lesu lalu berurai air mata menyesali nasib yang menimpa sang putri satu-satunya.“Dewi Sukanti, istriku. Pelan tapi pasti kesedihanmu akan terbayar, meski kalian tak bisa dihidupkan kembali. Janji ini akan kulaksanakan agar kau tenang di alam kubur bersama putri kita,” kata pria berjubah ini sembari mengelap tetesan air bening dari kedua kelopak matanya.Pak Atmo kini mulai membersihkan sisa ritual dan menutup kembali lubang di gundukan tanah. Ia beranjak ke kotak penyimpanan barang ritual. Jubah dilepas lalu menyimpannya dalam kotak bersama alat-alat ritual.Sesajen sengaja ia tinggalkan di atas gundukan agar jadi makanan hewan liar. Atmo Sukiman kini merapikan baju dan celana serta kembali memakai topi caping. Ia telah siap kembali bertugas sebagai penggali kubur tempat pemakaman umum. Senyum sumringah mengiringi setiap langkahnya menuju tempat kerja dengan melewati gudang tua.“Ah, rupanya gagak-gagak Sang Ratu tengah berpesta. Tubuh perwira ini sangat berisi, mereka pasti puas menyantap dagingnya,” ujarnya sembari melihat puluhan burung pemakan bangkai tersebut beterbangan lewat genting yang pecah serta pintu dan jendela yang sengaja ia buka lebar.Pak Atmo kini mulai membersihkan sisa ritual dan menutup kembali lubang di gundukan tanah. Ia beranjak ke kotak penyimpanan barang ritual. Jubah dilepas lalu menyimpannya dalam kotak bersama alat-alat ritual.Sesajen sengaja ia tinggalkan di atas gundukan agar jadi makanan hewan liar. Atmo Sukiman kini merapikan baju dan celana serta kembali memakai topi caping. Ia telah siap kembali bertugas sebagai penggali kubur tempat pemakaman umum. Senyum semringah mengiringi setiap langkahnya menuju tempat kerja dengan melewati gudang tua.“Ah, rupanya gagak-gagak Sang Ratu tengah berpesta. Tubuh perwira ini sangat berisi, mereka pasti puas menyantap dagingnya,”ujarnya sembari melihat puluhan burung pemakan bangkai tersebut beterbangan lewat genting yang pecah serta pintu dan jendela yang sengaja ia buka lebar.“Nduk, kalo udah dapat mangsa. Ketuk pintu kamar Bapak,”ucap Atmo Sukiman saat semilir angin dingin beraroma bunga melati lewat di sampingnya.Atmo Sukiman—sang penggali kubur—kepercayaa
Pak Kades mengaku hanya dua teman Nik saja yang datang ke toko untuk bekerja. Hal itu dibenarkan oleh kedua teman putrinya. Padahal mereka berangkat bertiga ke kota. Lebih mengherankan lagi, kedua teman Nikita sekarang sukses bekerja di luar negeri karena jasa Pak Kades.Tunggu saatnya, semua belangmu akan terungkap, batin Pak Atmo sembari meremas jemari.“Bapak lapor di mana, Pak?” tanya Bu Silvia ikut prihatin dengan kejadian yang menimpa Nikita, anak buah kesayangannya.“Polisi sini, Bu.”“Kita lapor ke polisi kota. Nikita hilang di sana soalnya,” ucap Bu Silvia yang seketika membuat Pak Kades terlihat panik.“Eh, gak perlu, Bu. Polisi sini aja, bisa nangani. Mereka bisa saling telepon. zaman canggih, Bu,” sahut Pak Kades cepat.Pak Atmo hanya memperhatikan saja tingkah Pak Kades. Tiba-tiba dari arah jalan, tampak dua orang warga berlari ke arah rumah Pak Kades.“Pak Kades, toloooong! A-Ada mayat ... tinggal tulang!” teriak salah satu warga.Kedua pria tersebut tampak terengah-enga
“Sayang? Siapa dia?”Sayangnya, pertanyaan Pak Kades tak dapat jawaban karena tubuh Tasya telah dibopong Rasmy lalu menghilang bersama lengkingan tawa mengerikan.•••¤•°•¤•••Gudang kosongPara petugas sedang sibuk olah TKP yang sudah terpasang garis polisi. Sementara mayat tinggal tulang belulang diduga sebagai jasad AKBP Siswo Laksono telah berada dalam ambulans akan segera ditangani tim forensik.Hati Pak Kades gelisah sejak tak mendapat jawaban dari telepon Tasya—wanita dua puluhan tahun—lebih pantas jadi anaknya daripada kekasih gelap. Pria berusia setengah abad lebih ini telah berkirim pesan, tiap kali dilihat belum dibaca juga.Setelah para petugas selesai dengan tugasnya, mereka mengajak serta Pak Kades dan juga dua orang pencari rumput untuk diminta keterangan ke kantor polisi.Sepeninggal mereka, warga yang lain masih berkerumun di sekitar garis polisi. Tak terkecuali Pak Atmo, Pak Tikno dan Bu Silvia. Mereka sedang berdiskusi tentang kejadian tragis yang dialami jasad tak w
Deg!Bisikan wanita cantik membuat khayalan sang perwira melambung. Sang pria segera memacu cepat motor tanpa memperhatikan kanan kiri lagi. Dalam otak nakalnya kini hanya terpikir untuk segera sampai rumah sang wanita.Setelah berpikir sejenak, pria ini segera bertanya, “Emang di rumah tak ada orang tuamu, Neng?”“Tenang, Sayang! Aku tinggal di rumah warisan Benek. Orang tua pergi merantau jauh,” jawab Rasmy sembari menjilati leher sang perwira.Serangan Rasmy yang tak disangka-sangka membuat napas pria berambut cepak memburu. Ia pun semakin mengencangkan laju motor hingga sampai di atas bukit. Hanya ada jalan sepi dan gelap di hadapan mereka.“Sayang, rumahmu masih jauh?” tanya sang perwira tak sabaran lagi sembari menahan gejolak darahnya.“Tinggal beberapa meter lagi, Sayang. Udah gak tahan, ya?”Rasmy balik bertanya sembari menyeringai di balik punggung sang perwira. Mata wanita cantik ini berubah membara bagai pijar api.“Tunggu bentar lagi, Sayang. Aku akan membuatmu merasakan
“Kebun ini lama-lama jadi kuburan khusus sapi. Coba kalo ini kuburan manusia, pasti jadi angker,” celetuk Pak Tikno di antara hentakan cangkul mencongkel tanah.“Sekarang aja, saya udah merinding. Itu kata Pak Kades dan kita tak pernah tau yang dikubur di sini, sapi apa manusia,” tegas Pak Atmo yang membuat pria di sampingnya merasa gamang juga.“Iya, Pak. Kirain saya aja yang merinding. Terus terang, sejak lama saya rasakan.”“Betul kata saya, kan? Buruan kita selesaiin. Udah hampir tengah malam,” kata Pak Atmo memberi semangat kepada sang teman.Akhirnya, mereka bisa menyelesaikan pekerjaan setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Obor yang sengaja dipasang dekat tempat penggalian memberi penerangan yang cukup untuk kedua pria tua ini mengamati hasil kerja. Mereka telah merasa ukuran liang lahat sesuai pesanan Pak Kades, yaitu 1,5 x 2,5 meter dengan kedalaman dua meter.“Udah pas. Kita ke depan,” ajak Pak Atmo sembari mengibaskan tanah dari baju dan celana.“Ayo, Pak,” balas Pak
Mendengar ucapan Pak Kades, kedua petugas hanya bisa mengangguk. Mereka segera mempersiapkan beberapa bambu untuk menurunkan peti mati. Beberapa saat kemudian Pak Kades menerima panggilan telepon. Pria ini terlihat terkejut menerima berita dari sang penelepon.“Nanti kita bahas. Begitu sampe langsung ke kebun,” ucap Pak Kades dengan ekspresi panik.Pria tersebut langsung mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali.“Kita turunkan sekarang!” perintah pria berkaca mata ini lalu memeriksa bilah bambu yang telah terpasang.Kemudian, ia mengajak kedua petugas rumah sakit untukmengangkat peti untuk diletakkan di atas bilah-bilah bambu. Dalam suasana hening ketiganya menurunnya peti pati pelan-pelan.Setelah peti telah berada di dasar lubang, bilah-bilah bambu disingkirkan lalu ketiganya menimbun dengan tanah mempergunakan sekrop yang telah tersedia di sekitar liang lahat.Satu jam kemudian prosesi pemakaman telah sel
"Kejadian apa lagi ini?” tanya Pak Kades dengan nada emosi. Pria berkacamata mata tersebut tiba-tiba telah berdiri terpaku di depan pohon yang tumbang.Pak Kepala Desa telah merasa, ada kekuatan di luar nalar yang memang sengaja berniat mengusiknya. Ia menggeram karena ada yang datang menantangnya.“Kayak habis ada angin topan, Pak,” sahut pria bertato sembari mengelilingi pohon yang tumbang.Pohon mangga berbuah lebat ini tumbang melintang di depan halaman mengenai yang lain. Sehingga yang pohon yang tertimpa menjadi doyong roboh ke tembok pagar. Akhirnya, tembok tersebut retak menganga.“Kamu cari Pak Atmo dan Pak Tikno untuk memotong pohon yang tumbang dan membuat penyangga. Biar tembo gak ikut roboh,” perintah Pak Kades kepada pria bertato.Seketika pria tersebut melangkah Hati-hati melintasi pohon yang melintang. Kini, tinggal Pak Kades dengan kegeramannya karena telah dikerjain oleh makhluk tak kasat mata. Bulu kuduk pria berkaca mata tiba-tiba merinding saat terasa ada yang mel
“Ayo kita pergi, Pak! Tunjukkan rumah Pak Kades!” pinta Pak Atmo sembari menoleh ke arah Pak Tikno.“Baik, mari. Moga Pak Kades gak keburu ke sana,” balas Pak Tikno yang segera duduk di boncengan.Mereka meninggalkan tempat tersebut lalu pergi ke arah berlawanan. Sepanjang perjalanan Pak Atmo berpikir bahwa mungkin saja Bu Silvia juga terlibat pembunuhan terhadap putrinya. Pria tegap berkulit legam ini akan mencari info sebanyak-banyaknya.Nikita tak pernah bercerita banyak tentang nasib tragis yang telah dialaminya. Sang putri hanya datang dengan membawa mayat orang-orang yang telah merusak hidupnya saja. Pak Atmo tak pernah tahu, perbuatan apa yang telah dilakukan mereka terhadap Nikita.“Perempatan itu belok kanan. Entar sekitar 400 meter dari belokan ada perumahan elit. Ada namanya gede di depan,” ucap Pak Tikno memberi petunjuk.Pak Atmo segera mengangguk dengan memperhatikan jalan. Indra penciuman pria ini merasakan kehadiran Nik. Aroma pandan berbaur dengan bau anyir darah. Pak