“Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”
Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.
Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.
“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.
Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.
“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”
Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari bayanganku. Ia memantulkan pilihan yang belum kumengerti, dan ancaman yang belum bisa kutafsirkan.
Lampu mendadak menyala. Suaranya meletik pelan, dan dunia kembali seperti biasa. Cermin hanya cermin. Bayanganku sendiri kembali menatapku, normal, lurus, tidak tersenyum.
Aku menghela napas panjang. Tapi napas itu tidak menenangkan. Rasanya seperti menelan air dingin yang menyusup terlalu dalam.
Kamar kontrakan ini terasa terlalu sempit sekarang. Dinding kayunya seperti memendek, langit-langit seperti menunduk, dan udara tak cukup untuk satu orang—apalagi dua jiwa.
Aku mengenakan jaket dan keluar.
Udara luar menyengat, meski malam masih menggantung di langit. Deru motor sesekali lewat, tapi jalanan di depan kontrakan relatif sepi. Aku berjalan tanpa arah, hanya mengikuti dorongan yang belum sempat kumaknai.
Beberapa warung kopi pinggir jalan mulai tutup. Penjual gorengan menutup gerobaknya dengan terpal. Dunia malam ini tampak normal. Tapi justru itu yang membuatnya mengganggu.
Di ujung jalan, aku melihat toko fotokopi yang lampunya masih menyala. Di dalamnya ada dua orang—satu duduk, satu berdiri. Yang berdiri... adalah Intan.
Aku berhenti sejenak. Jantungku berdetak lebih cepat. Ada dorongan aneh untuk berpaling, tapi langkah kakiku malah mendekat.
“Radit?” Intan menoleh begitu aku masuk. Wajahnya tampak lega, tapi ada juga jejak lelah di bawah matanya.
“Aku tidak tahu kau tinggal dekat sini,” kataku, berusaha terdengar biasa.
“Baru tadi sore aku pindah ke kontrakan di gang belakang. Kos lama terlalu bising,” jawabnya sambil menyipit karena silau lampu neon toko.
Aku mengangguk pelan, mataku menatap map yang digenggamnya.
“Kau sedang mencetak apa?”
Ia menyerahkan selembar hasil fotokopi.
Gambar itu—hitam-putih, kontras tinggi. Sebuah simbol berbentuk lingkaran dengan dua garis melintang di tengah, menyerupai mata dengan pupil berputar. Simbol itu tampak seperti ukiran kuno atau mantra yang dipahat di batu.
“Ini yang muncul di mimpiku malam tadi,” katanya pelan. “Saat... sosok itu mendekat.”
Aku menelan ludah. Lambang itu... samar-samar terasa familier. Bukan karena pernah kulihat secara nyata, tapi karena aku merasa pernah merasakannya.
“Aku juga melihat sesuatu,” kataku lirih. “Di cermin.”
Intan menatapku lama, seolah menimbang apakah ia sendiri cukup kuat untuk mendengar kelanjutannya.
“Ada versi lain dari diriku... yang bukan aku,” lanjutku. “Dan dia bilang... aku harus memilih siapa yang akan tetap tinggal.”
Kami berjalan berdampingan menyusuri trotoar. Tak ada niat untuk pulang. Malam ini seperti menolak untuk berakhir. Angin lembap membawa bau bensin dan tanah basah.
“Kau pikir... ini semacam peringatan?” tanya Intan. “Atau hukuman?”
“Entahlah,” jawabku. “Tapi rasanya kita bukan satu-satunya.”
Intan menghentikan langkahnya.
“Aku juga memikirkan hal yang sama,” bisiknya.
Ia merogoh tas dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat lusuh. Isinya adalah potongan artikel lama, dari koran lokal yang warnanya sudah pudar. Judulnya nyaris tak terbaca, tapi satu foto kecil cukup jelas: seorang pria berjas putih dengan sorotan mata yang tajam, berdiri di depan bangunan rumah sakit tua yang tak lagi beroperasi.
“Ini... siapa?” tanyaku.
“Dokter Arlan Nugraha. Tahun 1997, ia tiba-tiba ‘menghilang’ dari dunia medis setelah serangkaian operasi ‘ajaib’. Tidak pernah tercatat melakukan malpraktik, tapi semua pasiennya sembuh dengan cara yang tak bisa dijelaskan. Dan semua rekannya—perlahan mengundurkan diri atau menghilang.”
Aku membalik kertas itu, mencoba mencari keterangan lebih lanjut.
“Tak ada catatan ke mana dia pergi. Tapi beberapa pasien menyebut satu hal yang sama: mereka bermimpi tentang dirinya... bahkan setelah sembuh.”
Kami berdiam di bawah pohon kamboja, tak jauh dari area pemakaman kecil yang terletak di ujung jalan. Akar pohon menonjol dari tanah seperti urat tua yang menyembul ke permukaan, membentuk jalur-jalur bengkok yang menyilang.
Intan menatap ke arah nisan-nisan yang berbaris rapi di balik pagar besi.
“Kadang aku berpikir... bagaimana kalau kekuatan ini bukan karunia, tapi warisan? Sesuatu yang diturunkan, bukan karena kita layak... tapi karena kita dipilih tanpa bisa menolak.”
Aku tidak menjawab. Tapi angin yang tiba-tiba bertiup dari arah makam membuat daun-daun kering beterbangan di sekitar kaki kami.
Ketika aku kembali ke kamar, tubuhku lelah, tapi pikiranku tetap menolak tenang. Simbol dari gambar tadi seperti terukir di balik mataku. Setiap kali aku memejamkan mata, lingkaran itu muncul—berputar perlahan, seperti hipnosis.
Aku duduk di depan cermin, menyalakan lilin kecil karena lampu sudah mulai berkedip lagi. Pendar api menciptakan bayangan yang menari di permukaan kaca.
Dan di tengah bayangan itu, mata itu kembali muncul.
Tapi kali ini, tidak hanya satu pasang.
Tiga.
Tiga pasang mata menatapku dari balik bayangan. Semuanya sama—gelap, dalam, tak memantul cahaya.
Lalu... suara itu kembali.
“Satu akan jadi tuan. Dua akan jadi korban.”
Sebelum aku sempat bicara, bayangan cermin itu... bergerak mendekat.
“Radit… kulitmu. Itu… bergerak.”Suara Intan terdengar pelan, tapi nadanya jelas menahan ketakutan. Aku menoleh, matanya menatap lenganku dengan ekspresi tak biasa. Tangannya mengarah ke bagian dalam lengan kiriku yang terangkat separuh karena baru saja kutarik dari balik selimut.Aku menunduk. Yang kulihat membuatku membeku.Ada bekas lebam samar berbentuk simbol yang nyaris identik dengan yang digambar Ragil—tiga mata tersusun vertikal, masing-masing dengan garis pusaran tipis di tengahnya. Namun yang membuatku menggigil… simbol itu bergerak. Perlahan. Seperti tinta basah yang ditarik di balik kulit.Aku mencoba menyentuhnya. Kulitku panas. Bukan demam. Bukan luka. Tapi seperti ada sesuatu yang hidup di bawah permukaan daging, menggeliat dengan ritme yang tidak manusiawi.“Aku rasa ini muncul tadi pagi,” gumamku. “Tapi aku baru benar-benar menyadarinya sekarang.”Intan mendekat, meraih lengan itu. Jemarinya menyentuh dengan ragu. “Ini bukan hanya lebam. Ini… seperti diukir dari dala
"Aku rasa dia menunjuk kita," bisik Intan tanpa menoleh.Aku menahan napas. Suara angin malam menyusup di antara dedaunan, memecah keheningan di depan rumah Dr. Nurdin. Sosok itu masih berdiri di ujung jalan tanah, tidak bergeming, seolah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Tiga pasang mata menyala redup—bukan terang, bukan pula pantulan. Cahaya mereka seperti hidup dari dalam.Aku tak menjawab. Kakiku berat, seolah tanah menahan langkahku sendiri. Tapi aku tahu kami tidak bisa berdiam lebih lama."Ayo," kataku pelan. "Kita dekati."Kami berjalan perlahan, menyusuri jalan tanah sempit dengan pepohonan di sisi kanan dan pagar bambu reyot di sisi kiri. Setiap langkah terasa seperti menyusup ke sesuatu yang tak seharusnya disentuh. Intan menggenggam lenganku, dingin, namun menggigil bukan karena udara.Saat kami sudah separuh jalan, sosok itu masih diam. Tak ada tanda gerak, bahkan tak tampak napas. Tapi semakin dekat kami melangkah, semakin asing dunia di sekitar kami terasa—udar
“Kau lihat juga, kan?” bisik Intan, nyaris tanpa suara.Aku tak menjawab. Tubuhku sudah setengah beku di ambang pintu kamar Ragil, menatap ke ujung lorong yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana—tinggi, kurus, tak bergerak. Bayangannya menjalar panjang ke lantai, menyatu dengan dinding seperti kabut kental. Tiga pasang mata bercahaya samar, tapi tak menyilaukan. Mereka diam, menunggu. Menilai.Langkah kecil terdengar dari arah dalam kamar. Ragil berdiri, merapat ke belakangku. Nafasnya tercekat.“Itu... yang ada di mimpiku,” katanya. “Tapi dia tak pernah muncul di dunia nyata.”Sosok di ujung lorong tak menunjukkan niat mendekat, tapi atmosfer sekitarnya berubah drastis. Suhu ruangan turun. Kulit lenganku merinding, bukan karena takut—melainkan karena tubuh ini tahu, secara naluriah, bahwa yang berdiri di sana bukan manusia. Dan apa pun bentuknya, ia tidak tunduk pada hukum dunia ini.“Masuk,” bisikku pada Intan dan Ragil. “Kunci pintunya.”Kami bertiga mundur pelan, lalu Intan me
“Apa yang kau lihat... bukan dari kaca. Tapi dari dalam dirimu sendiri.”Suara itu menghantam kesadaranku sebelum aku bisa benar-benar memahami dari mana datangnya. Aku terduduk, napas terengah, tubuh basah oleh keringat meski malam tak begitu panas. Lilin yang tadi menyala di sudut meja telah padam, meninggalkan bekas lelehan di atas kertas-kertas yang berserakan.Cermin di depanku tidak lagi menunjukkan apa-apa. Hanya pantulan pucat wajahku sendiri yang masih terguncang.Aku mencoba berdiri. Lututku lemas. Seluruh tubuh seolah tertarik oleh sesuatu yang berat dari dalam perut, seperti beban yang tak bisa dijelaskan. Langkahku pelan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya dari lampu jalan masuk.Jalanan kosong. Pohon trembesi di seberang kontrakan bergoyang ringan. Tak ada yang mencurigakan. Tapi bagian belakang leherku masih merinding, seolah ada mata tak kasatmata yang belum berhenti memperhatikanku.Aku memutar keran wastafel, mencipratkan air ke wajah. Dingi
“Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari b
“Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.“Aku pikir... mu