"Kau bukan siapa-siapa, Radit. Bahkan untuk disesali pun tidak pantas." Kata-kata itu menghantamku seperti palu yang menghancurkan harga diri terakhir yang kupunya. Namun takdir memilih jalan lain. Setelah mati suri di ruang IGD, aku mendadak bisa melihat penyakit sebelum gejala muncul. Bisa menyembuhkan hanya dengan menyentuh. Aku dianggap ajaib, diangkat ke langit, disanjung sebagai harapan baru dunia medis! Sebenarnya, apa yang terjadi?
View More“Aku minta maaf, Radit. Tapi kamu bukan tipe laki-laki yang bisa kuandalkan untuk masa depan.”
Kalimat itu menghantam dadaku seperti palu godam yang dipukulkan dengan senyum. Aku menatapnya, Sofia, perempuan yang selama ini kupikir akan bersamaku sampai akhir. Tapi malam itu, di restoran yang tak sanggup kubayar kalau bukan karena voucher promo, semuanya runtuh hanya lewat satu kalimat.
Sofia tidak menunduk dengan rasa bersalah. Justru matanya sibuk melirik ke sekeliling ruangan, mungkin takut ada yang mengenalinya duduk bersama lelaki miskin sepertiku.
“Aku cuma koas,” ucapku perlahan. “Tapi aku punya impian. Aku kerja keras buat masa depan kita.”
Dia tersenyum kecil—bukan senyum bahagia, tapi senyum kasihan. “Kau punya impian, Dit. Tapi aku hidup di dunia nyata.”
Aku meremas ujung meja. Nafasku bergetar, tapi aku tidak ingin membuat keributan. Hanya suara AC dan denting sendok di meja sebelah yang menemani keheningan di antara kami.
Sofia melirik ke arah pintu masuk. Di sana berdiri seorang pria berperut buncit, berkemeja batik mahal dengan jam tangan yang harganya mungkin cukup untuk membayar uang kuliahku sampai lulus. Anwar Fuadi—aku pernah mendengar namanya. Pengusaha properti, duda, dan… hidung belang.
“Aku akan pergi dengannya,” kata Sofia nyaris berbisik, lalu berdiri.
Aku tidak menjawab. Tubuhku seperti tertanam di kursi, beku.
Ketika dia melangkah pergi, aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, membawa serta harapan yang kupupuk bertahun-tahun. Aroma parfumnya yang manis masih menggantung di udara, seperti sisa luka yang enggan mengering.
“Maaf, Pak. Mau pesan tambahan?” pelayan menyapaku, menyadarkan aku dari kebisuan.
Aku menggeleng pelan. “Tidak.”
Kakiku lemas saat aku berdiri. Dunia di luar restoran begitu bising—klakson, hujan rintik, dan kehidupan yang terus berjalan, seolah tak peduli ada hati yang baru saja dihancurkan.
Malam itu aku pulang ke kamar kontrakan yang lebih mirip gudang tua. Bau kayu lapuk dan udara lembap menyambutku seperti biasa. Kamar sempit, kasur tipis, dan lampu kuning yang berkedip-kedip. Tapi malam ini, tempat itu terasa lebih kosong dari sebelumnya.
Aku menjatuhkan tubuhku ke atas kasur. Langit-langit retak menatapku diam. Sudah berapa kali aku memimpikan hidup besar dari tempat kecil ini? Sudah berapa kali aku percaya bahwa cinta dan perjuangan cukup untuk membuat seseorang bertahan?
Tanganku merogoh saku dan mengeluarkan selembar foto kecil. Aku dan Sofia, tersenyum lebar di pantai Pangandaran. Aku yang dekil dengan kaus oblong, dia yang manis dengan topi pantai.
Kusobek foto itu pelan. Satu sobekan, dua, tiga. Rasanya seperti menyayat diriku sendiri, tapi aku tak bisa membiarkannya tetap utuh.
Pagi-pagi sekali aku sudah tiba di IGD. Bahkan matahari belum naik sempurna. Aku ingin sendiri. Ingin merasa berguna, meski hanya sebentar.
Aku duduk di bangku pojok, membuka buku catatan. Tapi huruf-hurufnya mengabur. Konsentrasiku hilang.
“Pasien GCS tiga! Trauma kepala terbuka!”
Teriakan itu membangunkanku dari kekosongan. Aku langsung berdiri, bergerak seperti terprogram.
Seorang pria muda didorong masuk, tubuhnya bersimbah darah. Luka menganga di kepala kanannya, parah. Aku melihat tulangnya—tampak jelas dari luka itu. Matanya separuh terbuka, penuh darah.
“Mana dokter jaga?” teriak perawat.
“Belum datang!”
“Aku bantu stabilisasi!” Aku berseru.
Tanganku bekerja cepat—oksigen, tekanan luka, cek pupil. Tapi saat mataku menatap wajah pasien itu, dunia berubah.
Suara-suara mengecil. Warna mengabur. Lalu cahaya—terang, menyilaukan, seperti petir putih meledak di dalam otakku. Aku kehilangan kendali. Tubuhku gemetar.
Aku terjatuh.
Gelap.
Tak seperti malam. Ini gelap total, pekat, kosong. Seperti aku ada di dalam diriku sendiri.
Lalu suara itu muncul.
“Kau kehilangan. Tapi kau akan melihat. Kau akan menyentuh kegelapan mereka dan mengubahnya jadi terang.”
Aku ingin bicara. Bertanya siapa dia. Tapi aku bahkan tak merasa punya lidah.
Cahaya membanjir. Aku kembali.
Aku terbangun di IGD, terbaring di ranjang pasien. Perawat menatapku dengan raut bingung.
“Mas Radit? Astaga, Anda sadar. Anda pingsan tadi. Tapi anehnya... pasien yang luka kepala itu… stabil sekarang. Bahkan lukanya membaik drastis. Dokter jaga bilang itu... nyaris mustahil.”
Aku tak mengerti. Tapi di dalam dadaku ada sesuatu yang berubah. Aku tidak tahu apa, tapi… itu nyata.
Dua hari kemudian, aku kembali bertugas.
Dan entah bagaimana, aku mulai bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain.
Seorang bapak datang mengeluh pusing. Saat dia bicara, aku melihat urat halus di pelipisnya berdenyut tak wajar. Aku tahu—stroke ringan, dan terbukti saat CT scan keluar.
Seorang ibu datang dengan anaknya. Aku menyentuh bahunya dan seketika tahu ada infeksi paru-paru parah. Aku bahkan bisa mendengar suara napas beratnya dalam pikiranku sebelum ia berbicara.
Aku tidak menebak.
Aku tahu.
Suatu malam, aku menatap wajahku di cermin kamar mandi.
Mataku… berubah. Ada semburat abu-abu, bercampur lingkaran perak samar. Dan refleksi di kaca…
Tersenyum.
Padahal aku tidak sedang tersenyum.
“Apa kau... aku?” bisikku.
Bayangan itu hanya tersenyum lebih lebar.
“Aku adalah dirimu... yang tak pernah kau izinkan hidup.”
Aku mundur, nyaris jatuh. Tapi sesuatu di dalam diriku… justru merasa kuat.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu:
Aku tidak lagi sama.
“Kau lihat juga, kan?” bisik Intan, nyaris tanpa suara.Aku tak menjawab. Tubuhku sudah setengah beku di ambang pintu kamar Ragil, menatap ke ujung lorong yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana—tinggi, kurus, tak bergerak. Bayangannya menjalar panjang ke lantai, menyatu dengan dinding seperti kabut kental. Tiga pasang mata bercahaya samar, tapi tak menyilaukan. Mereka diam, menunggu. Menilai.Langkah kecil terdengar dari arah dalam kamar. Ragil berdiri, merapat ke belakangku. Nafasnya tercekat.“Itu... yang ada di mimpiku,” katanya. “Tapi dia tak pernah muncul di dunia nyata.”Sosok di ujung lorong tak menunjukkan niat mendekat, tapi atmosfer sekitarnya berubah drastis. Suhu ruangan turun. Kulit lenganku merinding, bukan karena takut—melainkan karena tubuh ini tahu, secara naluriah, bahwa yang berdiri di sana bukan manusia. Dan apa pun bentuknya, ia tidak tunduk pada hukum dunia ini.“Masuk,” bisikku pada Intan dan Ragil. “Kunci pintunya.”Kami bertiga mundur pelan, lalu Intan me
“Apa yang kau lihat... bukan dari kaca. Tapi dari dalam dirimu sendiri.”Suara itu menghantam kesadaranku sebelum aku bisa benar-benar memahami dari mana datangnya. Aku terduduk, napas terengah, tubuh basah oleh keringat meski malam tak begitu panas. Lilin yang tadi menyala di sudut meja telah padam, meninggalkan bekas lelehan di atas kertas-kertas yang berserakan.Cermin di depanku tidak lagi menunjukkan apa-apa. Hanya pantulan pucat wajahku sendiri yang masih terguncang.Aku mencoba berdiri. Lututku lemas. Seluruh tubuh seolah tertarik oleh sesuatu yang berat dari dalam perut, seperti beban yang tak bisa dijelaskan. Langkahku pelan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya dari lampu jalan masuk.Jalanan kosong. Pohon trembesi di seberang kontrakan bergoyang ringan. Tak ada yang mencurigakan. Tapi bagian belakang leherku masih merinding, seolah ada mata tak kasatmata yang belum berhenti memperhatikanku.Aku memutar keran wastafel, mencipratkan air ke wajah. Dingi
“Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari b
“Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.“Aku pikir... mu
“Aku tidak menulis itu...”Aku mengangkat kepala. Suara itu lirih, pelan seperti desir angin melewati celah pintu, tetapi cukup jelas untuk membuatku menahan napas. Ibu Sri, wanita tua yang tadi siang kutolong dari kematian, duduk lemah di ranjangnya, matanya menatap kosong ke jendela.“Tapi tulisan itu ada di tangan Anda. Kami semua lihat,” ujar perawat di sampingku, setengah berbisik, masih kebingungan.“Aku tidak bisa menulis sejak seminggu lalu,” Ibu Sri menjawab, kali ini dengan suara sedikit lebih kuat. “Tangan kananku lumpuh.”Aku memalingkan wajah ke perawat yang tadi memberiku kertas. Dia mengangguk ragu, lalu menyodorkan tablet medis. Di sana, tercatat catatan klinis terakhir: paresis lengan kanan akibat stroke ringan tiga bulan lalu. Belum pulih total.Aku kembali menatap Ibu Sri. Kertas kecil itu masih dalam genggamanku. Tinta di permukaannya belum kering betul, huruf-hurufnya tampak seperti goresan terburu-buru, seolah ditulis dengan gemetar. Tapi anehnya... sangat presis
“Dok, pasien di ruang 3... dia enggak bernapas!”Aku baru saja mengganti baju jaga ketika suara panik itu menghantam telingaku. Seorang perawat muda dengan wajah pucat nyaris tersandung saat masuk ke ruang staf. Nadanya gemetar, dan tangan yang memegang tablet digitalnya berkeringat.Aku tak menjawab. Kakiku bergerak lebih dulu dari otakku, seolah ada sesuatu di dalam diriku yang menarikku menuju ruang 3 tanpa perlu berpikir.Lorong rumah sakit pagi itu masih lengang. Lampu neon di langit-langit berkedip samar, dan aroma antiseptik terasa lebih menyengat dari biasanya. Tapi yang paling mencolok adalah keheningan. Tak ada suara—hanya desing samar seperti dengung listrik di kepala.Langkahku mempercepat, lalu berhenti di depan ruang 3.Di dalam, seorang wanita tua terbaring lemas. Selang oksigen terpasang, tapi dadanya tak naik-turun. Monitor detak jantung menunjukkan garis lurus. Wajahnya pucat kebiruan. Seorang dokter residen dan dua perawat sudah mencoba CPR, tapi tidak ada respons.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments