“Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”
Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.
Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.
“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.
“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”
Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.
Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.
“Aku pikir... mungkin ini bukan cuma tentang kita. Mungkin ada hal lain... yang lebih besar dari kemampuan ini,” katanya.
Aku tidak langsung menjawab. Dalam hatiku, ada kekacauan yang tak bisa segera diurai—antara logika kedokteran yang selama ini kupegang teguh, dan pengalaman-pengalaman tak masuk akal yang kualami sendiri.
“Lalu kenapa kamu datang malam ini?” tanyaku akhirnya. “Kenapa sekarang?”
Intan menunduk. “Karena aku merasa dia semakin dekat. Sosok itu. Setiap aku tertidur, mimpi itu datang. Dan setiap kali aku bangun, tubuhku semakin lemas, seolah... energiku sedang dihisap.”
Kami berdua berjalan ke area kafe kecil rumah sakit yang sudah tutup. Duduk di bangku panjang, lampu lorong berpendar remang dari kejauhan. Aku memandangi tangan Intan yang menggenggam cangkir kosong. Ujung jarinya tampak kebiruan, seolah aliran darahnya tersendat.
“Sejak kapan kamu mulai bisa merasakan sakit orang lain?” tanyaku perlahan.
“Dua tahun lalu,” jawabnya, masih menatap cangkir. “Seorang pasien anak koma karena demam tinggi. Aku memegang tangannya selama lima menit saat ibunya menangis di luar ruangan. Aku hanya ingin memberikan ketenangan. Tapi sejak itu, semuanya berubah. Aku bisa merasakan apa yang orang lain derita. Dan kadang... aku tak bisa membedakan rasa sakit itu milik mereka atau milikku sendiri.”
Kata-katanya membuat jantungku berdebar lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu di dalam diriku ikut bergolak. Seperti resonansi dari pengalaman yang mirip. Seperti dua nada minor yang bertemu di ruang kosong.
“Tapi kamu berhenti, kan?” tanyaku lagi.
“Ya. Aku takut. Aku menghindari pasien-pasien parah. Aku minta rotasi ke departemen farmasi. Lebih banyak kertas, lebih sedikit sentuhan,” katanya lirih.
Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu yang dingin. Pandanganku terarah ke lorong panjang yang mengarah ke lift belakang. Tak ada siapa-siapa. Tapi entah kenapa, aku merasa diperhatikan. Seperti ada mata lain yang mengintip dari balik cahaya temaram.
Setelah kami berpisah malam itu, aku berjalan sendirian ke tempat parkir. Udaranya lebih pengap dari biasanya. Langit tak sepenuhnya gelap, tapi juga tak menampakkan bintang.
Saat membuka kunci motorku, aku mendengar suara.
Bukan suara orang. Bukan suara langkah kaki.
Tapi bisikan. Halus, sangat dekat, seolah berasal dari tengkukku sendiri.
“Jangan percayai dia... Dia akan membawamu ke dalam.”
Aku menoleh cepat. Tak ada siapa pun. Hanya bayangan panjang pohon dan tiang lampu.
Aku menggenggam setang motor lebih kuat dari yang seharusnya. Keringat dingin mulai mengalir di leherku. Jari-jariku sedikit bergetar.
“Kalau ini efek stres... berarti sangat parah,” gumamku.
Mesin motor menyala. Tapi sebelum aku menekan gas, aku kembali mendengar suara itu. Kali ini lebih dekat.
“Dia bukan kamu. Tapi dia ingin jadi kamu.”
Di kamar kontrakan, aku menyalakan semua lampu. Meja kecil, tumpukan buku, cermin oval murahan di atas wastafel plastik—semuanya tampak seperti biasa. Tapi ada rasa lain yang menyusup ke sela-sela benda biasa itu. Seperti ruang ini tak lagi milikku sepenuhnya.
Aku berdiri di depan cermin. Menatap bayangan diriku sendiri.
Dan untuk pertama kalinya... aku merasa cermin itu tidak menampilkan bayangan. Tapi... seseorang.
Aku mengangkat tangan kananku. Refleksi di kaca mengangkat tangan kiri. Normal.
Lalu aku mengangguk.
Dan refleksi itu... tidak mengangguk kembali.
Wajahku memucat. Kakiku mundur selangkah tanpa sadar. Dadaku naik-turun. Tapi refleksi itu tetap menatapku. Tenang. Bahkan terlalu tenang.
Aku mencoba bicara. “Siapa kau?”
Dan kali ini... cermin menjawab.
“Aku adalah kemungkinan yang kau tolak. Aku adalah dirimu yang tak pernah kau biarkan tumbuh.”
Suara itu bukan suara luar. Tapi bukan juga suara dalam kepala. Ia seperti... sesuatu yang mengisi ruang di antara aku dan kaca.
Aku tidak bisa bergerak. Refleksi itu kini tersenyum. Senyum kecil—miring, menyimpan banyak hal.
“Dan kau telah membukakan pintu.”
Tiba-tiba lampu di kamar padam. Seketika.
Gelap menelan segalanya. Aku refleks meraba dinding, mencari saklar, tapi jari-jariku hanya menyentuh permukaan kosong. Udara menjadi lebih dingin, seperti sedang berada di ruangan bawah tanah.
Lalu, dari dalam gelap itu—dari arah cermin—aku melihat sepasang mata terbuka.
Tidak memantulkan cahaya, tapi justru menyerapnya.
Mata itu... bukan milik manusia.
Dan mereka menatap langsung ke arahku.
"Radit..."Suara Intan terdengar samar, seperti melintasi lapisan-lapisan kaca tebal. Tubuhku yang berbaring di ranjang tampak tenang. Tapi aku, entah siapa versi aku yang sedang berdiri di sini, hanya bisa memandang tanpa mampu menyentuh.Aku mencoba mendekat.Tapi ruangan itu seperti menolakku.Setiap kali aku mengambil langkah, jaraknya tak berubah. Seolah ada jarak tetap antara aku yang berdiri dan tubuhku yang terbaring."Kenapa aku tidak bisa kembali?" tanyaku pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri.Anak kecil itu muncul lagi di sampingku, kali ini duduk di lantai putih, memainkan serpihan kaca kecil yang memantulkan cahaya redup.“Karena dia belum selesai menggunakanmu,” katanya.Aku menoleh cepat. “Siapa?”“Yang memanggil semua ini jadi mungkin.”Kata-kata itu menggantung di udara. Sunyi. Lalu bergema, seperti bayangan dari tempat lain.“Siapa yang memanggil?”Anak kecil itu berhenti bermain, memandangku dengan mata kosong.“Kamu.”Segalanya kembali runtuh.Ruang rumah
Cahaya.Itu hal pertama yang menyambutku saat aku membuka mata. Bukan cahaya matahari, bukan pula lampu ruang rawat yang biasa. Ini lebih seperti semburat putih susu yang melingkupi segalanya. Datar. Tak ada arah. Tak ada bayangan.Aku terbaring di atas ranjang besi, tangan dan kakiku tidak diikat, tapi aku juga tidak bisa bergerak.Rasanya… seperti tubuhku tidak sepenuhnya milikku.“Radit.”Suara itu memanggilku, tenang dan lembut, seperti suara yang sudah lama kukenal tapi tak bisa kuingat.Aku menoleh pelan. Seseorang duduk di sudut ruangan yang kini mulai terlihat. Ia mengenakan pakaian putih sederhana. Matanya menatapku, lekat, tapi tidak menghakimi.“Siapa kamu?” tanyaku.“Nama tidak penting di sini,” jawabnya. “Yang penting adalah kamu akhirnya bangun.”Aku mencoba duduk. Leherku berat. Suaraku serak.“Di mana ini?”Ia tersenyum. “Di antara semua kemungkinan.”Kalimat itu langsung membangkitkan ingatanku akan suara terakhir yang kudengar sebelum semuanya padam.“Kami baru saja
“Apakah semua ini benar-benar pernah terjadi?”Itu pertanyaan pertama yang muncul di kepalaku begitu pintu terbuka.Di baliknya tidak ada cahaya. Tidak pula kegelapan. Ruang itu kosong… atau mungkin terlalu penuh hingga tak mampu diindra.Aku melangkah masuk.Lantai di bawahku tidak menimbulkan suara. Langit-langit di atas tak terlihat. Dinding? Tidak ada.Hanya satu hal yang berdiri di tengah ruangan.Meja kayu kecil.Dan di atasnya—pena tua, tinta, dan kertas kosong.Aku mendekat perlahan. Setiap langkah seperti menarik satu bagian dari diriku yang lama—seperti merobek kulit yang telah mengering. Ingatanku… mulai meleleh. Apa yang pernah kujalani—apakah itu fiksi? Atau aku?Tiba-tiba, suara langkah kaki lain terdengar dari arah belakang.Aku berbalik. Sosok itu mendekat. Wajahnya samar, tapi gerak tubuhnya… familiar.“Intan?” tanyaku ragu.Ia menggeleng.“Aku bukan tokohmu. Aku penutup kisah ini.”“Penutup?”Ia tidak menjawab. Ia hanya menunjuk pena dan kertas itu.“Kau sudah membac
“Hari ini… adalah Selasa,” gumam Intan pelan, seolah mengingatkan dirinya sendiri.Aku tidak menjawab. Aku masih memandangi halte kosong yang tampak menggantung di antara dua dunia. Di kejauhan, kendaraan melintas, tapi tanpa suara. Bahkan jejak ban pun tak tampak di jalan basah. Hanya ilusi. Atau semacamnya.“Sudah berapa lama kita di sini?” tanyaku akhirnya.Ia menghela napas. “Terlalu lama. Atau belum pernah sama sekali.”Aku memalingkan wajah dan menatap papan pengumuman di belakang kami. Hanya ada satu lembar kertas menempel di sana. Kusam, sobek, seolah sudah bertahun-tahun tertempel. Tapi tulisannya baru:“Penghuni Simulasi Terakhir, harap bersiap ke dalam Pemusnahan Narasi.”Aku membacanya berulang kali, merasa perutku berputar.“Kau lihat itu?” tanyaku.Intan menatap papan itu sekilas. “Sudah muncul.”“Maksudmu?
“Lepaskan,” bisikku tanpa menoleh. Tapi genggaman tangan kecil itu semakin erat. Dingin. Terlalu dingin untuk tangan manusia.“Kau tak boleh ke bawah,” ucap suara itu lagi. Pelan, namun seperti menggema di seluruh pori tubuhku.Aku menoleh perlahan.Seorang anak perempuan berdiri di belakangku. Ia mengenakan gaun putih yang kusam, ujungnya sobek-sobek. Wajahnya familiar… tapi entah kenapa, pikiranku menolak mengingat dari mana aku pernah melihatnya. Matanya besar, gelap seperti sumur yang dalam. Ia tidak tersenyum. Tidak berkedip. Hanya menatapku dengan ekspresi seperti... iba.“Kenapa aku tidak boleh ke bawah?” tanyaku.“Karena jika kau turun…” Ia memiringkan kepalanya sedikit. “…kau takkan bisa kembali. Dan apa yang akan kau temukan di bawah, bukan sesuatu yang ingin kau ketahui.”Aku mencoba melepaskan tangannya, tapi cengkeramannya tak bergeser. Bukan sepert
“Radit.”Suara itu menyebut namaku lagi. Tapi kali ini, ia tidak terdengar jauh seperti gema, atau berbisik seperti makhluk dalam mimpi. Suara itu... jelas. Dekat. Seperti seseorang yang berdiri tepat di belakang telingaku.Aku berbalik cepat.Kosong.Tidak ada siapa-siapa di ruangan itu, hanya aku dan bayangan retak dari cermin yang masih meneteskan tinta. Tapi aroma ruangan berubah. Bukan lagi bau besi dan antiseptik seperti rumah sakit.Kini, baunya seperti lem kayu tua. Seperti... bengkel.Lantai berubah. Dinding-dinding yang tadinya abu-abu perlahan berganti menjadi papan-papan kayu gelap yang melengkung, seolah bangunan ini terlalu lama berdiri tanpa direnovasi. Cahaya yang tadi berasal dari langit-langit kini datang dari lentera gantung—berayun, seolah baru saja dilewati seseorang.Dan di tengah ruangan itu, muncul sesuatu yang membuat seluruh napasku berhenti.Meja kayu panjang. Di atasnya, tersusun rapi lebih dari dua puluh cermin—semuanya berbeda bentuk dan ukuran. Ada yang