Home / Romansa / DOKTER SETAN / Mata Misterius

Share

Mata Misterius

Author: Reez
last update Last Updated: 2025-05-27 16:10:16

“Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”

Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.

Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.

“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.

“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”

Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.

Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.

“Aku pikir... mungkin ini bukan cuma tentang kita. Mungkin ada hal lain... yang lebih besar dari kemampuan ini,” katanya.

Aku tidak langsung menjawab. Dalam hatiku, ada kekacauan yang tak bisa segera diurai—antara logika kedokteran yang selama ini kupegang teguh, dan pengalaman-pengalaman tak masuk akal yang kualami sendiri.

“Lalu kenapa kamu datang malam ini?” tanyaku akhirnya. “Kenapa sekarang?”

Intan menunduk. “Karena aku merasa dia semakin dekat. Sosok itu. Setiap aku tertidur, mimpi itu datang. Dan setiap kali aku bangun, tubuhku semakin lemas, seolah... energiku sedang dihisap.”

Kami berdua berjalan ke area kafe kecil rumah sakit yang sudah tutup. Duduk di bangku panjang, lampu lorong berpendar remang dari kejauhan. Aku memandangi tangan Intan yang menggenggam cangkir kosong. Ujung jarinya tampak kebiruan, seolah aliran darahnya tersendat.

“Sejak kapan kamu mulai bisa merasakan sakit orang lain?” tanyaku perlahan.

“Dua tahun lalu,” jawabnya, masih menatap cangkir. “Seorang pasien anak koma karena demam tinggi. Aku memegang tangannya selama lima menit saat ibunya menangis di luar ruangan. Aku hanya ingin memberikan ketenangan. Tapi sejak itu, semuanya berubah. Aku bisa merasakan apa yang orang lain derita. Dan kadang... aku tak bisa membedakan rasa sakit itu milik mereka atau milikku sendiri.”

Kata-katanya membuat jantungku berdebar lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena sesuatu di dalam diriku ikut bergolak. Seperti resonansi dari pengalaman yang mirip. Seperti dua nada minor yang bertemu di ruang kosong.

“Tapi kamu berhenti, kan?” tanyaku lagi.

“Ya. Aku takut. Aku menghindari pasien-pasien parah. Aku minta rotasi ke departemen farmasi. Lebih banyak kertas, lebih sedikit sentuhan,” katanya lirih.

Aku menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu yang dingin. Pandanganku terarah ke lorong panjang yang mengarah ke lift belakang. Tak ada siapa-siapa. Tapi entah kenapa, aku merasa diperhatikan. Seperti ada mata lain yang mengintip dari balik cahaya temaram.

Setelah kami berpisah malam itu, aku berjalan sendirian ke tempat parkir. Udaranya lebih pengap dari biasanya. Langit tak sepenuhnya gelap, tapi juga tak menampakkan bintang.

Saat membuka kunci motorku, aku mendengar suara.

Bukan suara orang. Bukan suara langkah kaki.

Tapi bisikan. Halus, sangat dekat, seolah berasal dari tengkukku sendiri.

“Jangan percayai dia... Dia akan membawamu ke dalam.”

Aku menoleh cepat. Tak ada siapa pun. Hanya bayangan panjang pohon dan tiang lampu.

Aku menggenggam setang motor lebih kuat dari yang seharusnya. Keringat dingin mulai mengalir di leherku. Jari-jariku sedikit bergetar.

“Kalau ini efek stres... berarti sangat parah,” gumamku.

Mesin motor menyala. Tapi sebelum aku menekan gas, aku kembali mendengar suara itu. Kali ini lebih dekat.

“Dia bukan kamu. Tapi dia ingin jadi kamu.”

Di kamar kontrakan, aku menyalakan semua lampu. Meja kecil, tumpukan buku, cermin oval murahan di atas wastafel plastik—semuanya tampak seperti biasa. Tapi ada rasa lain yang menyusup ke sela-sela benda biasa itu. Seperti ruang ini tak lagi milikku sepenuhnya.

Aku berdiri di depan cermin. Menatap bayangan diriku sendiri.

Dan untuk pertama kalinya... aku merasa cermin itu tidak menampilkan bayangan. Tapi... seseorang.

Aku mengangkat tangan kananku. Refleksi di kaca mengangkat tangan kiri. Normal.

Lalu aku mengangguk.

Dan refleksi itu... tidak mengangguk kembali.

Wajahku memucat. Kakiku mundur selangkah tanpa sadar. Dadaku naik-turun. Tapi refleksi itu tetap menatapku. Tenang. Bahkan terlalu tenang.

Aku mencoba bicara. “Siapa kau?”

Dan kali ini... cermin menjawab.

“Aku adalah kemungkinan yang kau tolak. Aku adalah dirimu yang tak pernah kau biarkan tumbuh.”

Suara itu bukan suara luar. Tapi bukan juga suara dalam kepala. Ia seperti... sesuatu yang mengisi ruang di antara aku dan kaca.

Aku tidak bisa bergerak. Refleksi itu kini tersenyum. Senyum kecil—miring, menyimpan banyak hal.

“Dan kau telah membukakan pintu.”

Tiba-tiba lampu di kamar padam. Seketika.

Gelap menelan segalanya. Aku refleks meraba dinding, mencari saklar, tapi jari-jariku hanya menyentuh permukaan kosong. Udara menjadi lebih dingin, seperti sedang berada di ruangan bawah tanah.

Lalu, dari dalam gelap itu—dari arah cermin—aku melihat sepasang mata terbuka.

Tidak memantulkan cahaya, tapi justru menyerapnya.

Mata itu... bukan milik manusia.

Dan mereka menatap langsung ke arahku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOKTER SETAN   Kulit yang Bergerak

    “Radit… kulitmu. Itu… bergerak.”Suara Intan terdengar pelan, tapi nadanya jelas menahan ketakutan. Aku menoleh, matanya menatap lenganku dengan ekspresi tak biasa. Tangannya mengarah ke bagian dalam lengan kiriku yang terangkat separuh karena baru saja kutarik dari balik selimut.Aku menunduk. Yang kulihat membuatku membeku.Ada bekas lebam samar berbentuk simbol yang nyaris identik dengan yang digambar Ragil—tiga mata tersusun vertikal, masing-masing dengan garis pusaran tipis di tengahnya. Namun yang membuatku menggigil… simbol itu bergerak. Perlahan. Seperti tinta basah yang ditarik di balik kulit.Aku mencoba menyentuhnya. Kulitku panas. Bukan demam. Bukan luka. Tapi seperti ada sesuatu yang hidup di bawah permukaan daging, menggeliat dengan ritme yang tidak manusiawi.“Aku rasa ini muncul tadi pagi,” gumamku. “Tapi aku baru benar-benar menyadarinya sekarang.”Intan mendekat, meraih lengan itu. Jemarinya menyentuh dengan ragu. “Ini bukan hanya lebam. Ini… seperti diukir dari dala

  • DOKTER SETAN   Angin Malam

    "Aku rasa dia menunjuk kita," bisik Intan tanpa menoleh.Aku menahan napas. Suara angin malam menyusup di antara dedaunan, memecah keheningan di depan rumah Dr. Nurdin. Sosok itu masih berdiri di ujung jalan tanah, tidak bergeming, seolah menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri. Tiga pasang mata menyala redup—bukan terang, bukan pula pantulan. Cahaya mereka seperti hidup dari dalam.Aku tak menjawab. Kakiku berat, seolah tanah menahan langkahku sendiri. Tapi aku tahu kami tidak bisa berdiam lebih lama."Ayo," kataku pelan. "Kita dekati."Kami berjalan perlahan, menyusuri jalan tanah sempit dengan pepohonan di sisi kanan dan pagar bambu reyot di sisi kiri. Setiap langkah terasa seperti menyusup ke sesuatu yang tak seharusnya disentuh. Intan menggenggam lenganku, dingin, namun menggigil bukan karena udara.Saat kami sudah separuh jalan, sosok itu masih diam. Tak ada tanda gerak, bahkan tak tampak napas. Tapi semakin dekat kami melangkah, semakin asing dunia di sekitar kami terasa—udar

  • DOKTER SETAN   Sosok Misterius

    “Kau lihat juga, kan?” bisik Intan, nyaris tanpa suara.Aku tak menjawab. Tubuhku sudah setengah beku di ambang pintu kamar Ragil, menatap ke ujung lorong yang gelap. Sosok itu masih berdiri di sana—tinggi, kurus, tak bergerak. Bayangannya menjalar panjang ke lantai, menyatu dengan dinding seperti kabut kental. Tiga pasang mata bercahaya samar, tapi tak menyilaukan. Mereka diam, menunggu. Menilai.Langkah kecil terdengar dari arah dalam kamar. Ragil berdiri, merapat ke belakangku. Nafasnya tercekat.“Itu... yang ada di mimpiku,” katanya. “Tapi dia tak pernah muncul di dunia nyata.”Sosok di ujung lorong tak menunjukkan niat mendekat, tapi atmosfer sekitarnya berubah drastis. Suhu ruangan turun. Kulit lenganku merinding, bukan karena takut—melainkan karena tubuh ini tahu, secara naluriah, bahwa yang berdiri di sana bukan manusia. Dan apa pun bentuknya, ia tidak tunduk pada hukum dunia ini.“Masuk,” bisikku pada Intan dan Ragil. “Kunci pintunya.”Kami bertiga mundur pelan, lalu Intan me

  • DOKTER SETAN   Dia yang Ada di Dalam Diriku

    “Apa yang kau lihat... bukan dari kaca. Tapi dari dalam dirimu sendiri.”Suara itu menghantam kesadaranku sebelum aku bisa benar-benar memahami dari mana datangnya. Aku terduduk, napas terengah, tubuh basah oleh keringat meski malam tak begitu panas. Lilin yang tadi menyala di sudut meja telah padam, meninggalkan bekas lelehan di atas kertas-kertas yang berserakan.Cermin di depanku tidak lagi menunjukkan apa-apa. Hanya pantulan pucat wajahku sendiri yang masih terguncang.Aku mencoba berdiri. Lututku lemas. Seluruh tubuh seolah tertarik oleh sesuatu yang berat dari dalam perut, seperti beban yang tak bisa dijelaskan. Langkahku pelan menuju jendela, membuka sedikit tirai untuk membiarkan cahaya dari lampu jalan masuk.Jalanan kosong. Pohon trembesi di seberang kontrakan bergoyang ringan. Tak ada yang mencurigakan. Tapi bagian belakang leherku masih merinding, seolah ada mata tak kasatmata yang belum berhenti memperhatikanku.Aku memutar keran wastafel, mencipratkan air ke wajah. Dingi

  • DOKTER SETAN   Ketika Harus Memilih

    “Kau sudah melihatku, Radit. Sekarang kau harus memilih.”Suaranya tak terdengar melalui udara. Tapi muncul dari dalam dada, bergema seperti bisikan dari ruang sempit. Dalam gelap, mata itu tetap menatapku tanpa berkedip. Tak ada wajah, tak ada tubuh—hanya sepasang mata yang diam, namun membuat kulit leherku menegang.Aku bergeming. Napasku terasa pendek. Jari-jari kakiku mencengkeram lantai dingin, tapi rasanya aku tak menyentuh apa pun. Dunia seperti menguap di sekitar cermin. Hanya suara denyut jantung yang terdengar jelas di telingaku.“Pilih apa?” tanyaku pelan. Bahkan suaraku sendiri terasa asing.Mata itu bergerak sedikit, lalu menyipit seperti sedang tersenyum—atau menghina. Sinar samar dari luar jendela menyingkap bayangan wajah samar, tapi setiap detailnya kabur, seperti lukisan minyak yang setengah terhapus.“Pilih siapa yang akan tetap tinggal... dan siapa yang akan menghilang.”Aku mencoba mundur, tapi kakiku seperti menancap di lantai. Cermin itu memantulkan lebih dari b

  • DOKTER SETAN   Mata Misterius

    “Aku tahu ini sulit dipercaya. Tapi aku tidak sedang mengada-ada.”Aku menatap Intan dalam diam. Kata-katanya barusan masih bergema dalam kepala—bahwa dalam mimpinya, dia melihat sosok menyerupai diriku… dengan mata yang bukan milik manusia.Lorong tempat kami berdiri terasa makin sunyi. Bahkan suara hujan di luar terdengar seolah berasal dari dunia lain.“Apa maksudmu ‘bukan mata manusia’?” tanyaku pelan.“Mata itu... hitam, tapi dalamnya ada pusaran. Seperti lubang tak berujung,” katanya, suaranya nyaris bergetar. “Dan dia bukan hanya melihatku. Dia masuk ke pikiranku. Seolah sedang mencari... sesuatu.”Aku menyentuh pelipisku perlahan. Kepala ini memang terasa sedikit berat sejak kejadian dengan pasien pertama. Tapi aku tak pernah memikirkan bahwa seseorang, bahkan dalam mimpi, bisa melihat ‘sesuatu’ yang menyamar jadi aku.Intan melangkah lebih dekat. Bayangan tubuhnya menempel di dinding yang lembap. Bau besi tua dari pipa bocor menyatu dengan udara dingin malam.“Aku pikir... mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status