Anya, lulusan ekonomi dari desa, terpaksa menjadi jaminan atas hutang lima ratus juta rupiah ayah tirinya, Darman, kepada CEO Pratama Land, Rio Pratama. Ia dipaksa tinggal dan bekerja sebagai pelayan di apartemen mewah Rio. Setiap hari adalah perjuangan bagi Anya. Rio memperlakukannya dengan dingin, merendahkan statusnya, dan menegaskan kekuasaannya 24 jam penuh, bahkan memanggilnya di tengah malam untuk perintah sepele hanya untuk menegaskan kontrol. Kilas balik mengungkap Darman memaksa Anya setuju demi keselamatan ibunya yang sakit-sakitan.
View MoreMobil hitam berhenti di depan lobi gedung tinggi, memantulkan cahaya kota. Anya keluar, menggenggam koper tua yang asing di tengah gemerlap ini. Ia berasal dari desa terpencil, jauh dari kenyataan yang keras. Gelar ekonominya? Tak lebih dari sekadar kertas.
Dunia yang kini ia pijak adalah milik Rio Pratama, CEO Pratama Land. Nama yang bergema di balik skandal dan kesepakatan gelap. Ia ada di sini bukan karena pilihan, tapi karena kesepakatan busuk yang dibuat Darman, ayah tirinya, yang korupsi lima ratus juta rupiah.
Di lobi marmer yang berkilau, seorang wanita paruh baya telah berdiri tegak menunggu. Namanya Marta, pelayan setia Rio. Raut wajahnya tanpa ekspresi seolah setiap geraknya telah dilatih untuk tidak menyampaikan apa pun selain tugas.
Mata Marta menyapu Anya dari ujung kepala hingga koper tuanya. "Anda Anya?" tanyanya dengan suara datar.
"Ya, saya Anya," jawab Anya, suaranya sedikit tercekat. Ia merasa seperti sedang dinilai, dan ia tahu ia gagal dalam penilaian itu.
"Ikuti saya," kata Marta singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju lift. "Tuan Rio menunggu."
Lift naik tanpa suara, namun tekanan di dadanya makin nyata. Lantai demi lantai berlalu. Ia tak sedang menuju tempat tinggal, tapi sebuah jeruji mewah yang dibungkus kesepakatan gelap dan nama besar Rio Pratama.
Pintu apartemen terbuka perlahan. Ruangan itu luas, tapi tak ada kehangatan disana. Perabotan minimalis bergaya modern tampak seperti dipilih oleh katalog, bukan oleh hati. Seperti hotel mewah yang tak pernah berniat jadi rumah.
Marta melangkah tanpa bicara, lalu menunjuk satu pintu. “Ini kamar Anda,” katanya. Sebuah ruang kecil dengan kamar mandi pribadi. Seperti sisa ruang yang disisihkan, bukan disediakan.
Anya melirik sekilas ke dalam kamar yang terasa sempit dan dingin itu. "Baik," ucapnya pelan.
"Seragam Anda ada di lemari," katanya singkat. "Ganti sekarang. Tuan Rio ingin Anda di ruang kerjanya. Segera."
Di kamar kecil yang sunyi, Anya menatap seragam abu-abu, mengingat impian yang dulu ia punya. Menjadi analis keuangan kini terasa jauh, tergantikan oleh pekerjaan sebagai pelayan. Penghinaan itu menyakitkan, namun tekadnya semakin menguat. Ia ada di sini karena Darman, tapi ia bertahan untuk ibunya.
Setelah berganti pakaian, Anya mengikuti Marta lagi. Mereka berhenti di depan pintu kayu besar. Ruang kerja Rio. Jantung Anya berdebar. Di balik pintu itu, ada pria yang mengendalikan hidupnya.
Marta mengetuk dan membuka pintu. "Tuan, Nona Anya sudah datang," lapor Marta.
"Biarkan dia masuk," suara Rio terdengar dari dalam.
Anya melangkah masuk. Ruangan itu dipenuhi buku dan meja kerja besar. Di belakang meja, duduklah Rio Pratama. Tinggi, berwajah tegas, dan matanya... mata gelap yang tajam dan dingin. Tanpa emosi. Hanya sorot yang menilai, sinis. Aura kekuasaan dan ketidakpedulian menyelimutinya.
Rio menatap Anya tanpa bicara, seperti memeriksa barang. "Jadi... Anya," suaranya dalam, tenang, tapi penuh otoritas. "Kau di sini. Sesuai kesepakatanku dan Darman."
Dia berdiri, berjalan mendekat. "Darman berhutang padaku. Lima ratus juta." Nadanya datar, seperti sedang membahas laporan bisnis. "Dia bilang kau akan 'bekerja' untuk melunasinya. Atau setidaknya, sebagai jaminan."
Rio mengampiri tanpa suara dan berhenti hanya sejengkal dari Anya. Tatapan matanya dingin, penuh penilaian. “Cum laude dari jurusan ekonomi, ya?" katanya dengan senyum sinis. "Sayang sekali, kepintaranmu tak cukup untuk menghindar dari seragam pelayan ini."
Ejekannya halus namun menusuk, membuat Anya merasa darahnya mendidih. Tanpa menunggu respons, dia melanjutkan, nada bicaranya seperti palu vonis. “Kerjamu di sini sederhana. Melayani. Tak usah bertanya soal jadwal. Anggap waktumu sekarang milikku.”
Rio bersandar di kursinya dengan angkuh, namun pandangannya tetap terkunci pada Anya, "Jangan pernah keluar tanpa izinku. Jangan bicara pada siapapun. Dan yang terpenting..." Suaranya merendah, penuh peringatan. "Jangan pernah mencoba menipuku. Jangan pernah mengkhianatiku. Aku punya caraku sendiri menangani pengkhianat." Kata terakhir diucapkannya dengan penekanan dingin, penuh beban pribadi.
Tatapan Anya tidak goyah. Ia menahan semua ketakutan di balik mata yang dingin. Ia tak akan memberi Rio kepuasan melihatnya lemah. Darman yang menyeretnya ke sini, tapi dia yang akan menentukan bagaimana semuanya berakhir.
"Saya mengerti, Tuan Rio," ucapnya, suaranya tegas, tanpa gentar.
Rio mengangguk. "Bagus. Marta akan memberi detail tugasmu. Kau boleh pergi."
Anya keluar dari ruangan itu. Marta sudah menunggu. Pintu tinggi apartemen mewah ini adalah penjara barunya. Tapi di dalamnya, Anya bertekad menemukan kekuatan untuk bertahan, dan mungkin, kelak, kunci kebebasan.
Di ruang kerjanya, Rio menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya pada tatapan mata Anya yang tak gentar. Gadis yang kini dalam genggamannya. Dan tak akan ada pengkhianatan yang luput dari hukumannya.
Marta memimpin Anya keluar dari ruang kerja Rio, wajahnya tetap datar, namun ada sesuatu dalam langkahnya yang sedikit lebih santai, seolah memberi ruang bagi Anya untuk bernapas. Ia membawa Anya ke area dapur terbuka yang luas dan modern. Peralatan stainless steel berkilauan dengan sempurna, seakan memperingatkan tentang standar tinggi yang harus dipenuhi.
"Ini dapur," kata Marta tanpa ekspresi. "Pastikan tempat ini selalu bersih. Tuan Rio tidak mentolerir kekacauan, sekecil apa pun."
Marta menjelaskan dengan cepat dan efisien, menunjukkan letak peralatan pembersih, bahan dapur, dan cara kerja alat-alat canggih tanpa banyak basa-basi. "Pembersih ini untuk stainless steel, ini untuk lantai marmer," ujarnya sambil menunjuk. "Mesin cuci piring ini otomatis, tapi pastikan piring-piring tersusun rapi di dalamnya."
Anya mengangguk. "Saya mengerti, Bu Marta." Anya mendengarkan dengan saksama, setiap kata dari Marta diserap dalam pikiran yang tajam. Meskipun terperangkap dalam situasi yang merendahkan, Anya tahu betul bagaimana caranya bertahan.
Marta menatap Anya sejenak sebelum melanjutkan dengan nada yang tak memberi ruang untuk pertanyaan. "Jadwalmu akan berubah-ubah, tergantung pada Tuan Rio," katanya. "Namun secara umum, pagi hari untuk membersihkan apartemen, menyiapkan sarapan bila diminta, dan membantu saya dengan pekerjaan rumah. Sore hari, persiapkan makan malam. Malam hari, pastikan semuanya rapi sebelum Tuan Rio tidur."
Setelah memberikan instruksi dengan jelas, Marta berhenti sejenak dan menatap Anya dengan tajam. "Kerja keras. Jangan buat masalah. Ikuti perintah. Itu satu-satunya cara kau bisa bertahan di sini," katanya, nada suaranya mengandung peringatan yang tak bisa diabaikan. Ada saran tersembunyi di balik kata-katanya, sesuatu yang harus diperhatikan jika Anya ingin tetap aman di sini.
Nada suara Marta mengandung peringatan yang tegas. Di sini, waktu Anya bukan lagi miliknya. Sebagai 'jaminan', semua waktu dan tenaganya kini dibayar dengan hutang lima ratus juta itu.
Di lorong rumah sakit, Rio berjalan cepat. Clara mengejarnya, tumit tingginya berdetak di lantai marmer.“Rio, jangan seperti ini.”Rio menoleh tajam. “Aku sudah cukup sabar. Kau pikir kau bisa menang karena Mama membelamu? Itu bukan kemenangan, Clara. Itu kebohongan.”“Aku tidak membohongi siapa pun,” jawab Clara santai. “Aku hanya membuka mata Mamamu tentang siapa perempuan itu.”“Kau tidak tahu apa-apa tentang Anya.”Clara mendekat. “Tapi aku tahu segalanya tentang kamu, Rio. Itu lebih penting.”“Dan itulah masalahnya. Kau tahu terlalu banyak tentang aku. Tapi nol tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menguasai.”Clara menatap tajam. “Kalau aku tak mencintaimu, aku tidak akan peduli.”Rio diam. Matanya sayu. “Kau hanya peduli pada rasa memiliki, Clara. Bukan cinta.”Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan Clara
“Rio?” suara Mama Amelia terdengar lemah dari ranjangnya, tapi nada bicara tetap tajam, penuh kendali seperti biasa.Rio masuk, ragu-ragu. “Ma… Aku datang.”Di sisi ranjang, mata Mama Amelia langsung beralih ke sosok di samping Rio. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Clara. Kau kelihatan cantik seperti biasa.”Clara melangkah lebih dulu, menggenggam tangan Mama Amelia. “Tante, saya senang bisa lihat Tante lagi. Maaf saya datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa, Sayang. Justru Tante berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin Rio nggak akan pernah muncul di sini.”Rio menghela napas. “Ma, aku memang ingin datang. Jangan salah paham.”Mama Amelia melirik Rio dengan dingin. “Setelah sekian lama? Setelah kau menikah diam-diam dengan perempuan yang bahkan tak pernah Mama kenal?”“Ma…” Rio memejamkan mata. “Itu keputusan pribadi. Aku nggak berniat menyakiti Mama.”Clara masih berdiri di sisi ranjang, wajahnya seolah bersahabat, tapi jelas penuh kemenangan. “Tante, saya juga kaget saat tahu R
Keesokan harinya, Rio menelepon Clara. Suaranya datar, tanpa getar perasaan. Ia sadar, mempertontonkan emosi hanya akan membuatnya terlihat lemah di mata Clara."Clara, bisakah kau datang ke kantorku sekarang? Aku tunggu."Clara, tentu saja, menyambut permintaannya dengan nada manis yang menusuk. "Tentu saja, Rio. Ada apa? Apa kau merindukanku?""Jangan bodoh, Clara. Ini serius," balas Rio tanpa basa-basi.Satu jam kemudian, Clara memasuki ruang kerja Rio, mengenakan gaun merah menyala yang seolah berteriak, "Lihat aku, aku sangat memukau." Namun Rio mengabaikannya."Ada apa, Rio? Tumben sekali kau memintaku datang ke sini," Clara membuka percakapan dengan nada menggoda.Rio langsung to the point. "Cukup, Clara. Aku tahu apa yang kau lakukan. Menghubungi Mamaku, mengisi kepalanya dengan omong kosong tentang aku dan Anya. Hentikan."Clara mengangkat alis. "Menghubungi Mama Amelia? Aku hanya menjenguknya, Rio. Menemaninya. Apa itu salah? Kau sendiri bahkan tidak sempat menemuinya.""Itu
Suasana hening menekan dari balik pintu kamar yang terkunci. Rio membatu di tengah ruang tamu, ponsel menempel erat di telapak tangannya. Setiap kata yang diucapkan Clara menggema dalam pikirannya, mengguncang perasaannya antara marah dan takut."Br*ngs*k!" Rio mengumpat, suaranya tercekat. Ia menekan nomor Clara dengan brutal."Halo, Rio? Ada masalah? Kuharap aku tidak mengganggu," suara Clara terdengar terlampau manis, menusuk telinga Rio dengan ironi."Hentikan sandiwara ini, Clara! Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini?" sergah Rio tanpa tedeng aling-aling.Tawa lirih meluncur dari bibir Clara. "Melakukan apa? Aku hanya ingin kau bahagia, Rio. Apakah itu dosa?""Berhenti sok jadi penyelamat! Aku nggak butuh kebahagiaan versi kamu! Fokus aja sama hidupmu sendiri dan jangan ganggu rumah tanggaku sama Anya!""Sayangnya, Rio, kau tahu aku benar. Anya tidak memahamimu. Kalian terperangkap di dua dunia yang berbeda. Aku… akulah yang mengerti dirimu, Rio. Dulu, dan selamanya
Malam semakin larut. Suasana tegang yang sempat mencair di ruang apartemen kembali menyelimuti. Anya, setelah lama terdiam, akhirnya kembali membuka percakapan.“Rio,” panggil Anya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.Rio, yang sedari tadi melamun menatap layar televisi yang mati, menoleh. “Ya?”“Katamu Clara bilang ada orang yang nggak ingin kamu bahagia. Apa… apa itu aku?” tanya Anya, keraguan terpancar jelas dari matanya.Rio terkejut. “Tentu saja bukan kamu, Anya! Kenapa kamu berpikir begitu?”“Karena kamu menyembunyikan semuanya! Kamu bilang ini masa lalu yang rumit, tapi kamu nggak mau cerita apa-apa. Gimana aku nggak curiga?” Anya meninggikan suaranya, frustrasi.Rio berdiri dan mendekat, meraih tangan Anya. “Anya, dengar. Aku nggak bermaksud bikin kamu curiga. Justru karena aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu ikut campur urusan ini. Ini… ini bisa
Suara detik jam di ruang tamu seakan berirama dengan kegelisahan yang mengisi ruang itu. Rio duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela apartemen yang menghadap kota. Anya masih di sana, di sisi sofa, dengan ekspresi campur aduk antara ingin tahu dan sabar menunggu.“Aku… harus bilang sesuatu, Anya,” suara Rio akhirnya pecah dalam keheningan.Anya menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa itu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu itu.”Rio menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat meraih gelas air di meja. “Hari ini aku bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang penting bagiku.”Anya mengernyit, menunggu kata berikutnya.“Dia datang tanpa aku duga. Aku nggak bilang siapa dia, bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku takut kamu salah paham,” Rio menunduk.“Kalau aku nggak tahu, aku pasti malah lebih penasaran, kan?” Anya berkata pelan tapi tegas. &
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments