Share

ALDO

Author: Rosemala
last update Last Updated: 2023-11-26 07:49:26

31

Aku terbelalak. Aku lupa memanggil dia Om lagi. Kalau lagi mode jutek begini, aku merasa masih gadis yang berusaha menghindari Om, eh, Mas Pandu.

Aku tidak menjawab, kemudian mulai melangkah lagi. Mas Pandu merebut tas yang kubawa. Aku biarkan saja, toh, memang berat.

Aku mengeluarkan ponsel, lalu pura-pura memesan taksi online. Tangan Mas Pandu dengan cepat merebut ponselku, lalu dimasukkan ke dalam tas bajuku. Bidi imit.

Dia menarik tanganku ke arah pintu samping yang menghubungkan garasi.

"Di depan Ayah dan Ibu, jangan memanggilku Om lagi. Atau nanti kamu akan Mas hukum berat!" ancamnya setelah kami di dalam mobil.

Aku tidak menjawab, pandangan juga masih ke arah luar jendela. Tidak meliriknya sama sekali. Malas. Mas Pandu mulai menjalankan mobil dengan kecepatan sedang.

"Maaf, tadi Mira–”

"Bodo amat!" potongku cepat tetap tanpa menoleh. Aku bahkan sudah jijik hanya dengan mendengar namanya.

Terdengar embusan kasar dari mulutnya. Setelah itu tak ada suara lagi yang terdeng
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (3)
goodnovel comment avatar
AishaJuleha
om Pandu bener2 posesif sama istri kecilnya...wkwkwk
goodnovel comment avatar
Rosemala
bukan dong, ini Aldo yang beda. dan Aldo ini tercipta lebih dulu sebenarnya
goodnovel comment avatar
Nathalie Simatupang
Ini bukan Aldo nya Anyelir kan ......
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   198

    Pagi itu bandara terasa lebih sunyi dari biasanya bagi Sadewa. Bukan karena jumlah penumpang yang sedikit, melainkan karena hatinya penuh oleh hal-hal yang tak terucap. Deru pendingin udara, suara pengumuman keberangkatan, dan langkah-langkah orang yang berlalu-lalang seolah menjadi latar samar dari perpisahan yang sedang ia jalani.Ia berdiri di dekat jendela besar ruang tunggu internasional, menatap landasan pacu yang masih basah oleh sisa embun pagi. Sebuah koper hitam berdiri tegak di samping kakinya—ringkas, rapi, seperti hidup baru yang hendak ia mulai: tidak banyak, tidak berlebihan, hanya yang perlu.Alvina duduk di kursi deret belakangnya. Kedua tangannya saling menggenggam, jemarinya dingin meski ruangan itu hangat. Sesekali ia mengusap sudut matanya dengan punggung tangan, berusaha menahan sesuatu yang terus mendesak keluar. Pandu berdiri di sampingnya, tubuhnya tegap seperti biasa mesku usia tidak lagi muda, namun sorot matanya menyimpan kelelahan dan kebanggaan yang berke

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   197

    Dua Tahun KemudianSore itu begitu tenang. Angin berhembus pelan, menggoyangkan pucuk-pucuk kamboja yang tumbuh rapi di tepi pemakaman. Matahari sedang turun, menyisakan cahaya jingga yang jatuh lembut di atas barisan nisan putih. Burung-burung kecil pulang ke sarang, sesekali suaranya memecah keheningan yang terasa menenangkan sekaligus mengiris di dada.Di tengah barisan makam, seorang pria berjongkok lama. Kepalanya tertunduk, kedua siku bertumpu pada lututnya. Nafasnya naik turun pelan, seperti menahan sesuatu yang sudah lama mengendap.Ketika angin kembali bergerak, pria itu akhirnya mengangkat wajahnya. Perlahan ia bangkit, telapak tangannya menepuk-nepuk celana yang sedikit kotor oleh tanah. Dia memunggungi angin, membiarkannya menyapu rambut yang kini lebih pendek dari dua tahun lalu.Di hadapannya, sebuah nisan berdiri sunyi. Namanya terukir jelas—nama yang pernah menjadi pusat hidupnya, tapi juga pusat kehancuran dan penyesalannya.Pria itu menunduk lagi, kali ini dengan lem

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   196

    Lorong rumah sakit itu dingin. Lampu-lampu putih memantulkan cahaya yang terasa getir di mata, seolah ikut menegaskan kecemasan yang menggantung di setiap helaan napas. Nakula berjalan cepat, hampir berlari. Tangannya menggenggam tangan Dinda yang hampir terseok-seok mengejar di belakangnya, memanggil namanya agar sedikit memperlambat langkah. Tapi Nakula seolah tidak mendengar apa pun selain degup jantungnya sendiri.Begitu tiba di depan ruang tunggu ICU, Pandu bangkit dari kursi. Wajahnya kusut, rambutnya berantakan, dan lingkar hitam membekas di bawah matanya. Alvina duduk di pojok ruangan, menangis dalam diam, bahunya bergetar pelan. Di sampingnya, Prisa memeluk wanita itu erat-erat, berusaha menenangkannya meski air matanya sendiri terus mengalir.“Naku….” Pandu mencoba menyapa.Tapi Nakula langsung menghampirinya, wajahnya pucat dan matanya merah. “Bagaimana Dewa sekarang? Kenapa kalian tidak bilang sejak awal?” Suaranya pecah. “Kenapa aku tidak diberi tahu sejak dia celaka? Buk

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   195

    Lorong rumah sakit malam itu berubah menjadi ruang tanpa waktu. Lampu-lampu putih terasa terlalu terang, tetapi tetap saja tidak mampu mengusir pekatnya ketegangan yang menggerogoti semua orang. Suara langkah kaki dokter dan perawat yang berlalu-lalang terdengar seperti gema tak berujung, menambah kegelisahan yang sejak tadi menghimpit dada Alvina, Pandu, dan keluarga lainnya.Alvina duduk di kursi tunggu dengan lemas, tubuhnya gemetar tak berhenti. Ia baru saja sadar dari pingsan. Kedua tangannya mencengkeram ujung rok rumah sakit yang tadi dipinjamkan perawat saat ia kehilangan kesadaran. Napasnya masih tersengal, seolah paru-parunya menolak bekerja sejak melihat kondisi Sadewa.Prisa duduk di sebelahnya, menggenggam bahunya erat-erat, berusaha membuatnya tetap bertahan. Namun mata Alvina terus kosong, sesekali terpejam kuat-kuat seakan ingin menghapus bayangan mengerikan yang tadi ia lihat di ruang perawatan Sadewa. Bayangan itu terus menempel di belakang kelopak matanya, seakan-ak

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   194

    Pandu menahan napasnya dalam-dalam. Urat di pelipisnya menegang, rahangnya menggembung menahan luapan amarah yang makin sulit dikontrol. Di hadapannya, putra yang baru saja melewati maut itu menatap dengan mata merah basah—penuh tuduhan, putus asa, dan amarah yang terarah pada orang yang salah.“Kalau bukan dia … siapa, Pa?! Siapa lagi yang benci kami selain dia?!”Kalimat itu menghantam dada Pandu lebih keras dibanding suara benturan besi melawan besi dalam kecelakaan yang merenggut nyawa menantunya.Alvina memegangi dada, tubuhnya gemetar.“Dewa, Nak… jangan bilang begitu. Nakula sedang menikah, bahkan selama mempersiapkannya dia hampir tidak tidur dan makan. Bagaimana bisa dia berpikir untuk mencelakakan kalian? Lagipula….” Alvina menggeleng tajam. “Bunda sangat mengenal Naku, dia berhati lembut dan selalu mengalah sejak kecil. Mana mungkin dia melakukan hal….”“Saudara kembarku itu bukan malaikat, Bun!” Sadewa memotong kasar. “Dia selalu bilang sayang sama aku, tapi aku tahu dia n

  • DUDA KAYA YANG MELAMARKU ITU AYAH SAHABATKU   193. TUDUHAN

    Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status