“Aku memang mau menikah muda, tapi bukan dengan duda. Apalagi duduanya yang meresahkan kayak papa kamu. Amit-amit!” Mungkin sebagian orang pernah bermimpi untuk menikah muda. Namun, bila menikahnya dengan duda yang sudah memiliki anak seusia dengannya, apa yang harus dilakukan Alvina? Alvina tidak pernah menyangka jika ayahnya Prisa—sang sahabat, akan mengajaknya menikah. Menurutnya tidak masuk akal seorang pria matang dan mapan jatuh cinta kepada gadis seusia dengan anaknya. Lalu, apa motif Om Pandu mengajaknya menikah? Apa mungkin Alvina bisa menjadi ibu sambung untuk sahabatnya sendiri?
View More1
"Prisa, tolong bilang sama teman kamu, dia harus bertanggung jawab, ya! Kedudaan Papa sudah ternoda. Da sudah melihat aurat Papa. Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus bertanggung jawab!" teriak Om Pandu dari depan pintu kamar Prisa, membuatku terperangah. Apa katanya? Aku harus bertanggung jawab? Oh My God, yang ternoda di sini, aku. Mata dan otakku sudah ternoda gara-gara melihat ... ah, aku mengacak rambut frustrasi. Menyesal kenapa harus datang ke sini kalau tahu akan seperti ini. "Iya, Pa. Tenang aja, Alvina bukan gadis yang suka lari dari tanggung jawab, kok," balas Prisa juga sambil teriak dan diiringi tawanya yang membahana.Aku melotot kesal ke arah sahabatku itu, tetapi hanya dibalas dengan tawa renyahnya. "Pokoknya Papa tidak mau tahu, dia harus mau menikahi Papa. Kalau tidak, Papa akan tuntut sama orang tuanya!" teriak Om Pandu lagi dari celah pintu kamar Prisa yang sedikit terbuka. Aku semakin terbelalak mendengar ucapan ayah sahabatku itu. Dasar duda meresahkan! Dia yang tidak pakai baju. Kenapa aku yang disalahkan? Sampai meminta tanggung jawab pula. Memangnya dia pikir aku perempuan apa? Dasar Om-om aneh! Duda meresahkan! Aku terus mengumpat dalam hati.Prisa sudah membuka lagi mulutnya hendak menjawab teriakkan papanya. Namun, aku secepat kilat mengeluarkan jurus andalan. Kuterjang sahabatku itu dengan bantal tepat di wajahnya, hingga ia terjungkal di atas karpet tebal kamarnya ini, dan itu sukses membuatnya bungkam dengan mata melotot. Walaupun akhirnya terdengar lagi tawanya yang menyebalkan. Aku memajukan bibir dengan kesal. Teringat kejadian beberapa saat sebelumnya yang menjadi momen pertemuan pertamaku dengan Om Pandu si duda menyebalkan itu.Hari ini aku dan Prisa sudah janjian mengerjakan tugas kuliah bareng. Kami sepakat menajdikan rumah Prisa sebagai tempat mengerjakan tugas. Entah kenapa kali ini ia mau di sini. Padahal biasanya rumahku yang dijadikan base camp kami. Ia menyebut selalu suka suasana rumahku yang hangat, dan yang terpenting Prisa suka masakan ibu. Prisa yang sudah lama tidak merasakan kasih sayang seorang ibu, selalu bermanja-manja dengan ibuku. Kalau dilihat sekilas, seolah-olah ialah yang anak kandung ibu, dan bukan aku. Ia lebih dekat dan manja daripada aku anak kandungnya.Kedekatanku sendiri dengan Prisa sudah terjalin sejak kami menginjakkan kaki di kampus yang sama dua tahun lalu. Berlanjut hingga kini lebih dari dua tahun.
Dengan memesan ojek online, aku menuju rumah Prisa. Hari masih terlalu pagi saat aku tiba karena kami berencana keluar setelah tugas selesai. Aku menekan bel di samping kanan pintu bercat putih hingga beberapa kali karena tak kunjung ada yang membukakan pintu. Kemana Prisa? Apa ia belum bangun sesiang ini? Masa iya anak gadis bangunya siang. Aku yang kerepotan dengan buku-buku tebal di tangan, kesal juga karena cukup lama Prisa tak jua membuka pintu.Tanganku terangkat lagi hendak mengetuk pintu, saat tiba-tiba benda itu terbuka dan langsung menyuguhkan pemandangan yang membuat tubuh ini panas dingin. Seorang pria usia awal empat puluhan berdiri di sana dengan tubuh bagian atas tak berpenutup, hanya celana pendek yang membalut tubuh bagian bawahnya. Keringat terlihat membanjiri seluruh tubuhnya. Dari gelagatnya aku yakin ia baru selesai berolahraga.Mataku terbelalak melihat pemandangan di depan mata. Buku-buku tebal yang kupegang lolos begitu saja dari dekapan, karena sendi-sendiku mendadak lemas tak bertenaga. Ya Tuhan, oh tidak ... mataku ternoda. Aku memalingkan pandangan, tetapi sial mataku malah disuguhi keringat yang mengalir di sela-sela roti sobek pria itu seperti air sungai yang mengalir di sela-sela bebatuan kaki bukit. "Cari siapa?" tanya sang pria seraya maju satu langkah. Aku yang kaget, sontak mundur juga selangkah. "Eh, anu cari ... saya cari keringat, Om." Aku membekap mulut dengan kelima jari yang entah kenapa menjadi gagap. Kemudian kupukuli mulut itu tanpa sadar. "Bagaimana?" tanya sang pria lagi. Kening berkeringatnya terlihat berkerut. "Anu Om, saya mau cari ... anuan ... roti sobeknya, Om." Ya Tuhan, ada apa dengan diriku? Bicara apa aku ini? Semakin tidak karuan saja. Aku memukuli lagi mulut yang tidak tahu malu."Roti sobek?" Sang pria kembali bertanya dengan heran. Ia kembali maju, dan aku refleks mundur lagi dengan mata semakin membeliak. Ternyata setelah di depan pintu dengan pencahayaan matahari, roti sobek dan keringatnya terlihat semakin ... arghhh ... tubuhku semakin panas dingin tak karuan. Dasar payah, kenapa hanya melihat roti sobek saja sampai terhipnotis seperti ini? Alvina, matamu benar-benar ternoda. Matamu sudah tak perawan lagi! "Al, kamu sudah datang?" Suara Prisa terdengar nyaring di balik punggung pria itu. Percayalah, aku merasa seolah terbebas dari tiang gantungan. Menghadapi pria ini bagai dihadapkan vonis kematian. Aku sulit bernapas."Papa apa, sih? Malah nakut-nakutin temanku. Sana minggir! Mana enggak pakai baju, lagi!" Prisa mengomel, mungkin karena melihat wajahku yang pucat. Kemudian ia mendorong tubuh pria yang menghalangi jalannya. "Loh, siapa yang nakut-nakutin? Malah Papa yang takut diterkam sama temanmu itu. Dari tadi dia melihat Papa terus, enggak ngedip-ngedip." Apa? Mataku semakin membulat mendengar ocehannya. Terlihat Prisa memajukan bibirnya. "Iyalah, dia enggak ngedip-ngedip, orang Papa porno begitu," timpal Prisa lagi seraya menunjuk tubuh sang pria. "Masih untung anak orang enggak pingsan. Kalau pingsan Papa mau tanggung jawab?" Kali ini Prisa bertolak pinggang."Loh, kok, jadi Papa yang harus tanggung jawab? Yang ternoda di sini tuh, Papa. Kedudaan Papa sudah ternoda sama dia, jadi dia yang harus tanggung jawab." Pria itu menunjukku.Aku semakin terperangah. Kepalaku berdenyut mendengar perdebatan mereka. Sementara Prisa berdecak kesal. Kemudian memungut buku-buku yang tadi kujatuhkan."Sudah Al, ayo masuk! Kenapa lama banget, sih? Aku tunggu dari tadi, loh!” ujar Prisa tak mempedulikan ayahnya. Ditariknya tanganku yang masih bengong menatap sepasang ayah dan anak aneh itu."Tunggu, Pris!" seru pria itu lagi. Prisa menghentikan langkahnya secara mendadak. Aku yang tidak fokus, menabrak tubuh Prisa karena tanganku digeretnya. "Pokoknya Papa tidak mau tahu, Papa mau meminta pertanggungjawaban temanmu, ya!" Sang pria masih kukuh dengan ucapannya. Aku dan Prisa memutar bola mata malas bersamaan. "Dasar centil!" umpat Prisa kemudian menarik tanganku lagi, membuatku terhuyung-huyung mengikuti langkahnya. Aku pikir semua sudah selesai dan ayah Prisa hanya seseorang yang memiliki selera humor tinggi. Siapa sangka saat kami selesai mengerjakan tugas dan keluar kamar, sang pria sudah menunggu kami di ruangan yang akan kami lewati. Kali ini dengan pakaian lengkap. Sudah rapi juga dengan wajah segar.Aku berusaha cuek dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa hingga tidak disangka sang pria menghadang langkah kami.“Kamu, namamu siapa tadi?” tanyanya dengan gaya so cool. Walaupun kuakui wajah ayah sahabatku masih tampan dan terlihat lebih muda dari usianya.Tapi dia tetap duda, kan? Ayah Prisa juga.Aku melirik Prisa sebelum menjawab singkat. “Alvina, Om.”“Ok, Alvina. Tolong sampaikan kepada orang tuamu, besok Om mau ke rumahmu.”“Rumahku?” Keningku mengernyit. “Baik, Om. Akan saya sampaikan,” lanjutku tanpa curiga.“Kamu enggak nanya saya mau apa ke rumahmu?” Kening ini kurasakan semakin berlipat demi pertanyaan aneh Om Pandu.“Memangnya mau apa, Om?” tanyaku polos.“Mau melamar kamu.”Idih.Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d
Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse
Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments