18Prisa membawa cangkir tehnya yang masih panas. Lalu, duduk di sebelahku. "Gimana semalam?" tanyanya sambil menyeringai. "Apanya yang gimana?" tanyaku balik dengan kening mengerut. "Udah jalan-jalan ke surga? Udah ketemu belum surga dunianya? Udah sampai langit berapa?"Aku mengernyit tak mengerti. Dia ngomong apa, sih?"Papaku pasti hebat, ya, secara dia gila banget olahraga. Pasti kuat banget," lanjutnya lagi berbisik di depan telingaku, membuatku merinding. Aku menjauhkan kepala dari wajahnya. "Pris, jangan digodain terus mama kecilnya. Nanti kalau dia cerita, malah jiwa jomlo kamu yang teraniaya," sela Om Pandu tiba-tiba sambil duduk merapat padaku. Tangannya menyodorkan segelas susu yang baru dia buat. Sekarang posisi dudukku diapit Prisa dan Om Pandu. Dua-duanya merapat padaku. Membuatku tidak bisa bergerak bebas. Bahkan sulit untuk sekadar bernapas. "Ada banyak kursi di ruangan ini. Harus banget, ya, mepetin aku begini? Baru satu hari di rumah ini, tapi sudah teraniaya
19Om Pandu? Dia begitu terampil. Dan dalam keadaan seperti itu, dia jadi terlihat sangat ... seksi. Ya, suamiku seksi sekali kalau sedang masak begitu. Lihat punggungnya, bergerak-gerak seiring gerakan kedua tangannya. Duh .... Kok, tiba-tiba jadi pengen meluk dia dari belakang, ya? Terus bersandar di punggung kokohnya. Menghidu aroma tubuhnya dalam-dalam dan ... husss! Mikir apa kamu, Alvina! Sepertinya otakmu sudah terkontaminasi keomesannya."Silakan, My Queen, makan siang sudah siap ...." Tanpa sadar Om Pandu sudah selesai masak dan menyajikan langsung masakan yang masih mengepulkan asap di depanku. Aku menatap nanar masakan yang entah apa namanya, yang pasti ada fillet dada ayam campur sayuran segar di sana. Mungkin menu spesial rumah makan ini. Rasa haru tiba-tiba menyeruak. Om Pandu memperlakukanku sedemikian rupa seperti panggilannya tadi, 'My Queen'. Aku benar-benar tersanjung. Dia bahkan tidak malu memasak di depan para karyawannya. Padahal kalau dia mau, bisa menyuruh
20Aku dan Prisa duduk sebelahan sambil selonjoran di atas karpet bulu dengan menikmati camilan. Layar televisi di depan kami sedang menayangkan drakor kesayangan. Sebenarnya Prisa sudah beberapa kali menguap. Sepertinya kantuk sudah menyerangnya, karena hari sudah malam. Namun, dia seperti tak enak hati meninggalkanku sendiri di sini. "Kamu lapar apa doyan, sih? Itu keripik udah mau abis setoples?" Prisa menunjuk toples keripik pisang yang dari tadi kupeluk. "Dua-duanya," jawabku cuek. Sebenarnya bukan masalah lapar, tetapi aku masih marah dengan Om Pandu. Si bocah tua nakal itu. Sudah tua, tetapi kelakuannya seperti bocah. Cemburu buta digedein. Orang bilang cemburu itu tanda cinta. Harusnya bangga dicemburuin sama pasangan, berarti dia benar-benar cinta. Akan tetapi, kalau cemburunya macam Om Pandu begitu, aku jamin dibayar berapa pun tidak akan ada yang mau. Kecuali dibayarnya pakai dollar yang banyak. Hais.Seram. Matanya sampai berkilat-kilat. Wajah merah padam dengan rahang
21Om Pandu berdiri, setelah sebelumnya mengembus napas kasar berulang kali. Dia tidak berkata apa-apa. Dari gestur tubuhnya aku tahu dia sangat kecewa. Rasa bersalah menyeruak dalam hati. Sungguh, aku belum siap malam ini. Aku masih takut. Maaf, Om Pandu. Maaf, Ya Allah. Maafkan hambamu ini. Om Pandu pergi keluar kamar kami, entah ke mana. Dia pergi membawa kekecewaan. Apa aku harus menyusulnya? Mau bicara apa? Minta maaf karena aku masih belum siap juga? Ah, sepertinya basi.Akhirnya, aku hanya berdiam merutuki diri. Apakah malaikat melaknatku malam ini? Ya Allah, aku harus bagaimana? Apakah harus memaksakan diri siap malam ini? Maafkan aku, Ya Allah. Maafkan aku, suamiku. Aku hanya bisa menangis menyesali diri, sampai akhirnya tertidur karena lelah menangis. ***Entah jam berapa ini, kerongkongan terasa kering. Mungkin karena sebelum tidur, aku terus menangis. Kupaksa membuka mata, lalu bangkit dari tempat tidur. Aku terkejut, tempat yang biasa Om Pandu tiduri, kosong. Ke man
22Om Pandu berusaha melepaskan pelukanku, tetapi aku bertahan dan semakin mempereratnya. Aku tidak mau diabaikan. Titik. "Iya, sudah Om maafkan. Om ngerti kamu belum siap. Sekarang lepaskan, ya, Om mau mandi dulu," jawabnya pelan, setelah menarik napas panjang untuk ke sekian kalinya.Aku menggeleng lagi dan lebih menempelkan kepala di punggungnya yang basah. Aku bahkan tidak peduli sebagian rambut dan wajahku ikut basah. "Om, bohong. Pasti masih marah," rajukku manja. "Benar, Al, Om sudah maafin kamu sejak semalam. Sekarang lepasin dulu, badan Om lengket mau mandi dulu," ucapnya lagi, tangannya berusaha melepaskan lagi pelukanku. "Kalau sudah maafin, kenapa nggak bangunin aku salat? Emang Om nggak salat Subuh?" rajukku lagi, tetap bertahan memeluknya. "Om salat di musala," ucapnya lagi semakin pelan. "Tuh, kan. Om belum maafin aku. Pokoknya aku nggak bakal lepasin sebelum dimaafin!" Om Pandu menarik napas lagi sebelum berkata, " Kamu mau apa, Al?" tanyanya tegas.Apa dia mara
23Sinar matahari pagi yang menerobos lewat ventilasi di atas jendela dan gorden yang agak tersibak, menjadi saksi bersatunya dua jiwa raga dalam ikatan yang suci ini. Dan kami sekaligus mematahkan kebiasaan malam pertama yang harus dilakukan di malam hari. Kami bahkan melakukannya saat orang-orang mulai melakukan aktivitas mereka. Itu, tidak sedikit pun mengurangi kekhususan. Dan yang pasti rasanya tetap sama. Rasanya itu ... ah, pokonya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Aku menatap lelaki berpeluh itu dengan tatapan penuh cinta. Dia telentang dengan mata terpejam. Dadanya masih turun naik dengan cepat pertanda napasnya belum stabil setelah aktivitas intim kami. Matanya masih terpejam dengan mulut sedikit menganga, napasnya masih memburu.Aku ingin mengatakan sesuatu untuk mengungkapkan kebahagiaan yang membuncah di dada, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Apa aku harus bilang terima kasih? Atau apa? Ah, malu. Alhasil, aku hanya bisa menatapnya. Sepertinya dia sadar sedang
24Saat masih menunggu si abang rujak membuatkan pesanananku, kulihat pagar rumah seberang jalan terbuka, lalu muncul tante genit itu dari sana. Dia menuju ke mari. Dengan berjalan lenggak-lenggok laksana peragawati papan jati. Eh, papan atas. Melirik sinis padaku, dia menggerak-gerakkan bibir merah menyalanya mlenyok kiri mlenyok kanan. Aku hanya diam memerhatikannya. Merasa tidak punya masalah. "Rujaknya, Bang. Bikinin yang pedes banget, ya. Lagi pengen makan orang, nih," ucapnya dengan tetap melirik sinis padaku. Sebenarnya kenapa orang ini? Karena merasa tidak ada masalah sama dia, aku diam saja. "Apa menariknya, sih, bocah ingusan kayak gitu? Muka pas-pasan, body lurus nggak ada bentuk-bentuknya. Jauh ke mana-mana sama aku," cerocos wanita itu dengan masih terus melirikku. "Heran sama laki-laki, yang begitu, kok, dipilih. Padahal sudah ada yang menarik di depan mata, tapi dicuekin" lanjutnya lagi membuat alisku bertaut. Apa maksudnya coba? Apa dia sedang menyindirku dan su
25 Hari-hari bahagia sebagai istri Mas Pandu tengah kunikmati. Rasanya itu seperti ... ah, tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Kalau tahu pernikahan akan seindah ini, mungkin bukan hanya dimajukan seminggu, tetapi aku akan meminta dihalalkan hari itu juga. Eh! Mas Pandu benar-benar suami idaman. Selain romantis dan memperlakukanku bak ratu, dia juga begitu sabar menghadapi sifat kekanak-kanakanku. Dia tidak pernah mempermasalahkan aku yang tidak bisa masak, belum pandai mengurus rumah tangga, selalu susah dibangunkan dan segala kebiasaan buruk lainnya. Katanya semua itu butuh proses, dan dia yakin aku akan berubah lebih baik asal mau berusaha. Untuk urusan perut dia tidak mempermasalahkan, toh dia punya rumah makan. Kami bertiga bisa makan di sana atau sesekali dia yang mengajariku dan Prisa masak. Padahal, sih, bukan mengajari, lebih tepatnya dia yang memasakkan untuk kami. Kadang aku berpikir untuk apa dia menikah lagi, kalau toh hidupnya sudah bahagia sebelum diri ini masuk