Mendengar kabar bahwa Satria tengah dirawat di rumah sakit membuat Salsa menjadi iba dan ia pun berencana akan mengunjungi Satria sebelum pergi ia butiknya.
Sejak pagi Salsa sudah repot di dapur membuat makanan yang akan dibawa ke rumah sakit. Melihat sang putri tengah asik di depan kompor, membuat Juwi yang baru saja keluar dari kamar, turut tersenyum senang.
"Masak apa sih anak, Bunda?" tanya Juwi menghampiri Salsa.
"Masak aer," jawab Salsa pendek.
"Buat apa? Buat mandi?" Juwi melihat panci kecil yang tengah berada di atas kompor dalam keadaan mendidih.
"Bukan, Bun, bikin mi rebus. Teman Salsa sakit, jadi Salsa mau bawain makanan." Juwi mengangguk paham.
"Orang sakit gak boleh makan mi instan, Sa, nanti tambah sakit loh. Kenapa gak bawain roti aja?"
"Mi rebusnya untuk Salsa sarapan. Habis sarapan baru Salsa siap-siap jenguk dan beliin roti atau buah di jalan," jawab Salsa sambil menyeringai. Juwi merasa anak sulungnya terlalu cerdas dalam mengolah kata, sehingga otaknya yang hampir tumpul ini tidak bisa menyerap dengan baik ucapan Salsa.
"Untuk Bunda dan Papa sama adik-adik, udah bibik buatkan kwetiau goreng. Tuh, ada di atas meja. Salsa makan ini aja, lebih seger." Salsa menaruh mangkuk yang masih mengeluarkan uap mengepul karena baru saja dituang dari panci.
Wanita itu makan dengan lahap ditemani kerupuk putih hingga habis dua keping besar. Juwi memandang Salsa yang makannya sembarangan dengan mulut belepotan kuah mi.
"Sa, perempuan itu makannya yang anggun. Lelaki nanti ilfil loh kalau kamu makannya gitu," tegur Juwi pada putrinya. Namun Salsa hanya menanggapi dengan memberikan jempolnya. Juwi hanya bisa menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.
"Ngomong-ngomong, teman kamu yang sakit siapa? Laki-laki atau perempuan? Sakit apa?"
"Lelaki, Bun. Sakit bengek!"
"Oh, TBC? Kalau TBC kamu gak boleh jenguk deh, nanti malah ketularan lagi," ujar Juwi dengan raut wajah cemas. Salsa tertawa, lalu dengan cepat menyeruput kuah mi rebus rasa kare hingga mangkuknya bersih.
"Sesek napas bukan berarti TBC, Bunda. Ya udah, Salsa mau mandi, langsung ke rumah sakit, setelah itu Salsa baru ke butik." Salsa bangun dari duduknya, lalu berjalan cepat masuk ke dalam kamar.
Membaca pesan dari Salsa yang mengatakan bahwa ia akan menjenguk Satria di rumah sakit membuat lelaki itu menjadi lebih bersemangat. Walau masih menggunakan selang oksigen yang menempel di lubang hidung, tetapi Satria meminta bantuan ibunya untuk mandi dan berganti pakaian.
"Diseka aja ya, Sat, soalnya kalau mandi repot. Mana bawa-bawa selang," bujuk Bu Maesaroh pada putranya.
"Bu, kalau diseka jadinya diusap-usap. Malu ah, diusap-usap sama perawat. Nanti Bang Kuat bangun," bisik Satria sambil menahan tawa.
"Kalau dimandiin hanya diguyur aja, gak pakai diusap, jadi aman," kata Satria lagi membujuk ibunya.
"Ya udah, nanti Ibu bilangin perawatnya, kalau lu jangan diusap pakai tangan, tapi pakai gergaji aja. Biar tambah bersih," timpal Bu Mae sambil mencebik. Satria pun ikut tergelak dan akhirnya menyerah. Ia hanya mencuci muka dan diganti pakaiannya termasuk pakaian dalamnya.
"Bu, saya mau pakai sempak ungu aja," kata Satria dengan leher memanjang melihat ke arah kopernya.
"Sat, temen lu ke sini mau nengokin lu sakit, bukan mau ngecek lu pakai sempak warna apa? Lama-lama gue suruh dokter suntik mati aja deh! Ribet gue ngurusin elu! Udah tua bukannya nikah, cari istri yang benar! Udah, pake aja warna kuning ini. Gak ada lagi." Dengan misuh-misuh Bu Mae mengangkat sarung yang dipakai Satria untuk mengganti celana dalamnya.
"Tutup mata, Bu!" Seru Satria membuat Bu Mae mendecih sebal. Sempak belum ditarik hingga ke atas, baru sampai paha Satria saja, ketika terdengar suara ketukan di pintu.
"Masuk," seru Bu Mae sambil menyambut tamunya yang tidak lain adalah Salsa.
"Bu ... ini tarik dulu! Aduh! Bu! Ini sempak tolong di tarik, tangan Satria susah!" pekik Satria setengah berbisik. Namun Bu Mae melenggang seolah tidak mendengar panggilan Satria. Sempak baru setengah perjalanan sampai paha. Satria.
"Mari masuk, Neng. Ya Allah, cantiknya! Ayo, sini duduk dulu di situ ya. Ibu mau bantuin Satria make sempak. Susah katanya." Salsa tersenyum kaku, lalu menutup separuh wajahnya agar tidak melihat ke arah Satria yang tirainya tidak tertutup. Wanita itu duduk perlahan dengan ragu-ragu menaruh oleh-oleh yang ia bawa ke atas meja.
"Ck, sempaknya kekecilan apa ya? Tunggu deh, Ibu cari warna lain. Biru mau gak?"
"Apa aja, Bu, cepat! Ada Salsa loh itu!" Satria sudah sangat gemas dengan kelakuan ibunya. Salsa pura-pura tidak mendengar, tepatnya ia tidak mau mendengar karena ia adalah gadis yang teramat polos dan tidak paham perihal dunia persempakan.
"Putih ada, Sat. Gak papa warna putih, nanti kelunturan gak?"
"Bu, warna apa aja cepet! Ini nanti masuk angin dianggurin gini!" pekik Satria dengan kesal.
"Kenapa dibawain Bu Mimi sempak kecil semua sih? Ya udah, lu tunggu di sini deh, Ibu ke mall depan beli sempak."
"Bu, kelamaan! Udah gak usah pakai sempak deh!" Satria menahan tangan ibunya yang hendak berlalu pergi meninggalkannya berdua saja dengan Salsa.
Akhirnya sarung Satria dipakai dengan rapi dan Bu Mae pamit sebentar untuk membeli obat penurun darah tinggi di apotek rumah sakit.
"Titip Satria dulu ya, Neng. Ibu ke bawah sebentar," ujar Bu Mae pada Salsa. WanitA itu pun mengangguk, lalu tersenyum.
"Jangan diangkat sarung anak saya ya, ngeri pokoknya mah," ujar Bu Mae dengan melirik sengit ke arah Satria. Salsa tertawa sumbang, lalu menatap kepergian Bu Mae dengan napas lega.
"Apa kabar, Bang?" tanya Salsa setelah mendekat pada brangkar Satria, lalu duduk di bangku yang ada di dekatnya.
"Begini deh, masih nyesek dikit, tapi mudah-mudahan nanti sore udah gak pake oksigen," jawab Satria sambil tersenyum. Ekor matanya mencuri pandang pada sosok Salsa yang jika dilihat dengan seksama, sangatlah cantik dan manis.
"Syukurlah," jawab Salsa sambil tersenyum kembali.
"Makasih udah jenguk saya kemari ya, Sa. Emang Salsa gak punya pacar?"
"Gak punya, Bang." Salsa menggeleng.
"Kenapa?"
"Ya, belum ketemu jodohnya kali, Bang. Salsa mah gak cari pacar sih, umur udah dua puluh empat tahun gini. Salsa nyarinya suami yang Soleh yang lucu, yang gemesin, yang kuat, berstamina, dan baik hati."
"Saya saja kalau begitu," sela Satria sambil menunduk malu-malu. Walau diantara semua syarat Salsa, dia hanya lolos satu poin, yaitu berstamina, tetapi tidak ada salahnya mencoba.
"Salsa mau jadi istri saya?"
Bersambung-
Gaskeun, BaaangSaaattt!
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih? Selamat membaca. "Salsa mau jadi istri saya?" "Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala. "Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati. "Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?" "Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya. "Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada yang
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih??🤭🤭🥺🥺Selamat membaca."Salsa mau jadi istri saya?""Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala."Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati."Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?""Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya."Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada ya
Bu Mae terheran-heran melihat Satria menyeret kasur untuk dijemur di teras depan. Memang matahari pagi ini sangat bagus dan cerah. Untuk menjemur badan, menjemur cucian, bahkan menjemur bayi pun sangat bagus. Padahal masih pukul tujuh pagi, tetapi sinar terangnya tepat berada di teras rumah Satria."Kenapa dijemur? Tumben! Emang lu udah kuat?" tanya Bu Mae pada anaknya."Buat persiapan, Bu," jawab Satria sambil tersenyum. Bu Mae mengerutkan keningnya. Persiapan?"Persiapan apaan?" tanyanya penasaran."Sebentar lagi'kan Satria mau jadi manten, Bu, jadi ini kasur harus sering dijemur.""Kata siapa?" tanya Bu Mae dengan polosnya. Satria terbahak, lalu ia bergegas masuk ke dalam rumah. Meninggalkan ibunya dalam keterpakuan menanti jawaban yang sebenarnya."Sat, emang siapa yang mau nikah sama lu? Salsa?" Bu Mae menyusul Satria yang kini sudah duduk melantai di depan pintu lemari pakaian yang terbuka. Mata tua Bu Mae melihat isi
Satria dan Bu Mae sudah berada di rumah sakit yang cukup terkenal di Kota Bekasi. Hari ini wanita paruh baya itu sudah membuat janji online pada pihak rumah sakit untuk mendaftarkan Satria ke dokter spesialis kulit dan alat kelamin."Silakan timbang dan tensi dulu ya, Bu. Dari sini, lurus saja yang ada meja perawat di depan sana," tunjuk petugas pendaftaran rumah sakit pada Bu Mae."Terima kasih, Mbak," ucap Bu Mae sambil tersenyum. Satria berjalan santai mengekori ibunya menuju meja perawat yang dimaksud. Bu Mae meletakkan lembar pendaftaran di atas meja sambil menunggu panggilan."Satria Kuat," seru perawat memanggil nama Satria. Lelaki itu bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju perawat yang memanggilnya tadi. Bu Mae dengan setia berada di belakang Satria."Silakan duduk, Mas," ucap perawat mempersilakan. Satria pun duduk dengan santainya."Keluhannya apa?" tanya perawat sambil memasang alat untuk memeriksa tekanan darah Satria pa
"Bunda, lihat HP Salsa?""Ini, ada telepon dari Satria." Juwi menyerahkan ponsel milik Salsa. Masih ada suara berisik di seberang sana dan Salsa segera menaruh ponsel di telinganya."Halo, BangSat."Tut! Tut!Juwi bergidik ngeri sekaligus menatap Salsa dengan tatapan bingung. Kasar sekali ucapan Salsa. Batinnya."Ya ampun, Sa, orang nelepon baik-baik, kenapa dibilang Bangsat?"Salsa menyimpan ponselnya ke dalam tas selempang kecil miliknya."Bang Satria, Salsa panggil BangSat, Bun, gak keberatan dia." Salsa berjalan cepat keluar dari kamar, lalu menuju garasi rumah. Helem motor besarnya pun belum sempat ia buka karena terburu-buru saat tahu ponselnya tertinggal di rumah."Sa, itu cowok yang mau kamu ajak ke rumah hari Sabtu nanti?" tanya Juwi pada putrinya."Iya, Bun. Lillahi ta'ala aja, Salsa mah. Papa dan Bunda yang menilai nanti cocok yang mana yang kira-kira lolos jadi calon menantu. Salsa udah malas mikir, mau
Tibalah hari yang dinantikan oleh Bu Mae. Seharian ini, wanita setengah baya itu sibuk membuat aneka kue untuk dibawa ke rumah Salsa nanti sore. Ada kue cucur, bolu tape, donat kentang, risol isi sayuran, dan juga kue lapis. Belum lagi parcel buah sebanyak tiga keranjang sudah ia pesan dari toko buah.Para tetangga termasuk Pak RT, Bu RT, dan beberapa orang lainnya yang akan mengantar Satria lamaran malam ini sudah dibelikan baju seragam batik sebanyak dua belas biji. Bu Mae sengaja berbelanja ke pasar Tanah Abang untuk persiapan lamaran Satria malam ini.Satria tak bisa banyak bicara. Ia hanya bisa memandang semua kehebohan di rumahnya tanpa berani berkomentar."Ngapain bengong? Masuk sana! Calon pengantin dilarang lihat persiapan lamaran, pamali kalau kata Mak Piah," seru Bu Mae pada Satria yang kini sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu ia mendengar nama Mak Piah, Satria langsung membanting pintu kamar, lalu menguncinya sebanyak dua kali. Satria
Semua orang duduk di lantai ruang tamu yang sudah beralaskan karpet tebal. Sofa tamu terpaksa digeser ke ruang tengah rumah Salsa agar dapat menampung tamu yang datang bersama Satria dan ibunya.Kini semua terdiam tidak berani bersuara. Di depan mereka sudah ada gelas teh yang disuguhkan keluarga Salsa. Tamu pun ada juga sebagian yang duduk di luar, karena di ruang tamu sudah tidak muat.Seorang lelaki yang bernama Fajar menatap begitu banyak tamu berseragam dengan perasaan aneh sekaligus penasaran. Ia duduk di samping Devit;papa dari Salsa, sedangkan Satria duduk di samping ibunya yang juga tengah menunduk sangat malu."Jadi begini, Pak, Bu ...." Bu Mae berusaha membuka percakapan dalam keheningan malam."Kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar anak Bapak dan Ibu yang bernama Salsa, sebagai istri dari anak saya yang bernama Satria Kuat. Memang kami datang secara tiba-tiba, karena memang niatnya memberi kejutan.""Iya, Bu, malah me
Saya sarankan untuk tidak tertawa cekikikan malam Jumat sendirian.Selamat membaca.Iring-iringan mobil yang angkutan yang ditumpangi para tetangga Satria akhirnya sampai di halaman luas rumah pria itu. Satu per satu turun dengan wajah sedih dan tanpa berani bercakap-cakap.Begitu juga Satria dan ibu, serta Ramlan yang turun dari taksi online. Ketiganya turun dengan wajah masam."Habis ngelamar apa habis ngelayat sih? Mukanya kek batu nisan semua," celetuk Mak Piah yang bisa bicara dengan betul karena pasti gigi palsunya terpasang dengan baik. Semua orang menoleh sekilas, lalu membuang pandangan dan berjalan ke rumah masing-masing. Begitu pun Satria dan Bu Mae. Hanya Ramlan yang masih memperhatikan Mak Piah dan sedikit bergidik ngeri kemudian."Bos, gue kasih tahu aja lu ya. Hati-hati sama nenek grandong di sebelah. Dia sepertinya bukan cuma seorang nenek biasa, tetapi nenek ... nenek ... Ish, itulah pokoknya. Jangan sampai lu ben