Share

2. Baso Beranak

Satria dan Ramlan sudah duduk di kursi sebuah restoran baso yang cukup terkenal di kawasan perbatasan antara Bekasi dan Jakarta. Masing-masing sudah menghabiskan dua gelas es teh manis karena kehausan sepanjang perjalanan. 

Gadis yang bernama Salsa belum juga datang. Perut Ramlan sudah keroncongan, begitu juga Satria. 

"Coba lu telepon, Ram, udah di mana teman lu itu?" tanya Satria sambil melirik jam tangan barunya. Jam tangan yang memang ia pakai pada saat-saat tertentu seperti ini, guna menarik perhatian lawan jenis.

"Dia itu, teman dari teman sepupu ipar saya, Bos. Jadi bukan teman saya."

"Ya sama aja Ramlan! Kan lu yang mau ngenalin ke gue. Masa iya gue nanya sama temennya temen sepupu ipar lu?" Satria mulai merasa taringnya sebentar lagi akan keluar. Ramlan terbahak, sambil mengeluarkan ponselnya.

"Yah, pantesan daritadi gak nyambung, Bos. Saya baru ingat, saya gak ada pulsa," kata Ramlan sambil menyeringai lebar. Satria memutar bole mata malasnya, lalu mengeluarkan ponselnya yang berlogo apel digigit, kemudian ia berikan pada Ramlan.

"Potong gaji lu ya?" ancam Satria dengan ujung bibir kanan yang naik sedikit.

"Jangan pelit-pelitlah, Bos. Harus banyak sedekah biar urusan kita dipermudah."

"Ya udah cepat sana telepon!" Satria sudah semakin tidak sabar. Bolak-balik ia menatap ke area parkir, berharap wanita cantik dan kuat yang diceritakan Ramlan segera datang.

"Gak diangkat, Bos. Duh, ke mana tuh orang ya? Biasanya tidak pernah telat," gumam Ramlan sambil menyerahkan kembali ponsel Satria.

Seorang wanita turun dari motor gede memakai jaket hitam, kaca mata hitam, helem besar warna hitam, dan juga sepatu booth warna hitam. Karena meja pilihan Satria dekat dengan parkiran motor, sehingga tampilan cewek mengendarai moge seharga setengah milyar menjadi pusat perhatian hampir semua pengunjung restoran.

"Nah, itu dia, Bos," tunjuk Ramlan dengan mata berbinar.

"I-itu, cewek naik moge itu?" tanya Satria dengan mata mendelik kaget. Detak jantungnya tiba-tiba saja semakin tidak beraturan, bukan karena parasnya yang cantik. Satria sedang memikirkan berapa uang belanja yang harus ia berikan jika ia beristrikan wanita yang memakai moge seharga setengah milyar.

"Pulang yuk!" ajak Satria pada Ramlan. Duda itu menarik tangan Ramlan. Tentu saja temannya itu kebingungan dengan sikap Satria. Tadi saja sudah tidak sabar ingin bertemu, sekarang giliran sudah tiba, malah mengajak pulang.

"Bos, ye ... masa pulang? Kenapa emangnya? Tungguin dulu, dia lagi beresin jaketnya." Ramlan menahan lengan Satria dan menarik bosnya itu untuk duduk kembali di kursi.

"Ram, lu yang bener ajalah kalau ngasih gue kenalan cewek. Motornya aja setengah milyar harganya Ramlan. Gue mau ngasih uang belanja berapa kalau dia jadi bini gue? Semprul gue dilelang juga belum tentu bisa kebeli itu motor." Satria menggaruk rambutnya yang tidak gatal. 

"Halo, Bang Ramlan, dan ini pasti Bang Kuat ya? Perkenalkan saya Salsa." Gadis berwajah manis berambut panjang itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Pada Satria dan juga Ramlan.

"S-saya Satria," ujar Satria gugup.

"Loh, namanya bukan Bangku?" tanya balik Salsa yang tidak paham dan terus saja memperhatikan lelaki berwajah tampan di depannya ini.

"Kok Bangku?" Kali ini Satria dan Ramlan bertanya secara serempak.

"Iya, katanya nama Abang Kuat, ya BangKuat'kan, kalau namanya Satria, berarti BangSat. Benar tidak? Hayo, pilih, mau saya panggil Bangku atau Bangsat?" Ramlan tertawa lebar tanpa berani mengeluarkan suara. 

"Gak ada yang saya pilih, Mbak. Panggilan saya Satria," jawab Satria dengan wajah merah antara menahan malu dan juga marah.

"Oh, Bangsat aja kalau gitu ya?" 

"Jangan disingkat, Mbak. Duh, lengkap saja manggilnya, Satria atau Abang Satria," terang Satria lagi.

"Oke, saya setuju BangSat juga gak papa. Eh, Bang Satria maksudnya," ujar Salsa sambil memperlihatkan barisan giginya yang rapi. 

"Wah, udah habis dua gelas kayaknya nih. Saya boleh pesan makanan atau minuman tidak?" tanya Salsa pada dua pria yang masih tidak bersuara sambil memandangnya.

"Boleh, Mbak, pesan aja." Satria menyodorkan buku menu ke depan Salsa.

"Mbak, saya mau pesan!" panggil Satria pada salah satu pelayan restoran baso yang tengah berdiri tak jauh dari meja kasir. Wanita pelayan itu datang sambil menyunggingkan senyum ramah.

"Ya, Mas, mau pesan apa?" tanya pelayan itu sambil memegang pensil dan buku catatan kecil.

"Saya baso telur dan ...."

"Saya baso urat, Bos. Minumnya es teh manis lagi saja," sela Ramlan dengan tak sabar.

"Mbak pesan apa?" tanya Satria pada Salsa. Wanita kurus tinggi semampai ini terlihat sangat menjaga pola makannya, hal itu bisa dilihat dari postur tubuhnya yang lebih mirip anggota girl band Korea.

"Baso beranak ada, Mbak?" tanya Salsa pada pelayan itu.

"Ada, Mbak."

"Anaknya berapa?"

"He he he ... saya gak hitung, Mbak."

"Sukurlah, saya kirain baso di sini pada ikut program KB. Dua anaknya saya gak mau ya. Saya maunya banyak anak." Salsa melirik Satria yang sudah berkeringat dingin. 

"Baik, Mbak. Saya pesan baso beranak banyak mercon dua porsi, nasi goreng 2 porsi, tempe mendoan ada ya? Berarti pakai tempe mendoan. Jangan lupa kerupuknya yang banyak. Minumnya es kelapa jeruk 3 gelas dan jus timun 2 gelas."

Satria dan Ramlan saling pandang. Wajah keduanya sama-sama pucat pasi. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa wanita yang bernama Salsa porsi makannya mengalahkan kuli bangunan jaman Fir'aun.

"Ram, gue ke kamar mandi dulu ya?" ujar Satria sambil berbisik.

"Mau ngapain?" tanya Ramlan ketakutan.

"Mau numpang nangis."

_Bersambung_

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Fika Hendra Oyon
sekian banyak novel yang udah aku baca ini yang paling gokil.........sampai sakit perut aku tu.........
goodnovel comment avatar
Mom L_Dza
...... ngakak aku bacanya... BangSat mau nangis.. eh BangKu gak kuat dengar pesanannya
goodnovel comment avatar
Salmafina Azzahra
bang sat....nangis ga jadi kuat donk
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status