Share

3. Menggali Kuburan

"Jadi, umur Abang berapa?" tanya Salsa pada Satria sambil mengunyah tempe mendoan pesanannya. 

"Dua puluh sembilan tahun, Mbak." 

"Oh, saya dua puluh lima. Apa pekerjaan Abang?" tanya Salsa lagi.

"Saya usaha kecil-kecilan," jawab Satria masih dengan jantung yang berdetak kocar-kacir.

"Sekecil apa?" 

"Dua ruko bengkel motor dan sepuluh pintu kontrakan," jawab Satria jujur. Salsa nampak tersenyum sambil mengangguk paham.

"Abang gak mau tahu pekerjaan saya apa?" tantang Salsa kali ini sambil mengorek sedikit dalam hidungnya. Satria dan Ramlan menahan napas melihat adegan tidak tahu malu di depan mereka.

Bahu Satria langsung melemah, saat melihat Salsa mengorek hidungnya seperti menggali kuburan. Begitu antusias dan nampak dalam. Antara jijik dan juga enneg. Apa Salsa memang jorok? Ataukah hanya ingin mengetesnya saja?

"Maaf, Bang. Ada yang kering di depan lobang sini, jadi saya gak betah," ujar Salsa saat melihat ekspresi wajah Satria dan Ramlan yang kembang-kempis menahan mual.

"Memangnya apa pekerjaan Mbak Salsa?" tanya Satria akhirnya.

"Saya atlet angkat besi."

"Apa?!" Pekik Satria dan Ramlan berdiri bersamaan.

****

Sepanjang perjalanan, Satria terus saja memarahi Ramlan karena telah memperkenalkannya dengan wanita jadi-jadian seperti Salsa. Sudah makannya banyak, ngupil di sembarang tempat, mau pulang minta dibungkusin buat orang tuanya, atlet angkat besi pula. Bagaimana bisa Ramlan mengenalkannya pada wanita seperti itu?

"Ram, kalau dia jadi bini gue, yang ada kalau semprul gue terlalu kuat, gue dibanting sama tu cewek. Ya ampun, ngeri banget gue, Ram. Udah, jangan ketemuan lagi sama cewek itu. Percuma aja cantik dan kaya, kalau bisa bikin umur gue pendek," oceh Satria dari atas motor maticnya. Ramlan yang mengemudikan motor hanya bisa mengangguk pasrah. Ia juga tidak tahu kalau ternyata Salsa adalah atlet angkat besi dan juga sangat boros makanan.

"Kemarin Bos bilang cariin yang kuat. Kandidatnya cuma Mbak Salsa. Kalau saya kenalin sama Dasimah tetangga saya, dia ada sakit saraf kejepit, Bang. Ada lagi Puspita, masih muda, cantik, tapi dia punya penyakit jantung. Malah mati duluan nanti kalau Abang minta sehari tujuh kali."

"Ya jangan yang penyakitan juga lu cariin, Ramlaaan! Cariin yang sehat. Jangan ada sakit asma, saraf kejepit, typus, apalagi sakit jantung. Duh, mau punya istri aja susah banget sih!" Satria masih saja menggerutu di boncengan.

"Seandainya gue bisa kasih diskon atau cashback anu gue, pasti gue juga mau kayak orang-orang. Seminggu paling dua kali. Gak bisa, Ram. Gue juga gak tahu kenapa."

"Kayak naik Gr*b ye, ada cashback," timpal Ramlan sambil tergelak.

"Trus, kalau ada istri harus sehari tujuh kali, kalau lagi jomblo gini gimana, Bos? Dijepit di mana?" tanya Ramlan penasaran.

"Gak ada perasaan apa-apa. Gue juga heran. Lelap banget dia tidurnya," jawab Satria jujur.

"Kalau gitu, yang harus diobatin itu Bos. Coba ke dokter. Bukan malah nyari istri yang bisa mengimbangi Bos. Gak bakalan ketemu."

Begitu sampai di rumah, Satria langsung mandi dan duduk kembali di teras rumahnya sambil memandangi pohon rambutan. Ini sudah pukul setengah sembilan malam dan matanya belum mengantuk sama sekali. Padahal biasanya ia sudah tidur setelah salat isya. 

Perkataan Ramlan masih terus terngiang di kepalanya. Selama ini, ia memang tidak pernah memeriksakan keanehan yang terjadi pada dirinya. Bukan karena tidak punya uang, tetapi karena malu. 

Ini bukanlah sebuah kebanggaan baginya, melainkan sebuah kemalangan. Jika saja bisa meminta, maka ia ingin ditakdirkan normal seperti pria pada umumnya. Namun, ia tidak tahu kapan dan siapa yang nanti bisa mengimbanginya.

"Kenapa lu, Sat?"

"Lagi mikirin hidup, Bu. Begini amat mau punya istri. Muka tampan, duit banyak, usaha ada, salat lima waktu, eh ... Malah kelebihan stamina. Salah juga jadinya," jawab Satria sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Jadi, maksud lu, lu mau mati aja?" 

"Ha ha ha ... bukan, Buu!" Satria terbahak sampai memegang perutnya. Kenapa harus Maesaroh Bercahaya yang menjadi ibunya? 

Bu Maesaroh memutar bola mata malasnya, lalu ikut menghirup udara dingin malam yang sangat sejuk. Tidak perlu menyalakan AC, tempat tinggalnya masih amat sejuk karena ada banyak pohon di pekarangan rumahnya.

"Ibu gak punya teman yang anaknya bisa dikenalin sama Satria?" 

"Ada, banyak pula, tapi gue takut, tuh cewek-cewek pada kena saraf kejepit begitu nikah sama lu. Kayaknya lu kudu berobat, Sat. Ke dokter spesialis paru-paru kali bisa bantu lu," ujar Bu Mae dengan antusias.

"Bu ... ha ha ha ...." Satria tak sanggup melanjutkan ucapannya.

"Paru-paru adanya di atas, lah ini kan yang sakit di bawah, ha ha ha ...." Satria masih terus saja tergelak mendengar ucapan sang ibu terlucu sekaligus terlawak.

"Jadi harusnya berobat ke mana? Lu kan anak sekolah. Harusnya lu tahu berobat ke mana. Yang penting sembuh. Kapasitasnya minta dikurangin. Biasanya mungkin 128GB, jadi cuma 4GB gitu, dipres," ujar Bu Mae lagi dengan polosnya. Satria sudah tak sanggup menimpali ucapan sang ibu. Ia memilih masuk ke dalam rumah masih dengan tawanya yang kencang.

"Sat, ada sih yang gue rasa kuat sama lu. Bisa ngimbangin kemampuan lu," ujar Bu Mae dengan langkah cepat menyusul putranya yang sudah sampai di depan pintu kamar.

"Siapa, Bu?" tanya Satria tiba-tiba penasaran.

"Makannya irit lagi, cuma bubur doang," lanjut Bu Mae masih dengan semangatnya.

"Lah, kok bisa? Emangnya dia kenapa kok makannya bubur doang?" Satria semakin penasaran.

"Orang gigi atasnya udah gak ada semua. Itu, Mak Piah tukang urut sebelah."

"Apa?!"

_Bersambung_

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Junee Luq
thor pelawak ya? ahahhahaha
goodnovel comment avatar
Ary NovIanto - ShariaBaraka
baru juga baca dua bab, njirrr... ngakak mulu gua bawaannya .........
goodnovel comment avatar
Faried Fadillah
ngakak thor bukannya panas hedeh.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status