"Jadi, umur Abang berapa?" tanya Salsa pada Satria sambil mengunyah tempe mendoan pesanannya.
"Dua puluh sembilan tahun, Mbak."
"Oh, saya dua puluh lima. Apa pekerjaan Abang?" tanya Salsa lagi.
"Saya usaha kecil-kecilan," jawab Satria masih dengan jantung yang berdetak kocar-kacir.
"Sekecil apa?"
"Dua ruko bengkel motor dan sepuluh pintu kontrakan," jawab Satria jujur. Salsa nampak tersenyum sambil mengangguk paham.
"Abang gak mau tahu pekerjaan saya apa?" tantang Salsa kali ini sambil mengorek sedikit dalam hidungnya. Satria dan Ramlan menahan napas melihat adegan tidak tahu malu di depan mereka.
Bahu Satria langsung melemah, saat melihat Salsa mengorek hidungnya seperti menggali kuburan. Begitu antusias dan nampak dalam. Antara jijik dan juga enneg. Apa Salsa memang jorok? Ataukah hanya ingin mengetesnya saja?
"Maaf, Bang. Ada yang kering di depan lobang sini, jadi saya gak betah," ujar Salsa saat melihat ekspresi wajah Satria dan Ramlan yang kembang-kempis menahan mual.
"Memangnya apa pekerjaan Mbak Salsa?" tanya Satria akhirnya.
"Saya atlet angkat besi."
"Apa?!" Pekik Satria dan Ramlan berdiri bersamaan.
****
Sepanjang perjalanan, Satria terus saja memarahi Ramlan karena telah memperkenalkannya dengan wanita jadi-jadian seperti Salsa. Sudah makannya banyak, ngupil di sembarang tempat, mau pulang minta dibungkusin buat orang tuanya, atlet angkat besi pula. Bagaimana bisa Ramlan mengenalkannya pada wanita seperti itu?"Ram, kalau dia jadi bini gue, yang ada kalau semprul gue terlalu kuat, gue dibanting sama tu cewek. Ya ampun, ngeri banget gue, Ram. Udah, jangan ketemuan lagi sama cewek itu. Percuma aja cantik dan kaya, kalau bisa bikin umur gue pendek," oceh Satria dari atas motor maticnya. Ramlan yang mengemudikan motor hanya bisa mengangguk pasrah. Ia juga tidak tahu kalau ternyata Salsa adalah atlet angkat besi dan juga sangat boros makanan.
"Kemarin Bos bilang cariin yang kuat. Kandidatnya cuma Mbak Salsa. Kalau saya kenalin sama Dasimah tetangga saya, dia ada sakit saraf kejepit, Bang. Ada lagi Puspita, masih muda, cantik, tapi dia punya penyakit jantung. Malah mati duluan nanti kalau Abang minta sehari tujuh kali."
"Ya jangan yang penyakitan juga lu cariin, Ramlaaan! Cariin yang sehat. Jangan ada sakit asma, saraf kejepit, typus, apalagi sakit jantung. Duh, mau punya istri aja susah banget sih!" Satria masih saja menggerutu di boncengan.
"Seandainya gue bisa kasih diskon atau cashback anu gue, pasti gue juga mau kayak orang-orang. Seminggu paling dua kali. Gak bisa, Ram. Gue juga gak tahu kenapa."
"Kayak naik Gr*b ye, ada cashback," timpal Ramlan sambil tergelak.
"Trus, kalau ada istri harus sehari tujuh kali, kalau lagi jomblo gini gimana, Bos? Dijepit di mana?" tanya Ramlan penasaran.
"Gak ada perasaan apa-apa. Gue juga heran. Lelap banget dia tidurnya," jawab Satria jujur.
"Kalau gitu, yang harus diobatin itu Bos. Coba ke dokter. Bukan malah nyari istri yang bisa mengimbangi Bos. Gak bakalan ketemu."
Begitu sampai di rumah, Satria langsung mandi dan duduk kembali di teras rumahnya sambil memandangi pohon rambutan. Ini sudah pukul setengah sembilan malam dan matanya belum mengantuk sama sekali. Padahal biasanya ia sudah tidur setelah salat isya.
Perkataan Ramlan masih terus terngiang di kepalanya. Selama ini, ia memang tidak pernah memeriksakan keanehan yang terjadi pada dirinya. Bukan karena tidak punya uang, tetapi karena malu.
Ini bukanlah sebuah kebanggaan baginya, melainkan sebuah kemalangan. Jika saja bisa meminta, maka ia ingin ditakdirkan normal seperti pria pada umumnya. Namun, ia tidak tahu kapan dan siapa yang nanti bisa mengimbanginya.
"Kenapa lu, Sat?"
"Lagi mikirin hidup, Bu. Begini amat mau punya istri. Muka tampan, duit banyak, usaha ada, salat lima waktu, eh ... Malah kelebihan stamina. Salah juga jadinya," jawab Satria sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Jadi, maksud lu, lu mau mati aja?"
"Ha ha ha ... bukan, Buu!" Satria terbahak sampai memegang perutnya. Kenapa harus Maesaroh Bercahaya yang menjadi ibunya?
Bu Maesaroh memutar bola mata malasnya, lalu ikut menghirup udara dingin malam yang sangat sejuk. Tidak perlu menyalakan AC, tempat tinggalnya masih amat sejuk karena ada banyak pohon di pekarangan rumahnya.
"Ibu gak punya teman yang anaknya bisa dikenalin sama Satria?"
"Ada, banyak pula, tapi gue takut, tuh cewek-cewek pada kena saraf kejepit begitu nikah sama lu. Kayaknya lu kudu berobat, Sat. Ke dokter spesialis paru-paru kali bisa bantu lu," ujar Bu Mae dengan antusias.
"Bu ... ha ha ha ...." Satria tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Paru-paru adanya di atas, lah ini kan yang sakit di bawah, ha ha ha ...." Satria masih terus saja tergelak mendengar ucapan sang ibu terlucu sekaligus terlawak.
"Jadi harusnya berobat ke mana? Lu kan anak sekolah. Harusnya lu tahu berobat ke mana. Yang penting sembuh. Kapasitasnya minta dikurangin. Biasanya mungkin 128GB, jadi cuma 4GB gitu, dipres," ujar Bu Mae lagi dengan polosnya. Satria sudah tak sanggup menimpali ucapan sang ibu. Ia memilih masuk ke dalam rumah masih dengan tawanya yang kencang.
"Sat, ada sih yang gue rasa kuat sama lu. Bisa ngimbangin kemampuan lu," ujar Bu Mae dengan langkah cepat menyusul putranya yang sudah sampai di depan pintu kamar.
"Siapa, Bu?" tanya Satria tiba-tiba penasaran.
"Makannya irit lagi, cuma bubur doang," lanjut Bu Mae masih dengan semangatnya.
"Lah, kok bisa? Emangnya dia kenapa kok makannya bubur doang?" Satria semakin penasaran.
"Orang gigi atasnya udah gak ada semua. Itu, Mak Piah tukang urut sebelah."
"Apa?!"
_Bersambung_
Khusus dewasa ya.Part agak panas. Siapin kipas.“BangKu lagi apa?”Kening Satria berkerut saat baru saja akan tidur, ada nomor asing yang mengirimkannya pesan. Tidak mungkin dari mantan-mantan istrinya, karena mereka pasti mengirimkan pesan dengan kata-kata penuh hormat. Walaupun mereka sudah tidak sakit lagi, tetap saja mereka menghormati dirinya. Satu-satunya wanita yang memanggilnya BangKu adalah Salsa.“Ini Salsa ya?”Send“Miyabi, Bang.”Huk! Huk! Huk!Satria terbatuk-batuk. Ia kaget bukan kepalang, karena mendapat pesan dari Miyabi. Cepat Satria menekan profile picture si pengirim pesan WA. Benar saja, bukan wajah Salsa, melainkan gambar pakaian dalam yang seksi. Tidak salah lagi, ini pasti benar Miyabi.Dengan jari yang gemetar dan tubuh mendadak panas, Satria membuka aplikasi google translate. Ia yakin, Salsalah yang memberikan nomornya pada model p
Pukul enam pagi, rumah Satria sudah dipenuhi oleh para tetangga dari kampung mereka dan juga kampung sebelah untuk melihat calon istri Satria yang baru. Mereka sangat penasaran bagaimana rupa dari artis panas yang bernama Miyabi. Walau rata-rata orang kampung yang tidak terlalu paham dengan kehidupan ibu kota, tetapi untuk satu nama itu mereka sangat hapal."Keren ya, Bang Satria bisa dapat Miyabi. Cantik loh orangnya, badannya juga mulus banget. Saya punya kasetnya. Bukan kaset saya sih, kaset suami saya," ujar seorang ibu pada tetangganya yang ikut mengintip dari jendela rumah Bu Maesaroh."Kaset apa sih?" tanya ibu yang memakai daster ungu."Emangnya kaset apa, Mpok? Mak pinjam nanti ya?" sambung Mak Piah yang ternyata juga udah ada di sana."Ha ha ha ... Mak, jangan pakai ikut-ikutan. Rajin aja baca Yasin, kalau udah dekat waktunya gini, mah.""Ha ha ha ..." suasana menjadi semakin riuh saat satu dua orang saling bercanda menimpali."Kas
Petaka kehebohan Miyabi yang diciptakan oleh Satria, ternyata tidak hanya berlangsung di lingkungan rumah. Ketika pria itu sampai di bengkelnya, ia sudah diserbu oleh enam orang karyawan yang menanyakan perihal kejelasan hubungannya dengan artis papan ranjang;Miyabi."Wah, Bos ... selamat ya. Gak nyangka saya, Bos Satria bisa membuat seorang Miyabi bertekuk lutut. Ini semua pasti karena ada sumbangsih dari BangKuat. Ck, gak nyangka saya, Bos. Keren banget. Seru ya, Bos? Tempat tidur ambruk gak, Bos?" Pertanyaan demi pertanyaan membuat kepala Satria semakin pusing."Belum lama minta dikenalin sama cewek, malah udah dapat Miyabi aja, Bos. Salut saya, Bos," puji Ramlan sambil menepuk pundak Satria. Asistennya itu ikut masuk ke dalam ruangan khusus Satria dan duduk di depan Satria untuk mendengarkan hal yang sebenarnya."Cerita dong, Bos," seru Ramlan penasaran. Satria tertawa pendek, lalu duduk di kursi kebesarannya dengan wajah begitu bahagia."
Tanpa menunggu lama, Satria langsung menyalakan lagi motornya, bersiap hendak meninggalkan wanita yang ia kenal bernama Salsa. Namun sepertinya tenaga Salsa lebih kuat. Wanita itu menahan motor Satria dengan seluruh tenaganya, sehingga Satria tidak bisa ke mana-mana."BangSat kenapa mau langsung pergi? Bukannya kita sudah janjian?" tanya Salsa keheranan. Tangannya masih menahan bagian depan motor Satria."Saya gak merasa janjian sama Mbak Salsa. Saya ada janji dengan orang lain," jawab Satria datar."Gimana sih, tadi janjian mau ketemu saya di sini. Nih, saya aja masih nyimpen riwayat chat kita." Salsa menunjukkan ponselnya pada Satria, hingga lelaki itu pun tergugu dengan bahu yang merosot. Jadi, semalaman ia sudah salah orang. Bukannya Miyatun, tetapi Salsa. Wanita yang dikenalkan Ramlan padanya. Namun kali ini Salsa mengendarai motor matic sama seperti motornya, bukan motor gede seperti waktu itu."Hhuft ... BangSat bikin saya bingung deh.
Napas Satria benar-benar sesak dan Bu Mae pun segera memanggil Mak Piah;tukang urut ternama di kampung mereka. Kebetulan juga, rumah Mak Piah bersebelahan dengan rumah Satria.Bu Mae berlari ke rumah Mak Piah, lalu mengetuk pintu rumah wanita tua itu dengan tergesa-gesa.Tok! Tok!"Mak, buka! Ini Mae!" seru Bu Mae dengan suara kencang. Namun Mak Piah belum juga membukakan pintu."Mak, buka! Ini Mae, Mak!" Tangan Bu Mae masih terus menggedor pintu rumah tukang urut itu, tetapi belum juga dibukakan pintu. Bu Mae tidak kehabisan akal, dia harus mengeluarkan kalimat ajian agar pintu segera dibuka."Mak, Satria sesek, dia butuh ..."Cklek"Siapa sesek? Satlia? Ayo, sebelum mati." Mak Piah berjalan melewati Bu Mae begitu saja dengan wajah tanpa dosa. Ibu dari Satria itu hanya bisa menggelengkan kepala sambil menghela napas berat. Segera ia menyusul Mak Piah yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam rumahnya. Padahal setahu Bu Mae, jalan
Part Serius.Jan pada ketawa.****Napas Satria sudah lebih tenang setelah dipasang oksigen dan juga infus. Matanya terpejam walau tidak lelap dan Bu Mae masih setia menemani anaknya yang terbaring lemah di brangkar rumah sakit.Kamar perawatan kelas tiga dipilih Bu Mae karena sesuai dengan kelas BPJS yang dibayarkan setiap bulannya. Untungnya tidak terlalu banyak pasien. Hanya ada dua brangkar yang terisi dan salah satunya Satria.Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Seorang perawat masuk dan membereskan brangkar tepat di samping Satria. Bu Mae terbangun dari tidurnya dan saat ingin berjalan ke kamar mandi, ia melihat seorang petugas tengah menyiapkan brangkar. Memasang seprei dan juga sarung bantal."Mau ada pasien baru ya, Sus?" tanya Bu Mae penasaran."Iya, Bu. Pasiennya masih di bawah. Ditangani dokter IGD," terang perawat sambil memasang selimut di ranjang."Kalau umurnya panjang berarti di bawa ke sini ya, tap
Mendengar kabar bahwa Satria tengah dirawat di rumah sakit membuat Salsa menjadi iba dan ia pun berencana akan mengunjungi Satria sebelum pergi ia butiknya.Sejak pagi Salsa sudah repot di dapur membuat makanan yang akan dibawa ke rumah sakit. Melihat sang putri tengah asik di depan kompor, membuat Juwi yang baru saja keluar dari kamar, turut tersenyum senang."Masak apa sih anak, Bunda?" tanya Juwi menghampiri Salsa."Masak aer," jawab Salsa pendek."Buat apa? Buat mandi?" Juwi melihat panci kecil yang tengah berada di atas kompor dalam keadaan mendidih."Bukan, Bun, bikin mi rebus. Teman Salsa sakit, jadi Salsa mau bawain makanan." Juwi mengangguk paham."Orang sakit gak boleh makan mi instan, Sa, nanti tambah sakit loh. Kenapa gak bawain roti aja?""Mi rebusnya untuk Salsa sarapan. Habis sarapan baru Salsa siap-siap jenguk dan beliin roti atau buah di jalan," jawab Salsa sambil menyeringai. Juwi merasa anak sulungnya te
Aku tuh kangen loh sama BangSat, kalian pada kangen gak sih? Selamat membaca. "Salsa mau jadi istri saya?" "Gak ah, BangSat tidak kuat. Kalau kuat mana mungkin masuk rumah sakit. Lihat tuh, ada selang oksigen di hidung." Salsa menunjuk hidung Satria dengan dagunya, kemudian ia menggelengkan kepala. "Sekarang kamu bisa mengatakan aku tidak kuat, tetapi saat malam pertama nanti, kamu akan lihat betapa tangguhnya Tyrex-nya aku," gumam Satria dalam hati. "Yah, kita perkenalan dulu aja, Sa. Teman dekat gitu, kalau cocok lanjut, kalau nggak ya kita bisa jadi saudara. Betul'kan?" "Nah, ini tumben omongan lu bener, Sat, biasanya ngaco!" Sela Bu Mae yang baru saja tiba di dekat keduanya. Salsa tersenyum malu-malu, lalu sedikit menggeser tubuhnya menjauh dari Satria agar Bu Mae bisa duduk di dekat anaknya. "Iya, Bu, makanya saya bilangin sama Salsa, jadi teman aja dulu, siapatahu cocok. Jodoh tidak ada yang