Share

Tetangga Baru Itu Bernama Hana

Aku berhasil membeli gamis seharga delapan puluh lima ribu dipasar. Gamis ini memang tampak sederhana. Tapi aku suka dengan motifnya. Berlatar hitam dengan bunga sakura pink kecil-kecil. Mas Hilal selalu menyuruhku membeli pakaian hitam. Dia tidak pernah membuatku tampak mencolok. Menurut suamiku, istri hanya boleh meminta perhatian pada suaminya. Bukan orang lain.

Kusimpan uang lima belas ribu. Meski taat begini, diam-diam aku juga membangkang. Aku sudah mengumpulkan beberapa ratus ribu dalam dua tahun ini. Ketika belum menikah, aku ingat pesan dari guruku. Perempuan harus pandai menyimpan uang. Kita tidak tahu kapan suami meninggal atau hilang kepelukan wanita lain. Bergantung boleh, tapi jangan terlalu. Jadilah aku menyeludupkan dua atau tiga ribu rupiah dari uang nafkah. Kalau sedang beruntung, aku bisa menabung banyak. Seperti sekarang. Lima belas ribu rupiah untuk ditabung adalah uang yang sangat banyak.

"Mas ... cantikkan?" Aku berputar di depan suamiku yang membawa masuk putri kami yang tertidur. Mas Hilal menaksir tanpa minat. Sepertinya dia lelah.

"Cantik ... Nih, kamu urus Syifa, ya. Dia ketiduran. Mas mau tidur siang dulu."

Mas Hilal langsung masuk ke kamar kami. Dia pasti sudah makan diluar atau dirumah emak. Lagipula hari ini aku cuma masak sayur kangkung dengan nasi putih. Tentu tidak akan menggugah seleranya kecuali suamiku lapar.

"Senang banget ya dirumah nenek sampai ketiduran?" Tanyaku pada putri kecilku yang tengah lelap. Betapa terkejutnya aku begitu melihat kalau mata putriku sembab. Syifa pasti menangis berjam-jam dan neneknya ... wanita tua itu membiarkannya. Ibu mertuaku tidak menyukai aku. Tak kusangka ketidaksukaan itu menular pada anakku yang notabene adalah cucunya juga.

"Ya allah .... Maafkan mama ya, Nak ...." Kucium berulang-ulang wajah putriku. Matanya yang bening tertutup kelopak mungil yang cantik. Apa yang terjadi dirumah neneknya, aku tidak tahu. Kuperiksa seluruh badannya, barangkali ada memar disana. Alhamdulilah, putriku tidak kenapa-kenapa. Bukannya menuduh, hanya saja banyak kekerasan yang ditampilkan televisi akhir-akhir ini. Bahkan baru-baru saja, viral seorang ibu memeggal anak gadisnya. Jika seorang ibu saja tidak bisa dipercaya lagi, bagaimana dengan nenek?

***

"Mas, kenapa Syifa nggak kita bawa aja?" Aku merasa keberatan ketika Mas Hilal menyuruh agar Syifa dititipkan pada emaknya lagi. Bukannya aku menuduh mertuaku, tapi dari sembabnya mata putriku aku tahu kalau mertuaku membiarkannya menangis selama mungkin atau lebih parah, menelantarkannya. Naluri seorang ibu tidak pernah salah.

"Kalau dia nangis, buang air besar, gimana? Anak seusia dia itu bikin repot. Jangan kamu paksa membawa dia kemana-mana apalagi keacara penting!"

Mas Hilal memakaikan kerudung hitam lebar yang mirip kerudung nenek-nenek. Ya Allah ... Aku hanya ingin tampil cantik barang sehari saja. Kenapa suamiku tidak mengizinkan?

"Pakai cadar kamu."

"Cadar kemarin sobek, Mas. Digigit tikus," Cicitku. Mas Hilal menatapku sebal.

"Kamu sengaja ya? Kamu sengaja ya biar wajah kamu dilihat banyak laki-laki dan mereka akan membayangkan fantasi aneh-aneh tenang kamu? Murahan sekali kamu Toybah."

Air mataku menetes. Tapi Mas Hilal tidak mau berbelas kasihan sedikitpun kali ini. Suamiku masuk kekamar kami dan membuka laci lemari rias dengan keras. Dapat kudengar benturan kayu berulang-ulang dari dalam kamar. Aku membuat kesalahan lagi rupanya.

"Pakai masker ini. Aku tidak mau tahu. Jangan sampai kamu lepas masker ini kecuali tidak ada laki-laki. Kalau ada laki-laki, kamu gak boleh lepas masker ini."

"Terus kalau aku mau makan gimana, Mas?"

Mas Hilal menjawab dengan cepat. Ketidaksabaran hinggap diwajahnya. Pipinya memerah. Setiap pertanyaan dan kata-kataku membuat suamiku seperti tersengat lebah. "Ya jangan makan! Nanti aku bilang kalau kamu puasa. Ayo berangkat!"

Ketika kami keluar dari rumah, sebuah panggilan masuk membuat suamiku berhenti. "Loh, kok nggak bisa, Mak?"

"Iya, Mak."

Panggilan ditutup. Ibu mertua pasti tidak bisa menjaga putriku. Suamiku kecewa tapi aku sangat senang. Yes! Akhirnya aku bisa membawa Syifa pergi.

"Gimana ini? Emak gak bisa jaga Syifa. Emak bilang mau pergi belanja sama Dewi." Mas Hilal tampak kebingungan.

"Biar saya aja yang jaga anaknya, Mbak Toybah. Saya juga lagi gak ngapa-ngapain. Kalian mau kewalimahan kan?"

Cih. Tetangga seberang sok akrab lagi. Kenapa dia tiba-tiba muncul disini? Ha ... pasti dia menguping. Dasar tukang gosip. Beruntung aku tidak bergaul dengannya.

Mas Hilal menatap wanita di depanku dengan sinis. Aku suka suamiku seperti ini. Dia tidak akan selingkuh jika dia tidak tebar pesona dan bersikap manis dengan wanita lain apalagi istri orang.

"Ustadz Hilal kan mau pergi? Biar saya aja yang jaga bayinya, ya?" Kali ini wanita itu bicara dengan suamiku. Aku merengut. Keberatan. Mas Hilal menatapku dengan bingung. Dia sebenarnya bisa saja meninggalkan aku dan membiarkanku dirumah. Tapi demi janjinya pada sang jamaah yang mengadakan walimah, Mas Hilal terpaksa membawaku. Dia akhirnya mengiyakan kalau Syifa, putri kami, dijaga sebentar oleh wanita muda yang menjengkelkan ini.

"Terima kasih ya, Mbak Hana. Saya harus bayar berapa ya?" tanya Mas Hilal.

Oh ... jadi namanya Hana.

"Nggak usah, Ustadz. Membantu sesama tidak perlu bayaran, kok. Saya ikhlas. Kalau saya ikhlas saya nggak minta bayaran." Hana mengambil Syifa dari gendonganku. Aku menatapnya tajam dan dia masih bisa memberiku senyum simpul.

"Satu jam saja. Setelah itu saya kembali." Mas Hilal bicara dengan kikuk.

Akhirnya kami jadi berangkat. Diperjalanan, aku melingkarkan pelukan ke pinggang suamiku. Mas Hilal mengambil satu tanganku dan meremasnya.

"Mas, sebenarnya aku gak suka sama tetangga kita yang namanya Hana itu loh," Ucapku.

"Memangnya kenapa?"

"Dia itu aneh banget tahu nggak. Kan aku mau pergi kepasar. Nah, dia tahan-tahan tanganku, Mas. Dia bilang dia dengar kalau kamu kasih pelajaran ke aku malam itu dan dia suruh aku minta bantuan."

Tubuh Mas Hilal menegang. Suamiku bahkan langsung menepikan sepeda motornya. "Terus kamu mau minta bantuan? Kamu merasa aku siksa hah?!"

Mas Hilal hampir saja beteriak. Beruntung tidak ada orang. Aku sampai gemetaran melihat tubuh suamiku bergetar. "Enggak, Mas. Aku bilang sama dia kalau aku baik-baik saja dan aku gak butuh bantuan siapa-siapa. Terus aku kasih peringatan sama dia. Kalau ada berita buruk tentang kamu tersebar, berarti dia orang yang menyebar fitnahnya."

Mas Hilal tersenyum. "Bagus. Tidak sia-sia Mas menikahi kamu, Toybah. Kamu istri yang yang dan patuh juga bisa diandalkan. Kalau begitu, jangan pernah lagi berurusan dengan dia ya? Ini terakhir kali kita minta bantuan sama tetangga. Mas minta maaf karena terpaksa meminta bantuan dia hari ini." Mas Hilal mencium tanganku dan kami melanjutkan perjalanan ke kampung sebelah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muliya
toybah pa sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status