Share

Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku
Dalam Dekap Hangat Bos Dinginku
Penulis: Indy Shinta

1. Cara Alami Menghangatkan Tubuh

“Jangan jauh-jauh dariku!” 

Lisa mencekal lengan satu-satunya orang yang ada di sana bersamanya, tak peduli dia seorang pria. Dia takut gelap, dia takut pada malam, dia takut pada hujan. Dan pada saat ini dia justru mendapatkan ketiganya sekaligus: gelap, malam, dan hujan.

Mereka berdua adalah wisatawan yang sedang berlibur di sekitar perairan Lombok. Bertemu sebagai orang asing, mereka ternyata memiliki kesamaan: sama-sama sedang patah hati.

Lisa baru saja bercerai dengan suami berengsek yang dijodohkan dengannya sebelum sang ibu meninggal. Awalnya, ia berniat pergi berlibur untuk melepaskan stres pascaperceraian. Ia tidak menyangka bahwa ia akan melihat si mantan suami juga akan ada di tempat yang sama dengan pacar sekaligus selingkuhannya seperti keluarga bahagia.

Karenanya, Lisa tergesa mengambil keputusan untuk berlibur dengan sekelompok wisatawan yang mengunjungi pulau-pulau kecil untuk menikmati keindahan alam yang jarang dijamah. 

Di situlah ia bertemu dengan pria ini dan terlibat beberapa kali cekcok kecil seiring petualangan mereka hingga keduanya tidak menyadari bahwa kapal wisata sudah lebih dulu pergi dan meninggalkan mereka di pulau tak berpenghuni tanpa komunikasi.

“Aku tidak akan ke mana-mana.” Suara bariton pria itu menanggapi cengkeraman erat Lisa di lengannya. Dengan lembut, ia merangkul bahu Lisa.

Lisa tak menolak pelukan itu, udara terasa dingin menggigit dan pelukan pria ini cukup menghangatkan. Juga terasa menenangkan dirinya.

“Tidurlah.”

“Aku nggak bisa tidur.”

“Mau kunyanyikan lagu?”

Lisa tertawa. “Boleh-boleh.”

Di tengah gelapnya malam, pria itu pun bersenandung lirih. Suara baritonnya mengalun merdu, yang meskipun rendah tapi jernih dan enak didengar. Membuai Lisa dengan ketenangan yang ia butuhkan.

“Suaramu bagus.”

Pria itu terkekeh pelan. “Tidurlah,” ucapnya sambil mengetatkan pelukannya.

Lisa memejamkan mata. Dada bidang pria itu seperti bantalan yang begitu nyaman untuknya di tengah ketidakpastian situasi ini. Jantungnya yang berdetak tenang, membuat Lisa merasa seperti janin yang terkurung di dalam rahim sang ibu. Pelukan pria ini telah menjelma menjadi tempat teramannya di dunia saat ini.

"Bagaimana kalau nggak ada yang akan menolong kita untuk keluar dari sini?” Suara Lisa kembali memecah keheningan. Sepasang mata perempuan itu kembali terbuka.

Pria di sebelahnya menghela napas. “Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak akan terjadi.”

Lisa menggigit bibir bagian bawahnya. “Tapi–”

Kata-katanya terhenti. Perempuan itu membeku ketika merasakan kecupan lembut pria itu di puncak kepalanya. Seakan mencoba menenangkan gadis yang bahkan tidak ia ketahui namanya ini.

Keduanya kembali terdiam ketika gerimis turun makin deras hingga membuat api unggun di depan mereka mati total dan menyisakan gelap tak berujung.

“Sial,” pria itu mengumpat lirih.

“Dingin ….” Lisa bergumam pelan dengan bibirnya yang gemetaran. “Apakah tidak ada cara lain untuk menghangatkan tubuh kita?”

Di samping Lisa, pria itu mengetatkan pelukannya. Jika ada cahaya, mungkin Lisa bisa melihat keraguan di wajah sosok itu.

“Apakah kamu pernah mendengar,” Pada akhirnya, pria itu mengucapkan ide yang sebenarnya ada di dalam kepalanya sejak tadi, “kalau cara menghangatkan tubuh secara alami adalah dengan … bercinta.”

Seketika, pria itu mengaduh pelan karena Lisa mencubitnya. Namun, detik berikutnya, ia terkekeh.

“Sungguh. Secara biologis, ketika kita merasa dingin, tubuh biasanya merespons dengan menyusutkan pembuluh darah di kulit untuk mengurangi kehilangan panas dan menjaga suhu inti tubuh. Dengan bercinta, tubuh dapat menghasilkan panas karena aktivitas fisik yang meningkat dan juga karena peningkatan metabolisme.”

Lisa tertawa mendengar penjelasan pria yang tengah memeluknya ini. Meskipun sok serius, tapi dia bisa merasakan nada jenaka dalam suara pria tersebut. 

Sebenarnya, mereka sama-sama tahu, pernyataan ‘bercinta adalah cara menghangatkan tubuh secara alami’ itu sebenarnya lebih bersifat metaforis atau humoris daripada benar secara ilmiah.

“Serius? Kamu tidak membutuhkan keahlianku–kemampuan alamiku, untuk menghangatkan tubuhmu?” goda pria itu kemudian. Tampaknya ia suka mendengar suara tawa Lisa.

“Jangan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” omel Lisa sambil mencubitnya.

Pria itu terkekeh. “Apanya yang kumanfaatkan? Bukannya justru kamu yang sedang memanfaatkanku? Kamu bergelung padaku seperti kucing manja seperti ini.”

Lisa terdiam. Meskipun terdengar main-main, Lisa tahu bahwa pria ini memang tengah “menggoda”-nya.

“Lagi pula, apa kamu pikir aku lelaki ‘belok’ yang tidak bisa merespons baik tubuh perempuan yang berada sedekat ini denganku?”

Entah dari mana keusilan itu datang, tiba-tiba saja Lisa berkata, “Jadi kamu tergoda padaku?” bisiknya.

Di tengah kegelapan asing yang menyelimuti mereka, Lisa bisa merasakan tubuh pria itu menegang saat ia tiba-tiba saja meraup bibir sosok itu dan memagutnya dengan lembut.  

Untuk sesaat yang menegangkan, pria itu tidak membalas ciuman Lisa. Mungkin ia tengah merasakan pertentangan dalam hatinya. 

Akan tetapi, tubuh pria itu ternyata lebih reaktif daripada pikirannya yang membeku. 

Seketika, tangan pria itu bergerak cepat dan menangkup wajah Lisa. Dengan suara seraknya, ia berkata, “Sial–ya. Aku menginginkanmu.”

Hanya itulah yang perlu Lisa dengar. Egonya sebagai perempuan merasa terpuaskan menerima sambutan pria yang baru dikenalnya dalam beberapa jam terakhir ini. Tapi pria ini sungguh tampan dan menarik. Mantan suami yang kerap ia tangisi, jadi tampak tak ada apa-apanya dibanding keelokan pria ini.

Mantan suami Lisa dulu tak pernah menyentuhnya selama dua tahun pernikahan mereka. Membuat Lisa merasa rendah diri dan tak berharga. Membuat Lisa seperti tak memiliki arti dalam pernikahan mereka.

Lisa melingkarkan tangannya di leher pria tampan itu seraya menekan bibirnya kebibir pria itu. Air matanya menetes, meskipun ia sedang mencium pria ini seolah-olah sedang menikmatinya, tapi dalam setiap lumatan bibirnya, rasa sakitlah yang sebenarnya ia rasakan. Rasa sakit terhadap mantan suami yang tak pernah sudi memberikan ciuman seperti ini sepanjang 2 tahun pernikahan mereka.

Pria itu memeluk punggung Lisa dan menariknya kian rapat. Tubuh Lisa gemetar, sementara sang pria mengendalikan ciuman mereka. 

“Bibirmu, nikmat,” desahnya selembut lumatannya di bibir Lisa.

Lisa tercekat dan sedikit takut begitu merasakan balasan ciuman pria ini. Keadaannya kini justru berbalik, bukan dia yang menciumnya, tetapi pria itulah yang mendominasi ciuman ini, namun Lisa tak ingin mereka berhenti.

Pria ini secara ajaib telah membangunkan dirinya dalam sensualitas yang tak pernah ia pikir ada dalam dirinya. Iapun menjelajah dengan percaya diri, tangannya terus membelai tengkuk pria itu, menyisir rambutnya dengan lembut tapi juga sedikit kasar seiring intensitas ciuman mereka yang kian memanas.

Lenguhan pelan pun menggema di udara ketika tangan mereka saling menjamah dan menjelajah tubuh satu sama lain.

Esok paginya Lisa terbangun oleh suara deburan ombak di pagi hari. Ombak-ombak kecil yang menggulung menciptakan deburan melodi air yang menghipnotis. Pantulan sang fajar membuat air laut berkilau dan menciptakan jejak cahaya yang memainkan tarian keindahan di permukaan ombak.

“Bosan?” Lisa terkesiap mendengar suara bariton menyapa dan ia pun menoleh pada pria itu—tinggi dan tegap. Wajah rupawannya memenuhi pandangan Lisa meskipun lautan di sekitarnya terhampar luas.

“Sabarlah, sebentar lagi akan ada kapal yang datang. Bagaimana tidurmu?’

Sebenarnya tidur Lisa jauh dari kata nyenyak. Jantungnya tak bisa berdetak normal sejak ciuman mereka tadi malam. Pikirannya masih dipenuhi jejak-jejak sensualitas yang meranggas. “Nyenyak,” dustanya. “Kamu?” tanyanya balik.

Pria itu mengangguk. “Nyenyak.”

Bah! Yang benar saja. Ia terjaga semalaman karena dihantui perasaan bersalah dan melawan bayang-bayang wanita ini, blus terbuka dengan sepasang payudara padat dan kenyal yang memenuhi telapak tangannya semalam. Juga bibir lembutnya yang menggiurkan di bawah desakan bibirnya.

“Siapa namamu?” Manik matanya yang sewarna karamel memandang Lisa lurus-lurus dengan sorot penuh ketertarikan.

Lisa tertawa lirih dan menggeleng seraya menatap cakrawala, tanpa berani balas menatapnya. Dia takut pria itu bisa melihat pikiran-pikirannya yang masih dipenuhi fantasi semalam.

“Kita sudah sepakat, kan? Tak perlu saling mengenal. Setelah liburan ini selesai, kita akan kembali dalam kehidupan masing-masing.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status