Share

2. Tuntutan Revisi

“Tidak perlu saling mengenal.”

Lisa seperti melihat sorot kekecewaan dari pria yang telah menemaninya semalam tersebut. Namun, hanya sepintas–yang kemudian membuat Lisa berpikir bahwa dia salah lihat.

“Oke.” Pria itu mengangkat bahu, menyahut dengan santai.

Setelah menunggu selama beberapa waktu, keduanya berhasil kembali ke daratan dengan menumpang perahu yang datang untuk mengantar-jemput para wisatawan ke tengah pulau di mana mereka terjebak semalaman di sana.

Pria itu mengulurkan tangan, membantu Lisa menuruni perahu. Jantung Lisa berdegup cepat merasakan eratnya genggaman pria itu. Tangannya, hangat dan kokoh, memberikan kesan keamanan yang membuat Lisa enggan melepaskannya.

Pandangan Lisa bertemu dengan mata sewarna karamel yang menyorot tulus kepadanya, senyumnya yang memikat, dan detail wajahnya semakin terlihat menarik meskipun rambut ikal cokelatnya masih berantakan.

Ada rasa kehilangan ketika akhirnya kemudian pria itu melepaskan genggamannya ketika kaki mereka telah menyentuh bagian tepi pasir yang kering. Perlahan, saat mereka saling berhadapan, Lisa menurunkan tatapannya. 

Otot perut sixpack pria itu tercetak samar di balik t-shirt putihnya yang kotor oleh pasir pantai.

“Nah. Akhirnya kita sampai juga,” desah pria itu terdengar lega, membuat Lisa kembali mendongak.

“Kamu–”

Sebenarnya Lisa ingin membuat kata-kata perpisahan yang manis dan berkesan, tetapi tiba-tiba saja perutnya terasa melilit. 

“Sialan, nggak tahu sikon banget sih ini perut?” sesalnya dalam hati. Ia harus menemukan toilet secepatnya.

“Makasih atas semuanya ya. Aku duluan.” Maka hanya kata-kata perpisahan singkat seperti itulah yang bisa Lisa sampaikan pada pria asing tersebut sambil berlalu pergi dengan terburu-buru.

Ketika Lisa sudah selesai dengan urusan perutnya, dia tak lagi menemukan sosok pria tampan yang telah menjadi satu-satunya teman di pulau itu. 

Ia pun tersenyum kecut ketika kekecewaan dan rasa kehilangan merayapi hatinya.

“Dia sudah pergi,” gumamnya sambil menghela napas panjang. “Cih. Lagi pula buat apa dia menungguku? Toh kami sudah sepakat akan kembali dalam kehidupan masing-masing tanpa perlu lagi melanjutkan perkenalan ini.” 

Lisa menghela napas. “Meskipun kami … sudah berciuman, tapi itu hanya karena keadaan.”

Lisa kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menyimpan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia pun beranjak melangkah mencari kendaraan untuk membawanya kembali ke penginapan.

***

“Dih. Asyik banget ya yang liburan sampai nggak bisa dihubungi seharian?”

Lisa baru saja selesai mandi di penginapannya ketika ponsel miliknya berdering nyaring. Ternyata dari Ninik, teman sekaligus editor yang selama ini membantu menyalurkan hobinya menulis novel di aplikasi online.

Ia memang sudah rajin menulis sejak lama, toh penghasilannya juga tidak buruk dari kegiatan tersebut. Namun, sudah beberapa waktu ini Lisa tidak bisa produktif.

Lebih tepatnya sejak perceraian Lisa dengan suaminya.

“Lu nggak lupa sama tugas revisi elu, kan?” cerocos Ninik di ujung telepon sana, kembali menyadarkan Lisa.

Lisa mendaratkan pantatnya di tepi ranjang. “Ckckck. Udah kayak emak-emak aja lu, ngomel mulu yang elu duluin. Tanya dulu kek baek-baek, kenapa gue nggak bisa dihubungi? Asal lu tahu ya, gue baru aja balik ke penginapan. Semalam gue terjebak di tengah pulau terpencil, anjiir.”

“Hah? Gimana ceritanya? Kok bisa?”

Lisa kemudian menceritakan pengalamannya kemarin. Ia merinding setiap kali teringat kejadian itu, bila saja pria asing itu tidak menolongnya.

“Jadi elu terjebak di tengah pulau sama om-om? Bukannya sama cowok ganteng yang masih single?” Ninik terpingkal-pingkal, menertawakan keapesan Lisa.

Lisa tersenyum tipis. Tak tahu saja dia gambaran om-om yang menolong Lisa itu jauh dari sosok om-om pada umumnya, tak kalah tampan dan gagah dari pria-pria muda yang pernah mereka lihat.

Mendengar tawa Ninik yang tak habis-habis, Lisa kehilangan minat untuk melanjutkan ceritanya tentang pengalaman sensualnya di tengah pulau dengan om-om super tampan itu.

“Syukur deh elu udah balik dalam keadaan sehat dan selamat, Lis.” Ninik berkata setelah puas tertawa. “Nah, sekarang gue mau kasih tugas revisi buat elu, biar kontrak ekslusif yang elu inginkan itu bisa lekas turun.”

Lisa membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur sambil tetap bertelepon. “Revisi? Lagi? Ck. Gue lagi mentok ide, Nik. Kayaknya gue lagi kena writer’s block deh, makanya gue pergi liburan. Elu tahu kan, genre romance ala-ala CEO kayak gitu bukan gue banget. Biasanya gue nulis teenlit. Sampai sekarang gue masih belum dapat juga kliknya nulis CEO-CEO kayak yang elu minta.”

“Lisa! Gue yakin kok elu pasti bisa, elu cuma butuh latihan dan tambah jam terbang aja. Elu mau kan dapat royalti ribuan dollar tiap bulannya kayak penulis-penulis romansa dewasa lainnya yang udah sukses itu?”

“Ya maulah!” tekad Lisa bulat-bulat. 

Dia butuh banyak uang saat ini, tentu saja royalti ribuan dollar adalah targetnya.

“Nah, makanya. Elu kudu belajar mengubah gaya penulisan elu kalau pengen novel elu bisa eksis di aplikasi. Dan gue kasih tahu, naskah yang elu setor ke gue ini masih teenlit banget vibesnya. Masih belum masuk kriteria naskah yang lagi gue cari. Bahkan sorry to say, gue bilang naskah elu ini nggak banget, belum nyenggol selera pasar. Artinya, elu masih jauh dari musim hujan dollar.”

Lisa menghela napas panjang. Dia sudah terbiasa menerima kritik pedas dari Ninik yang  ceplas-ceplos. 

Lisa tahu, Ninik hanya ingin dirinya bisa keluar dari zona nyamannya yang cuma suka menulis teenlit, yang kurang menyentuh pasar potensial dalam aplikasi-aplikasi novel online yang menaunginya saat ini.

“Lisa, kalau mau cari duit tuh harus pintar-pintar melihat peluang. Daya beli tertinggi ada di tangan pembaca yang berusia dewasa, bukan remaja. Makanya gue saranin elu buat nulis novel sesuai tren yang ada. Kecuali kalau elu masih mau nulis cuma sebagai hobi, ya silakan aja garap tulisan sesuai idealisasi elu.”

Lisa menghela napas. “Oke. Tapi kayaknya gue butuh waktu buat rehat dulu, Nik. Ngebul rasanya otak gue sekarang mikirin adegannya. Apalagi gue nggak ada gambaran tentang gimana kehidupan CEO.”

“Lisa, sayangku! Elu kan bisa nonton drakor, baca-baca novel harlequin, atau baca karya-karya penulis lain buat dapat gambarannya. Nggak mesti observasi dan riset langsung kehidupan CEO tampan betulan buat bisa menuliskan kehidupan romansa tokoh CEO di novel elu, kan?” Ninik terdengar gemas.

“Tapi tetap aja, Nik. Meskipun gue udah nonton drakor, baca harlequin, baca novel-novel CEO lainnya … tetap aja hambar. Gue nggak bisa menjiwai.”

“Ck. Lisa. Elu pengen dapat dollar banyak nggak sih?”

“Bego aja kalau nggak mau!”

“Nah! Kalau gitu gaskeun, buruan revisi naskah novel elu sesuai feedback dari gue. Nggak ada alasan. Udah gue kirim filenya,” tegas Ninik.

“Oke-oke. Thanks.” Lisa ingin cepat-cepat mengakhiri obrolannya dengan Ninik, dia lelah.

Selesai menelepon, Lisa bangkit dari kasur dan meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia penat sekali untuk menulis, tetapi ia tak bisa mengelak dari tuntutan revisi dari Ninik yang saat ini sedang bertindak sebagai editor yang membantunya mendapatkan kontrak eksklusif.

Bagaimanapun dia butuh uang. Dan selama ini, dia mendapatkan uang lewat menulis novel online. Meskipun tak banyak tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, kini ia membutuhkan uang yang lebih banyak dari biasanya, sebab ada beban utang yang harus ia lunasi setiap bulannya.

“Benar kata Ninik, aku harus keluar dari zona nyaman,” gumamnya sambil memandangi pantulan dirinya di cermin, dan tertegun ketika menyadari sesuatu.

Lisa menyentuh jejak kemerahan di lehernya. Wajahnya merona merah seketika. Ciuman panasnya dengan pria asing di gubuk reot di tengah pulau kembali menari-nari dalam benaknya. 

Mendadak tubuhnya terasa hangat, pipinya panas dan jantungnya berdebar-debar.

Lisa buru-buru mengeluarkan laptop miliknya dan membuka email dari Ninik. Dia membaca arahan Ninik selaku editornya tentang revisi naskah miliknya.

“Hm, tentang scene dewasa ya? Ciuman misalnya?” gumamnya sambil mengingat-ingat bagaimana rasanya ketika bibirnya bertemu dengan bibir pria semalam.

Saat bibir mereka saling melumat dan lidah pria itu dengan aktif mendesak hangat ke dalam mulutnya lalu membelai-belainya langit-langit mulutnya dengan mesra.

Matanya fokus pada layar laptop. Sensasi ciuman dan kehangatan pria asing tersebut yang masih terasa di bibirnya menjadi sumber inspirasi yang tak terduga. Dengan cepat, jemarinya mulai menari di atas keyboard, merekam dengan detail setiap nuansa perasaan yang terpancar dari pertemuan sensualnya di pulau terpencil itu.

Setiap sentuhan di jari keyboard adalah gerakan yang merekam detail-detail keintiman di pulau itu. Ciuman yang membakar, lumatan yang menggoda, dan kecupan yang memicu getaran tubuhnya, semuanya ia tuangkan dengan kata-katanya yang penuh gairah.

Lisa merasakan aliran kata-kata yang begitu mudah mengalir, seolah-olah pengalaman itu menularkan kepadanya kekuatan untuk mendeskripsikan romantisme yang sebelumnya sulit diungkapkannya. 

Senyum Lisa terkulum sepanjang menciptakan narasi yang menggambarkan panasnya momen-momen bersama sosok pria asing yang gagah rupawan itu, dengan begitu hidup dan jelas. 

Selesai melakukan revisi sesuai arahan sang editor, Lisa langsung mengirimkannya kepada Ninik, lalu dia pergi tidur. Tubuhnya lelah sekali karena di tengah pulau itu dia tak bisa tidur nyenyak semalaman.

Ketika dia bangun beberapa jam kemudian, dia mendapat sebaris pesan dari Ninik yang dikirimkan padanya via WA.

[Lisa? Ini betulan elu yang nulis?] 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status