“Tidak perlu saling mengenal.”
Lisa seperti melihat sorot kekecewaan dari pria yang telah menemaninya semalam tersebut. Namun, hanya sepintas–yang kemudian membuat Lisa berpikir bahwa dia salah lihat.
“Oke.” Pria itu mengangkat bahu, menyahut dengan santai.
Setelah menunggu selama beberapa waktu, keduanya berhasil kembali ke daratan dengan menumpang perahu yang datang untuk mengantar-jemput para wisatawan ke tengah pulau di mana mereka terjebak semalaman di sana.
Pria itu mengulurkan tangan, membantu Lisa menuruni perahu. Jantung Lisa berdegup cepat merasakan eratnya genggaman pria itu. Tangannya, hangat dan kokoh, memberikan kesan keamanan yang membuat Lisa enggan melepaskannya.
Pandangan Lisa bertemu dengan mata sewarna karamel yang menyorot tulus kepadanya, senyumnya yang memikat, dan detail wajahnya semakin terlihat menarik meskipun rambut ikal cokelatnya masih berantakan.
Ada rasa kehilangan ketika akhirnya kemudian pria itu melepaskan genggamannya ketika kaki mereka telah menyentuh bagian tepi pasir yang kering. Perlahan, saat mereka saling berhadapan, Lisa menurunkan tatapannya.
Otot perut sixpack pria itu tercetak samar di balik t-shirt putihnya yang kotor oleh pasir pantai.
“Nah. Akhirnya kita sampai juga,” desah pria itu terdengar lega, membuat Lisa kembali mendongak.
“Kamu–”
Sebenarnya Lisa ingin membuat kata-kata perpisahan yang manis dan berkesan, tetapi tiba-tiba saja perutnya terasa melilit.
“Sialan, nggak tahu sikon banget sih ini perut?” sesalnya dalam hati. Ia harus menemukan toilet secepatnya.
“Makasih atas semuanya ya. Aku duluan.” Maka hanya kata-kata perpisahan singkat seperti itulah yang bisa Lisa sampaikan pada pria asing tersebut sambil berlalu pergi dengan terburu-buru.
Ketika Lisa sudah selesai dengan urusan perutnya, dia tak lagi menemukan sosok pria tampan yang telah menjadi satu-satunya teman di pulau itu.
Ia pun tersenyum kecut ketika kekecewaan dan rasa kehilangan merayapi hatinya.
“Dia sudah pergi,” gumamnya sambil menghela napas panjang. “Cih. Lagi pula buat apa dia menungguku? Toh kami sudah sepakat akan kembali dalam kehidupan masing-masing tanpa perlu lagi melanjutkan perkenalan ini.”
Lisa menghela napas. “Meskipun kami … sudah berciuman, tapi itu hanya karena keadaan.”
Lisa kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menyimpan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Ia pun beranjak melangkah mencari kendaraan untuk membawanya kembali ke penginapan.
***
“Dih. Asyik banget ya yang liburan sampai nggak bisa dihubungi seharian?”
Lisa baru saja selesai mandi di penginapannya ketika ponsel miliknya berdering nyaring. Ternyata dari Ninik, teman sekaligus editor yang selama ini membantu menyalurkan hobinya menulis novel di aplikasi online.
Ia memang sudah rajin menulis sejak lama, toh penghasilannya juga tidak buruk dari kegiatan tersebut. Namun, sudah beberapa waktu ini Lisa tidak bisa produktif.
Lebih tepatnya sejak perceraian Lisa dengan suaminya.
“Lu nggak lupa sama tugas revisi elu, kan?” cerocos Ninik di ujung telepon sana, kembali menyadarkan Lisa.
Lisa mendaratkan pantatnya di tepi ranjang. “Ckckck. Udah kayak emak-emak aja lu, ngomel mulu yang elu duluin. Tanya dulu kek baek-baek, kenapa gue nggak bisa dihubungi? Asal lu tahu ya, gue baru aja balik ke penginapan. Semalam gue terjebak di tengah pulau terpencil, anjiir.”
“Hah? Gimana ceritanya? Kok bisa?”
Lisa kemudian menceritakan pengalamannya kemarin. Ia merinding setiap kali teringat kejadian itu, bila saja pria asing itu tidak menolongnya.
“Jadi elu terjebak di tengah pulau sama om-om? Bukannya sama cowok ganteng yang masih single?” Ninik terpingkal-pingkal, menertawakan keapesan Lisa.
Lisa tersenyum tipis. Tak tahu saja dia gambaran om-om yang menolong Lisa itu jauh dari sosok om-om pada umumnya, tak kalah tampan dan gagah dari pria-pria muda yang pernah mereka lihat.
Mendengar tawa Ninik yang tak habis-habis, Lisa kehilangan minat untuk melanjutkan ceritanya tentang pengalaman sensualnya di tengah pulau dengan om-om super tampan itu.
“Syukur deh elu udah balik dalam keadaan sehat dan selamat, Lis.” Ninik berkata setelah puas tertawa. “Nah, sekarang gue mau kasih tugas revisi buat elu, biar kontrak ekslusif yang elu inginkan itu bisa lekas turun.”
Lisa membaringkan tubuhnya yang lelah di kasur sambil tetap bertelepon. “Revisi? Lagi? Ck. Gue lagi mentok ide, Nik. Kayaknya gue lagi kena writer’s block deh, makanya gue pergi liburan. Elu tahu kan, genre romance ala-ala CEO kayak gitu bukan gue banget. Biasanya gue nulis teenlit. Sampai sekarang gue masih belum dapat juga kliknya nulis CEO-CEO kayak yang elu minta.”
“Lisa! Gue yakin kok elu pasti bisa, elu cuma butuh latihan dan tambah jam terbang aja. Elu mau kan dapat royalti ribuan dollar tiap bulannya kayak penulis-penulis romansa dewasa lainnya yang udah sukses itu?”
“Ya maulah!” tekad Lisa bulat-bulat.
Dia butuh banyak uang saat ini, tentu saja royalti ribuan dollar adalah targetnya.
“Nah, makanya. Elu kudu belajar mengubah gaya penulisan elu kalau pengen novel elu bisa eksis di aplikasi. Dan gue kasih tahu, naskah yang elu setor ke gue ini masih teenlit banget vibesnya. Masih belum masuk kriteria naskah yang lagi gue cari. Bahkan sorry to say, gue bilang naskah elu ini nggak banget, belum nyenggol selera pasar. Artinya, elu masih jauh dari musim hujan dollar.”
Lisa menghela napas panjang. Dia sudah terbiasa menerima kritik pedas dari Ninik yang ceplas-ceplos.
Lisa tahu, Ninik hanya ingin dirinya bisa keluar dari zona nyamannya yang cuma suka menulis teenlit, yang kurang menyentuh pasar potensial dalam aplikasi-aplikasi novel online yang menaunginya saat ini.
“Lisa, kalau mau cari duit tuh harus pintar-pintar melihat peluang. Daya beli tertinggi ada di tangan pembaca yang berusia dewasa, bukan remaja. Makanya gue saranin elu buat nulis novel sesuai tren yang ada. Kecuali kalau elu masih mau nulis cuma sebagai hobi, ya silakan aja garap tulisan sesuai idealisasi elu.”
Lisa menghela napas. “Oke. Tapi kayaknya gue butuh waktu buat rehat dulu, Nik. Ngebul rasanya otak gue sekarang mikirin adegannya. Apalagi gue nggak ada gambaran tentang gimana kehidupan CEO.”
“Lisa, sayangku! Elu kan bisa nonton drakor, baca-baca novel harlequin, atau baca karya-karya penulis lain buat dapat gambarannya. Nggak mesti observasi dan riset langsung kehidupan CEO tampan betulan buat bisa menuliskan kehidupan romansa tokoh CEO di novel elu, kan?” Ninik terdengar gemas.
“Tapi tetap aja, Nik. Meskipun gue udah nonton drakor, baca harlequin, baca novel-novel CEO lainnya … tetap aja hambar. Gue nggak bisa menjiwai.”
“Ck. Lisa. Elu pengen dapat dollar banyak nggak sih?”
“Bego aja kalau nggak mau!”
“Nah! Kalau gitu gaskeun, buruan revisi naskah novel elu sesuai feedback dari gue. Nggak ada alasan. Udah gue kirim filenya,” tegas Ninik.
“Oke-oke. Thanks.” Lisa ingin cepat-cepat mengakhiri obrolannya dengan Ninik, dia lelah.
Selesai menelepon, Lisa bangkit dari kasur dan meraup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia penat sekali untuk menulis, tetapi ia tak bisa mengelak dari tuntutan revisi dari Ninik yang saat ini sedang bertindak sebagai editor yang membantunya mendapatkan kontrak eksklusif.
Bagaimanapun dia butuh uang. Dan selama ini, dia mendapatkan uang lewat menulis novel online. Meskipun tak banyak tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, kini ia membutuhkan uang yang lebih banyak dari biasanya, sebab ada beban utang yang harus ia lunasi setiap bulannya.
“Benar kata Ninik, aku harus keluar dari zona nyaman,” gumamnya sambil memandangi pantulan dirinya di cermin, dan tertegun ketika menyadari sesuatu.
Lisa menyentuh jejak kemerahan di lehernya. Wajahnya merona merah seketika. Ciuman panasnya dengan pria asing di gubuk reot di tengah pulau kembali menari-nari dalam benaknya.
Mendadak tubuhnya terasa hangat, pipinya panas dan jantungnya berdebar-debar.
Lisa buru-buru mengeluarkan laptop miliknya dan membuka email dari Ninik. Dia membaca arahan Ninik selaku editornya tentang revisi naskah miliknya.
“Hm, tentang scene dewasa ya? Ciuman misalnya?” gumamnya sambil mengingat-ingat bagaimana rasanya ketika bibirnya bertemu dengan bibir pria semalam.
Saat bibir mereka saling melumat dan lidah pria itu dengan aktif mendesak hangat ke dalam mulutnya lalu membelai-belainya langit-langit mulutnya dengan mesra.
Matanya fokus pada layar laptop. Sensasi ciuman dan kehangatan pria asing tersebut yang masih terasa di bibirnya menjadi sumber inspirasi yang tak terduga. Dengan cepat, jemarinya mulai menari di atas keyboard, merekam dengan detail setiap nuansa perasaan yang terpancar dari pertemuan sensualnya di pulau terpencil itu.
Setiap sentuhan di jari keyboard adalah gerakan yang merekam detail-detail keintiman di pulau itu. Ciuman yang membakar, lumatan yang menggoda, dan kecupan yang memicu getaran tubuhnya, semuanya ia tuangkan dengan kata-katanya yang penuh gairah.
Lisa merasakan aliran kata-kata yang begitu mudah mengalir, seolah-olah pengalaman itu menularkan kepadanya kekuatan untuk mendeskripsikan romantisme yang sebelumnya sulit diungkapkannya.
Senyum Lisa terkulum sepanjang menciptakan narasi yang menggambarkan panasnya momen-momen bersama sosok pria asing yang gagah rupawan itu, dengan begitu hidup dan jelas.
Selesai melakukan revisi sesuai arahan sang editor, Lisa langsung mengirimkannya kepada Ninik, lalu dia pergi tidur. Tubuhnya lelah sekali karena di tengah pulau itu dia tak bisa tidur nyenyak semalaman.
Ketika dia bangun beberapa jam kemudian, dia mendapat sebaris pesan dari Ninik yang dikirimkan padanya via WA.
[Lisa? Ini betulan elu yang nulis?]
[Lisa? Ini betulan elu yang nulis?] Lisa dengan cepat mengetik pesan balasan dan langsung mendapatkan respons dari Ninik yang pada saat itu juga sedang online. Lisa: [Iya. Kenapa lagi?] Ninik: [Good job! Nah, gue bilang apa, elu pasti bisa. Cakep ini, cakep banget buat pemula, say. Adegannya serasa real.] Lisa mengulum senyum, tak mengatakan bahwa adegan ciuman yang ada dalam novelnya itu terinspirasi dari kisah nyatanya sendiri. Setelah selesai berbalas pesan dengan Ninik, Lisa kemudian menutup gorden jendela kamar penginapannya. Dia mendesah jengkel karena hari sudah mulai sore, di luar sudah mulai gelap. Sebentar lagi malam. “Sial. Sayang banget aku menghabiskan liburanku cuma buat rebahan di kamar aja!” Lisa telah mengeluarkan uang cukup banyak buat liburannya ini. Demi menghibur dirinya usai perceraian. Dia berhak bergembira meskipun hanya untuk sesaat, tak peduli sekembalinya ke Jakarta nanti hidupnya masih tetap berjalan dengan tidak baik-baik saja. Setelah mandi dan ber
Motor CBR yang membonceng Lisa baru saja tiba di halaman parkir penginapan Lisa ketika tiba-tiba saja langit bergemuruh dan hujan turun dengan deras. “Ayo masuk, tunggu saja di dalam,” ajak Lisa. Ruangan kamarnya mendadak terasa menyempit ketika Lisa sadar ia hanya berdua saja dengan pria yang memiliki tubuh tinggi tegap itu. Sementara hujan kian menderu di luar sana disertai angin kencang. “Padahal ini bukan musim hujan, kan?” kata Lisa sambil menyeduh teh. “Sepertinya teori angin muson barat dan angin muson timur yang mempengaruhi musim di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” sahut pria itu seraya tertawa lirih. Mereka mengobrol sambil menikmati teh panas buatan Lisa, sambil menunggu hujan reda. Tetapi hujan justru turun semakin deras. Dan ketika petir menyambar dengan kerasnya, Lisa terpekik sambil menutup kuping. Secara refleks pria itupun memeluknya. “Hei, tenanglah ... kita aman di sini.” Suara bariton itu berbisik lembut di telinganya. Kehangatan terasa memancar dari tu
Lisa terbangun dengan nyeri yang masih begitu terasa menyengat. Rasanya betul-betul tak nyaman. Dia menggigit bibir sambil mendesah pelan. “Sialan, nggak enak banget sih,” gumamnya sambil meringis. Seketika dia baru sadar dengan apa yang telah terjadi semalam. Lisa terkesiap dan menoleh cepat ke sisi ranjangnya yang sudah kosong. “Ke mana dia?” gumamnya sambil mengedarkan pandang, mencari-cari sosok pria yang bercinta dengannya semalam. “Apa mungkin sedang di kamar mandi?” pikirnya. Lisa mengulum senyum dengan wajahnya yang tersipu-sipu. Dia telah bercinta dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun sepertinya mungkin jarak usia mereka terpaut cukup jauh, 10 atau 12 tahun mungkin, tapi mereka terasa begitu cocok semalam. Namun senyum di wajahnya segera sirna ketika tatapannya membentur secarik kertas yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya seketika berdegup kencang. Iapun memaksakan diri beranjak dari ranjang sambil menahan segala ketidaknyamanan usai percintaan y
Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon. “Halo.” “Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi. “Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya. “Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis. Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.” “Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan
Kekecewaan terasa melingkupi perasaan Lisa. Dia merasa seperti sedang bertepuk sebelah tangan. “Wah. Sepertinya, aku bukanlah satu-satunya partner ‘cinta semalam’-mu ya?” Lisa berkata sambil menjaga ketenangan suaranya dalam menanggapi ucapan pria itu tentang dia sering mengeluarkan cek.Terdengar tawa lirih pria itu. “Oh, ini kamu ya? Maaf, waktu itu aku pergi buru-buru karena ada hal mendesak. Tidurmu terlihat nyenyak sekali saat itu, aku—”“Bisa kita bertemu? Nanti siang. Ini juga mendesak. Penting.” Lisa sengaja memotong ucapan pria itu. Diam-diam rasa kesal bercampur senang menyelimuti hatinya, setidaknya pria itu masih mengingatnya. Tapi Lisa tak ingin bermain-main perasaan lagi dengannya. Pengalaman semalam bersamanya itu saja sudah cukup.“Siang nanti jadwalku padat, bagaimana kalau jam 9 pagi saja? Kita ketemu di coffee shop yang ada di lantai dasar Gedung Menara 2 Sutomo Group?”“Oke.”“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” “Tidak, itu saja. Kita bisa bicara lagi nanti saa
“Tepat jam 9 kan,” pria itu berkata seraya mengangkat dan melirik arloji di tangannya, “aku nggak terlambat, kan? Apa kamu juga baru datang?” ujarnya sambil tersenyum. Pria itu berdiri di hadapan Lisa, tinggi tegap. Balutan jas abu-abu gelapnya memberikan sentuhan elegan yang menonjolkan kegagahan. Meskipun dasinya belum terpasang, pria itu tampak begitu menawan dengan aura maskulin yang melingkupinya. Jasnya dipadukan dengan kemeja putih bersih yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. Rambut cokelatnya yang teratur menambah kesan tegas pada wajahnya yang tampan. Matanya, yang berwarna karamel, memancarkan kepercayaan diri dan kepribadian yang kuat. Senyum yang menghiasi bibirnya menambah pesona pada setiap gerakan tubuhnya yang elegan. “Yeah,” Lisa mengangguk, “aku baru saja memesan kopi,” lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh pada si kasir. “Mbak. Kembalikan uangnya, dia tamu saya, digabung saja dengan tagihan saya. Dan, tolong buatkan kopi saya seperti biasa ya,” katany
“Done. Seratus juta. Bukti transfernya sudah kukirim ke nomormu,” kata Vincent sambil tersenyum santai, seakan seratus juta hanya angka yang biasa baginya. Lisa, di sisi lain, merasakan kelegaan saat melihat saldo rekeningnya bertambah, meskipun masih jauh dari total tunggakan utang yang membebani pikirannya. Tapi setidaknya, dengan kondisinya yang bokek berat dan tak punya pekerjaan tetap, dia bisa bertahan hidup dengan uang ini. ‘Dia pasti tajir mampus,’ pikir Lisa dalam hatinya, sambil menutup aplikasi m-banking. “Oke. Makasih,” ucapnya lirih. “Nah. Urusan kita sudah selesai, kan?” Suara bariton Vincent memecah lamunan Lisa. “Eh, i-iya. Sudah. Terima kasih,” angguk Lisa. Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa nampan yang berisi kopi pesanan mereka. “Tak perlu berterima kasih, aku yang harusnya berterima kasih. Juga, maaf karena aku betul-betul tak sengaja tidak menandatanganinya,” kata Vincent sambil mengangguk sopan. Lisa tersenyum sejenak pada si pramusaji y
Vincent melangkah tegap memasuki lobi gedung Menara 2 Sutomo Group. Seorang petugas keamanan, yang tampak telah terlatih dengan baik, dengan sigap membuka jalan. "Permisi, tolong beri jalan, Pak Vincent mau lewat," ucapnya tegas. Kerumunan karyawan di sekitar lift pun dengan patuh membuka jalan, memberikan penghormatan yang nyata pada sosok pimpinan tertinggi yang tengah melewati mereka. Petugas keamanan itu dengan cekatan menekan tombol di sisi lift VIP. Lift pun membuka pintunya. "Silakan, Pak," ucapnya penuh hormat. Vincent melangkah memasuki lift, aura kharismatiknya mengisi ruangan seketika. Seakan lantai lift menjadi panggung bagi kharismanya yang tak tertandingi. Para karyawan tak bisa menyembunyikan decak kagum, terpesona oleh sosok CEO mereka yang seperti magnet, selalu menarik perhatian dan rasa hormat. Ketika pintu lift tertutup, Vincent menunduk menatap lantai. Gemerincing koin milik Lisa yang berjatuhan di lantai coffee shop tadi seperti menariknya kembali pada sebu