Nasib Lisa jadi mantan orang kaya, ... naluri belanja foya-foya terpaksa tunduk sama isi kenyataan di kantong :)
“See? Aku punya uang, kan? Bahkan aku bayar cash pakai kartu debet, bukan kartu kredit. Don’t judge a book by its cover,” kata Lisa seraya berjalan dengan sedikit mengangkat dagu ketika melewati para pelayan toko. Dua tangannya membawa tentengan paper bag berisi barang-barang belanjaan mewah senilai puluhan juta. Sikap para pelayan tadi pun serta merta berubah 180 derajat. Kini mereka memberikan senyum dan gesture hormat yang seharusnya Lisa terima sejak pertama kali menapakkan kakinya di gerai fashion dengan brand ternama ini. Lisa melenggang dengan percaya diri sepanjang menyusuri koridor mall. Matanya menoleh ke sekitar, mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa melengkapi penampilannya buat interview besok. Tepat pada saat ia kembali menatap ke depan, dia melihat Ardi yang tengah bergandengan mesra dengan Mina. “Sial. Lagi-lagi ketemu pasangan memuakkan itu,” gerutunya.Ardi dan Mina juga terkejut saat berpapasan dengan Lisa. Di mata mereka, Lisa masih saja tetap terlihat cantik m
Lisa menggeleng sambil tersenyum, merasa santai dengan sikap Ninik yang seperti biasa, selalu memedulikan keuangan dan gaya hidupnya. “Nggak kok, Nek. Tapi ini kan penting, gue harus tampil maksimal. Lagian, gue bayar cash kok, nggak utang.” Ninik masih bersedekap dan menatapnya lurus-lurus, “Jangan buang-buang duit, Lisa. Lu bisa tetap tampil maksimal tanpa harus keluar duit banyak. Kuncinya ada di kepribadian dan kemampuan elu.” Dia geleng-geleng kepala dan mendesah panjang. Lisa mengangguk mengerti, “Iya, Nek. Tahu. Gue cuma mau bikin kesan baik aja, kok. Ini bukan buang-buang duit, gila apa? Ini kan kebutuhan buat menunjang pekerjaan.” Gadis itu tersenyum lebar, menunjukkan cengiran ‘tak bersalah’ yang khas tiap kali Ninik menegurnya seperti ini. “Lisa, gue nggak habis pikir sama elu. Kadang elu tuh ngeluh nggak punya duit, bingung gimana bayar ini-itu, tapi tiba-tiba,” Ninik mendesah sejenak, “elu bisa liburan ke Lombok.” Suara Ninik terdengar sedikit naik di ujung kalimat. L
Jantung Lisa seketika berdegup kencang. “Damien!” serunya dalam hati, teringat dengan karakter utama dalam novelnya yang selama ini terinspirasi oleh Vincent. Ternyata, pria itu lebih dari yang dia bayangkan. Dia sosok CEO yang begitu sempurna. Melihat Vincent, Lisa seperti melihat sosok Damien yang terlepas dari halaman novel dan menjelma hidup sebagai manusia. Kejutan ini membuatnya semakin yakin bahwa Vincent Alessio adalah sumber inspirasi yang luar biasa baginya untuk menuliskan novel-novel romansa. Tangan Lisa sedikit gemetar, dia menggenggam tanda pengenal 'tamu’ yang dipakainya. ‘Aku harus lolos interview ini, dan mendapatkan tempat paling dekat dengan Vincent,’ tekadnya. “Namanya Vincent Alessio. Berdarah Indonesia-Italia. Sebenarnya dia sudah berkepala empat loh, tahun ini usianya memasuki 45 tahun. Tapi kelihatannya 10 tahun lebih muda ya?” Staf wanita itu malah memberikan informasi lebih. Lisa menelan ludah. “Empat puluh lima tahun?” ulangnya, dan si staf wanita itu m
Natalia menghela napas. Sebagai manajer personalia yang berpengalaman, ia merasa tertantang dengan keputusan Vincent Alessio yang jarang menggunakan "jalur orang dalam" seperti ini. Natalia bertanya-tanya apakah ada kesepakatan khusus antara Vincent dan Lisa terkait posisi yang disebutkannya tadi: asisten sekretaris. ‘Apa aku tanya dulu sama Pak Vincent, ya?’ Natalia menimbang-nimbang dalam hati. ‘Tapi, Bapak kemarin sudah pesan agar aku memberinya tempat yang paling pas. Artinya, aku harus mempertimbangkan kelayakannya sesuai CV miliknya.’ Dia mengambil selembar kertas CV milik Lisa dan membacanya lagi. Sementara itu, Lisa yang sedang duduk di seberang meja Natalia tampak tenang, menjaga senyumnya, meskipun dalam hatinya diam-diam merasa cemas. ‘Iya juga ya? Kan nggak ada yang ngasih tahu aku tentang posisi itu, sebagai asisten sekretaris,’ pikir Lisa dalam kediamannya. Tapi, Lisa begitu menginginkan posisi itu dan yakin bisa mendapatkannya. Makanya dia dengan enteng menyebutkanny
"Selamat pagi, HRD Menara 2 Sutomo Group. Resepsionis Lisa di sini, ada yang bisa saya bantu?" Lisa dengan ramah menerima panggilan telepon yang berdering nyaring di meja resepsionis.Meskipun tangan Hanum terlihat sibuk menumpuk lembaran dokumen, tetapi telinganya awas memerhatikan Lisa. Dia penasaran apakah Lisa bisa menangani tugas sepele ini dengan baik. Dia merasa skeptis terhadap Lisa.Sepanjang masa tandem, Lisa terlihat santai sekali dan ‘iya-iya’ saja setiap kali Hanum menegurnya karena terkesan abai. Padahal bagi Hanum, menjadi seorang resepsionis bukanlah pekerjaan yang sepele, terlebih di perusahaan sekelas Sutomo Land Corporation, bagian HRD pula, yang kerap menjadi jembatan berbagai divisi penting di perusahaan sebesar ini.Sementara itu, di balik meja resepsionis, Lisa menerima panggilan telepon dengan percaya diri. "Indeed. You've reached the right number; this is Sutomo Land Corporation. How may we assist you?" Bahasa Inggrisnya lancar dan aksennya enak, nada suaranya
“Hmm, jadi dia ditempatkan di HRD ya.” Vincent membatin. Natalia belum memberitahu kelanjutan proses rekrutmen Lisa dan dia sendiri juga lupa untuk bertanya, lebih tepatnya dia sebaiknya tak perlu bertanya. Tapi diam-diam Vincent penasaran juga. Dan dia tadi hanya tersenyum samar ketika Rini memberitahu bahwa Lisa merupakan orangnya Natalia, artinya Lisa sudah diterima sebagai staf HRD. Tiba-tiba notifikasi pesan ponsel Vincent berbunyi. [Aku di depan ruanganmu. Nunggu dokumen yang sedang kamu tanda tangani.] Vincent menatap layar ponselnya, memperhatikan pesan singkat dari Lisa itu. Senyum tipis mengembang di bibirnya, namun segera menghilang saat ia mulai merenung. Sejenak, ia berpikir tentang langkah apa yang sebaiknya diambil. “Memangnya harus terus begini?” batin Vincent, menelengkan kepala sebagai respons atas kebimbangannya yang tak terucap. Ponselnya seolah menjadi sumber pertanyaan. Namun, segera setelahnya, Vincent mengetik pesan singkat sebagai balasan, ‘Sudah beres.
Vincent duduk di tengah kebisingan ruang rapat yang seharusnya penuh keseriusan. Meskipun suasana rapat terlihat santai, tetapi kepekaan mata tajam sang CEO selalu memerhatikan setiap detail di sekitarnya. "Bagaimana dengan konsep pemasaran yang baru kita luncurkan?" tanya Vincent kepada seorang karyawan yang sedang presentasi, mewakili departemen pemasaran. Ardi membuka presentasinya dengan senyum penuh keyakinan di wajahnya. Sementara itu, di kursi eksekutifnya, Vincent menyimak dengan serius. “Kami telah merumuskan konsep pemasaran yang inovatif untuk apartemen baru kita, Pak.” Mata Ardi berbinar dan senyuman melebar.Vincent melihat layar presentasi dengan tatapan tajam, mengangguk sebentar. “Lanjutkan,” ujarnya dengan nada penuh wibawa.Ardi menjelaskan konsepnya dengan semangat, menggunakan gerakan tangan untuk menyoroti poin-poin utama. “Kami ingin menekankan gaya hidup perkotaan yang modern dan kenyamanan tinggal di sini,” jelasnya.Vincent mengangkat alisnya sedikit, menun
“Gue tahu elu sekarang udah ada kerjaan, tapi kudu tetap luangkan waktu buat update chapter, dong! Tuh, ranking novel elu melorot lagi, hampir tersisih dari 10 besar!”Lisa memutar bola mata. Langkahnya gontai sepanjang menyusuri lantai marmer lobi gedung Menara 2 Sutomo Group yang berkilap. Dia lelah, ditambah sekarang dapat omelan dari Ninik. “Nek, tahu nggak sih lu,” Lisa cemberut, “posisi gue di perusahaan ini kan sebagai resepsionis, tapi kok gue kayak OB aja ya, disuruh antar dokumen ke sana-sini. Gue kayak nggak dihargai sebagai resepsionis yang mestinya cuma duduk manis di belakang meja menyambut tamu. Sialan banget kan?” Lisa mendengkus kesal.“Idih, diomelin editor lah kok malah curcol? Cuma elu penulis rese yang pernah gue handle, Lisa!” Lisa meringis sambil menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara Ninik yang mulai melengking tinggi.“Berisik banget sih suara elu, Nek? Nggak dilempar pulpen tetangga kubikal elu apa?”“Nggak! Tenang aja, orang-orang di sini mah kupin