Share

4. Pertama Bagiku

Motor CBR yang membonceng Lisa baru saja tiba di halaman parkir penginapan Lisa ketika tiba-tiba saja langit bergemuruh dan hujan turun dengan deras. 

“Ayo masuk, tunggu saja di dalam,” ajak Lisa.

Ruangan kamarnya mendadak terasa menyempit ketika Lisa sadar ia hanya berdua saja dengan pria yang memiliki tubuh tinggi tegap itu. Sementara hujan kian menderu di luar sana disertai angin kencang.

“Padahal ini bukan musim hujan, kan?”  kata Lisa sambil menyeduh teh.

“Sepertinya teori angin muson barat dan angin muson timur yang mempengaruhi musim di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” sahut pria itu seraya tertawa lirih.

Mereka mengobrol sambil menikmati teh panas buatan Lisa, sambil menunggu hujan reda. Tetapi hujan justru turun semakin deras. Dan ketika petir menyambar dengan kerasnya, Lisa terpekik sambil menutup kuping. Secara refleks pria itupun memeluknya.

“Hei, tenanglah ... kita aman di sini.” Suara bariton itu berbisik lembut di telinganya.

Kehangatan terasa memancar dari tubuh kekar pria itu. Sekujur tubuh Lisa pun tiba-tiba menggelenyar ketika pria itu menatapnya, manik mata karamelnya menyorotkan kehangatan dan kelembutan yang terasa melengkapi situasi yang sarat romansa ini.

Tapi Lisa tahu betul seperti apa nasib perempuan yang jatuh cinta pada pria yang salah, dan pria ini sangatlah salah. Dia terlalu berbahaya dan seksi, meskipun Lisa tak betul-betul tahu latar belakang kehidupannya, tetapi auranya tak bisa menyembunyikan tanda bahwa dia sepertinya bukan orang sembarangan. Entah dia dari kalangan pengusaha, politikus, profesional, atau apapun itu yang memiliki peranan penting di lingkungannya berada.

Seharusnya Lisa lekas memutuskan tatapan mereka ketika merasakan desakan gairah yang menyakitkan mulai menjalari tubuhnya. Tetapi Lisa justru kian lekat memandangnya dengan penuh kekaguman.

Sementara si pria itu menurunkan tatapannya ke leher Lisa dan tertawa lirih. “Ini … hasil perbuatanku di pulau itu ya?” ujarnya sambil mengusap kissmark di leher Lisa dengan ibu jarinya. 

Lisa terdiam untuk sejenak. Sepanjang hidupnya dia berusaha menjadi anak yang patuh, bahkan dia rela dijodohkan demi menyenangkan hati ibunya. Dia kemudian bertekad ingin jadi istri yang baik, tetapi apa hasilnya? Ia tidak mendapatkan penghargaan sedikit pun atas sikap baiknya. Suaminya bahkan tega berselingkuh di depan matanya, tanpa rasa bersalah seperti yang seharusnya. 

Pandangan Ardi yang kerap meremehkan dan mencela telah memukul harga diri Lisa dengan begitu keras. Seakan dia terlalu buruk untuk disentuh, jauh dari kata cantik dan menarik.

Namun, cara pria ini menatapnya, sungguh berbanding terbalik dari cara sang mantan menatapnya selama ini. Ada harap dan hasrat yang berkilat dalam sepasang mata indah karamel pria itu. Serta merta Lisa merasa diinginkan dan berharga.

“Lakukan saja lagi. Cium aku. Seperti malam itu di tengah pulau,” tegas Lisa penuh tekad.

Bila Lisa pikir pria itu akan terkejut dan ragu-ragu, dia salah besar. Tak ada pertanyaan lanjutan tentang apakah Lisa yakin? Pria itu langsung menyentuh wajah Lisa, dan begitu bibir mereka saling mendekat, terjadilah. Tidak ada kata mundur setelah bibir mereka saling melumat.

Pria itu benar-benar menciumnya dan membuat Lisa mabuk kepayang. Lisa hanya mengikuti insting primitifnya dalam merespons sentuhan pria ini. Dia mengalungkan lengannya ke leher pria itu, meremas-remas rambut ikal karamelnya. 

Pria itu tertawa lirih ketika jemarinya menyusup ke dalam sweater Lisa dan meraba-raba bra yang melingkupi buah dadanya. Dia menggerakkan tangannya ke punggung Lisa untuk melepaskan pengaitnya. Dan kediaman Lisa adalah bentuk izinnya.

Lisa yakin pria itu sudah memiliki jam terbang tinggi dalam bercinta. Sedangkan dia sama sekali tak memiliki pengalaman sama sekali. Lisa gugup dan sedikit malu, tetapi rasa malunya seketika menguap ketika pria itu membelai lembut puncak dadanya. Lisa seketika merintih, perutnya bagai dicambuk oleh gairah yang menyentak keras.

Lisa gemetar ketika pria itu mundur dan melepas kemejanya sendiri, mempertontonkan dada bidangnya yang mengesankan. Sungguh. Dia adalah pria paling sensual yang pernah Lisa lihat.

Haruskah Lisa maju? Benarkah keputusannya ini? Tentu saja tidak benar. Tetapi kenapa semuanya seakan berjalan dengan begitu benar?

“Siapa namamu?” bisik pria itu seraya membaringkan Lisa dan menyusuri perutnya, lalu mengecupnya dengan lembut. 

“Kita sudah sepakat tak perlu saling mengenal nama.” 

“Jadi, kamu ingin menjadikan hubungan kita malam ini sebagai one night stand?”

“Begitulah,” angguk Lisa. Tiba-tiba saja novel-novel tentang percintaan satu malam bersama CEO berkelebat dalam bayangannya. Jantungnya seketika berdebar hebat, seakan kali ini dirinya sedang menjalani sendiri momen itu. Di matanya, pria ini terlihat cocok sekali dengan gambaran sosok-sosok CEO tampan yang ada dalam novel-novel itu.

“Sungguh? Tak ingin mengenalku lebih jauh lagi?” 

Pria itupun tertawa lirih melihat Lisa menggeleng, kukuh pada keputusannya untuk tak perlu saling mengetahui nama masing-masing. “Baiklah, kuhargai keputusanmu,” ucapnya seraya menyingkirkan kain apapun yang masih menghalangi tubuh mereka berdua.

Jantung Lisa berdegup kencang. Ini serius, tak ada jalan mundur lagi setelah ini. Lisa menghela napas dalam-dalam. Ini mungkin keputusan paling impulsif yang pernah diambilnya, juga keputusan gila. 

Apakah dia begitu haus belaian hingga mau menyerahkan diri begitu saja pada pria yang baru saja dikenalnya? Tetapi, pria ini memanglah terlalu menarik untuk diabaikan, begitu tampan dan juga gagah. 

Pria ini juga baik dan perhatian. Lisa suka mendengar suaranya yang mengalun lembut sepanjang mereka mengobrol saat terjebak bersama di pulau. Lisa juga suka bagaimana pria itu menyimak dengan sabar setiap keluh kesah yang mengalir dari bibirnya. Pria itu pendengar yang baik. Sedangkan selama ini tak ada yang benar-benar sudi mendengarkan Lisa.

“Aku menginginkanmu, sekarang,” bisik pria itu dengan suaranya yang parau, setelah mereka melewati foreplay yang panjang dan menyenangkan. Tatapannya pada Lisa semakin pekat oleh gairah, gerakannya pun semakin terasa mendesak dan terarah pada satu tujuan yang jelas.

Lisa mengangguk seraya menatap lurus-lurus ke dalam manik mata sewarna karamel yang berbinar indah ini.

Pria itupun menahan diri di atas tubuh Lisa dengan lengannya yang kokoh. Lisa pikir dia sudah siap menyatukan tubuh mereka, namun ternyata pria itu menunduk dan menciumnya dengan lembut, mengurangi ketegangan Lisa lewat kecupan-kecupan manisnya.

Ketika pria itu mulai memasukinya lebih jauh, lembut dan hati-hati, serta merta Lisa meremas sprei. Tusukan menyakitkan terasa menembusnya dengan rasa nyeri yang begitu menyengat.

“Peluk saja seperti tadi,” bisik pria itu seraya mengecupi pipi dan telinga Lisa. 

Lisa menggigit bibir, menahan rasa sakitnya. “Aku takut bisa mencakar punggungmu.”

Pria itu terkekeh pelan. Tawa yang merdu  dan menyenangkan untuk didengar. “Nggak apa-apa,” ujarnya. “Peluk saja,” pintanya, dan ia tersenyum karena Lisa langsung menurutinya. 

Kening pria itu tampak mengerut sejenak sebelum meningkatkan temponya. Sementara itu nyeri yang dirasakan Lisa kini semakin samar dan berganti dengan rasa nikmat yang tak tertahankan. 

Keduanya sama-sama saling mendesah, mengerang, dan memekik. Dan setelah titik klimaks mereka terlewati, tubuh pria itupun berguling ke sisi tubuh Lisa. Dia terlentang dengan sebuah bantal menopang kepalanya. 

Pria itu memijiti keningnya dan terdiam cukup lama. Membuat Lisa bertanya-tanya, apa ada yang salah? Namun, Lisa ragu dan malu untuk bersuara. 

“Ternyata kamu … masih perawan?” Pria itu berkata seraya menoleh kepada Lisa.

“Maaf. Aku hanya tak mau merusak suasana.”  

“Maaf? Harusnya aku yang mengatakannya.”

“Kamu … menyesal?”

Pria itu tertawa, boxy smilenya yang khas pun kembali tercipta setiap kali dia sedang tersenyum lebar atau tertawa begini.

“Hei? Aku yang seharusnya bertanya begitu.” Pria itu berkata sambil membelai lembut wajah Lisa dengan punggung tangannya.

“Aku tak menyesali keputusanku ini," tegas Lisa. 'Akhirnya aku tahu rasanya. Hal yang seharusnya kudapatkan dalam pernikahanku yang telah berakhir,' lanjutnya dalam hati. Dia tak ingin mengucapkannya karena tak mau ini menjadi pembahasan mereka.

“Kamu puas?”

“Ya,” aku Lisa jujur. “Kamu?” tanyanya balik.

“Tentu saja. Apalagi aku sudah lama sekali tak melakukannya. Terima kasih.”

Lisa tertawa lirih mendengar penuturan pria itu. Dan entah kenapa dia malah merasa trenyuh kepadanya, bukannya pada diri sendiri yang baru saja kehilangan keperawanannya di tangan pria yang baru saja dikenalnya. 

Tapi, pria ini sangat tampan. Mungkin saja ini adalah pria tampan pertama dan terakhir yang bercinta dengan dirinya. Lisa pikir, bakal sulit baginya mencari dan menemukan sosok pria yang seperti ini lagi. Pria ini bukan hanya gagah dan tampan, tapi juga berhati hangat. 

“Tapi. Konon katanya, ‘pertama kalinya’ bagi wanita itu menyakitkan dan tidak enak.”

Lisa tertawa pelan. “Enak kok. Memang nyeri sih, tapi … nikmat.” 

Pria itupun tersenyum. Tampan sekali.

***



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status