Motor CBR yang membonceng Lisa baru saja tiba di halaman parkir penginapan Lisa ketika tiba-tiba saja langit bergemuruh dan hujan turun dengan deras.
“Ayo masuk, tunggu saja di dalam,” ajak Lisa.
Ruangan kamarnya mendadak terasa menyempit ketika Lisa sadar ia hanya berdua saja dengan pria yang memiliki tubuh tinggi tegap itu. Sementara hujan kian menderu di luar sana disertai angin kencang.
“Padahal ini bukan musim hujan, kan?” kata Lisa sambil menyeduh teh.
“Sepertinya teori angin muson barat dan angin muson timur yang mempengaruhi musim di Indonesia sudah tidak relevan lagi,” sahut pria itu seraya tertawa lirih.
Mereka mengobrol sambil menikmati teh panas buatan Lisa, sambil menunggu hujan reda. Tetapi hujan justru turun semakin deras. Dan ketika petir menyambar dengan kerasnya, Lisa terpekik sambil menutup kuping. Secara refleks pria itupun memeluknya.
“Hei, tenanglah ... kita aman di sini.” Suara bariton itu berbisik lembut di telinganya.
Kehangatan terasa memancar dari tubuh kekar pria itu. Sekujur tubuh Lisa pun tiba-tiba menggelenyar ketika pria itu menatapnya, manik mata karamelnya menyorotkan kehangatan dan kelembutan yang terasa melengkapi situasi yang sarat romansa ini.
Tapi Lisa tahu betul seperti apa nasib perempuan yang jatuh cinta pada pria yang salah, dan pria ini sangatlah salah. Dia terlalu berbahaya dan seksi, meskipun Lisa tak betul-betul tahu latar belakang kehidupannya, tetapi auranya tak bisa menyembunyikan tanda bahwa dia sepertinya bukan orang sembarangan. Entah dia dari kalangan pengusaha, politikus, profesional, atau apapun itu yang memiliki peranan penting di lingkungannya berada.
Seharusnya Lisa lekas memutuskan tatapan mereka ketika merasakan desakan gairah yang menyakitkan mulai menjalari tubuhnya. Tetapi Lisa justru kian lekat memandangnya dengan penuh kekaguman.
Sementara si pria itu menurunkan tatapannya ke leher Lisa dan tertawa lirih. “Ini … hasil perbuatanku di pulau itu ya?” ujarnya sambil mengusap kissmark di leher Lisa dengan ibu jarinya.
Lisa terdiam untuk sejenak. Sepanjang hidupnya dia berusaha menjadi anak yang patuh, bahkan dia rela dijodohkan demi menyenangkan hati ibunya. Dia kemudian bertekad ingin jadi istri yang baik, tetapi apa hasilnya? Ia tidak mendapatkan penghargaan sedikit pun atas sikap baiknya. Suaminya bahkan tega berselingkuh di depan matanya, tanpa rasa bersalah seperti yang seharusnya.
Pandangan Ardi yang kerap meremehkan dan mencela telah memukul harga diri Lisa dengan begitu keras. Seakan dia terlalu buruk untuk disentuh, jauh dari kata cantik dan menarik.
Namun, cara pria ini menatapnya, sungguh berbanding terbalik dari cara sang mantan menatapnya selama ini. Ada harap dan hasrat yang berkilat dalam sepasang mata indah karamel pria itu. Serta merta Lisa merasa diinginkan dan berharga.
“Lakukan saja lagi. Cium aku. Seperti malam itu di tengah pulau,” tegas Lisa penuh tekad.
Bila Lisa pikir pria itu akan terkejut dan ragu-ragu, dia salah besar. Tak ada pertanyaan lanjutan tentang apakah Lisa yakin? Pria itu langsung menyentuh wajah Lisa, dan begitu bibir mereka saling mendekat, terjadilah. Tidak ada kata mundur setelah bibir mereka saling melumat.
Pria itu benar-benar menciumnya dan membuat Lisa mabuk kepayang. Lisa hanya mengikuti insting primitifnya dalam merespons sentuhan pria ini. Dia mengalungkan lengannya ke leher pria itu, meremas-remas rambut ikal karamelnya.
Pria itu tertawa lirih ketika jemarinya menyusup ke dalam sweater Lisa dan meraba-raba bra yang melingkupi buah dadanya. Dia menggerakkan tangannya ke punggung Lisa untuk melepaskan pengaitnya. Dan kediaman Lisa adalah bentuk izinnya.
Lisa yakin pria itu sudah memiliki jam terbang tinggi dalam bercinta. Sedangkan dia sama sekali tak memiliki pengalaman sama sekali. Lisa gugup dan sedikit malu, tetapi rasa malunya seketika menguap ketika pria itu membelai lembut puncak dadanya. Lisa seketika merintih, perutnya bagai dicambuk oleh gairah yang menyentak keras.
Lisa gemetar ketika pria itu mundur dan melepas kemejanya sendiri, mempertontonkan dada bidangnya yang mengesankan. Sungguh. Dia adalah pria paling sensual yang pernah Lisa lihat.
Haruskah Lisa maju? Benarkah keputusannya ini? Tentu saja tidak benar. Tetapi kenapa semuanya seakan berjalan dengan begitu benar?
“Siapa namamu?” bisik pria itu seraya membaringkan Lisa dan menyusuri perutnya, lalu mengecupnya dengan lembut.
“Kita sudah sepakat tak perlu saling mengenal nama.”
“Jadi, kamu ingin menjadikan hubungan kita malam ini sebagai one night stand?”
“Begitulah,” angguk Lisa. Tiba-tiba saja novel-novel tentang percintaan satu malam bersama CEO berkelebat dalam bayangannya. Jantungnya seketika berdebar hebat, seakan kali ini dirinya sedang menjalani sendiri momen itu. Di matanya, pria ini terlihat cocok sekali dengan gambaran sosok-sosok CEO tampan yang ada dalam novel-novel itu.
“Sungguh? Tak ingin mengenalku lebih jauh lagi?”
Pria itupun tertawa lirih melihat Lisa menggeleng, kukuh pada keputusannya untuk tak perlu saling mengetahui nama masing-masing. “Baiklah, kuhargai keputusanmu,” ucapnya seraya menyingkirkan kain apapun yang masih menghalangi tubuh mereka berdua.
Jantung Lisa berdegup kencang. Ini serius, tak ada jalan mundur lagi setelah ini. Lisa menghela napas dalam-dalam. Ini mungkin keputusan paling impulsif yang pernah diambilnya, juga keputusan gila.
Apakah dia begitu haus belaian hingga mau menyerahkan diri begitu saja pada pria yang baru saja dikenalnya? Tetapi, pria ini memanglah terlalu menarik untuk diabaikan, begitu tampan dan juga gagah.
Pria ini juga baik dan perhatian. Lisa suka mendengar suaranya yang mengalun lembut sepanjang mereka mengobrol saat terjebak bersama di pulau. Lisa juga suka bagaimana pria itu menyimak dengan sabar setiap keluh kesah yang mengalir dari bibirnya. Pria itu pendengar yang baik. Sedangkan selama ini tak ada yang benar-benar sudi mendengarkan Lisa.
“Aku menginginkanmu, sekarang,” bisik pria itu dengan suaranya yang parau, setelah mereka melewati foreplay yang panjang dan menyenangkan. Tatapannya pada Lisa semakin pekat oleh gairah, gerakannya pun semakin terasa mendesak dan terarah pada satu tujuan yang jelas.
Lisa mengangguk seraya menatap lurus-lurus ke dalam manik mata sewarna karamel yang berbinar indah ini.
Pria itupun menahan diri di atas tubuh Lisa dengan lengannya yang kokoh. Lisa pikir dia sudah siap menyatukan tubuh mereka, namun ternyata pria itu menunduk dan menciumnya dengan lembut, mengurangi ketegangan Lisa lewat kecupan-kecupan manisnya.
Ketika pria itu mulai memasukinya lebih jauh, lembut dan hati-hati, serta merta Lisa meremas sprei. Tusukan menyakitkan terasa menembusnya dengan rasa nyeri yang begitu menyengat.
“Peluk saja seperti tadi,” bisik pria itu seraya mengecupi pipi dan telinga Lisa.
Lisa menggigit bibir, menahan rasa sakitnya. “Aku takut bisa mencakar punggungmu.”
Pria itu terkekeh pelan. Tawa yang merdu dan menyenangkan untuk didengar. “Nggak apa-apa,” ujarnya. “Peluk saja,” pintanya, dan ia tersenyum karena Lisa langsung menurutinya.
Kening pria itu tampak mengerut sejenak sebelum meningkatkan temponya. Sementara itu nyeri yang dirasakan Lisa kini semakin samar dan berganti dengan rasa nikmat yang tak tertahankan.
Keduanya sama-sama saling mendesah, mengerang, dan memekik. Dan setelah titik klimaks mereka terlewati, tubuh pria itupun berguling ke sisi tubuh Lisa. Dia terlentang dengan sebuah bantal menopang kepalanya.
Pria itu memijiti keningnya dan terdiam cukup lama. Membuat Lisa bertanya-tanya, apa ada yang salah? Namun, Lisa ragu dan malu untuk bersuara.
“Ternyata kamu … masih perawan?” Pria itu berkata seraya menoleh kepada Lisa.
“Maaf. Aku hanya tak mau merusak suasana.”
“Maaf? Harusnya aku yang mengatakannya.”
“Kamu … menyesal?”
Pria itu tertawa, boxy smilenya yang khas pun kembali tercipta setiap kali dia sedang tersenyum lebar atau tertawa begini.
“Hei? Aku yang seharusnya bertanya begitu.” Pria itu berkata sambil membelai lembut wajah Lisa dengan punggung tangannya.
“Aku tak menyesali keputusanku ini," tegas Lisa. 'Akhirnya aku tahu rasanya. Hal yang seharusnya kudapatkan dalam pernikahanku yang telah berakhir,' lanjutnya dalam hati. Dia tak ingin mengucapkannya karena tak mau ini menjadi pembahasan mereka.
“Kamu puas?”
“Ya,” aku Lisa jujur. “Kamu?” tanyanya balik.
“Tentu saja. Apalagi aku sudah lama sekali tak melakukannya. Terima kasih.”
Lisa tertawa lirih mendengar penuturan pria itu. Dan entah kenapa dia malah merasa trenyuh kepadanya, bukannya pada diri sendiri yang baru saja kehilangan keperawanannya di tangan pria yang baru saja dikenalnya.
Tapi, pria ini sangat tampan. Mungkin saja ini adalah pria tampan pertama dan terakhir yang bercinta dengan dirinya. Lisa pikir, bakal sulit baginya mencari dan menemukan sosok pria yang seperti ini lagi. Pria ini bukan hanya gagah dan tampan, tapi juga berhati hangat.
“Tapi. Konon katanya, ‘pertama kalinya’ bagi wanita itu menyakitkan dan tidak enak.”
Lisa tertawa pelan. “Enak kok. Memang nyeri sih, tapi … nikmat.”
Pria itupun tersenyum. Tampan sekali.
***
Lisa terbangun dengan nyeri yang masih begitu terasa menyengat. Rasanya betul-betul tak nyaman. Dia menggigit bibir sambil mendesah pelan. “Sialan, nggak enak banget sih,” gumamnya sambil meringis. Seketika dia baru sadar dengan apa yang telah terjadi semalam. Lisa terkesiap dan menoleh cepat ke sisi ranjangnya yang sudah kosong. “Ke mana dia?” gumamnya sambil mengedarkan pandang, mencari-cari sosok pria yang bercinta dengannya semalam. “Apa mungkin sedang di kamar mandi?” pikirnya. Lisa mengulum senyum dengan wajahnya yang tersipu-sipu. Dia telah bercinta dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun sepertinya mungkin jarak usia mereka terpaut cukup jauh, 10 atau 12 tahun mungkin, tapi mereka terasa begitu cocok semalam. Namun senyum di wajahnya segera sirna ketika tatapannya membentur secarik kertas yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya seketika berdegup kencang. Iapun memaksakan diri beranjak dari ranjang sambil menahan segala ketidaknyamanan usai percintaan y
Keadaan membuat Lisa teramat marah. Ingin rasanya dia pergi menemui Ardi dan melabrak mantan suaminya itu. Tapi dia pikir, kemungkinan Ardi masih berada di Lombok saat ini. Lisa memutuskan untuk meneleponnya. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dengan jantung berdebar-debar, menunggu respons Ardi. Setelah beberapa waktu, suara sang mantan akhirnya terdengar di ujung telepon. “Halo.” “Pihak bank menyita rumahku hari ini,” kata Lisa tanpa basa-basi. “Lalu?” Ardi menyahut dengan entengnya. “Kamu bilang akan melunasi utang itu. Tapi mana? Mereka menyita rumahku, berarti kau tak pernah membereskan utang itu, kan?” cecar Lisa sambil menangis. Ardi malah tertawa. “Lucu banget? Padahal kamu yang butuh uang sebanyak itu. Aku cuma membantumu mendapatkan pinjaman dengan mengagunkan rumahmu.” “Kamu tahu sendiri mamaku saat itu sakit keras, Ar! Aku butuh dana cash dalam jumlah besar, lalu kamu yang mengusulkan agar aku meminjam bank dengan jaminan rumah itu. Dan kamu bilang akan
Kekecewaan terasa melingkupi perasaan Lisa. Dia merasa seperti sedang bertepuk sebelah tangan. “Wah. Sepertinya, aku bukanlah satu-satunya partner ‘cinta semalam’-mu ya?” Lisa berkata sambil menjaga ketenangan suaranya dalam menanggapi ucapan pria itu tentang dia sering mengeluarkan cek.Terdengar tawa lirih pria itu. “Oh, ini kamu ya? Maaf, waktu itu aku pergi buru-buru karena ada hal mendesak. Tidurmu terlihat nyenyak sekali saat itu, aku—”“Bisa kita bertemu? Nanti siang. Ini juga mendesak. Penting.” Lisa sengaja memotong ucapan pria itu. Diam-diam rasa kesal bercampur senang menyelimuti hatinya, setidaknya pria itu masih mengingatnya. Tapi Lisa tak ingin bermain-main perasaan lagi dengannya. Pengalaman semalam bersamanya itu saja sudah cukup.“Siang nanti jadwalku padat, bagaimana kalau jam 9 pagi saja? Kita ketemu di coffee shop yang ada di lantai dasar Gedung Menara 2 Sutomo Group?”“Oke.”“Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?” “Tidak, itu saja. Kita bisa bicara lagi nanti saa
“Tepat jam 9 kan,” pria itu berkata seraya mengangkat dan melirik arloji di tangannya, “aku nggak terlambat, kan? Apa kamu juga baru datang?” ujarnya sambil tersenyum. Pria itu berdiri di hadapan Lisa, tinggi tegap. Balutan jas abu-abu gelapnya memberikan sentuhan elegan yang menonjolkan kegagahan. Meskipun dasinya belum terpasang, pria itu tampak begitu menawan dengan aura maskulin yang melingkupinya. Jasnya dipadukan dengan kemeja putih bersih yang dua kancing bagian atasnya dibiarkan terbuka. Rambut cokelatnya yang teratur menambah kesan tegas pada wajahnya yang tampan. Matanya, yang berwarna karamel, memancarkan kepercayaan diri dan kepribadian yang kuat. Senyum yang menghiasi bibirnya menambah pesona pada setiap gerakan tubuhnya yang elegan. “Yeah,” Lisa mengangguk, “aku baru saja memesan kopi,” lanjutnya. Pria itu kemudian menoleh pada si kasir. “Mbak. Kembalikan uangnya, dia tamu saya, digabung saja dengan tagihan saya. Dan, tolong buatkan kopi saya seperti biasa ya,” katany
“Done. Seratus juta. Bukti transfernya sudah kukirim ke nomormu,” kata Vincent sambil tersenyum santai, seakan seratus juta hanya angka yang biasa baginya. Lisa, di sisi lain, merasakan kelegaan saat melihat saldo rekeningnya bertambah, meskipun masih jauh dari total tunggakan utang yang membebani pikirannya. Tapi setidaknya, dengan kondisinya yang bokek berat dan tak punya pekerjaan tetap, dia bisa bertahan hidup dengan uang ini. ‘Dia pasti tajir mampus,’ pikir Lisa dalam hatinya, sambil menutup aplikasi m-banking. “Oke. Makasih,” ucapnya lirih. “Nah. Urusan kita sudah selesai, kan?” Suara bariton Vincent memecah lamunan Lisa. “Eh, i-iya. Sudah. Terima kasih,” angguk Lisa. Bersamaan dengan itu, seorang pramusaji datang membawa nampan yang berisi kopi pesanan mereka. “Tak perlu berterima kasih, aku yang harusnya berterima kasih. Juga, maaf karena aku betul-betul tak sengaja tidak menandatanganinya,” kata Vincent sambil mengangguk sopan. Lisa tersenyum sejenak pada si pramusaji y
Vincent melangkah tegap memasuki lobi gedung Menara 2 Sutomo Group. Seorang petugas keamanan, yang tampak telah terlatih dengan baik, dengan sigap membuka jalan. "Permisi, tolong beri jalan, Pak Vincent mau lewat," ucapnya tegas. Kerumunan karyawan di sekitar lift pun dengan patuh membuka jalan, memberikan penghormatan yang nyata pada sosok pimpinan tertinggi yang tengah melewati mereka. Petugas keamanan itu dengan cekatan menekan tombol di sisi lift VIP. Lift pun membuka pintunya. "Silakan, Pak," ucapnya penuh hormat. Vincent melangkah memasuki lift, aura kharismatiknya mengisi ruangan seketika. Seakan lantai lift menjadi panggung bagi kharismanya yang tak tertandingi. Para karyawan tak bisa menyembunyikan decak kagum, terpesona oleh sosok CEO mereka yang seperti magnet, selalu menarik perhatian dan rasa hormat. Ketika pintu lift tertutup, Vincent menunduk menatap lantai. Gemerincing koin milik Lisa yang berjatuhan di lantai coffee shop tadi seperti menariknya kembali pada sebu
Walaupun ada seratus juta di rekeningnya, tapi Lisa sadar tak boleh boros dengan uang yang dimilikinya itu. Dia tetap memilih warteg sebagai tempat makan siangnya. Baginya, membeli makanan matang terasa lebih hemat dan praktis, terutama karena dia tak begitu mahir memasak. Lisa telah merencanakan pengeluarannya dengan ketat, memastikan setiap belanjaan atau pembayaran yang dilakukannya memiliki nilai tambah sesuai dengan kebutuhan yang benar-benar diperlukan. Apalagi pendapatannya dari menulis masih belum stabil. Persaingan penulisan di tengah menjamurnya pertumbuhan aplikasi novel online yang menawarkan beragam cerita unik, membuat Lisa harus bekerja keras melahirkan ide-ide cerita yang kreatif, tapi sesuai dengan selera pasar. Sejenak kemudian, Lisa terhanyut dalam imajinasinya, memvisualisasikan momen-momen intim antar karakternya. _______________________________ Api gairah menyebar cepat dalam dirinya. Tubuh Alessandra menggelinjang ketika jemari Damien bergerak lincah memb
“Kamu kerja di sini?” tanya Lisa mengabaikan sikap ketus Ardi. Dia lelah meladeni sikap Ardi yang selalu menganggapnya sebagai musuh. Padahal mereka pernah memiliki hubungan baik di masa lalu, karena itulah Lisa dulu mau saja dijodohkan dengannya.“Kenapa tanya-tanya? Mau pinjam duit kalau tahu gajiku sekarang jauh lebih besar? Ckckck, kita udah selesai. Masalah finansial kamu bukan lagi—”“Aku tahu, nggak usah dilanjutin.” Lisa sengaja memotong ucapan Ardi yang sudah dia hafal betul arahnya bakal menuju ke mana. Apalagi kalau bukan untuk mengungkit betapa Lisa selama ini telah menjadi parasit baginya.‘Bahkan nafkah bulanan yang seharusnya kuterima sebagai istri saja, dia anggap sebagai beban keuangan yang bukan merupakan kewajibannya,’ gumam Lisa merasa miris. Tangannya terkepal erat, menahan diri agar jangan sampai memukul Ardi yang membuatnya merasa ingin menjerit marah sepagi ini gara-gara kasus rumahnya.“Aku harap kamu selalu ingat, Ar, bahwa kamu menantu idaman mamaku. Tapi k