Lisa terbangun dengan nyeri yang masih begitu terasa menyengat. Rasanya betul-betul tak nyaman. Dia menggigit bibir sambil mendesah pelan. “Sialan, nggak enak banget sih,” gumamnya sambil meringis.
Seketika dia baru sadar dengan apa yang telah terjadi semalam. Lisa terkesiap dan menoleh cepat ke sisi ranjangnya yang sudah kosong.
“Ke mana dia?” gumamnya sambil mengedarkan pandang, mencari-cari sosok pria yang bercinta dengannya semalam. “Apa mungkin sedang di kamar mandi?” pikirnya.
Lisa mengulum senyum dengan wajahnya yang tersipu-sipu. Dia telah bercinta dengan pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Meskipun sepertinya mungkin jarak usia mereka terpaut cukup jauh, 10 atau 12 tahun mungkin, tapi mereka terasa begitu cocok semalam.
Namun senyum di wajahnya segera sirna ketika tatapannya membentur secarik kertas yang tergeletak di atas nakas. Jantungnya seketika berdegup kencang. Iapun memaksakan diri beranjak dari ranjang sambil menahan segala ketidaknyamanan usai percintaan yang terasa begitu memabukkan dirinya semalam.
Lisa tersentak begitu menyadari itu bukanlah secarik kertas biasa, melainkan selembar cek yang berharga. “Se-seratus juta?” Wanita itu terbengong-bengong sepanjang memandang nominal yang tertera dalam cek itu. Dia yakin ini cek asli. Tapi kemudian, dia tiba-tiba saja melotot. “Apa dia gila?!” pekiknya kesal.
Wanita itu kemudian membaca sebaris pesan berupa tulisan pada selembar kertas lain yang berbeda, tampaknya tulisan itu ditulis dengan terburu-buru. Namun meskipun begitu tulisan tangan pria itu masih tampak begitu indah dan jelas dibaca. Tapi ini bukanlah saatnya untuk mengagumi tulisan tangan pria itu.
—
Terima kasih, ya. Aku sungguh menikmati yang semalam. Ini ada sedikit hadiah dariku. Pakailah buat menyenangkan hatimu. Hubungi aku di nomor ini, kalau kamu merasa masih kurang dengan jumlah segini.
—
Lisa meremas surat itu erat-erat. Kemarahannya seketika menggelegak. Pria itu memberinya cek senilai 100 juta. Jumlah yang tidak sedikit, tapi juga tidak bisa dibilang begitu banyak kalau saja kondisi finansialnya tak sedang terpuruk seperti sekarang.
Dia merasa marah. Pria itu seakan sedang membeli keperawanannya dengan cara meninggalkan cek ini, dan menantangnya agar menghubunginya lagi bila merasa masih kurang. Sialan!
“Kamu pikir aku jual diri?” gerutunya sengit.
Bah! Memangnya apa yang ia harapkan? Ciuman selamat pagi dan pelukan hangat setelah yang terjadi semalam? Bukankah Lisa sendiri yang menyetujui bahwa apa yang terjadi semalam hanyalah sekadar one night stand? Tidak akan pernah lebih. Dan pria itu sudah bertindak sesuai kesepakatan bukan?
Dan pria itu telah meninggalkannya begitu saja. Tapi, dengan selembar cek. Selembar cek dengan nominal 100 juta rupiah tanpa tanda tangan. Sungguh bajingan!
Lisa meremas cek sialan itu dan menjerit kesal. “Dasar babi lezat sialaaan!” jeritnya mengatai pria tampan itu.
Di sela-sela tangis kecewanya, Lisa mengeluarkan laptop. Dia memandangi layar laptopnya dengan mata yang masih dipenuhi kemarahan. Jemarinya bergerak lincah menari di atas keyboard, mentransformasikan kejadian menyebalkan yang baru saja dialaminya menjadi sebuah karya fiksi yang sarat emosi.
Dalam dunia imajinasinya, Lisa mengubah pria tampan itu menjadi karakter utama pria yang dingin dan tak berperasaan. “CEO tampan yang sukses dan kaya raya tapi miskin hati dan kasih sayang,” gumamnya sambil mengetik.
Lisa memberinya nama Damien, sebuah nama yang membawa aura keanggunan dan kegelapan. Lisa merasa bahwa nama ini bisa menjadi cikal bakal untuk menciptakan karakter yang dingin, tapi tegas dan memiliki kebijaksanaan yang dalam. Mata Damien, yang dia bayangkan seperti mata pria itu, memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan.
Damien, seorang pria yang tahu cara menyentuh tubuhnya, tetapi tidak pernah berencana untuk menyentuh hatinya. Dialog tajam dan cek senilai 100 juta yang ditinggalkan menjadi elemen dramatis dalam ceritanya.
Sedangkan Lisa memberi nama Alessandra untuk si tokoh wanita. Nama yang terasa memberikan kesan kekuatan dan keanggunan, mencerminkan karakter dirinya sendiri yang selalu berusaha mencari kekuatan dalam mengatasi cobaan hidupnya.
Setiap kata yang Lisa tulis terasa seperti pukulan emosional. Lisa menuangkan semua rasa kecewa, kemarahan, dan kesedihannya ke dalam kalimat-kalimat yang indah namun menyakitkan. Baginya, menulis adalah cara untuk menyembuhkan luka dan melepaskan amarah yang membara di dalam dirinya.
“Ah. Selesai juga,” desahnya lega di ujung tulisannya. Lisa seperti baru saja menciptakan sesuatu yang lebih kuat daripada rasa sakit yang tengah melingkupinya. Dia merasa berdaya dengan setiap kata yang dia pilih. Tak lama setelah itu, dia memutuskan untuk mengunggah ceritanya ke akun media sosialnya.
Dengan sekali klik, Lisa membagikan potongan kehidupannya yang penuh emosi kepada dunia. Lewat kisah Damien dan Alessandra, dia membiarkan para pembacanya merasakan intensitas perasaannya melalui setiap diksi yang dipilihnya.
Dalam postingannya itu, Lisa menuliskan caption, "Terjebak di Pulau Terpencil Bersama CEO Tampan.”
Tak disangka, tanggapan dari para pembacanya begitu mengalir deras. Bahkan Ninik sampai menelepon dan meminta dia untuk menjadikan cerita pendeknya itu sebagai naskah novel.
“Asli, nggak sia-sia elu healing jauh-jauh ke Lombok kalau hasilnya kayak begini. Gue yakin elu bakal dapat kontrak eksklusif dengan cerita ini, Lis! Kapan elu balik Jakarta? Kita mesti buru-buru garap naskah ini, mumpung lagi banyak dapat atensi dari pembaca.”
***
“Apa-apaan kalian?" seru Lisa yang baru saja turun dari taksi yang mengantarnya dari bandara Soekarno Hatta. Dia meletakkan kopornya ke sisi tubuh dan berlari kecil menuju orang-orang yang sedang menyegel rumahnya. "Apa yang kalian lakukan?" cegahnya.
Lisa memandang rumahnya yang kini dihiasi segel dengan mata terbelalak kaget. Hatinya berdegup kencang, air matanya mengalir seperti sungai yang tak bisa terbendung. Rumah yang selama ini menjadi tempatnya pulang, kini menjadi saksi bisu dari kenyataan pahit yang tak bisa dielakkan.
“Maaf, Mbak. Rumah ini terpaksa kami segel, utang Anda sudah jatuh tempo sejak jauh-jauh hari. Kami sudah memperingati Mbak Lisa agar pindah sejak kemarin-kemarin bukan?”
Petugas memberi penjelasan tentang penyegelan rumah Lisa, mereka menghadapinya dengan tenang, namun itu tidak mampu menghentikan kehancuran di dalam hati Lisa. Rumah yang penuh kenangan itu seakan-akan direnggut dari genggaman tangannya begitu saja.
“Saya mohon, Pak! Saya tidak punya tempat tinggal lagi!” Lisa setengah menjerit ketika mengatakannya, air matanya menganak sungai dan dia terus memohon meskipun dia tahu ini tak akan bisa mengubah apa-apa.
“Maaf Mbak, kami hanya menjalankan tugas. Kami beri waktu sampai besok pagi agar Mbak Lisa memindahkan barang-barang pribadi yang masih ada di dalam. Setelah itu kami akan total menguncinya."
Pria yang hanya menjalankan tugasnya itu tetap terlihat dingin. Dia telah melihat begitu banyak keputusasaan dan air mata dari orang-orang yang harus meninggalkan rumah mereka karena utang. Tawaran waktu hingga besok pagi hanya menjadi pukulan tambahan bagi Lisa, mengingatkannya bahwa dia harus meninggalkan tempat yang disebutnya rumah.
Lisa tidak bisa berbuat banyak selain merangkul sejumput barang-barang pribadinya yang masih dapat dia bawa. Tidak banyak. Sebab perabotan berharga dan bernilai sudah banyak yang telah dia jual untuk membiayai pengobatan ibunya yang sakit-sakitan, namun berakhir meninggal dunia pada beberapa bulan yang lalu.
Rumah yang kini hampa menggemakan suara kepergian dan kehilangan. Rumah yang menjadi saksi hidupnya sejak kecil dan menjadi tempat berlindungnya hingga kini, terpaksa harus dia tinggalkan.
Lisa merasa sesak yang menghimpit dadanya. “Mama. Maafkan aku tidak bisa mempertahankan satu-satunya peninggalanmu untukku,” desahnya dengan nada yang mengalun pilu.
Sementara matahari tenggelam dan malam menyelinap, Lisa ditemani oleh keheningan dan kekosongan rumah yang kini tak lagi bisa ia panggil 'rumah'.
“Ardi sialan,” geramnya dengan hati yang tiba-tiba disentak kemarahan pada mantan suaminya.
Sosok Ardi yang ingin ia hapus dari ingatannya tiba-tiba tergambar dengan begitu jelas di kepalanya, sejelas rasa sakit yang tengah menghujam perasaan Lisa saat ini.
***
Dennis mengucapkan “selamat” pada Vincent dan Lisa melalui telepon. Vincent merasa bahagia mendengar ucapan putranya yang terasa betul-betul tulus kali ini. Bahkan Dennis secara khusus bicara pada Lisa untuk minta maaf padanya. "Tante, maaf atas semua sikap burukku selama ini," ucapnya dengan rendah hati. "Aku tahu ayah dan Tante saling mencintai, ayah pasti akan bahagia dengan Tante.” Dennis terdiam sejenak. “Tante Lisa memang layak bersanding dengan ayah, sebab aku tahu... ayah tidak mungkin sembarangan memilih orang yang akan mendampinginya seumur hidupnya. Aku percaya pada pilihan ayah," tambah Dennis dengan suara yang penuh dukungan. Lisa tersenyum, meskipun Dennis tidak bisa melihat senyumnya di telepon. "Terima kasih, Dennis. Kamu anak yang luar biasa, dan Tante bahagia bisa menjadi bagian dari keluargamu." “Aku juga bahagia memiliki ayah Vincent dan Tante Lisa.” Lisa dan Vincent saling berpandangan mendengar ungkapan Dennis yang terasa tulus. Setelah selesai menelepon, Vin
Jaka menghela napas, mencoba menenangkan diri di tengah tekanan yang dirasakannya. Tatapannya terpaku pada dinding putih ruangan yang pucat. Wajah pria tampan itu mencerminkan perasaan yang selama ini sulit untuk diungkapkan."Saya masih merasa bersalah, Pak," ucapnya dengan suara lirih. Tatapannya kemudian turun pada genggaman tangannya pada tangan Dennis yang masih tak bergerak. Setiap sentuhan, setiap simpul jemari, terasa penuh makna baginya.Pak Priyo memandang Jaka, siap mendengarkan apapun yang ingin diungkapkan oleh anak menantu yang sangat disayanginya itu."Saya menyesal telah menikahi Erna, padahal Nuning sedang mengandung Dennis, anak kami," lanjut Jaka perlahan, suaranya semakin rendah, hampir tersendat oleh rasa sesak di dadanya. "Andai waktu bisa diulang, saya tidak akan menikahi Erna saat itu." Matanya kembali naik menatap dinding pucat di depan sana. "Saya ingin tetap bersama Nuning, harusnya saya mengambil keputusan tegas dan tak perlu larut dalam situasi yang membua
Di antara para tamu undangan, Mei yang merupakan mantan kekasih Vincent juga tampak hadir di sana, dia datang bersama suaminya, Juna, dan putranya, Vi. Rambut panjang Mei disanggul cantik berhiaskan aksesori yang serasi dengan gaun rancangan desainer ternama berwarna pastel yang melekat indah di tubuh langsingnya. Wajahnya yang jelita terpancar dalam senyuman lembut, memberikan kesan hangat kepada siapa pun yang bertemu dengannya. Sementara itu, Juna terlihat tampan dan karismatik dengan setelan tuksedo hitamnya. Ekspresi wajahnya yang percaya diri menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang menguasai situasi. Dia berbicara dengan sesama tamu yang dikenalnya sambil memperkenalkan sosok Vi, putranya yang berusia 7 tahun. Senyum bangga terukir di wajahnya setiap kali mendengar orang-orang memuji ketampanan Vi yang sangat mirip dengan dirinya. Dalam setelan tuksedo kecilnya, Vi memang terlihat begitu memesona dengan senyuman polosnya. Postur tubuhnya yang tinggi menjadikannya tampak gagah
Lisa sebenarnya ingin resepsi pernikahannya dengan Vincent bisa diadakan di tepi pantai yang cantik di Bali. Namun, pada trimester pertama kehamilannya ini, Lisa masih mengalami mual, muntah, dan mudah lelah, sehingga bakal menyulitkan dirinya sendiri saat harus melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Bali dan sebaliknya. Selain itu, risiko keguguran juga lebih tinggi pada trimester pertama. Vincent pun menolak keinginan Lisa dan menetapkan agar resepsi digelar di Jakarta saja. “Bersabarlah, Sayang. Setelah anak kita lahir nanti dan kalian berdua dalam kondisi sehat untuk melakukan perjalanan, bukan hanya ke Bali…, aku akan membawa kalian pergi ke tempat-tempat indah manapun yang kamu sukai,” janji Vincent sambil mencium kening Lisa. Dia tak ingin melihat wanita yang dicintainya itu merasa kecewa menjalani resepsi pernikahan mereka nanti. Dan Vincent merasa lega setelah melihat Lisa mengangguk.“Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya nggak terlalu jadi soal bagiku resepsinya nanti mau diada
Jaka menggenggam erat gagang kursi pesawat, tatapan kosongnya menatap ke luar jendela yang menampilkan pemandangan langit biru dan awan putihnya yang berderak. Pemandangan yang indah, tetapi dia tak bisa menikmati pemandangan itu karena pikirannya terus melayang ke rumah sakit tempat Dennis dirawat. "Dennis kecelakaan," dua kata yang terlontar lewat telepon dari Bambang seperti palu yang membelah dadanya. Beban yang menghantamnya terasa begitu berat, seakan-akan dunianya runtuh dalam sekejap. Meskipun hanya dua kata, namun rasanya dua kata itu menjelma seperti dua ton beban yang meremukkan hati Jaka sebagai seorang ayah. Dia sengaja tidak memberitahu Nuning tentang kecelakaan Dennis. Kondisi Nuning yang belum begitu baik membuatnya khawatir akan dampak stres yang bisa mempengaruhi kandungan Nuning yang lemah. Jaka tidak ingin menambah masalah baru di tengah situasi yang sudah sulit.Pesawat terbang melaju dengan kecepatan tinggi, namun perjalanan yang dilaluinya terasa begitu lamba
Suasana gereja dipenuhi dengan aroma harum dari bunga-bunga segar yang menghiasi setiap sudut. Sinar matahari pagi membelai lembut melalui jendela-jendela gereja, menciptakan permainan cahaya yang mempercantik momen sakral ini. Seperti berkah dari langit, cahaya itu memberikan sentuhan hangat pada momen ini, menambahkan keindahan pada detik-detik yang tak terlupakan.Gaun putih Lisa mengalir indah di belakangnya, mengikuti setiap langkahnya dengan lembut. Rambutnya dihiasi dengan sebuah tiara yang manis. Setiap langkah yang diambilnya terlihat begitu anggun dan memikat.Di sekeliling gereja, keluarga besar Alessio dan keluarga Lisa berkumpul, penuh dengan senyuman dan kegembiraan. Sorot mata yang penuh cinta dari kedua belah pihak keluarga mencerahkan suasana, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang mereka miliki untuk pasangan yang akan menikah.Daniel Sutomo juga tampak hadir di sana. Keberadaan sosok konglomerat itu memberikan aura kebijaksanaan dan kemuliaan yang tak terbantahk