LOGINMaura menundukkan kepala, ragu apakah akan menjawab. Tapi setelah sejenak, dia akhirnya menyentuh layar untuk menerima panggilan. "Halo ..." ucapnya dengan suara yang masih lemah dan serak karena menangis. "Maura, kamu di mana? Kenapa tidak ada di rumah?" suara Dimas terdengar dari seberang telepon, terdengar sedikit kesal dan cemas. Maura menghela napas dengan kasar, matanya masih memandang surat cerai yang basah di tangannya. "Aku ... di rumah Mama Cornelia," jawabnya, kata-kata itu terasa berat di tenggorokan. Dia tidak berani mengatakan apa-apa lagi. "Kamu tidak pulang, ini sudah malam!" suara Dimas terdengar lebih keras dari seberang telepon, terasa khawatir dan sedikit kesal. "Mama Cornelia sedang sakit. Sepertinya aku akan menginap di sini malam ini," jawabnya dengan suara lemah. "Mama sakit apa?" tanya Dimas dengan nada yang tiba-tiba panik, dia benar-benar khawatir. "Mama tidak enak badan," jawab Maura. "Ya sudah kalau gitu, aku ke sana." Sambungan telpon pun terput
Waktu terasa berhenti. Maura berdiri diam di tepi balkon, matanya masih tidak berani menghadapi Revan. Hatinya berdebar kencang sampai akan meledak, dan kata-kata "apa kamu juga mencintaiku?" terus berputar di kepalanya. Aku mau ngomong apa? pikirnya, menggigit bibirnya sampai terasa sakit. Semua yang dia rasakan selama ini, rasa sayang yang tidak bisa dia ungkapkan, kesedihan melihat Revan dekat dengan Alyssa, rasa sakit karena harus membujuknya menikahi orang lain, semua itu terasa menyesakkan. Revan tetap menatap Maura, matanya masih penuh harapan. Dia tidak mau mendesak, tapi hatinya juga tak tahan menunggu. Sudah lama dia menyukai Maura, tapi tak berani mengaku karena dia tahu Maura masih menikah dengan Dimas. Tapi sekarang, dengan semua yang terjadi, ia berharap Maura juga mencintainya. Setelah sejenak terdiam, Maura akhirnya mengangkat kepala. Matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan pandangan Revan, dan dia melihat kebenaran di mata lelaki itu. Dia mengambil napas panjang,
Setelah keluar dari kamar Cornelia, Maura langsung menuju tangga untuk mencari Revan. Langkahnya masih terasa berat, hatinya dipenuhi dengan janji yang baru saja dia berikan, janji yang membuatnya terasa terluka dari dalam. Hari ini, Maura mengenakan rok panjang yang sebetis, warna krem muda yang terasa lembut saat bergeser di lantai. Di atasnya, dia memakai baju atasan kemeja lengan pendek dengan motif bunga kecil warna ungu muda, yang dibuka sedikit di leher dan diselimuti jaket cardigan tebal warna abu-abu muda. Semua pakaiannya terasa nyaman tapi tetap rapi, Maura selalu memperhatikan penampilannya meskipun hatinya sedang kacau. Ia mulai menaiki tangga, satu tangannya menopang erat pada pagar tangga yang terbuat dari kayu. Kakinya mengenakan high heels kulit warna coklat tua, yang setiap kali menapak ke anak tangga mengeluarkan bunyi "tuk ... tuk ... tuk" yang terasa keras di tengah keheningan rumah. Bunyi itu seolah menambah beban di hatinya, setiap langkah semakin memperkuat
"Maura ...?" gumam Cornelia, matanya masih terbuka lebar karena terkejut. Dia tidak menyangka wanita itu akan tiba di saat seperti ini, saat dia sedang memohon Revan untuk menikahi Alyssa. Revan juga masih terdiam, tubuhnya kaku di samping ranjang. Dia melihat Maura yang berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah dan mata yang berkaca-kaca. Apakah Maura sudah mendengar semuanya? Pikiran itu membuat hatinya berdebar kencang. Maura perlahan melangkah masuk ke dalam kamar, tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Ma, barusan Rena bilang Mama sedang sakit, jadi aku langsung ke sini," ucapnya dengan suara lemah, mencoba menyembunyikan ketakutan dan kesedihan yang ada di hati. Dia berjalan mendekat ke ranjang, sambil memperhatikan ibu mertuanya dengan penuh khawatir. "Mama sakit apa? Apa sudah minum obat?" Cornelia hanya bisa mengangguk perlahan, masih belum percaya bahwa Maura ada di sana. Tubuhnya terasa lebih lemah, pikirannya bingung—bagaimana dia bisa melanjut
Setelah pertemuannya dengan Usman beberapa hari lalu, tubuh Cornelia terasa sangat lelah, ia terus saja memikirkan perjodohan Revan dan Alyssa, ia takut bahwa semua rencananya akan hancur dan Revan akan menolak terus. Cornelia melangkah perlahan menuju ruang tamu, tapi kakinya terasa goyah. "Rena!" panggilnya dengan suara lemah ke arah dapur. Rena yang sedang membersihkan peralatan makan di dapur mendengar panggilan dari Cornelia. Ia pun langsung berlari keluar, wajahnya terlihat khawatir ketika melihat Cornelia. "Iya, Nyonya?" Cornelia duduk pelan di sofa, dadanya terasa sesak. "Tolong buatkan aku teh hangat, ya. Aku sedang tidak enak badan." "Baik, Nyonya," jawab Rena dengan cepat. Tapi sebelum dia kembali ke dapur, matanya melihat tubuh Cornelia yang limbung, wajah yang pucat dan kering. Dia mendekat lagi, tangannya menopang bahu Cornelia. "Nyonya, Anda tidak apa-apa? Tubuh Anda terlihat goyah. Biar saya bantu Anda ke kamar, biar lebih nyaman berbaring." Cornelia hanya bisa m
Setelah meninggalkan Revan di apartemen, Cornelia langsung menuju Cafe Seruni yang sudah dijanjikannya dengan Usman. Jalanan terasa macet, membuat hatinya semakin kesal dan cemas. Dia terus memikirkan pertarungan tadi dengan putranya, dan kekhawatiran bahwa Revan benar-benar tidak akan menerima perjodohan dengan Alyssa. Sesampainya di cafe, Cornelia langsung mencari Usman. Dia melihat pria itu sedang duduk di ujung cafe yang lebih sunyi, menghadap jendela sambil memegang cangkir kopi. Cahaya dari sorot lampu masih sedikit menyinari wajahnya, membuatnya terlihat tenang meskipun sudah menunggu lama. Cornelia mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Usman melihatnya, lalu tersenyum. "Cornelia, kamu datang juga," ucapnya sambil membuka kursi di hadapannya. "Maaf, Usman, aku terlambat," kata Cornelia dengan suara terengah-engah, langsung duduk seperti yang disarankan. Napasnya masih tergesa-gesa karena jalan macet dan kekacauan hatinya. "Tidak apa-apa," jawab Usman dengan senyum. "Sudah







