Share

Dalam Genggaman CEO Alpha
Dalam Genggaman CEO Alpha
Penulis: Roe_Roe

1. Aku Hamil

“Katakan padaku, Katty, kenapa kau membawaku ke sini? Bukankah kita akan mengerjakan tugas musim panas bersama-sama di rumahmu?”

Niken Raswani menatap sahabatnya dengan pandangan penuh curiga. Mereka berdiri di pintu masuk sebuah hotel yang baru saja diresmikan pembukaannya dua hari yang lalu.

Katty merentangkan tangan dengan putus asa. “Entahlah. Aku... aku hanya berusaha membantumu.”

“Membantuku? Dengan membawaku ke hotel? Untuk apa?” Niken semakin tak suka. Dia menuntut penjelasan.

“Baiklah! Aku tak pernah bisa bohong padamu.” Katty menghela napas berat. “Aku juga tidak yakin ide ini akan berhasil. Tapi, dia memaksaku untuk melakukannya.”

“Dia?” tangan Niken terlipat ke dada. “Siapa maksudmu?”

Katty menggembungkan pipinya. “Andrew, dia ingin memberimu kejutan.”

“Andrew?”

“Ya, Andrew White, kekasihmu. Dia memintaku untuk membawamu ke sini dan akan memberikan kejutan untuk merayakan hari jadi kalian yang ke 6 bulan.”

Ada kegirangan sekaligus raut terkejut di wajah Niken. “Jika ini kejutan, kenapa kau memberitahuku?” Nada Niken mulai melunak.

Katty memutar bola mata. “Oh, entahlah, seingatku beberapa detik yang lalu kau memaksaku untuk mengatakan yang sebenarnya! Lagi pula, aku juga sebal karena di sepanjang jalan kau terus bertanya apa yang akan kita lakukan? Ke mana kita akan pergi? Jadi, sebaiknya nanti kau berpura-pura terkejut saat bertemu dengan Andrew. Oke?”

Mereka masuk dan duduk di lobi hotel. Katty pergi ke resepsionis untuk menanyakan reservasi atas nama Andrew White sedangkan Niken memilih duduk sambil merapikan riasannya.

Katty datang sambil menyerahkan sebuah kunci kamar hotel dan sekaleng soda dingin untuk Niken.

“Gula akan membuatmu merasa lebih baik. Sebaiknya mulai dari sini, lakukanlah sendiri. Tapi, katakan pada Andrew bahwa aku yang membawamu. Ingat, bagian terpenting dari sebuah kejutan adalah kau harus merasa terkejut!” ujar Katty sambil memutar bola mata.

Niken tergelak membayangkan dia harus berpura-pura terkejut di depan Andrew. “Oh, terima kasih banyak, Katty. Kau adalah sahabatku satu-satunya yang bisa membuatku tertawa.”

“Yeah, dia memesan kamar nomor 1024 untuk kejutanmu. Bisakah kau datang ke sana sendirian?” Katty terus memeriksa ponselnya untuk membalas pesan. “Aku harus kembali karena Antony sudah menungguku.”

Niken mengangguk. “Ya, akan aku balas kebaikanmu. Bersenang-senanglah dengan Antony.”

“Kau juga. Ingat, kau harus berpura-pura terkejut di depan Andrew.”

Niken menghabiskan sisa sodanya sebelum beranjak menuju ke kamar 1024. Ketika dia berada di dalam lift, Niken tiba-tiba merasa pusing dan tidak nyaman. Kakinya goyah. Dia berpegangan pada dinding lift.

“Kepalaku... kenapa sakit sekali?” Niken pegangi kepalanya yang berdenyut hebat.

Pintu lift terbuka. Dia keluar dan berjalan sempoyongan seperti orang mabuk.

“Pasti ada yang salah denganku. Aku harus bertemu Andrew. Dia mungkin punya obat atau sesuatu.”

Niken berjalan gontai. Semakin lama pandangan matanya semakin mengabur dan kakinya seperti melayang. Niken menuju ke sebuah kamar dengan tulisan angka 1042. Karena kepalanya pusing dan matanya mengabur, dia salah masuk ke kamar yang seharusnya 1024.

Niken mencoba memasukkan anak kunci, tapi pintu itu bahkan sudah terbuka sebelum dia berhasil melakukanya. Niken masuk ke kamar yang gelap dan sepi itu.

***

Dua bulan kemudian....

Niken menatap nanar dua garis warna merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya. Dia sangat ketakutan. Berulang kali Niken membuka tutup mata untuk memastikan alat yang dia genggam tidak salah menunjukkan warna dan jumlah garisnya.

“Aku hamil?” gumam Niken. “Aku baru berusia 17 tahun dan sekarang aku sedang hamil? Padahal aku masih duduk di bangku SMA.”

Niken menghembuskan napas berat berulangkali. Dia bahkan mulai menjambak rambut kelabu kehitamannya dengan frustrasi. Begitu banyak pertanyaan dan pemikiran yang berkeliaran di dalam kepala Niken, hingga membuat dia ingin meledak.

“Bagaimana Andrew akan menanggapi kenyataan ini? Akankah dia bahagia atau dia akan marah? Ya, aku tahu dia mencintaiku. Dia selalu mengatakannya setiap waktu, bahkan setiap kali kita bertemu.” Niken bergumam untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Tapi, ini seorang bayi! Seorang bayi yang tak pernah kami pikir akan ada. Aku takut sekali! Bagaimana jika kehadirannya akan mengubah pemikiran Andrew?”

Niken menggigit bibirnya sampai terasa perih. Dia mendengar suara derap langkah kaki memasuki toilet perempuan tempatnya bersembunyi. Niken segera menutup mulut dan mengusap air mata dengan cepat. Dia tak ingin orang lain memergokinya sedang membawa alat tes kehamilan di tangan.

“Ini sangat memalukan dan menakutkan! Meski aku sering mendapat kabar bahwa anak SMA hamil di usia yang sangat muda tanpa pernikahan, tapi aku tak pernah berharap ini akan terjadi padaku. Bagaimana orang lain akan menanggapi jika mereka mendengar kabar ini? Bagaimana teman-temanku akan merespon keberadaanku mulai saat ini?”

Niken mengangkat dan menekuk kakinya di atas dudukan toilet. Dia meringkuk seperti janin sambil memeluk kedua lutut dengan sangat erat. Alat tes kehamilan berwarna putih itu masih tergenggam erat di tangannya yang gemetar.

Sudah hampir dua bulan Niken tidak mendapatkan mesntruasinya. Dia pikir itu hanya akibat dari perubahan hormon remaja. Ketika beberapa teman membicarakan tentang kehamilan anak SMA, itu benar-benar membuat Niken sangat frustasi dan mulai membeli alat tes kehamilan di apotek. Sekarang dia duduk di toilet perempuan sebuah kafe tak jauh dari sekolah.

“Terlebih penting saat ini, bagaimana ibuku akan merespon? Dia pasti sangat-sangat kecewa dan marah jika menyadari aku telah melakukan hal sejauh ini. Aku masih SMA. Tapi, dia ibuku. Dia juga seorang perempuan. Apakah dia akan mengabaikanku? Aku pikir ibu juga mengalami kehamilan di usianya yang ke-16. Aku masih setahun tahun lebih dewasa daripada dia saat mengandungku.”

Niken terus berdebat dengan benak dan pikirannya sendiri.

“Apa pun yang terjadi, aku harus menyampaikan hal ini pada mereka. Aku tak mungkin sanggup menanggungnya seorang diri.”

Ketukan pelan terdengar di pintu toilet tempat Niken bersembunyi. Gadis itu terlonjak dan begitu gugup sampai-sampai dia menjatuhkan alat tes kehamilannya.

Niken cepat-cepat memungut alat tes kehamilan itu dan memasukkannya ke dalam tas dengan kasar. Dia berharap siapa pun orang yang mengantri di depan pintu toilet tidak melihat alat tes kehamilan miliknya. Niken cepat-cepat menyeka air mata, merapikan pakaian yang kusut, dan menyandang tas di bahu.

Setelah menarik napas dalam-dalam, Niken berjalan keluar dan meninggalkan toilet. Tiga orang gadis yang mengantri di depan pintu toilet memandang Niken dengan aneh dan mencibirnya.

“Kau pikir toilet ini milik ibumu? Seharusnya kau tidur di toilet milikmu sendiri, dasar lacur!”

Niken tak menanggapi ejekan itu. Tangannya terlalu gemetar menggenggam tali tas yang tersandang di pundak. Dia berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.

Andrew sudah menunggu Niken di salah satu meja kafe. Ada banyak siswa dari sekolah Niken yang nongkrong di sana selepas pelajaran. Kali ini Andrew juga datang bersama tiga orang lagi temannya. Niken mengenal mereka sebagai anggota tim basket.

“Hai, Sayang?” sapa Andrew begitu melihat kemunculan Niken. “Kau dari mana saja? Kenapa lama sekali?” Andrew mengulurkan tangan dan melingkarkannya ke pinggang ramping Niken.

Niken sedikit beringsut. Dia tidak nyaman. Kesadaran tiba-tiba membanjiri diri Niken.

“Mungkin saja saat ini bentuk tubuhku mulai berubah? Aku hamil. Ada sebuah janin yang akan tumbuh dan berkembang di dalam perutku,” pikir Niken. Dia tak bisa membayangkan jika pinggangnya akan semakin membesar.

“Andrew,” bisik Niken. “Bisakah kita bicara?” Niken berusaha melirihkan suaranya agar orang-orang yang duduk di meja di sekitar mereka tidak mendengar.

Andrew tiba-tiba menyeringai. Mata cokelatnya terlihat bercahaya. Dia memikirkan hal yang lain ketika Niken membisikkan sesuatu untuk berbicara berdua.

“Tentu saja!”

Niken mendesah. Begitu melihat tatapan nakal Andrew, dia tahu bahwa kekasihnya itu memikirkan hal yang lain ketika Niken mengatakan ingin berbicara berdua saja. Andrew pasti mengira bahwa Niken ingin mengajaknya melakukan hubungan intim seperti biasanya.

Niken berjalan menjauh dan keluar dari cafe. Dia pergi ke parkiran yang lengang. Niken berdiri di sana dengan sangat gemetar dan wajah panik. Dia terus-menerus mencengkeram tas di bahunya tanpa melepas pandangan dari sekitar tempat parkir. Dia harus memastikan tak ada orang yang memperhatikan.

Andrew datang setelah mengikuti Niken. Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke pipi Niken dan mendaratkan satu ciuman nakal di tengkuk gadis itu. Andrew bahkan menjepit tubuh Niken ke dinding karena sadar tempat parkir sangat sepi.

Niken sedang tak menginginkan semua itu. Pikirannya sedang kalut. Hidupnya mungkin akan berakhir saat ini juga. Tapi dia tak bisa menyimpan semua rahasia itu sendirian. Dia harus membaginya dengan orang lain, dengan partner yang selama ini dia percaya dan memberikan seluruh cinta padanya, Andrew.

Niken berusaha mengelak dan menepis pelukan Andrew.

Pemuda itu terlihat heran sebab tingkah Niken yang tak biasa. “Ada apa denganmu, sayang?” tanya Andrew. “Apa kau ada masalah?”

Sekali lagi Andrew mencoba mendapatkan Niken dan menggodanya. Dia mendaratkan ciuman panas ke leher gadis itu dan membisikkan kata-kata manis di telinganya.

“Apakah kau menginginkan hubungan yang lebih panas dari kemarin? Aku akan memberikannya padamu hari ini. Bagaimana kalau kita lakukan di rumahku? Orang tuaku sedang tak ada.”

Bibir Niken terkunci. Dia muak dengan kondisinya saat ini tapi juga tak bisa segera mengakui apa yang ada dalam pikirannya. Sekali lagi Niken menggenggam tali tas yang tersandang di bahu dan mengingat alat tes kehamilan yang menari-nari di dalam sana.

Niken mendaratkan kedua tangan di dada Andrew dan menatap pada sepasang mata kecokelatan pemuda itu.

Andrew mulai kesal karena terus mendapatkan penolakan dari Niken. Menurut Andrew, selama beberapa hari ini Niken terlihat berbeda dan sedikit menjauhinya. Andrew mulai kesal dan dia tak suka dengan pengabaian itu.

“Baiklah, Niken, karena sebenarnya aku juga ingin berbicara empat mata denganmu. Kupikir aku mampu menahan diri dan membatalkan rencanaku padamu. Tapi karena kau terus menolakku, maka aku tak bisa menahannya lagi.”

“Apa maksudmu?” Niken tak mengerti dengan arah pembicaraan Andrew.

“Kau telah berubah akhir-akhir ini. Aku ingin putus darimu. Aku sudah tak tahan lagi!” ujar Andrew.

“Apa?” teriak Niken. “Putus? Bagaimana mungkin kau meminta putus dariku? Asal kau tahu, saat ini aku hamil!” Niken pada akhirnya mengaku.

“Apa?” balas Andrew. Dia merasa salah mendengar pernyataan Niken.

Niken terus menatap tajam pada mata Andrew. “Ya, kau mendengarnya! Aku hamil!”

Andrew tertawa ringan dan mengangkat kepala. “Itu pasti bukan milikku!” serunya.

Niken tak percaya mendengar kata-kata penolakan yang begitu kasar dari mulut kekasihnya itu. “Bagaimana mungkin ini bukan bayimu? Aku selalu melakukannya denganmu!”

Niken merogoh tasnya dan menunjukkan dua garis merah keunguan di alat tes kehamilan pada Andrew.  “Perhatikan dengan baik-baik. Aku tidak sedang mengerjaimu. Aku mengatakan kebenaran.”

“Benarkah?” Kali ini Andrew menyeringai.

Dia mundur selangkah untuk menghindari Niken. Tiba-tiba pandangan mata Andrew ke arah Niken terlihat seperti menyimpan perasaan jijik.

“Kau memang pelacur kecil. Kau melakukannya dengan orang lain. Karena itu kau berubah. Sekarang setelah mendapatkan akibatnya, kau mendatangiku dan mencoba mengancamku untuk meminta pertanggungjawaban dariku?”

“Apa maksudmu, Bajingan?” balas Niken.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status