“Aku melihatmu sedang dipeluk dan diraba-raba oleh Damian beberapa hari yang lalu. Aku tidak melihatmu berusaha menghentikannya.” Andrew mendesis tepat di depan wajah Niken.
Niken tampak muak. “Damian hanyalah teman bagiku. Kami tak ada hubungan apa-apa. Kadang dia memang bercanda keterlaluan, tapi itu dia lakukan pada hampir semua teman-temannya. Dan aku hanya melakukan hubungan intim denganmu selama ini, hanya denganmu sejak malam kejutan itu!” teriak Niken putus asa.
Andrew terdiam dan menatap Niken dengan heran. “Malam kejutan? Cih! Kau bahkan tak datang malam itu padaku! Aku melakukannya dengan gadis lain!”
“A-apa maksudmu, Andrew?”
“Ya, kita memang melakukannya pada malam-malam berikutnya di rumamu saat ibumu bekerja malam. Tapi, pada malam kejutan dua bulan lalu, kau tak datang dan aku melampiaskan kekesalanku pada gadis lain!”
Niken merasa lemas seketika. “Pada gadis lain?” Niken mengulangi kata-kata Andrew. Dia baru menyadari bahwa kekasihnya itu tak benar-benar setia padanya.
“Lalu apa yang kau harapkan dariku?” lanjut Andrew. “Aku bahkan tidak yakin bayi itu milikku. Kau ingin aku berhenti sekolah dan bertanggung jawab terhadap bayi yang bukan milikku? Kau ingin aku menikahimu di usia yang sekarang? Kau sungguh lucu, Niken! Sebaiknya kau gugurkan kandungan itu, aku tak peduli dia anakku atau bukan. Dan sebenarnya aku juga ingin mengatakan padamu, aku ingin kita putus.”
Andrew mengambil langkah meninggalkan Niken.
Gadis itu masih menggenggam alat tes kehamilan di tangannya. Tangan Niken terkebal kuat dan tubuhnya menggigil hebat. Dia tak ingin dipermainkan dan diperlakukan seperti sampah yang dibuang saat dia sudah tak dibutuhkan.
Niken berlari menyusul Andrew dan menarik tangannya hingga pemuda itu berbalik menghadap Niken.
“Apalagi yang kau inginkan, Pelacur? Kau ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang? Kau ingin berteriak kepada semua orang bahwa aku telah menghamilimu? Hei, siapa yang akan percaya padamu? Semua orang tahu kau lahir dari rahim pelacur, maka kau juga akan tumbuh menjadi pelacur.”
Sebelum Niken bisa berpikir, tiba-tiba tangannya sudah bergerak untuk menampar pipi Andrew. Pemuda itu tertunduk dengan separuh wajah memerah. Niken terkejut dengan keberanian dan kekuatannya sendiri. Andrew tampak marah dan mengusap-usap pipinya yang terasa panas.
“Dengarkan aku, Brengsek!” garam Niken. “Kau bisa saja kabur dan lari dari tanggung jawab atas kehamilanku. Tapi, jangan sekali-sekali menyebut ibuku sebagai seorang pelacur. Kau tidak tahu apa-apa tentangnya. Dia adalah perempuan yang hebat. Dia bekerja keras dari siang sampai malam hanya untuk mendidik dan membesarkanku! Dia adalah wanita terhormat.”
Andrew mencebik. Dia melipat kedua tangan ke dada sambil meledek Niken.
“Kau mengatakan ibumu bekerja keras siang dan malam untuk mendidikmu? Wanita terhormat akan menghasilkan perempuan terhormat, bukan perempuan pelacur sepertimu. Aku jadi semakin yakin bahwa kalian berdua memang pelacur. Kalian berkeliling untuk tidur dengan siapa saja demi mendapatkan beberapa lembar dollar.” Andrew lalu berbalik dan meninggalkan Niken tanpa berkata apa-apa lagi.
Niken tak bisa lagi berdiri di atas kedua kakinya. Dia jatuh terlutut di tempat parkir yang panas dan lengang. Air mata meluruh dari kedua matanya yang terasa sangat panas dan berat.
“Bagaimana bisa aku menjadi sebodoh ini? Aku pikir dia mencintaiku, karena memang selalu itu kata-kata yang dia ucapkan sepanjang waktu. Kenapa aku sangat bodoh? Aku bahkan tak pernah mendengarkan kata-kata ibuku untuk menjauhi Andrew.”
Niken dan ibunya pindah ke kota kecil sejak Niken berusia sepuluh tahun. Mereka pindah pasca perceraian orang tuanya. Ayah Niken kabur dengan perempuan lain. Ibunya tak mungkin kembali kepada orang tuanya. Karena ibunya Niken menikah tanpa restu dan hamil bahkan sebelum mereka berdua menikah di usia muda.
“Sepanjang hidupnya, ibuku selalu menyesali perbuatannya yang memilih kabur dari rumah dan menuruti perasaan cintanya pada seorang pria yang menjadi ayahku. Pernikahan mereka tak bertahan lama. Karena memang pria itu brengsek. Ibuku selalu menasehatiku agar tidak mudah jatuh cinta dan percaya pada pria.”
Niken menangis sesenggukan sambil meremas perutnya yang kini ada janin di sana. “Beberapa bulan lagi perut itu akan semakin membesar dan aku tak akan lagi menjadi orang yang sama.”
Niken meraung sendirian.
“Aku pikir Andrew adalah pemuda yang baik. Aku bahkan rela mencuri-curi waktu dan berbohong pada ibuku tentang hubungan kami. Sekarang, aku mengerti kenapa orang tua selalu benar. Karena perkataan mereka datang dari pengalaman hidup yang panjang. Betapa bodohnya aku. Tapi ini semua sudah terjadi.”
Niken berdiri sambil mengusap air matanya. “Tapi, ibu pasti mengerti dengan perasaan dan keadaanku saat ini. Tak ada yang lain selain Ibu. Aku akan pulang dan menceritakan semuanya padanya. Meski Andrew bukan lagi harapanku, setidaknya aku masih memiliki Ibu.”
***
Niken duduk di meja dapur dengan wajah pcsat dan rambut yang kusut. Selama seharian itu, dia mengurung diri di kamar menunggu sampai ibunya pulang bekerja.
Sang Ibu meletakkan tas belanjaan berlogo supermarket di kota tempat mereka tinggal. Perempuan itu tersenyum dengan wajah lelah dan mulai mengeluarkan satu persatu isi kantong belanjaan.
“Ibu bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di supermarket itu. Setiap akhir pekan mereka selalu mengizinkan kami membawa makanan yang hampir kadaluarsa dengan cuma-cuma. Ya, terkadang makanan yang hampir kadaluarsa tidak selalu buruk. Masih ada sisa beberapa hari lagi sebelum semuanya mubazir.”
Niken hanya tertunduk lesu di kursi di depan ibunya. Dia tak menanggapi apa pun cerita sang ibu.
“Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat lelah sekali. Apakah kau sakit? Apakah kau ada masalah hari ini di sekolah? Jika itu tentang pembayaran, ibu pasti akan menepatinya sebelum jatuh tempo. Bersabarlah sedikit lagi.”
Niken menggeleng lemah. Lalu, dia memanggil ibunya dengan suara terisak.
Sang Ibu terkejut. Dia tak pernah mendapati Niken sesedih itu. Niken selalu bahagia dan ceria, bagaimanapun keadaan mereka. Sang Ibu panik dan segera duduk di samping Niken.
Sang Ibu mengulurkan tangannya dan memeluk bahu Niken. Dia menyingkirkan anak rambut dari kening Balir dan mengecup kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.
“Kau ada masalah hari ini? Ceritakanlah semua padaku. Ibu pasti akan mendengarkannya. Kita akan mencari jalan keluarnya bersama-sama, oke?”
Perlahan Niken mengangkat wajah dan menatap ibunya. Perempuan itu terlihat lebih tua dari usianya karena terlalu lelah bekerja. Bahkan hari ini pun, garis-garis halus terlihat semakin jelas di kulit wajahnya. Niken tak mungkin mengatakan masalahnya pada sang Ibu, di saat perempuan itu benar-benar baru saja pulang bekerja.
Akan tetapi, kata-kata penghiburan sang Ibu membuat Niken sedikit memiliki harapan. Niken percaya dan yakin ibunya bisa memahami dan mengerti keadaannya saat ini seberat apa pun itu.
“Mom,” bisik Niken sekali lagi sambil menahan isakan.
“Jika kau tak mengatakannya, bagaimana ibu bisa tahu apa masalahmu? Maka, kita takkan pernah menemukan solusinya.” Perempuan itu berbicara dengan sangat sabar seperti biasanya.
Niken menatap ibunya dengan sedikit pengharapan bahwa perempuan itu bisa menerimanya. “Aku hamil!” gumam Niken sambil menekan tangannya ke pangkuan agar tidak gemetar.
Sang Ibu terdiam sejenak dengan wajah tanpa ekspresi, lalu menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Kau tidak hamil,” ujar sang Ibu seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.
Niken dengan tangan gemetar mengeluarkan alat tes kehamilan dari kantung sweaternya. Dia menunjukkan pada sang ibu. “Ya, aku hamil, Mom. Aku baru mendapatinya hari ini.”
Dengan rasa tak percaya sang Ibu merebut alat tes kehamilan itu dan benar-benar memeriksa dua garis merah di sana. Lalu perempuan itu menoleh dengan wajah dingin ke arah Niken. Kehangatan yang perempuan itu tampilkan selama 17 tahun kehidupan Niken, kini seolah-olah sirna hanya karena dua garis warna merah.
“Mom?”
“Bagaimana kau bisa?” Suara sang Ibu menggantung di udara dan tak selesai. “Bagaimana kau bisa melakukan ini kepadaku? Teganya dirimu, Niken!”Sang Ibu berdiri dari kursi. Dia meletakkan satu tangan di pinggang dan tangan lainnya pada kening yang terasa berdenyut.“Mom,” bisik Niken dengan ketakutan.Dia melihat ibunya mondar-mandir di depan meja makan tanpa bisa Niken hentikan. “Ini hanya sebuah kecelakaan. Kami tak sengaja melakukannya. Ini hanya sebuah kesalahan.”Alasan yang dilontarkan Niken seketika membuat ibunya terhenti. Dia berbalik pada Niken dengan sepasang mata terbuka lebar penuh dengan kemarahan.“Ini bukan kecelakaan! Ini memang kesalahan, ya, kesalahanku karena terlalu percaya dan membebaskanmu. Tapi, ini juga kesalahanmu karena kau tak pernah mendengarkan kata-kataku! Hah, dasar anak brengsek! Untuk apa aku membesarkan dan melahirkanmu dengan susah payah? Untuk apa aku mempertahankan kehidupanmu hingga harus bekerja membanting tulang sekeras ini? Dan sekarang kau men
Beberapa minggu kemudian, Niken sudah meninggalkan kota kecil tempat dia dan ibunya tinggal selama ini. Tak ada apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang melekat di tubuh dan janin yang ada di dalam rahimnya.Bulan itu sudah mendekati akhir musim gugur. Niken berkelana dari satu kota ke kota yang lain. Dia hanya akan tinggal di satu tempat tak lebih dari tiga hari. Dia benar-benar menjauhi kota tempat ibu dan teman-temannya tinggal. Dia tak ingin dikenali oleh siapa pun.“Aku sekarang resmi menjadi seorang tunawisma dan remaja yang sedang hamil,” gumam Niken ketika meringkuk di salah satu emperan toko yang sudah tutup.Dia tidak tahu sedang berada di mana saat ini. Dia baru saja melintasi negara bagian yang masih ada banyak hutan di sana. Dia menumpang truk pengangkut bahan pokok hingga tiba di rest area.Setelah mengucapkan terima kasih pada sang sopir truk, Niken berpura-pura masuk ke dalam swalayan tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar. Niken membeli air mineral dan beber
Niken berusaha melarikan diri secepat kakinya bisa melangkah.“Aku tak ingin terlibat dengan masalah apa pun. Aku tak melihat mereka. Aku harus pergi dari sini.”Niken terlalu kehilangan banyak energi hari itu karena terlalu sering mual dan muntah. Dia bahkan belum memakan roti dan air yang baru dia beli dari minimarket. Ketika dia pikir dirinya benar-benar menjauh dan menuju ke jalan raya untuk mencari pertolongan, tiba-tiba seorang pria sudah mengadangnya dengan belati teracung di tangan.“Hai, gadis kecil!” ujar pria itu sambil membawa belati yang masih dilumuri darah. “Apa yang kau lakukan sendirian di sini malam-malam begini?”Niken hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka memang berada di area yang gelap tanpa penerangan. Tapi, beberapa pantulan lampu dari kendaraan yang lewat cukup untuk Niken bisa melihat bahwa belati itu memang dilumuri darah.Dia sangat ketakutan dan tidak tahu harus berkata apa. Saat ini hanya kejujuran yang bisa dia lakukan. Niken berharap
Niken tersentak sadar seolah-olah terbangun dari mimpi yang panjang ketika membuka mata. Niken merasakan tubuhnya sakit di semua bagian. Bahkan tangannya tak bisa bebas digerakkan. Niken melirik pada tangannya yang terasa berdenyut.“Di mana aku?” pikir Niken sambil berusaha duduk tegak.“Anda sudah bangun, Nona? Anda bisa mendengar suara saya?” Seorang perawat tiba-tiba mendekat dan memeriksa denyut nadi Niken serta pupil di kedua matanya.Niken merasa waspada dan ketakutan. Dia tepis tangan sang perawat dan beringsut menjauh. “Katakan di mana aku? Apa yang terjadi padaku? Dan serigala itu? Lalu bagaimana dengan dua pria di rest area?”Gambaran potongan-potongan kulit dan daging yang dikoyak serigala besar seketika membuat Niken mual. Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah kesakitan pria yang menodongkan belati padanya mati diterkam serigala.Sang perawat berusaha tenang saat mendengar pernyataan Niken yang melompat-lompat dan sangat tidak jelas. Sang perawat maklum dengan kondisi
Niken muak mendengar bisikan dan nada bicara pria asing yang tak dikenalnya itu. Dia juga muak pada tatapannya yang merendahkan dan melecehkan. Niken muak pada semua laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya.Tanpa sadar, Niken sudah mendorong pria itu hingga hampir terpelanting jatuh dari anak tangga. Stasiun bawah tanah dalam keadaan sepi. Niken panik. Dia hampir menjerit ketika menyadari perbuatannya bisa mengakibatkan pria itu cedera jika dia benar-benar jatuh dari tangga.Untungnya pria itu segera mengendalikan diri. Dia tak sampai menggelinding ke dasar tangga yang mungkin akan membuat tulangnya patah. Hanya biola pria itu yang terjatuh dan dia sangat marah. pria itu segera bangkit untuk mengambil biolanya dan menuju ke arah Niken yang masih mematung dengan wajah pucat.“Pelacur cilik sialan!” umpat pria itu. “Kau sudah merusak biolaku satu-satunya. Kau harus bertanggung jawab. Tak peduli apa pun yang terjadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu malam ini.”Sambil memegang biol
“Nona, ini aku!” tegur Axel yang sudah berdiri di ujung gang sambil memasang wajah khawatir.“Jauhi aku!” teriak Niken. “Jangan mendekat! Aku akan berteriak jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku. Aku tahu sejak awal bahwa kau tak benar-benar tulus menolongku. Tak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini.”Niken terengah-engah.“Itu kusadari setelah aku menjadi gelandangan,” pikir Niken kemudian.“Tunggu, Nona. Kau pasti salah paham padaku. Aku tak bermaksud menyakiti atau ingin mengambil keuntungan darimu. Tapi, ya, aku memang mengikutimu dengan satu alasan.”“Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak memiliki apa pun, Tuan. Aku bahkan tak memiliki sepeser pun uang untuk makan. Aku tak mampu. Aku tak memiliki apa-apa. Jika yang kau inginkan adalah tubuhku, kupastikan sebelum membuat keputusan itu, kau akan menyesal.”Suara Niken bergetar lirih. Dia benar-benar ketakutan. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tak tumpah. Niken sampai harus berpegangan ke dinding di antara du
Niken tak punya pilihan dan dia menerima ajakan Axel untuk makan malam. Mereka duduk berhadapan di salah satu bangku dengan pemandangan sungai yang indah di malam hari. Niken merasa sedikit aman karena tak sendirian. Ada beberapa orang lain lagi yang juga duduk menikmati pemandangan sungai di malam hari.Sudut mata Niken terus waspada memperhatikan sekitar. Dia mendapati dua pria berpakaian serba hitam yang sebelumnya membuat Niken pingsan karena ketakutan. Mereka berdiri tak jauh dari tempat Axel berada.“Siapa mereka?” tanya Niken. “Tukang pukulmu?”“Mereka hanya asistenku,” ujar Axel dengan tenang. Dia buka kantung makanan dan menyerahkan roti lapis kepada Niken. “Maaf jika mereka membuatmu ketakutan sebelumnya.”Niken menggeretakkan rahang. Dia masih mengingat jelas bagaimana dua pria menodongkan belati padanya di rest area karena menyaksikan sebuah pembunuhan. Saat ini, kedua asisten Axel juga mengingatkan Niken pada kedua penjahat itu.“Kau tak bisa menipuku, Tuan Marais. Kataka
“Apa?” teriak Niken dengan sangat terkejut. Dia ingin memastikan bahwa apa yang dia dengar tidak salah.Axel masih duduk nyaman di bangkunya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain sambil bersandar dengan penuh percaya diri.“Kou bisa tinggal denganku.” Axel berkata dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.“Apa kau gila?”Niken menelan ludah dan menatap tak percaya pada Axel.“Bagaimana dia bisa berkata mengajak orang asing tinggal serumah dengan begitu santainya?” pikir Niken.“Apa kau sebenarnya menginginkan sesuatu dariku? Aku yakin tuntutan untuk membayar utang itu hanya alasan untuk meminta sesuatu yang lebih dariku. Apa sebenarnya tujuanmu?”Niken benar-benar ketakutan. Dia tidak siap mendengar pengakuan pria kaya di hadapannya. Niken tidak ingin terlibat dengan siapa pun saat ini, apalagi orang yang berpengaruh.“Aku bisa hidup di jalanan dan bertahan untuk diriku sendiri dan calon bayi di dalam perutku. Aku bisa bekerja apa saja; menyanyi, bermain musik, atau apa pun