Share

2. Ibu yang Bekerja Keras

“Aku melihatmu sedang dipeluk dan diraba-raba oleh Damian beberapa hari yang lalu. Aku tidak melihatmu berusaha menghentikannya.” Andrew mendesis tepat di depan wajah Niken.

Niken tampak muak. “Damian hanyalah teman bagiku. Kami tak ada hubungan apa-apa. Kadang dia memang bercanda keterlaluan, tapi itu dia lakukan pada hampir semua teman-temannya. Dan aku hanya melakukan hubungan intim denganmu selama ini, hanya denganmu sejak malam kejutan itu!” teriak Niken putus asa.

Andrew terdiam dan menatap Niken dengan heran. “Malam kejutan? Cih! Kau bahkan tak datang malam itu padaku! Aku melakukannya dengan gadis lain!”

“A-apa maksudmu, Andrew?”

“Ya, kita memang melakukannya pada malam-malam berikutnya di rumamu saat ibumu bekerja malam. Tapi, pada malam kejutan dua bulan lalu, kau tak datang dan aku melampiaskan kekesalanku pada gadis lain!”

Niken merasa lemas seketika. “Pada gadis lain?” Niken mengulangi kata-kata Andrew. Dia baru menyadari bahwa kekasihnya itu tak benar-benar setia padanya.

“Lalu apa yang kau harapkan dariku?” lanjut Andrew. “Aku bahkan tidak yakin bayi itu milikku. Kau ingin aku berhenti sekolah dan bertanggung jawab terhadap bayi yang bukan milikku? Kau ingin aku menikahimu di usia yang sekarang? Kau sungguh lucu, Niken! Sebaiknya kau gugurkan kandungan itu, aku tak peduli dia anakku atau bukan. Dan sebenarnya aku juga ingin mengatakan padamu, aku ingin kita putus.”

Andrew mengambil langkah meninggalkan Niken.

Gadis itu masih menggenggam alat tes kehamilan di tangannya. Tangan Niken terkebal kuat dan tubuhnya menggigil hebat. Dia tak ingin dipermainkan dan diperlakukan seperti sampah yang dibuang saat dia sudah tak dibutuhkan.

Niken berlari menyusul Andrew dan menarik tangannya hingga pemuda itu berbalik menghadap Niken.

“Apalagi yang kau inginkan, Pelacur? Kau ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang? Kau ingin berteriak kepada semua orang bahwa aku telah menghamilimu? Hei, siapa yang akan percaya padamu? Semua orang tahu kau lahir dari rahim pelacur, maka kau juga akan tumbuh menjadi pelacur.”

Sebelum Niken bisa berpikir, tiba-tiba tangannya sudah bergerak untuk menampar pipi Andrew. Pemuda itu tertunduk dengan separuh wajah memerah. Niken terkejut dengan keberanian dan kekuatannya sendiri. Andrew tampak marah dan mengusap-usap pipinya yang terasa panas.

“Dengarkan aku, Brengsek!” garam Niken. “Kau bisa saja kabur dan lari dari tanggung jawab atas kehamilanku. Tapi, jangan sekali-sekali menyebut ibuku sebagai seorang pelacur. Kau tidak tahu apa-apa tentangnya. Dia adalah perempuan yang hebat. Dia bekerja keras dari siang sampai malam hanya untuk mendidik dan membesarkanku! Dia adalah wanita terhormat.”

Andrew mencebik. Dia melipat kedua tangan ke dada sambil meledek Niken.

“Kau mengatakan ibumu bekerja keras siang dan malam untuk mendidikmu? Wanita terhormat akan menghasilkan perempuan terhormat, bukan perempuan pelacur sepertimu. Aku jadi semakin yakin bahwa kalian berdua memang pelacur. Kalian berkeliling untuk tidur dengan siapa saja demi mendapatkan beberapa lembar dollar.” Andrew lalu berbalik dan meninggalkan Niken tanpa berkata apa-apa lagi.

Niken tak bisa lagi berdiri di atas kedua kakinya. Dia jatuh terlutut di tempat parkir yang panas dan lengang. Air mata meluruh dari kedua matanya yang terasa sangat panas dan berat.

“Bagaimana bisa aku menjadi sebodoh ini? Aku pikir dia mencintaiku, karena memang selalu itu kata-kata yang dia ucapkan sepanjang waktu. Kenapa aku sangat bodoh? Aku bahkan tak pernah mendengarkan kata-kata ibuku untuk menjauhi Andrew.”

Niken dan ibunya pindah ke kota kecil sejak Niken berusia sepuluh tahun. Mereka pindah pasca perceraian orang tuanya. Ayah Niken kabur dengan perempuan lain. Ibunya tak mungkin kembali kepada orang tuanya. Karena ibunya Niken menikah tanpa restu dan hamil bahkan sebelum mereka berdua menikah di usia muda.

“Sepanjang hidupnya, ibuku selalu menyesali perbuatannya yang memilih kabur dari rumah dan menuruti perasaan cintanya pada seorang pria yang menjadi ayahku. Pernikahan mereka tak bertahan lama. Karena memang pria itu brengsek. Ibuku selalu menasehatiku agar tidak mudah jatuh cinta dan percaya pada pria.”

Niken menangis sesenggukan sambil meremas perutnya yang kini ada janin di sana. “Beberapa bulan lagi perut itu akan semakin membesar dan aku tak akan lagi menjadi orang yang sama.”

Niken meraung sendirian.

“Aku pikir Andrew adalah pemuda yang baik. Aku bahkan rela mencuri-curi waktu dan berbohong pada ibuku tentang hubungan kami. Sekarang, aku mengerti kenapa orang tua selalu benar. Karena perkataan mereka datang dari pengalaman hidup yang panjang. Betapa bodohnya aku. Tapi ini semua sudah terjadi.”

Niken berdiri sambil mengusap air matanya. “Tapi, ibu pasti mengerti dengan perasaan dan keadaanku saat ini. Tak ada yang lain selain Ibu. Aku akan pulang dan menceritakan semuanya padanya. Meski Andrew bukan lagi harapanku, setidaknya aku masih memiliki Ibu.”

***

Niken duduk di meja dapur dengan wajah pcsat dan rambut yang kusut. Selama seharian itu, dia mengurung diri di kamar menunggu sampai ibunya pulang bekerja.

Sang Ibu meletakkan tas belanjaan berlogo supermarket di kota tempat mereka tinggal. Perempuan itu tersenyum dengan wajah lelah dan mulai mengeluarkan satu persatu isi kantong belanjaan.

“Ibu bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan di supermarket itu. Setiap akhir pekan mereka selalu mengizinkan kami membawa makanan yang hampir kadaluarsa dengan cuma-cuma. Ya, terkadang makanan yang hampir kadaluarsa tidak selalu buruk. Masih ada sisa beberapa hari lagi sebelum semuanya mubazir.”

Niken hanya tertunduk lesu di kursi di depan ibunya. Dia tak menanggapi apa pun cerita sang ibu.

“Ada apa denganmu, Sayang? Kau terlihat lelah sekali. Apakah kau sakit? Apakah kau ada masalah hari ini di sekolah? Jika itu tentang pembayaran, ibu pasti akan menepatinya sebelum jatuh tempo. Bersabarlah sedikit lagi.”

Niken menggeleng lemah. Lalu, dia memanggil ibunya dengan suara terisak.

Sang Ibu terkejut. Dia tak pernah mendapati Niken sesedih itu. Niken selalu bahagia dan ceria, bagaimanapun keadaan mereka. Sang Ibu panik dan segera duduk di samping Niken.

Sang Ibu mengulurkan tangannya dan memeluk bahu Niken. Dia menyingkirkan anak rambut dari kening Balir dan mengecup kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.

“Kau ada masalah hari ini? Ceritakanlah semua padaku. Ibu pasti akan mendengarkannya. Kita akan mencari jalan keluarnya bersama-sama, oke?”

Perlahan Niken mengangkat wajah dan menatap ibunya. Perempuan itu terlihat lebih tua dari usianya karena terlalu lelah bekerja. Bahkan hari ini pun, garis-garis halus terlihat semakin jelas di kulit wajahnya. Niken tak mungkin mengatakan masalahnya pada sang Ibu, di saat perempuan itu benar-benar baru saja pulang bekerja.

Akan tetapi, kata-kata penghiburan sang Ibu membuat Niken sedikit memiliki harapan. Niken percaya dan yakin ibunya bisa memahami dan mengerti keadaannya saat ini seberat apa pun itu.

“Mom,” bisik Niken sekali lagi sambil menahan isakan.

“Jika kau tak mengatakannya, bagaimana ibu bisa tahu apa masalahmu? Maka, kita takkan pernah menemukan solusinya.” Perempuan itu berbicara dengan sangat sabar seperti biasanya.

Niken menatap ibunya dengan sedikit pengharapan bahwa perempuan itu bisa menerimanya. “Aku hamil!” gumam Niken sambil menekan tangannya ke pangkuan agar tidak gemetar.

Sang Ibu terdiam sejenak dengan wajah tanpa ekspresi, lalu menggeleng pelan. “Tidak, Sayang. Kau tidak hamil,” ujar sang Ibu seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.

Niken dengan tangan gemetar mengeluarkan alat tes kehamilan dari kantung sweaternya. Dia menunjukkan pada sang ibu. “Ya, aku hamil, Mom. Aku baru mendapatinya hari ini.”

Dengan rasa tak percaya sang Ibu merebut alat tes kehamilan itu dan benar-benar memeriksa dua garis merah di sana. Lalu perempuan itu menoleh dengan wajah dingin ke arah Niken. Kehangatan yang perempuan itu tampilkan selama 17 tahun kehidupan Niken, kini seolah-olah sirna hanya karena dua garis warna merah.

“Mom?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status