Beberapa minggu kemudian, Niken sudah meninggalkan kota kecil tempat dia dan ibunya tinggal selama ini. Tak ada apa pun yang bisa dia bawa selain pakaian yang melekat di tubuh dan janin yang ada di dalam rahimnya.
Bulan itu sudah mendekati akhir musim gugur. Niken berkelana dari satu kota ke kota yang lain. Dia hanya akan tinggal di satu tempat tak lebih dari tiga hari. Dia benar-benar menjauhi kota tempat ibu dan teman-temannya tinggal. Dia tak ingin dikenali oleh siapa pun.
“Aku sekarang resmi menjadi seorang tunawisma dan remaja yang sedang hamil,” gumam Niken ketika meringkuk di salah satu emperan toko yang sudah tutup.
Dia tidak tahu sedang berada di mana saat ini. Dia baru saja melintasi negara bagian yang masih ada banyak hutan di sana. Dia menumpang truk pengangkut bahan pokok hingga tiba di rest area.
Setelah mengucapkan terima kasih pada sang sopir truk, Niken berpura-pura masuk ke dalam swalayan tak jauh dari tempat pengisian bahan bakar. Niken membeli air mineral dan beberapa camilan dengan harga murah. Dia harus menghemat simpanan uangnya yang tak seberapa.
Semenjak menjadi tunawisma, Niken belajar cepat cara mendapatkan uang dari orang-orang yang dia temui tanpa perlu mengemis atau mencuri. Dia memiliki suara yang bagus. Kadang Niken bernyanyi di jalan-jalan kota dan orang akan menyumbang sedikit uangnya untuk suara Niken.
Dari jendela swalayan, Niken terus mengamati truk yang baru saja dia tumpangi. Dia harus benar-benar menunggu truk itu pergi sebelum Niken bisa keluar. Niken tidak mungkin terus menumpang truk itu atau sang sopir akan curiga padanya. Dia paling takut jika dilaporkan pada petugas kepolisian atau petugas sosial. Dia tak ingin ditangkap dan dibawa ke tempat penampungan seperti sebelumnya.
Niken pernah beberapa kali singgah di tempat penampungan, tapi dia tak benar-benar merasa nyaman di sana. Tempat penampungan lebih banyak terdiri dari pria tunawisma.
Mereka selalu menatap Niken dengan tatapan liar seperti serigala yang sedang lapar. Meski berulang kali Niken mengatakan pada mereka bahwa dia sedang hamil, tapi tak ada yang percaya. Niken menggigil ketika mengingat bagaimana di sebuah tempat penampungan dia coba diserang oleh sejumlah tunawisma dan ingin memperkosanya.
Setelah truk itu pergi, Niken segera pergi ke kasir dan membayar tagihannya dengan uang receh yang dia miliki. Dia pegang kantong plastik berisi air mineral dan sedikit roti lalu berjalan keluar dari swalayan. Pada saat itu tanpa sengaja seseorang benar-benar menabraknya hingga Niken jatuh terpelanting.
Seorang pria jangkung dengan jaket hitam terlihat sangat terburu-buru. Niken tak bisa melihat wajah pria itu karena kepalanya tertutupi oleh hoodie.
Ketika melihat Niken terjatuh, pria itu segera berbalik dan berlutut di depannya.
“Maafkan aku, Nona. Aku benar-benar tak sengaja dan sedikit terburu-buru. Aku pasti sudah menyakitimu,” ujar pria itu dengan sangat sopan dan lembut sambil mengulurkan tangan untuk membantu Niken berdiri.
Tepat pada saat itu pandangan mereka bertemu. Niken sedikit tertegun. Ternyata wajah pria yang menabraknya sangat tampan. Dia adalah pria dewasa dengan mata sebiru safir dan rambut gelap.
“Nona? Kau baik-baik saja?” ulang pria itu sambil memeriksa lutut Niken.
Niken ketakutan dan segera menepis tangan pria itu.
“Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar padamu. Aku seorang dokter. Aku hanya memeriksa apakah kau mengalami luka atau mungkin terkilir? Karena sepertinya aku menabrakmu cukup keras.”
Mendengar kata dokter, Niken segera menundukkan wajah. Dia tak ingin diketahui oleh siapa pun bahwa saat ini dia sedang hamil. Niken segera berdiri dan menolak bantuan orang itu.
“Aku baik-baik saja. Aku tidak apa-apa. Tak ada yang terluka dariku, Tuan,” ujar Niken dengan gugup.
Pria itu mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Sebuah kartu nama berwarna putih dengan sederet tulisan di atasnya. Dia menyodorkannya pada Niken.
“Jika kau merasa terluka atau dirugikan akibat kecerobohanku tadi, kau bisa menghubungiku dan meminta pertanggungjawaban dariku di nomer itu. Aku pasti akan menanggapimu dengan sangat baik. Aku berharap kita bisa bertemu lagi suatu saat dalam keadaan yang lebih baik,” ujar pria itu.
Niken menerima kartu nama itu dan membacanya sekilas. “Axel Barney?”
“Ya, itu namaku.”
“Kau seorang dokter di sebuah kota besar di negara bagian yang yang cukup jauh dari sini. Lalu kenapa kau...?”
“Aku datang ke sini untuk menghadiri sebuah undangan konferensi. Ya, ini ada hubungannya dengan kesehatan. Aku juga seorang volunteer untuk keselamatan binatang liar.”
Pria itu mengambil botol air mineral Niken yang menggelinding dan menyerahkannya kembali. Dengan sama gugupnya, Niken menerimanya dan segera pergi meninggalkan pria itu.
“Ah, sialan! Apa yang aku pikirkan?” ujar Niken dalam hati sambil berlari menjauh dari swalayan. “Dia seorang dokter. Bagaimana jika dia tahu aku sedang hamil hanya dengan menyentuh kakiku? Itu pemikiran yang sangat bodoh. Tapi, aku begitu takut. Aku tak ingin orang lain mengetahui kehamilanku dan mungkin mereka akan melakukan hal berbahaya pada janin dan tubuhku.”
Malam itu, Niken hanya ingin istirahat. Niken menemukan kardus bekas di tempat sampah belakang rest area dan mulai menggelarnya di salah satu emperan toko yang tutup. Dia juga mengambil selimut katun bekas dari tas. Selimut itu dia dapatkan dari tempat penampungan bersama beberapa potong pakaian. Niken gunakan ranselnya yang berisi pakaian sebagai bantal.
“Mungkin emperan toko ini adalah tempat tidur nyaman terakhir yang aku temui sebelum harus berjalan bermil-mil jauhnya untuk sampai ke kota berikutnya. Atau mungkin besok aku akan mencari tumpangan lain untuk sampai tiba di kota berikutnya.”
Tiga bulan pertama kehamilan adalah masa yang sangat berat. Niken tak pernah mengetahui fakta itu dan tidak pernah mendapatkan pengajaran apa pun dari ibunya tentang kehamilan, pun di sekolah. Selama beberapa minggu ini, dia terus mengalami mual dan muntah yang sangat hebat. Niken bahkan sulit menelan makanan. Tapi dia tetap berjuang untuk mempertahankan hidupnya.
Dia sering tidur di bangku taman saat malam tiba hanya beralaskan kardus dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut bekas. Niken tidak tahu bagaimana cara dia akan menghadapi musim dingin.
“Aku tidak mengira hidupku akan berakhir di sini hanya dalam hitungan minggu. Seharusnya saat ini aku tidur di kamarku di samping ibu. Besok pagi seharusnya aku bangun seperti biasa untuk sarapan dan pergi ke sekolah. Ada banyak hal yang harus aku lakukan dengan band yang baru aku bentuk di sekolah. Tapi lihatlah aku sekarang.”
Niken meraba perutnya yang masih rata. “Beberapa bulan lagi perut ini akan semakin membesar dan bengkak. Aku tak mungkin lagi bisa menyembunyikannya dari orang-orang. Aku harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi.”
Air mata Niken tiba-tiba menetes dari kelopaknya yang terkatup. Dia menahan gigil sekaligus menahan mual yang semakin menjadi-jadi ketika tubuhnya sudah mulai lelah di malam hari.
“Beberapa orang yang aku temui menyarankan agar aku melakukan aborsi saja. Mereka pikir aku masih terlalu muda dan dunia ini sangat kejam. Tapi, tidak. Bayi ini tidak bersalah. Bagaimana aku bisa merampas kehidupan makhluk lain? Ini semua terjadi akibat kebodohanku sendiri. Aku harus bertanggung jawab atas kesalahan yang telah aku lakukan.”
Sekali lagi, Niken meraba dan meremas perutnya dengan lembut. “Kita pasti bisa bertahan, Sayang. Kita harus bertahan melewati semua ini berdua saja. Aku pasti akan mempertahankanmu sampai kapan pun.”
Di beberapa kota kecil yang pernah Niken singgahi, dia berhasil mendapatkan uang dengan cara yang tak terduga. Terkadang di jalan-jalan kota dia menunjukkan kemampuannya bernyanyi dan memainkan musik. Dia letakkan kaleng soda kosong di depannya dan orang yang suka atau kasihan padanya akan memberikan beberapa dollar.
“Tak ada yang bisa aku lakukan dengan usiaku yang sangat muda ini. Tanpa identitas, aku tak bisa mencari pekerjaan paruh waktu. Hanya dengan menyanyi, aku bisa mendapatkan uang untuk makan sekaligus untuk menghibur diriku sendiri yang sangat menderita.”
Malam itu pun untuk menghibur kelaratannya, Niken bersenandung sambil mengusap-ngusap perutnya di balik selimut. Malam semakin dingin. Beberapa minggu lagi salju mungkin akan benar-benar turun dan dia harus mencari tempat perlindungan agar tak mati membeku di luar.
Saat gadis itu hampir terlelap dan sudah tak ada lagi senandung dari bibirnya, tiba-tiba dia mendengar langkah-langkah kaki dan teriakan-teriakan seseorang tak jauh dari tempatnya berada. Niken segera beringsut dan menggelung tubuhnya. Dia bersembunyi di balik selimut. Dia tak bergerak sama sekali. Dia tak ingin diketahui keberadaannya oleh orang lain. Entah itu seorang pemabuk, pecandu, atau siapa pun mereka yang bisa berbuat jahat padanya.
Niken mendengar suara-suara pukulan dan rintihan kesakitan dari seseorang. Dia yakin lebih dari dua orang yang berada di sana. Gadis itu merasa tempatnya saat ini sudah tidak aman lagi. Diam-diam Niken bangun, melipat selimut, dan menjejalkannya ke dalam tas. Niken mencoba pergi dari sana dan menjauhi keributan itu.
Akan tetapi, Niken salah mengambil langkah. Bukannya dia menghindari keributan itu, tapi dia malah melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Dua orang pria memegangi seorang pria. Salah satu dari dua pria itu memegang belati di tangannya. Dia menusukkan belati tepat ke leher si pria yang mereka pegangi.
Niken memekik saking terkejutnya. Dia segera bersembunyi di balik tumpukan kardus-kardus bekas di belakang toko yang tutup itu.
“Bajingan, ada orang yang melihat perbuatan kita!” ujar salah satu pria sambil mencari keberadaan Niken.
Di antara desahan napas mereka yang saling memburu, Axel membisikkan sesuatu ke telinga Niken. “Menikahlah denganku, Niken. Jadilah istriku. Jadilah ibu dari putri dan calon anak-anak kita nanti. Menikahlah denganku, cintaku…” *** Beberapa bulan setelah malam tersebut. Seorang perempuan paruh baya tengah membersihkan meja restoran usai pelanggan terakhir pergi. Wajahnya tampak lelah. Tapi dia masih begitu semangat bekerja. Pintu terbuka. “Maaf kami sudah tutup!” ujar pekerja restoran tersebut tanpa menoleh dan tetap mengelap meja. Seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sangat cantik dan menggemaskan berjalan mendekatinya. Perempuan itu menghentikan aktivitasnya mengelap meja. Dia kaget sekaligus terpukau dengan kecantikan gadis itu. “Hai, Nak! Kau datang dengan orang tuamu?” Perempuan itu menoleh ke pintu dan tidak melihat siapa pun. Dia pun berlutut di depan balita itu untuk menyejajarkan posisinya. “Kau datang sendirian? Siapa namamu? Restoran kami sudah tutup. Apa k
Niken berhasil meloloskan diri dari pelukan Axel tanpa menjatuhkan harga dirinya. Dia mengembuskan napas lega usai mengusir pria itu. Tidak lagi terdengar suara Axel yang berteriak maupun mengetuk pintu. Niken kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan dan aktivitas merawat Angelie. Beberapa jam kemudian, Niken pun menuju ke pintu depan dan membukanya. Dia mengintip ke halaman dan tidak melihat Axel di mana pun. Ada rasa penyesalan sekaligus kehilangan di dalam hati kecilnya. Tapi Niken berusaha menepis semua kekhawatiran itu dan kembali fokus pada kehidupannya saat ini. Saat Niken akan menutup kembali pintu, sudut matanya menangkap sekelebat gerakan yang mengganggunya. Nikah pun keluar dan berjalan menuju ke halaman samping. Dia terkejut ketika melihat Axel tengah berbaring meringkuk di ayunan. “Astaga, apa yang sedang dia lakukan di sana? Benar-benar keras kepala. Kenapa dia tidak juga pergi dari sini?” Niken pun kembali kesal dan membanting pintu hingga menutup rapat. Niken p
Axel kembali ke rumah pantai dan berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci dan berteriak memanggil nama Niken. “Niken! Niken Di mana kau?” Axel tidak menemukan Niken di manapun. “Angelie? Ini papa!” Axel pun berlari menuju ke lantai dua. “Angelie? Kalian di mana? Niken?” Rumah itu benar-benar kosong. Axel tidak menemukan Niken dan putrinya di mana pun. Axel nekat pergi ke kamar Niken. Tempat itu juga kosong. Dia mencari ke ruangan yang lain dan melihat sebuah kamar bayi. Langkah Axel melambat begitu melihat banyak sekali perlengkapan bayi di sana. Axel berlutut di depan ranjang bayi. Dia mengambil salah satu sepatu rajut kecil milik putrinya dan menciumnya dengan air mata berderai. “Di mana kalian berada? Apa sesuatu yang buruk menimpa Angelie? Ke mana aku harus mencari kalian?” Axel tidak tahu lagi harus ke mana. Dia pun kembali keluar dan berdiri di halaman rumah dengan gelisah. Dia letakkan tas ranselnya ke tanah dan berdiri di sana sepert
Niken berjalan-jalan di sepanjang pantai bersama dengan putri kecilnya. Dia meletakkan Angelie di dalam stroller. Niken terus bercerita sambil menunjukkan banyak hal kepada Angelie. “Maafkan mama, Angelie. Saat seperti ini, aku benar-benar menyesal pada diriku sendiri karena tidak bisa memberikanmu seorang ayah yang bisa kau banggakan di hadapan teman-temanmu kelak.” Niken berlutut di depan stroller sambil menatap sepasang mata bening bayi itu. Angelie tersenyum ceria sambil sesekali memasukkan tangannya ke mulut. Niken mengulurkan telunjuknya untuk membelai pipi Angelie. Bayi kecil itu pun meraih jari Niken dan menggenggamnya erat. “Aku benar-benar merindukan Mama di saat seperti ini. Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sehat di sana? Betapa berat rasanya harus membesarkan seorang anak sendirian tanpa didukung oleh suami dan keluarga. Kini, aku tahu betapa marahnya Mama malam itu, ketika tahu aku sedang hamil. Aku bisa mengerti jika dia mengusirku dari rumah. Aku benar-benar la
Niken pulang ke rumahnya yang sepi dan gelap. Tempat pertama yang dia tujuh adalah bekas kamar Axel. Dia buka pintu kamar itu dengan pelan. Di dalam hati kecilnya, Niken berharap ada keajaiban. “Apa yang sedang aku lakukan di sini? Mustahil dia tiba-tiba muncul di sini, kan? Aku bahkan tidak tahu di mana dia saat ini. Setelah kutolak lamarannya, dia pergi begitu saja meninggalkan segalanya.” Niken akan menutup kembali pintu kamar Axel yang kosong. Lalu tatapannya terhenti pada potret Axel berukuran besar dan masih terpasang di dinding. Axel bertelanjang dada dan berpose dengan begitu memikat dalam foto itu. “Hanya foto itu satu-satunya yang masih tertinggal.” Niken mengingat betapa Axel sangat membanggakan foto itu. Saat itulah Niken benar-benar mulai merasakan kesepian. Dia menepis kenangan manis tentang Axel dan lekas menutup kembali pintu kamarnya. Niken pun bergegas menuju ke kamar Angelie. Gadis kecil itu satu-satunya pelipur kesepian Niken saat ini. *** Louis pergi ke pa
Enam bulan kemudian… “Kau tidak perlu membawakanku bunga dan mainan untuk Angelie setiap kali berkunjung ke sini, Louis.” Niken mempersilakan Louis masuk ke rumah pantai yang kini menjadi miliknya. Louis duduk di ruang tamu. Dia menatap ke arah stroller bayi tempat di mana Niken meletakkan Angelie yang sedang tidur lelap di sana. “Kau sepertinya suka bunga. Dan aku juga sama sekali tidak keberatan jika harus membelikan lebih banyak mainan untuk Angelie. Lihatlah dia tidur dengan sangat lelap. Gadis kecil ini tumbuh begitu cepat.” Niken membawakan minuman untuk Louis. “Maaf jika rumah ini berantakan. Karena aku benar-benar harus mengerjakan semuanya sendiri termasuk mengurus Angelie.” “Kau selalu menolak tawaranku untuk memberikan Angelie pengasuh.” “Tidak apa Louis. Aku tidak ingin kehilangan momen berharga menemani masa-masa pertumbuhan emas putriku.” “Oh, aku datang ke sini untuk mengabarkan padamu bahwa kami sudah memilih sutradara untuk film yang akan kita produksi.” “Ben