Niken berusaha melarikan diri secepat kakinya bisa melangkah.
“Aku tak ingin terlibat dengan masalah apa pun. Aku tak melihat mereka. Aku harus pergi dari sini.”
Niken terlalu kehilangan banyak energi hari itu karena terlalu sering mual dan muntah. Dia bahkan belum memakan roti dan air yang baru dia beli dari minimarket. Ketika dia pikir dirinya benar-benar menjauh dan menuju ke jalan raya untuk mencari pertolongan, tiba-tiba seorang pria sudah mengadangnya dengan belati teracung di tangan.
“Hai, gadis kecil!” ujar pria itu sambil membawa belati yang masih dilumuri darah. “Apa yang kau lakukan sendirian di sini malam-malam begini?”
Niken hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka memang berada di area yang gelap tanpa penerangan. Tapi, beberapa pantulan lampu dari kendaraan yang lewat cukup untuk Niken bisa melihat bahwa belati itu memang dilumuri darah.
Dia sangat ketakutan dan tidak tahu harus berkata apa. Saat ini hanya kejujuran yang bisa dia lakukan. Niken berharap kejujuran bisa menyelamatkan dirinya.
“Aku hanya seorang tunawisma,” ujar Niken lirih.
“Benarkah?” tanya pria itu dengan nada mencemooh. Dia terdengar sama sekali tak percaya dengan penjelasan Niken.
Niken begitu ketakutan. Dia takut jika mereka akan menculik atau melakukan hal buruk padanya.
“Apa kau melihat apa yang baru saja terjadi?” tanya pria itu sambil menoleh ke arah jenazah yang sudah terkulai tak jauh dari tempat Niken sebelumnya tidur di emperan.
Niken menggeleng dengan cepat. “Tidak! Aku tidak melihat apa pun. Aku sedang tidur dan tiba-tiba aku mendengar suara teriakan. Hanya itu saja. Aku tidak melihat apa pun. Aku bersumpah.”
Pria itu kembali menyeringai dan berkata, “Usaha yang sangat buruk. Sekarang aku juga harus membunuhmu karena aku yakin kamu sudah menyaksikan semuanya.” Pria itu mulai mengangkat belatinya yang dilumuri darah.
Niken menggeleng-geleng sambil mundur beberapa langkah. Dia memegangi perutnya dengan gemetar. “Aku mohon jangan bunuh aku. Kasihanilah bayiku.”
“Bayi?” ulang pria itu dengan kening yang mengernyit.
Niken terhenti dengan wajah pucat. “Tolong biarkan aku pergi. Aku tak melihat apa pun,” ujarnya dengan gemetar. “Aku saat ini sedang hamil dan aku ingin tetap selamat untuk kehidupan bayiku. Aku berjanji akan meninggalkan kota ini malam ini juga dan menganggap semuanya tak pernah terjadi.”
Pria itu memutar-mutar dan memainkan belatinya di tangan. “Berapa usiamu?” tanyanya.
Niken tak bisa berbohong. “Tujuh belas,” ujarnya.
Niken mengharapkan belas kasihan pria itu jika dia mengatakan bahwa usianya memang muda. Mungkin dia akan mengasihinya dan membiarkannya pergi.
“Bagaimana bisa seorang remaja mengaku hamil berkeliaran di pinggiran kota yang sepi di dekat hutan seperti ini? Kau pasti berbohong pada kami. Kau pasti pelacur yang suka menjajakan dirimu di daerah sekitar sini.”
Niken benar-benar menangis. Dia tak tahu lagi harus memberikan alasan apa saat ini. Dia hanya bisa mengatakan kebenaran. Dia mengusap air matanya dan berkata lirih.
“Ibuku mengusirku karena aku hamil. Aku hanya seorang gelandangan sekarang. Karena itu, Tuan, kumohon kasihanilah aku. Biarkan aku pergi!” rengek Niken.
Pria itu malah tertawa keras. “Bagus. Itu malah semakin memudahkan pekerjaanku. Tak akan ada yang mencarimu meski kau hilang atau pun mati sekalipun. Aku akan melemparkan tubuhmu ke hutan di sana. Sampai kau menjadi tulang, orang lain tak ada yang peduli. Sebaiknya aku akhiri kau malam ini juga.”
Pria itu mulai menyerang Niken menggunakan belatinya. Gadis itu mengelak tepat waktu dan berusaha kabur ke arah yang berbeda. Tapi seorang lagi sudah mengadangnya di belakang.
Pria kedua menyeringai. “Jika kau tak melihat apa pun, kenapa kau lari dari kami?” Ujar pria yang menghadang Niken dari belakang.
“Aku mohon pada kalian.” Kedua kaki Niken benar-benar lemas. Dia tak bisa berbuat apa-apa dan tak mungkin lari karena mereka pasti lebih cepat daripada larinya. Niken sampai tak mampu memegangi ransel kumalnya dan menjatuhkannya ke tanah.
“Sayangnya, kami bukan orang suci yang akan bisa membebaskanmu dengan mudah begitu saja. Kau telah melihat semuanya. Jika kami membiarkanmu lolos malam ini, suatu saat kau pasti akan menimbulkan masalah untuk kami.”
Pria yang di belakang Niken memegangi gadis itu dengan sangat kuat. Sedangkan pria satunya yang memegangi belati mencoba menusuk perut gadis itu.
Tepat pada saat itu, sesuatu melompat ke arah mereka dari kegelapan dan menghilang dengan cepat. Kedua pria itu waspada dan mencari belatinya yang terlempar. Terdengar suara geraman yang sangat menakutkan. Mereka semua berdiri kaku dan terheran-heran.
“Apa itu tadi?” ujar pria pembawa belati.
Rekannya segera mengamankan Niken. Dia membekap erat mulut Niken.
“Apakah itu polisi?” tanya si pria yang membawa belati. “Kita memang dekat dengan perkemahan, tapi untuk apa mereka datang ke sini dengan membawa anjing berburunya?”
Suara geraman itu semakin lama semakin mendekat dan semakin kasar. Niken yang mendengarnya pun merinding. Dia yakin itu bukan sekedar suara geraman seekor anjing melainkan makhluk yang lebih buas dan lebih menakutkan lagi.
“Apa yang harus kita lakukan dengan gadis ini?”
“Selesaikan gadis ini sekarang juga dan kita lari dari sini!” ujar si pria yang memegangi tangan Niken dengan erat dari belakang.
Si pria yang membawa belati kemudian mengayunkan belatinya ke arah leher Niken. Akan tetapi, sebelum belati itu menempel ke kulit Niken, sebuah serangan kembali datang dari arah belakang mereka. Serangan kali ini bukan sekadar untuk menakuti mereka, tapi benar-benar menyerang mereka.
Niken tak tahu apa yang terjadi. Semuanya begitu cepat seperti potongan-potongan film yang diputar mundur. Niken tertegun. Dia terduduk kaku di emperan toko yang dingin dengan sepasang mata membuka lebar.
Pria yang memegangi tangannya pun melepas Niken dengan gemetar. Dia mundur dan mencoba melarikan diri ketika melihat rekannya dikoyak oleh seekor serigala yang sangat besar berwarna gelap.
“Serigala? Bagaimana bisa seekor serigala sebesar ini ada di sini?”
Rekannya yang dicabik-capik oleh serigala itu berteriak kesakitan dan merintih meminta tolong. Tapi pria yang menyaksikan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terlalu takut. Bahkan dia melupakan Niken yang menjadi saksi atas kejahatan mereka.
Niken melihat bagaimana rahang serigala yang besar itu membuka lebar dan mengoyak leher si pria pembawa belati. Pada detik berikutnya, pria itu sudah tak bersuara dan tak bernapas lagi. Serigala itu melemparkan tubuh mangsanya yang sudah koyak dan berlumuran darah begitu saja. Tatapan serigala itu tajam dan liar. Kini dia beralih pada pria kedua yang berdiri tak jauh dari Niken.
Niken menggigil ketakutan begitu melihat sepasang mata serigala itu yang terlihat biru gelap dan begitu dingin. Mata pembunuh dimiliki oleh serigala itu. Rahangnya kuat, gigi-gigi tajam, dan berlelehan darah sear. Dia menggeram sambil berjalan mendekat ke arah Niken dan si pria di sampingnya. Sang serigala sempat menatap Niken sekilas lalu menoleh pada si pria.
Tepat saat pria kedua mencoba kabur, serigala itu sudah melompat menerjangnya.
Niken memekik ketakutan. Dia benar-benar menggigil dan mulai merangkak dari sana. “Setelah ini mungkin aku yang akan dimakan oleh serigala gila itu. Aku tidak ingin mati di tangannya. Aku harus lari dari sini.”
Sekuat mungkin Niken berlari setelah menyeret ransel kumalnya dan menyandangnya ke bahu. Di belakangnya, Niken masih mendengar suara teriakan-teriakan dan rintihan penjahat yang mencoba membunuhnya beberapa detik yang lalu.
Saat Niken berlari menuju ke jalan raya, dia sudah tak memikirkan apa-apa. Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil menyorot ke arahnya seiring dengung klakson yang panjang. Niken tertegun di tengah jalan. Mobil itu melaju sangat kencang ke arahnya tanpa bisa dikendalikan.
Niken tersentak sadar seolah-olah terbangun dari mimpi yang panjang ketika membuka mata. Niken merasakan tubuhnya sakit di semua bagian. Bahkan tangannya tak bisa bebas digerakkan. Niken melirik pada tangannya yang terasa berdenyut.“Di mana aku?” pikir Niken sambil berusaha duduk tegak.“Anda sudah bangun, Nona? Anda bisa mendengar suara saya?” Seorang perawat tiba-tiba mendekat dan memeriksa denyut nadi Niken serta pupil di kedua matanya.Niken merasa waspada dan ketakutan. Dia tepis tangan sang perawat dan beringsut menjauh. “Katakan di mana aku? Apa yang terjadi padaku? Dan serigala itu? Lalu bagaimana dengan dua pria di rest area?”Gambaran potongan-potongan kulit dan daging yang dikoyak serigala besar seketika membuat Niken mual. Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah kesakitan pria yang menodongkan belati padanya mati diterkam serigala.Sang perawat berusaha tenang saat mendengar pernyataan Niken yang melompat-lompat dan sangat tidak jelas. Sang perawat maklum dengan kondisi
Niken muak mendengar bisikan dan nada bicara pria asing yang tak dikenalnya itu. Dia juga muak pada tatapannya yang merendahkan dan melecehkan. Niken muak pada semua laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya.Tanpa sadar, Niken sudah mendorong pria itu hingga hampir terpelanting jatuh dari anak tangga. Stasiun bawah tanah dalam keadaan sepi. Niken panik. Dia hampir menjerit ketika menyadari perbuatannya bisa mengakibatkan pria itu cedera jika dia benar-benar jatuh dari tangga.Untungnya pria itu segera mengendalikan diri. Dia tak sampai menggelinding ke dasar tangga yang mungkin akan membuat tulangnya patah. Hanya biola pria itu yang terjatuh dan dia sangat marah. pria itu segera bangkit untuk mengambil biolanya dan menuju ke arah Niken yang masih mematung dengan wajah pucat.“Pelacur cilik sialan!” umpat pria itu. “Kau sudah merusak biolaku satu-satunya. Kau harus bertanggung jawab. Tak peduli apa pun yang terjadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu malam ini.”Sambil memegang biol
“Nona, ini aku!” tegur Axel yang sudah berdiri di ujung gang sambil memasang wajah khawatir.“Jauhi aku!” teriak Niken. “Jangan mendekat! Aku akan berteriak jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku. Aku tahu sejak awal bahwa kau tak benar-benar tulus menolongku. Tak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini.”Niken terengah-engah.“Itu kusadari setelah aku menjadi gelandangan,” pikir Niken kemudian.“Tunggu, Nona. Kau pasti salah paham padaku. Aku tak bermaksud menyakiti atau ingin mengambil keuntungan darimu. Tapi, ya, aku memang mengikutimu dengan satu alasan.”“Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak memiliki apa pun, Tuan. Aku bahkan tak memiliki sepeser pun uang untuk makan. Aku tak mampu. Aku tak memiliki apa-apa. Jika yang kau inginkan adalah tubuhku, kupastikan sebelum membuat keputusan itu, kau akan menyesal.”Suara Niken bergetar lirih. Dia benar-benar ketakutan. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tak tumpah. Niken sampai harus berpegangan ke dinding di antara du
Niken tak punya pilihan dan dia menerima ajakan Axel untuk makan malam. Mereka duduk berhadapan di salah satu bangku dengan pemandangan sungai yang indah di malam hari. Niken merasa sedikit aman karena tak sendirian. Ada beberapa orang lain lagi yang juga duduk menikmati pemandangan sungai di malam hari.Sudut mata Niken terus waspada memperhatikan sekitar. Dia mendapati dua pria berpakaian serba hitam yang sebelumnya membuat Niken pingsan karena ketakutan. Mereka berdiri tak jauh dari tempat Axel berada.“Siapa mereka?” tanya Niken. “Tukang pukulmu?”“Mereka hanya asistenku,” ujar Axel dengan tenang. Dia buka kantung makanan dan menyerahkan roti lapis kepada Niken. “Maaf jika mereka membuatmu ketakutan sebelumnya.”Niken menggeretakkan rahang. Dia masih mengingat jelas bagaimana dua pria menodongkan belati padanya di rest area karena menyaksikan sebuah pembunuhan. Saat ini, kedua asisten Axel juga mengingatkan Niken pada kedua penjahat itu.“Kau tak bisa menipuku, Tuan Marais. Kataka
“Apa?” teriak Niken dengan sangat terkejut. Dia ingin memastikan bahwa apa yang dia dengar tidak salah.Axel masih duduk nyaman di bangkunya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain sambil bersandar dengan penuh percaya diri.“Kou bisa tinggal denganku.” Axel berkata dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.“Apa kau gila?”Niken menelan ludah dan menatap tak percaya pada Axel.“Bagaimana dia bisa berkata mengajak orang asing tinggal serumah dengan begitu santainya?” pikir Niken.“Apa kau sebenarnya menginginkan sesuatu dariku? Aku yakin tuntutan untuk membayar utang itu hanya alasan untuk meminta sesuatu yang lebih dariku. Apa sebenarnya tujuanmu?”Niken benar-benar ketakutan. Dia tidak siap mendengar pengakuan pria kaya di hadapannya. Niken tidak ingin terlibat dengan siapa pun saat ini, apalagi orang yang berpengaruh.“Aku bisa hidup di jalanan dan bertahan untuk diriku sendiri dan calon bayi di dalam perutku. Aku bisa bekerja apa saja; menyanyi, bermain musik, atau apa pun
“Carlos, biarkan dia pergi.”Axel memerintahkan kedua anak buahnya untuk menyingkir dan membiarkan Niken pergi. Niken yang sudah siap untuk melawan akhirnya hanya berjalan tenang meninggalkan Axel. Sebelum pergi, Niken sempat menoleh pada Axel dan mengangguk untuk memberikan ucapan terima.“Ranty, tunggu!” sergah Axel. Dia terlihat sangat berat hati membiarkan Niken pergi malam itu. “Aku mohon pertimbangkanlah lagi tawaranku. Simpanlah kartu namaku jika suatu saat kau berubah pikiran atau membutuhkan bantuan. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan pun kau membutuhkannya.”“Yah, aku pasti akan menghubungimu ketika uangku sudah cukup untuk melunasi utang-utang itu, pasti.”Axel terlihat muram memandangi punggung Niken yang berjalan menjauh. Kedua pengawalnya berdiri di dekat Axel dan menggumamkan sesuatu.“Perlukah kami mengawasi gadis itu seperti sebelum-sebelumnya, Bos?”“Tidak. Malam ini biarkan dia sendirian. Aku khawatir dia akan curiga dan semakin tidak percaya jika tahu kalian ter
“Keluar dari sini dasar gelandangan sialan!” teriak petugas kereta di stasiun berikutnya.Pria itu mendorong Niken keluar dari kereta karena dia tak mampu menunjukkan tiket juga tak mampu membayar ongkos perjalanan.Niken berjalan menjauh dengan tubuh gemetar hebat. Dia peluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua lengan ke dada. Niken menundukkan kepala untuk menghindari tatapan sinis dan mencemooh orang-orang yang ada di stasiun.“Aku masih beruntung karena mereka tidak membawaku ke kantor polisi. Jika sampai itu terjadi mungkin aku akan dijebloskan ke penjara atau dikirim ke dinas sosial. Maka, mereka akan tahu jika aku seorang remaja yang hamil dan tak memiliki rumah.”Niken berdiri di belakang tiang besar penyangga peron bawah tanah. Dia bersandar pada tiang itu dan tubuhnya melorot ke lantai. Niken berjongkok sambil memeluk kedua lututnya. Dia benar-benar menangis sesenggukan seperti orang gila.“Apa yang har
Niken benar-benar berhenti. Tubuhnya membeku dan tak bergerak sama sekali. Sedang satu kakinya sudah menapak ke pijakan bus. “Nona, tunggu!” tegur sang petugas. Niken tak berani berbalik atau menoleh. Petugas itu berjalan mendekat ke arahnya dan membungkuk untuk memungut sesuatu di belakang Niken. Dia serahkan benda itu pada Niken. “Ini tanda pengenalmu terjatuh. Kau harus lebih berhati-hati. Tanpa tanda pengenal ini, kau tak akan bisa mengikuti seminar Dokter Axel Marais hari ini.” “Beruntung!” pikir Niken. Niken menundukkan wajah sambil menerima tanda pengenal itu dari sang petugas. Dia mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar menaiki bus dan membaur di antara para mahasiswa yang lain. Niken meremas tanda pengenal itu dan cepat-cepat menyelipkannya di kantong celana. “Maafkan aku,” pikir Niken. “Siapa pun di antara kalian yang kehilangan tanda pengenal ini, aku terpaksa meminjamnya. Aku benar-benar membutuhkannya agar bisa masuk dan bertemu dengan Axel hari ini.” Niken m