Share

5. Serangan Seekor Serigala

Niken berusaha melarikan diri secepat kakinya bisa melangkah.

“Aku tak ingin terlibat dengan masalah apa pun. Aku tak melihat mereka. Aku harus pergi dari sini.”

Niken terlalu kehilangan banyak energi hari itu karena terlalu sering mual dan muntah. Dia bahkan belum memakan roti dan air yang baru dia beli dari minimarket. Ketika dia pikir dirinya benar-benar menjauh dan menuju ke jalan raya untuk mencari pertolongan, tiba-tiba seorang pria sudah mengadangnya dengan belati teracung di tangan.

“Hai, gadis kecil!” ujar pria itu sambil membawa belati yang masih dilumuri darah. “Apa yang kau lakukan sendirian di sini malam-malam begini?”

Niken hanya bisa menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. Mereka memang berada di area yang gelap tanpa penerangan. Tapi, beberapa pantulan lampu dari kendaraan yang lewat cukup untuk Niken bisa melihat bahwa belati itu memang dilumuri darah.

Dia sangat ketakutan dan tidak tahu harus berkata apa. Saat ini hanya kejujuran yang bisa dia lakukan. Niken berharap kejujuran bisa menyelamatkan dirinya.

“Aku hanya seorang tunawisma,” ujar Niken lirih.

“Benarkah?” tanya pria itu dengan nada mencemooh. Dia terdengar sama sekali tak percaya dengan penjelasan Niken.

Niken begitu ketakutan. Dia takut jika mereka akan menculik atau melakukan hal buruk padanya.

“Apa kau melihat apa yang baru saja terjadi?” tanya pria itu sambil menoleh ke arah jenazah yang sudah terkulai tak jauh dari tempat Niken sebelumnya tidur di emperan.

Niken menggeleng dengan cepat. “Tidak! Aku tidak melihat apa pun. Aku sedang tidur dan tiba-tiba aku mendengar suara teriakan. Hanya itu saja. Aku tidak melihat apa pun. Aku bersumpah.”

Pria itu kembali menyeringai dan berkata, “Usaha yang sangat buruk. Sekarang aku juga harus membunuhmu karena aku yakin kamu sudah menyaksikan semuanya.” Pria itu mulai mengangkat belatinya yang dilumuri darah.

Niken menggeleng-geleng sambil mundur beberapa langkah. Dia memegangi perutnya dengan gemetar. “Aku mohon jangan bunuh aku. Kasihanilah bayiku.”

“Bayi?” ulang pria itu dengan kening yang mengernyit.

Niken terhenti dengan wajah pucat. “Tolong biarkan aku pergi. Aku tak melihat apa pun,” ujarnya dengan gemetar. “Aku saat ini sedang hamil dan aku ingin tetap selamat untuk kehidupan bayiku. Aku berjanji akan meninggalkan kota ini malam ini juga dan menganggap semuanya tak pernah terjadi.”

Pria itu memutar-mutar dan memainkan belatinya di tangan. “Berapa usiamu?” tanyanya.

Niken tak bisa berbohong. “Tujuh belas,” ujarnya.

Niken mengharapkan belas kasihan pria itu jika dia mengatakan bahwa usianya memang muda. Mungkin dia akan mengasihinya dan membiarkannya pergi.

“Bagaimana bisa seorang remaja mengaku hamil berkeliaran di pinggiran kota yang sepi di dekat hutan seperti ini? Kau pasti berbohong pada kami. Kau pasti pelacur yang suka menjajakan dirimu di daerah sekitar sini.”

Niken benar-benar menangis. Dia tak tahu lagi harus memberikan alasan apa saat ini. Dia hanya bisa mengatakan kebenaran. Dia mengusap air matanya dan berkata lirih.

“Ibuku mengusirku karena aku hamil. Aku hanya seorang gelandangan sekarang. Karena itu, Tuan, kumohon kasihanilah aku. Biarkan aku pergi!” rengek Niken.

Pria itu malah tertawa keras. “Bagus. Itu malah semakin memudahkan pekerjaanku. Tak akan ada yang mencarimu meski kau hilang atau pun mati sekalipun. Aku akan melemparkan tubuhmu ke hutan di sana. Sampai kau menjadi tulang, orang lain tak ada yang peduli. Sebaiknya aku akhiri kau malam ini juga.”

Pria itu mulai menyerang Niken menggunakan belatinya. Gadis itu mengelak tepat waktu dan berusaha kabur ke arah yang berbeda. Tapi seorang lagi sudah mengadangnya di belakang.

Pria kedua menyeringai. “Jika kau tak melihat apa pun, kenapa kau lari dari kami?” Ujar pria yang menghadang Niken dari belakang.

“Aku mohon pada kalian.” Kedua kaki Niken benar-benar lemas. Dia tak bisa berbuat apa-apa dan tak mungkin lari karena mereka pasti lebih cepat daripada larinya. Niken sampai tak mampu memegangi ransel kumalnya dan menjatuhkannya ke tanah.

“Sayangnya, kami bukan orang suci yang akan bisa membebaskanmu dengan mudah begitu saja. Kau telah melihat semuanya. Jika kami membiarkanmu lolos malam ini, suatu saat kau pasti akan menimbulkan masalah untuk kami.”

Pria yang di belakang Niken memegangi gadis itu dengan sangat kuat. Sedangkan pria satunya yang memegangi belati mencoba menusuk perut gadis itu.

Tepat pada saat itu, sesuatu melompat ke arah mereka dari kegelapan dan menghilang dengan cepat. Kedua pria itu waspada dan mencari belatinya yang terlempar. Terdengar suara geraman yang sangat menakutkan. Mereka semua berdiri kaku dan terheran-heran.

“Apa itu tadi?” ujar pria pembawa belati.

Rekannya segera mengamankan Niken. Dia membekap erat mulut Niken.

“Apakah itu polisi?” tanya si pria yang membawa belati. “Kita memang dekat dengan perkemahan, tapi untuk apa mereka datang ke sini dengan membawa anjing berburunya?”

Suara geraman itu semakin lama semakin mendekat dan semakin kasar. Niken yang mendengarnya pun merinding. Dia yakin itu bukan sekedar suara geraman seekor anjing melainkan makhluk yang lebih buas dan lebih menakutkan lagi.

“Apa yang harus kita lakukan dengan gadis ini?”

“Selesaikan gadis ini sekarang juga dan kita lari dari sini!” ujar si pria yang memegangi tangan Niken dengan erat dari belakang.

Si pria yang membawa belati kemudian mengayunkan belatinya ke arah leher Niken. Akan tetapi, sebelum belati itu menempel ke kulit Niken, sebuah serangan kembali datang dari arah belakang mereka. Serangan kali ini bukan sekadar untuk menakuti mereka, tapi benar-benar menyerang mereka.

Niken tak tahu apa yang terjadi. Semuanya begitu cepat seperti potongan-potongan film yang diputar mundur. Niken tertegun. Dia terduduk kaku di emperan toko yang dingin dengan sepasang mata membuka lebar.

Pria yang memegangi tangannya pun melepas Niken dengan gemetar. Dia mundur dan mencoba melarikan diri ketika melihat rekannya dikoyak oleh seekor serigala yang sangat besar berwarna gelap.

“Serigala? Bagaimana bisa seekor serigala sebesar ini ada di sini?”

Rekannya yang dicabik-capik oleh serigala itu berteriak kesakitan dan merintih meminta tolong. Tapi pria yang menyaksikan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terlalu takut. Bahkan dia melupakan Niken yang menjadi saksi atas kejahatan mereka.

Niken melihat bagaimana rahang serigala yang besar itu membuka lebar dan mengoyak leher si pria pembawa belati. Pada detik berikutnya, pria itu sudah tak bersuara dan tak bernapas lagi. Serigala itu melemparkan tubuh mangsanya yang sudah koyak dan berlumuran darah begitu saja. Tatapan serigala itu tajam dan liar. Kini dia beralih pada pria kedua yang berdiri tak jauh dari Niken.

Niken menggigil ketakutan begitu melihat sepasang mata serigala itu yang terlihat biru gelap dan begitu dingin. Mata pembunuh dimiliki oleh serigala itu. Rahangnya kuat, gigi-gigi tajam, dan berlelehan darah sear. Dia menggeram sambil berjalan mendekat ke arah Niken dan si pria di sampingnya. Sang serigala sempat menatap Niken sekilas lalu menoleh pada si pria.

Tepat saat pria kedua mencoba kabur, serigala itu sudah melompat menerjangnya.

Niken memekik ketakutan. Dia benar-benar menggigil dan mulai merangkak dari sana. “Setelah ini mungkin aku yang akan dimakan oleh serigala gila itu. Aku tidak ingin mati di tangannya. Aku harus lari dari sini.”

Sekuat mungkin Niken berlari setelah menyeret ransel kumalnya dan menyandangnya ke bahu. Di belakangnya, Niken masih mendengar suara teriakan-teriakan dan rintihan penjahat yang mencoba membunuhnya beberapa detik yang lalu.

Saat Niken berlari menuju ke jalan raya, dia sudah tak memikirkan apa-apa. Tiba-tiba sebuah cahaya lampu mobil menyorot ke arahnya seiring dengung klakson yang panjang. Niken tertegun di tengah jalan. Mobil itu melaju sangat kencang ke arahnya tanpa bisa dikendalikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status