Pintu penthouse terbuka dengan suara desis pelan. Lex masuk dengan langkah cepat, diiringi Fabian, yang tampak ragu tapi tetap membukakan jalan.“Terima kasih, Fab,” ucap Lex singkat.Fabian mengangguk sopan. “Saya akan menunggu di bawah, kalau Tuan Dante membutuhkan sesuatu,”Begitu pintu tertutup kembali, Lex menatap ruangan luas yang suasananya suram dan kacau. Botol-botol anggur mahal berserakan di meja marmer. Satu di antaranya bahkan pecah, meneteskan sisa merah ke lantai seperti darah. Tirai tak ditutup. Lampu tidak dinyalakan. Dan di tengah semua kekacauan itu, Dante Hudson terduduk di lantai dekat jendela, bersandar dengan kepala miring dan sebotol lagi di genggamannya.“Dante,
Langkah kaki terdengar tergesa dari ujung lorong. Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu mahal muncul terlebih dahulu, diikuti seorang wanita dengan riasan yang mulai luntur karena tangis—Gerard dan Eva Stewart.Mereka nyaris menerobos ruang UGD, namun terhenti begitu melihat Dante Hudson masih terduduk di lantai, bajunya penuh darah Lila. Wajah pria itu pucat dan kosong.“Apa yang terjadi?” tanya Gerard.Dante mengangkat wajahnya perlahan, tatapannya masih kosong. “Dia menyayat nadinya. Di depan mataku,”Eva terisak. “Ya Tuhan…” Tangannya menutup mulut, tubuhnya limbung dan langsung bersandar di dinding.Gerard menghampiri Dante. “Kenapa? Kenapa Lila melakukan itu?!”Dante tidak menjawab langsung. Pandangannya hanya tertuju pada darah di kedua telapak tangannya.“Aku sudah bilang pada Lila kalau tidak bisa… dan tidak akan pernah bisa membalas perasaannya,” jawab Dante, gamang.Gerard mendengus pelan. “Dan kau mengatakannya begitu saja?! Tanpa memikirkan dampaknya?!” pekiknya.Eva
Pagi itu langit kota masih kelabu, dan hujan belum benar-benar reda sejak semalam. Tapi Dante Hudson tetap datang, mengenakan mantel panjang hitam menuju sebuah gedung kaca tempat kantor magang Lila berada.Di lobi, resepsionis langsung mengenalinya. Tak butuh waktu lama sebelum Lila keluar dari lift, mengenakan blazer putih dan celana bahan abu-abu. Rambutnya diikat rapi, wajahnya nyaris tanpa ekspresi.Mata mereka bertemu.Lila menghela napas. “Kau datang juga,”“Bisa bicara sebentar?” tanya Dante.“Di luar saja,” jawab Lila pelan. “Aku tidak ingin rekan-rekanku berpikir macam-macam,”Mereka berjalan ke arah taman kecil di samping gedung. Pepohonan basah, udara dingin menusuk. Dante memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel.“Kenapa kau menemuiku?” tanya Lila akhirnya, memandang ke kejauhan.Dante menatap punggungnya. “Karena kita butuh kejelasan,”Lila tertawa kecil, pahit. “Kejelasan? Bukankah kau sudah membuatnya semalam, saat kau tidak mengatakan apa-apa?”Dante mendekat s
Percakapan makan malam dimulai dengan basa-basi tentang politik luar negeri, pergerakan saham, isu lembaga keuangan. Valeria dan Tuan Stewart bergantian memuji masa depan kerja sama strategis antara dua keluarga, sesekali melirik ke arah Lila dan Dante. Seolah mereka sudah pasangan resmi yang tinggal menunggu tanggal pernikahan.Namun bagi Dante, semuanya terdengar seperti dengungan kosong. Matanya hanya fokus pada satu hal, sosok Lila. Wanita itu senyap, elegan, dan terlindung oleh dinding kaca yang tak bisa dia tembus.Suasana makan malam terus bergulir dalam ketegangan. Sendok dan garpu beradu pelan, pelayan mengganti gelas anggur tanpa suara, dan obrolan sopan masih bergulir. Tapi Dante tidak lagi mendengarkan. Tatapannya menajam ke arah Valeria, lalu ke arah Lila yang terus menghindari kontak mata.Dengan gerakan perlahan namun pasti, Dante meletakkan serbet di atas piringnya dan mulai bangkit dari kursi. “Maafkan saya, tapi ada satu hal yang perlu saya sampaikan malam ini,” uca
Belle duduk lebih dulu, mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans. Wajahnya tampak lelah. Tangannya menggenggam gelas berisi lemon tea, yang nyaris tak tersentuh.Lila datang beberapa menit kemudian, tepat waktu, tanpa senyum. Gaun kerja abu-abu yang membalut tubuh rampingnya terlihat elegan, rambutnya digerai rapi. Dan matanya yang dulu selalu hangat saat menatap Belle, kini terasa seperti kaca yang membeku.Dia duduk tanpa basa-basi, meletakkan clutch-nya di meja, lalu bersandar tanpa menyapa. Belle menatapnya dalam diam beberapa saat, mencoba menemukan sisa persahabatan di wajah itu. “Terima kasih sudah datang,” ucap Belle pelan.Lila hanya mengangguk kecil. “Langsung saja. Aku tahu kau tidak mengundangku untuk sekedar ngobrol,”Belle menghela napas, menyusun kata yang telah dia pikirkan sepanjang malam. “Aku cuma ingin tahu... kenapa, Lila?”Lila diam. Menyilangkan kaki.“Kenapa kau tega melakukan ini padaku?” suara Belle nyaris pecah. “Kau tahu aku mencintainya. Kau ta
Belle terbangun perlahan. Kelopak matanya mengerjap pelan, lalu terbuka sepenuhnya saat dia merasakan lengan kuat yang melingkari pinggangnya erat, seolah melindungi.Dia tetap diam beberapa detik, tak ingin bergerak. Tidak ingin membuyarkan momen yang terasa terlalu langka, terlalu damai. Dante masih tertidur, napasnya dalam dan teratur. Dagu dan rahangnya menyentuh sisi belakang kepala Belle, dan dada Dante naik turun perlahan, menyelaraskan napas mereka.Belle memejamkan mata sesaat lagi, membiarkan jantungnya menikmati ketenangan ini. Dunia luar, gala semalam, nama Lila, Valeria—semua terasa jauh. Di detik itu, hanya ada dia dan Dante.Lalu perlahan, tangan besar Dante mengencang sedikit di pinggang Belle. “Kau sudah bangun?”Belle hanya mengangguk kecil. “Mm-hm,”Dante menarik tubuh Belle lebih dekat, menempelkan keningnya ke bahu Belle. “Kalau mimpi semalam buruk, maka aku bersyukur bangun dan mendapati kau masih di sini,”Belle tersenyum pelan. “Kau bicara seperti anak kecil,”