Sore mulai merambat ke langit kota saat Eddie menyelesaikan kunjungannya ke salah satu rumah sakit utama milik keluarganya. Ia baru saja menutup pertemuan dengan tim manajemen dan melakukan inspeksi kilat ke ruang rawat baru yang baru saja direnovasi. Wajahnya lelah, tapi tetap menunjukkan ketenangan khas Edward Kingsley. CEO muda yang kini semakin disukai karena kedekatannya dengan semua kalangan, dari direktur hingga pasien.Di sisi lain lorong, sekretarisnya yang rajin, Arlene, menyodorkan tablet digital sambil berjalan cepat di sebelahnya. Membaca jadwal hari esok. “Pukul sembilan pagi Bapak akan bertemu dengan tim keuangan, lalu lanjut presentasi dengan vendor alat medis, dan siangnya—”“Kirimkan semua ke emailku. Aku akan pelajari malam ini,” sela Eddie, lantas tersenyum kecil.Arlene mengangguk, “Baik, Pak Edward.”Eddie menoleh ke arah pintu utama rumah sakit, dan pandangannya terpaku pada sosok perempuan di kejauhan yang berdiri canggung dekat lobi. Clara Zheng. Masih mengen
Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk dari jendela lebar penthouse milik Dante Hudson. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, bercampur dengan wangi lavender dari diffuser yang menyala di pojok ruangan. Di meja makan yang terletak tak jauh dari dapur terbuka, Dante dan Belle duduk berhadapan. Menikmati sarapan dalam suasana kehidupan pernikahan yang tenang—seandainya Dante bukan pria yang secara naluriah selalu siap memerintah dunia.“Kopi ini terlalu manis,” gumam Dante.“Dan kau tetap meminumnya,” balas Belle sambil menyuapkan sepotong croissant ke mulut.Dante tersenyum tipis, sorot matanya melembut menatap istrinya. Perut Belle masih belum terlihat besar, tapi baginya, Belle kini bagaikan sesuatu yang rapuh namun paling berharga di seluruh dunia.“Aku akan bertemu Lila siang ini,” ucap Belle setelah menelan suapannya. “Dia minta kita makan siang bersama di kafe langganan.”Dante hanya diam sebentar, menatap Belle lekat-lekat. “Baik. Nanti Lydia akan menemanimu.”Belle men
Kepulangan Edward “Eddie” Kingsley ke kota bukanlah peristiwa mengejutkan dengan konferensi pers atau pesta penyambutan para elite. Tidak ada yang menyambutnya di bandara pribadi milik keluarga, tidak juga mobil limosin panjang yang biasa digunakan ayahnya, Charles Kingsley, dalam setiap acara formal. Eddie kembali dengan mobil biasa, mengenakan setelan semi kasual dan membawa hanya satu koper. Namun kehadirannya tetap menjadi pusat perhatian.Beberapa tahun terakhir, Eddie dikenal sebagai pewaris keluarga Kingsley yang lebih memilih melarikan diri ke desa. Ia membantu mengelola restoran kecil milik keluarga Belle, menjalani hidup yang jauh dari standar kemewahan dan ekspektasi yang selalu membayanginya sejak kecil. Banyak yang mengira ia menyerah. Banyak pula yang menganggapnya terlalu lembut untuk mewarisi kerajaan rumah sakit Kingsley.Tapi hari-hari itu telah berlalu.Kini Eddie berdiri di lobi utama salah satu cabang rumah sakit Kingsley dengan postur tenang dan kepala tegak. Buk
Mobil hitam mewah itu melaju dengan tenang di jalur khusus yang menghubungkan area landasan privat ke pusat kota. Jendela samping memberikan pemandangan gedung-gedung pencakar langit Hudson Group yang berdiri megah dalam senyap, seolah menyambut sang pewaris pulang.Di kursi belakang, Dante duduk dengan santai, satu tangannya menggenggam jemari Belle. Sementara Belle bersandar ringan di pundaknya, menikmati ketenangan.Di kursi depan, Fabio mengaktifkan fitur interkom dalam mobil.“Tuan Hudson,” panggil Fabio. Suaranya terdengar jernih dari speaker. “Lawrie baru saja menghubungi saya. Nyonya Valeria meminta Anda dan Nyonya Belle untuk tinggal di mansion Hudson.”Seketika atmosfer di dalam mobil berubah. Belle menoleh pelan ke arah Dante, sementara Dante sendiri tak langsung menjawab. Ia menatap ke luar jendela, sejenak diam, lalu menoleh pada Belle. Mata abu-abunya menelusuri ekspresi istrinya—mencari reaksi apa pun.Namun Belle hanya mengangkat bahu kecil, dan tersenyum tipis. “Aku t
Pagi itu, langit di atas pulau pribadi milik keluarga Hudson berwarna biru pucat. Cahaya matahari menyelinap malu-malu melalui tirai linen putih yang berkibar lembut diterpa angin laut. Di dalam vila, Belle masih terlelap di ranjang king-size, satu tangan menyentuh perutnya yang masih rata. Seakan hendak merasakan kehidupan kecil yang belum lama ia sadari sedang tumbuh di dalam dirinya.Dante sudah bangun lebih dulu. Ia berdiri di balkon, tubuh kekarnya diterpa angin pagi. Matanya menatap laut lepas dengan wajah penuh pertimbangan. Ada kegelisahan yang belum sempat ia uraikan, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, Dante merasa dirinya tidak benar-benar siap.Ia telah kehilangan banyak hal di masa lalu. Dan kini, saat hidupnya mulai tertata, Belle hadir membawa sesuatu. Ia membawa kehidupan. Seorang anak, darah daging mereka.Ketika Belle perlahan terbangun dan menemukan ranjang di sebelahnya kosong, ia bangkit. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut, lalu berjalan menuju balkon.Dante m
Langkah Belle terasa berat saat ia keluar dari kamar mandi. Sisa mual masih menggelayut di tenggorokan, meski rasa ingin muntah telah mereda. Aroma lavender dari handuk kecil yang ia gunakan untuk membasuh wajah tak cukup mengusir perasaan aneh di dalam tubuh. Ia berjalan gontai di lorong panjang yang hening menuju ruang makan.Kapan terakhir aku datang bulan?Belle menggigit bibir bawahnya. Matanya membelalak pelan saat kesadaran muncul. Sudah lebih dari sebulan? Bahkan hampir dua? Tapi ia terlalu sibuk dengan urusan pernikahan, perpindahan, dan segala transisi hidup yang menguras emosi—hingga tak sadar siklus tubuhnya ikut berubah.Saat ia kembali memasuki ruang makan, Dante langsung berdiri.“Are you alright?” tanyanya lembut.Belle mengangguk kecil. “Hanya mual sedikit. Mungkin karena rempah makanannya terlalu kuat.”Sebelum Dante sempat menanggapi, seorang pelayan menghampiri mereka dengan langkah hati-hati, lalu membungkuk sopan.“Nyonya, ini... titipan dari Nyonya Cassandra.”P