Share

Bab 4 Pesan Asing

Kutemukan lagi alat kontrasepsi bekas pakai. Meski merasa jijik, aku terpaksa memungutnya untuk dibuang ke tong sampah.

Seketika kepala ini terasa pusing sekali. Entah lelah karena pekerjaan yang menumpuk tadi di kantor, atau karena memikirkan apa yang baru saja kutemukan.

Dada ini terasa terus menghimpit membuat ruang oksigen di paru semakin sempit. Usai mandi, tubuh penat menjadi segeran. Kujatuhkan bobot tubuh di sofa bed depan televisi ruang tengah. Bersantai sambil menunggu Hans pulang.

Meski kedua mata tertuju ke layar kaca, tetapi pikiranku tak sama. Melayang dan menimbang apa yang harus kulakukan kepada Hans? Mengintrogasinya? Langsung menyerangnya? Apa selidiki diam-diam?Kuteringat akan cctv yang terpasang di depan rumah dan juga di ruangan ini. Lekas beranjak menuju ruang dimana aku dapat mengecek segala aktifitas yang terekam.

Kuperiksa secara teliti. Perlahan tapi pasti. Kutonton apa yang tengah diputar di layar monitor PC. Hasilnya tidak ada orang lain yang masuk ke rumah ini. Apa Hans melakukannya sendiri? Akan tetapi, kenapa harus memakai alat kontrasepsi segala? Akhir-akhir ini dia memang jarang meminta. Padahal meski sibuk, aku selalu siap sedia untuk urusan yang satu itu.

Sudahlah, nanti akan ku pikirkan lagi dengan kepala dingin. Takutnya kecurigaanku berlebihan. Sudah cukup malu aku waktu tempo itu. Gara-gara si Li Chen sampai kujambak rambut adik iparku sendiri.

Bergulat selama satu jam di depan monitor cctv tanpa gerak sedikit pun, membuat pundakku terasa berat. Kurasa sudah cukup dengan tidak adanya wanita lain, kecuali Meti dan Dea yang terekam. Hal itu membuktikan kalau suamiku memang setia. Sebaiknya aku jangan pernah meragu lagi.

Aku kembali duduk di ruang tengah.

“Met, Meti, Meti ….” Aku sampai tiga kali memanggil. Barulah asisten rumah tanggaku keluar dari kamarnya.

“Iya, Nyonya,” sahutnya seraya menghampiri pelan.

“Lha, Met. Kok, kamu jalannya ngangkang begitu?" tegurku, baru menyadari keadaan Meti seperti dia kurang sehat.

“Iya, Nyonya. Selangkangan saya sedang lecet.”

“Lecet kenapa?” Aku penasaran.

“Anu Nyonya. Hehe …,” kekehnya salah tingkah.

“Eh, malah cekikikan. Sebenarnya kamu kenapa?" desakku.

“Begini, Nyak. Kemarin-kemarin saya memakai celana dalam baru yang berenda brokat kayak milik Nyonya. Tapi punya saya ternyata kekecilan dan kualitas bahannya murah. Nah, bekas pemakain itu, selangkangan jadi gatal-gatal. Terus tidak sengaja saya menggaruk keras sampai akhirnya lecet juga perih,” terang Meti panjang.

“Oh, pantas saja jalannya sampai ngangkang gitu.”

Ada-ada saja kelakuan asisten rumah tanggaku ini. Padahal kalau mau celana dalam seperti milikku, aku bisa saja membelikannya.

“Oya, Nyonya ada apa memanggil saya?”

“Tolong pijitin dong. Ini pundakku terasa berat dan pegal-pegal banget.”

“Baik Nyonya," sigapnya.

Setelah cuci tangan sesuai intruksi, Meti mulai menggerakkan jari-jarinya. Tidak terlalu kuat, tetapi lumayan buat aku ketagihan untuk selalu dipijat jika sedang pegal-pegal.

“Met, kamu sekarang udah punya pacar?” tanyaku iseng, tetapi kepo.

“Kok, Nyonya tahu?” Meti terdengar sedikit terkejut.

“Jadi bener, kamu sudah punya pacar?” Aku menodongkan pertanyaan yang sama.

“Hehe, iya Nya," aku Meti malu-malu.

“Aku suka liat status-stausmu, loh.”

“Oh, benarkah? Duh jadi malu, Nya.”

Diam-diam aku memang suka pantau aktifitas media sosialnya Meti. Kalau ada yang aneh atau tiba-tiba terjadi, sebagai majikan kan ikut repot.

“Punya pacar, boleh. Tapi ingat, harus tahu batasan.” Aku menekankan point ini.

“Baik, Nya.”

“Emangnya pacar kamu siapa, Met?” tanyaku masih berlanjut.

“Eum, kapan-kapan deh Nya, saya kasih tahunya.”

“Lho, kenapa?”

“Soalnya takut putus.”

“Kamu ini! Tidak mungkin saya suruh kamu putus begitu saja tanpa alasan.”

Di tengah-tengah asyik mengobrol dengan Meti, akhirnya pulanglah Hans.

“Hello, Ayang. Sudah pulang?" sapanya.

“Iya, Mas.”

“Kenapa dipijitin? Kamu sakit?” tanya Hans sedikit cemas.

“Enggak. Cuma pegal-pegal.”

“Met, sudah cukup. Gih, ke belakang taroh ini!” titah Hans seraya mengulurkan sekantong belanjaan.

“Baik, Tuan.”

Meti pun berlalu. Sekarang Hans mengambil alih pijatannya.

“Pijatanmu memang yang terbaik, Mas,” pujiku untuk menghargai setiap perhatiannya.

“Pastinya dong, Ayang. Kamu kalau kerja jangan diporsir. Aku tidak mau kalau kamu jatuh sakit.”

“Enggak, Mas. Aku hanya kebanyakan duduk saja, jadi pegel.”

“Bener lho, ya!”

“Iya, Mas. Oya, si Meti sekarang sudah punya pacar. Tapi, enggak mau kasih tahu pacarnya itu siapa.”

“Palingan si Hendra," terka Hans santai.

“Hendra anak Bu Laras?” Aku terkejut.

“Iya, siapa lagi. Aku pernah pergoki dua kali mereka lagi mengobrol di ujung kompleks.”

“Si Hendra emang mau pacaran sama Meti?” Aku ragu mengingat mereka beda kasta.

“Ya, pasti maulah. Meski tampang si Met ngepas, tapi ‘kan body-nya bahenol. Si Hendra itu playboy. Aku sering lihat, dia gonta-ganti cewek. Enggak nyangka kalau pembantu kita diembat juga," papar Hans.

“Wah, enggak bener, kalau begitu. Si Met harus diingatkan lagi.”

“Ya, nanti Ayang ngomong secara baik-baik sama dia. Oya, Ayang kalau bagian ini pegal enggak?”

Aku langsung mengkerutkan tubuh ketika kedua tangan Hans yang sedari tadi berada di pundak tiba-tiba terulur nakal ke area depan. Kurasakan aliran darah semakin mendesir.

“Mas, nanti si Met bisa lihat, lho!”

“Tak apa." Hans bersikap santai juga masa bodo.

“Malu, Mas.” Aku menarik diri.

“Kalau begitu, mari kita ke kamar.” Hans berbisik, lalu mengecup daun telingaku.

“Apa enggak bisa nanti malam?” Aku menoleh dan mendongakkan kepala.

Hans menggeleng. Apa boleh buat, tanpa minta persetujuan, dia sudah main bopong saja tubuh ini menuju peraduan.

*

Hariku hampa tanpa suami. Saat bekerja, sejenak aku akan lupa. Begitu pulang ke rumah, setiap sudutnya selalu membuatku semakin rindu. Hans seperti sebuah candu bagiku. Hatiku resah gelisah tak menentu.

“Sabar Sal, hanya tiga hari.” Aku bergumam.

Tadi pagi Hans jadi menyusul adiknya ke Bali. Aku tidak bisa ikut karena kerjaan sedang menumpuk, tidak mungkin ditinggal.

Untuk mengisi kekosongan di rumah, aku iseng buka-buka sosial media. Pas kuscroll tidak sengaja melihat postingan tetangga sebelah. Ya, tetangaku itu bernama Rianti. Aku sama sekali tidak akrab dengannya. Padahal rumah kami hanya terpisah pagar tembok.

Dia memposting fotonya yang sedang hamil besar dan tidak jelas siapa suaminya. Tidak ketinggalan pula sebuah tas bermerk ditentengnya dalam foto tersebut.

Tetangga yang satu ini memang hobbi sekali pamer. Mana tasnya sama lagi dengan tas kesayanganku. Sebenarnya ini bukan kali pertama melihat dia memakai barang yang mirip dengan koleksiku. Apa aku salah jika menyebutnya tukang niru? Pasalnya, aku memang selalu lebih dulu memiliki barang-barang tersebut. Bedanya yang kumiliki adalah ori, dan yang dia miliki mungkin saja KW. Jujur, lama-lama aku jadi illfeel dengan tetangga seperti itu.

Kuscroll kembali layar ponsel untuk sekadar melihat-lihat topik hangat apa yang berseliweran di beranda.

Terdengar sebuah notif chat berbunyi menjeda penjelajahanku. Lekas kubuka, kira-kira pesan dari siapa yang masuk? Rupanya kontak tanpa nama.

[Jangan percaya suamimu, dia itu pengkhianat!]

Deg! Serasa satu pukulan palu godam ditimpugkan ke atas kepala.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
bodoh jadi istri, suami mu tu selingkuh sma dea begok
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status