Kutemukan lagi alat kontrasepsi bekas pakai. Meski merasa jijik, aku terpaksa memungutnya untuk dibuang ke tong sampah.
Seketika kepala ini terasa pusing sekali. Entah lelah karena pekerjaan yang menumpuk tadi di kantor, atau karena memikirkan apa yang baru saja kutemukan. Dada ini terasa terus menghimpit membuat ruang oksigen di paru semakin sempit. Usai mandi, tubuh penat menjadi segeran. Kujatuhkan bobot tubuh di sofa bed depan televisi ruang tengah. Bersantai sambil menunggu Hans pulang. Meski kedua mata tertuju ke layar kaca, tetapi pikiranku tak sama. Melayang dan menimbang apa yang harus kulakukan kepada Hans? Mengintrogasinya? Langsung menyerangnya? Apa selidiki diam-diam?Kuteringat akan cctv yang terpasang di depan rumah dan juga di ruangan ini. Lekas beranjak menuju ruang dimana aku dapat mengecek segala aktifitas yang terekam. Kuperiksa secara teliti. Perlahan tapi pasti. Kutonton apa yang tengah diputar di layar monitor PC. Hasilnya tidak ada orang lain yang masuk ke rumah ini. Apa Hans melakukannya sendiri? Akan tetapi, kenapa harus memakai alat kontrasepsi segala? Akhir-akhir ini dia memang jarang meminta. Padahal meski sibuk, aku selalu siap sedia untuk urusan yang satu itu. Sudahlah, nanti akan ku pikirkan lagi dengan kepala dingin. Takutnya kecurigaanku berlebihan. Sudah cukup malu aku waktu tempo itu. Gara-gara si Li Chen sampai kujambak rambut adik iparku sendiri. Bergulat selama satu jam di depan monitor cctv tanpa gerak sedikit pun, membuat pundakku terasa berat. Kurasa sudah cukup dengan tidak adanya wanita lain, kecuali Meti dan Dea yang terekam. Hal itu membuktikan kalau suamiku memang setia. Sebaiknya aku jangan pernah meragu lagi. Aku kembali duduk di ruang tengah. “Met, Meti, Meti ….” Aku sampai tiga kali memanggil. Barulah asisten rumah tanggaku keluar dari kamarnya. “Iya, Nyonya,” sahutnya seraya menghampiri pelan. “Lha, Met. Kok, kamu jalannya ngangkang begitu?" tegurku, baru menyadari keadaan Meti seperti dia kurang sehat. “Iya, Nyonya. Selangkangan saya sedang lecet.” “Lecet kenapa?” Aku penasaran. “Anu Nyonya. Hehe …,” kekehnya salah tingkah.“Eh, malah cekikikan. Sebenarnya kamu kenapa?" desakku.“Begini, Nyak. Kemarin-kemarin saya memakai celana dalam baru yang berenda brokat kayak milik Nyonya. Tapi punya saya ternyata kekecilan dan kualitas bahannya murah. Nah, bekas pemakain itu, selangkangan jadi gatal-gatal. Terus tidak sengaja saya menggaruk keras sampai akhirnya lecet juga perih,” terang Meti panjang.“Oh, pantas saja jalannya sampai ngangkang gitu.”Ada-ada saja kelakuan asisten rumah tanggaku ini. Padahal kalau mau celana dalam seperti milikku, aku bisa saja membelikannya.“Oya, Nyonya ada apa memanggil saya?”“Tolong pijitin dong. Ini pundakku terasa berat dan pegal-pegal banget.”“Baik Nyonya," sigapnya.Setelah cuci tangan sesuai intruksi, Meti mulai menggerakkan jari-jarinya. Tidak terlalu kuat, tetapi lumayan buat aku ketagihan untuk selalu dipijat jika sedang pegal-pegal.“Met, kamu sekarang udah punya pacar?” tanyaku iseng, tetapi kepo.“Kok, Nyonya tahu?” Meti terdengar sedikit terkejut.“Jadi bener, kamu sudah punya pacar?” Aku menodongkan pertanyaan yang sama.“Hehe, iya Nya," aku Meti malu-malu.“Aku suka liat status-stausmu, loh.”“Oh, benarkah? Duh jadi malu, Nya.”Diam-diam aku memang suka pantau aktifitas media sosialnya Meti. Kalau ada yang aneh atau tiba-tiba terjadi, sebagai majikan kan ikut repot.“Punya pacar, boleh. Tapi ingat, harus tahu batasan.” Aku menekankan point ini.“Baik, Nya.”“Emangnya pacar kamu siapa, Met?” tanyaku masih berlanjut.“Eum, kapan-kapan deh Nya, saya kasih tahunya.”“Lho, kenapa?”“Soalnya takut putus.”“Kamu ini! Tidak mungkin saya suruh kamu putus begitu saja tanpa alasan.”Di tengah-tengah asyik mengobrol dengan Meti, akhirnya pulanglah Hans.“Hello, Ayang. Sudah pulang?" sapanya.“Iya, Mas.”“Kenapa dipijitin? Kamu sakit?” tanya Hans sedikit cemas.“Enggak. Cuma pegal-pegal.”“Met, sudah cukup. Gih, ke belakang taroh ini!” titah Hans seraya mengulurkan sekantong belanjaan.“Baik, Tuan.”Meti pun berlalu. Sekarang Hans mengambil alih pijatannya.“Pijatanmu memang yang terbaik, Mas,” pujiku untuk menghargai setiap perhatiannya.“Pastinya dong, Ayang. Kamu kalau kerja jangan diporsir. Aku tidak mau kalau kamu jatuh sakit.”“Enggak, Mas. Aku hanya kebanyakan duduk saja, jadi pegel.”“Bener lho, ya!”“Iya, Mas. Oya, si Meti sekarang sudah punya pacar. Tapi, enggak mau kasih tahu pacarnya itu siapa.”“Palingan si Hendra," terka Hans santai.“Hendra anak Bu Laras?” Aku terkejut.“Iya, siapa lagi. Aku pernah pergoki dua kali mereka lagi mengobrol di ujung kompleks.”“Si Hendra emang mau pacaran sama Meti?” Aku ragu mengingat mereka beda kasta.“Ya, pasti maulah. Meski tampang si Met ngepas, tapi ‘kan body-nya bahenol. Si Hendra itu playboy. Aku sering lihat, dia gonta-ganti cewek. Enggak nyangka kalau pembantu kita diembat juga," papar Hans.“Wah, enggak bener, kalau begitu. Si Met harus diingatkan lagi.”“Ya, nanti Ayang ngomong secara baik-baik sama dia. Oya, Ayang kalau bagian ini pegal enggak?”Aku langsung mengkerutkan tubuh ketika kedua tangan Hans yang sedari tadi berada di pundak tiba-tiba terulur nakal ke area depan. Kurasakan aliran darah semakin mendesir.“Mas, nanti si Met bisa lihat, lho!”“Tak apa." Hans bersikap santai juga masa bodo.“Malu, Mas.” Aku menarik diri.“Kalau begitu, mari kita ke kamar.” Hans berbisik, lalu mengecup daun telingaku.“Apa enggak bisa nanti malam?” Aku menoleh dan mendongakkan kepala.Hans menggeleng. Apa boleh buat, tanpa minta persetujuan, dia sudah main bopong saja tubuh ini menuju peraduan.*Hariku hampa tanpa suami. Saat bekerja, sejenak aku akan lupa. Begitu pulang ke rumah, setiap sudutnya selalu membuatku semakin rindu. Hans seperti sebuah candu bagiku. Hatiku resah gelisah tak menentu.“Sabar Sal, hanya tiga hari.” Aku bergumam.Tadi pagi Hans jadi menyusul adiknya ke Bali. Aku tidak bisa ikut karena kerjaan sedang menumpuk, tidak mungkin ditinggal.Untuk mengisi kekosongan di rumah, aku iseng buka-buka sosial media. Pas kuscroll tidak sengaja melihat postingan tetangga sebelah. Ya, tetangaku itu bernama Rianti. Aku sama sekali tidak akrab dengannya. Padahal rumah kami hanya terpisah pagar tembok.Dia memposting fotonya yang sedang hamil besar dan tidak jelas siapa suaminya. Tidak ketinggalan pula sebuah tas bermerk ditentengnya dalam foto tersebut.Tetangga yang satu ini memang hobbi sekali pamer. Mana tasnya sama lagi dengan tas kesayanganku. Sebenarnya ini bukan kali pertama melihat dia memakai barang yang mirip dengan koleksiku. Apa aku salah jika menyebutnya tukang niru? Pasalnya, aku memang selalu lebih dulu memiliki barang-barang tersebut. Bedanya yang kumiliki adalah ori, dan yang dia miliki mungkin saja KW. Jujur, lama-lama aku jadi illfeel dengan tetangga seperti itu.Kuscroll kembali layar ponsel untuk sekadar melihat-lihat topik hangat apa yang berseliweran di beranda.Terdengar sebuah notif chat berbunyi menjeda penjelajahanku. Lekas kubuka, kira-kira pesan dari siapa yang masuk? Rupanya kontak tanpa nama.[Jangan percaya suamimu, dia itu pengkhianat!]Deg! Serasa satu pukulan palu godam ditimpugkan ke atas kepala.***Meski pesan dari nomer yang tidak dikenal itu cukup menghentak jantungku dan mengusik hati, tetap saja berusaha kuabaikan. Aku anggap saja itu hanya orang iseng.Ponselku bergetar. Mengejutkan aku yang masih melamunkan pesan asing itu. Segera kugeser ikon hijau di layar untuk mengangkat.“Hai Ayang, istriku tercinta. Aku kangen,” seru Hans setelah panggilan video terhubung.“Kalau kangen, kenapa pergi juga ke Bali?” Bibirku mengerucut.“Mohon pengertiannya, Ayang. Aku harus menjaga adikku satu-satunya dari lelaki badboy itu.”“Ya. Mas, sudah makan?”“Ini lagi makan.”“Mana? Kok, makanannya enggak kelihatan?”“Kan menu makannya kamu, Ayang. Hanya dengan melihat dan mendengarmu, aku pasti kenyang.”“Alah, gombal. Paling ada maunya. Apa kehabisan uang? Katakan butuh berapa?”“Idih, bukan! Aku benar-benar lagi butuh kamu. Di sini banyak sekali hilir mudik pasangan yang pamer kemesraan. Bikin hatiku kepanasan. Coba kamu ikut, Ayang. Suamimu ini tidak akan menderita.”“Ya, aku bi
KB-7 Heh, dia pikir aku akan melepaskannya begitu saja? Dengan perginya dari rumah ini, si Meti telah menabuh genderang perang. Nomer yang Anda hubungi sedang tidak aktif. Silahkan coba beberapa saat lagi. Suara operator seluler terdengar saat kucoba menghubungi nomer ponselnya. “Sudah kuduga.” Meski sedang tidak aktif, aku tetap mengirimkan sebuah pesan. Kuyakin sesekali ia akan mengaktifkannya untuk mengecek. [Beritahu aku, kalau tidak akan kudatangi keluargamu dan mempermalukanmu di sana.] Sejam, dua jam, pesan itu masih centang satu. Aku mondar-mandir dengan pikiran semrawut. Kalau sampai terbukti suamiku selingkuh dengannya, awas saja! Kuremas kepala yang kian pusing. Lambat laun, dadaku bergemuruh berdenyut nyeri. Apa mungkin suami sebaik Hans tega melakukan pengkianatan? Setelah apa yang kuberi selama ini. Dia juga selalu ada untukku. Bagaimana mungkin sampai kecolongan? Apa lagi kalau ia melakukannya dengan pembantu sialan itu. Oh, tidak! Kamarku, ranjangku, dipakai ber
“Iya, Bu. Foto Dea sewaktu kecil mana?”“Eeu … anu, itu.”“Apa, Bu? Kenapa enggak jelas?”“Foto Dea sewaktu kecil tidak ada.”“Lha, kok bisa?”“Hilang, ya, hilang albumnya.”“Jangan bohong, Bu! Kasih tahu aku yang sebenarnya!” tekanku.“Ibu tidak bohong, Mantu.”“Katakan! Dea itu siapa sebenarnya?” bentakku.“Mantu, kamu bentak Ibu?”“Ya. Memangnya kenapa? Kaget? Aku bisa bertindak lebih jauh dari ini.” Mataku menyalang.“Dea itu adiknya Hans. Memang siapa lagi?”“Jadi Ibu tetap tidak mau bilang? Tidak mau memberitahu aku?”“Apa yang harus Ibu bilang? Dea itu memang adiknya Hans,” kukuhnya.“Justru sikap Ibu menunjukkan sebaliknya.”“Apa maksudnya?”“Heh! Masih menanyakan apa maksudnya?”“Ibu benar-benar tidak mengerti.”“Aku akan memberi Hans, Ibu dan si Dea perhitungan.” Telunjukku mengacung ke mukanya.“Perhitungan apa, Mantu? Memangnya apa yang telah kami lakukan?”“Masih bertanya? Lucu!”Gegas aku beranjak dan menyambar tas untuk pergi dari rumah orang penip
Tubuhku terlonjak mundur saat dinding lemari bergeser pelan. Tak ayal seperti sebuah pintu rahasia yang pernah aku lihat di film. Kini dinding lemari yang terbuka setinggi aku berdiri dan selebar satu meteran membuat mata kian melebar.Kuayunkan langkah dengan pelan tapi pasti, melewati pintu yang baru saja terbuka. Ternyata terhubung ke sebuah ruangan berukuran sekitar 3x3 meter persegi. Di dalam hanya ada kardus-kardus menumpuk serta beberapa barang yang telah usang. Seperti sebuah gudang lebih tepatnya. Aku pikir akan ada banyak harta karun atau paling tidak sebuah rahasia.Tunggu! Kok, ada sebuah pintu lagi? Kumencoba melangkah lebih jauh, menghampiri pintu tersebut. Lalu diputar kenopnya, tetapi terkunci."Bagaimana ini?"Samar getar ponsel terdengar dari arah kamarku. Entah siapa yang menelepon. Aku segera keluar dari ruang rahasia."Hans? Ada apa dia menghubungi?"Mengambil napas panjang, terus embuskan. Aku harus terdengar baik-baik saja. Walau dalam dada bergemuruh. Rasanya i
Aku hanya membalas dengan anggukan."Emang, ya, Hera itu orangnya enggak jelas. Tertutup. Hanya Pak RT yang sering ketangkap basah bolak balik ke rumahnya. Secara Pak RT itu duda," terang salah satu tetangga."Tahun depan, kita ganti saja RT-nya," seru tukang warung."Iya, pasti ada apa-apanya," sahut si ibu tambun.Karena tidak terbiasa bergosip, kupingku berasa panas saat mendengar gunjingan mereka. Menyimak sebentar saja, bahuku diam-diam bergidik. Buru-buru kuselesaikan proses transaksi beli telurnya."Jadi berapa, Bu?""Dua puluh lima ribu, Neng."Kusodorkan uang selembar Soekarno-Hatta. Setelah mendapat kembalian aku lekas meninggalkan warung."Mari semua," pamitku."Iya, silahkan, Mbak."Sehabis dari warung aku langsung menuju dapur. Kuambil wajan dan menuangkan minyak goreng seperti yang biasa Hans lakukan."Telur ceplok sajalah yang gampang." Aku bergumam sendiri.Satu telur kupecahkan ke atas penggorengan dengan hati-hati. Eh, ya Allah, lupa kompornya belum dinyalakan. Karen
"Mas, apa-apaan ini? Jelaskan!""Ayang, maaf!" Dia menggenggam tanganku. Kutepis kasar. "Dea bukan adikmu 'kan?" Mata ini menyelidik tajam. "Bukan adik kandung," akunya lesu. "Sudah kuduga," sinisku. "Maksudnya?" "Lekas kemasi barangmu! Angkat kaki dari rumahku sekarang juga! Satu lagi, jangan bawa mobil yang telah kubelikan untukmu!" Murkaku langsung tersulut. Meski tungkai terasa lunglai, tetap berusaha berpijak dengan kepalan tangan. "Ayang, ada apa? Kenapa kamu mengusirku?""Masih bertanya? Tidak tahu malu!" Urat-urat leher terasa mau putus saja. "Yang, sungguh aku tak paham.""Kamu ada main gila 'kan dengan Dea? Tega kamu, Mas!" Tubuh yang gemetar kini luruh ke lantai. Begitu pun dengan tangis yang pecah. "Astaghfirullah, Yang. Pikiran apa yang telah merasukimu?" Hans mendekat dan hendak meraih kedua bahuku yang terguncang hebat. "Jangan sentuh aku! Jijik!""Yang, kumohon, kenapa kamu berpikiran aku serendah itu?"Aku terus menangis, air mata tumpah ruah seolah tak akan
Gerak cepat aku memasuki ruang rahasia yang tampak seperti gudang itu. Ada pintu terkunci menuju ruang lain. Kuyakin di ruang tersebut akan mendapatkan jawaban. Jika kubuka paksa, pintu pasti rusak dan meninggalkan jejak. Bagaimanapun harus menemukan kuncinya.Kulihat sekeliling ruangan. Mencari keberadaan kunci pintu. Ada sebuah nakas tua dengan laci-laci. Lekas kuperiksa. Bibir menyunggingkan senyuman, tatkala mata menangkap apa yang kucari di salah satu laci. Terasa begitu Tuhan memberi kemudahan agar aku mengetahui kebenaran.Klik, kunci kuputar dan handle ditekan. Berhasil! Lha, jadi ini sebuah kamar juga? Kuedarkan pandangan ke ruang yang didominasi warna merah dan sangat rapi. Kesadaranku tersentak saat melihat tas yang kukira hilang ternyata ada di sini. Kudekati lemari kaca di mana tas bertengger. "Benar. Ini tasku." Aku berseru setelah memastikan. Selanjutnya meja rias mencuri perhatian. Dari make up yang berjejer, sudah pasti ini kamar perempuan. Jadi si Hans pelihara gu
Kutitipkan mobil yang biasa aku pakai di salah satu tetangga. Tentu saja mereka tidak keberatan, karena aku membayar. Bukan hanya itu, aku temui Ceu Lia dan kawan-kawan yang sering bergosip di warung. Mereka akan kuajak menonton sebuah pertunjukan gratis. Diam-diam, Kukembali ke rumah. Bersembunyi di kamar tamu yang Hans jarang mendatanginya. Cukup lama juga menunggu kepulangan dia. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba setelah satu jam. Terdengar derap langkah kaki memasuki rumah.Aku mengintai dengan degup jantung yang tak karuan. Apalagi ketika Hans tampak tak sabar memasuki kamar. Untunglah dia tidak mengunci pintunya, jadi aku bisa leluasa masuk. Biipp ... Bahkan dia langsung menuju si gundik--bekas pembantuku melalui jalur rahasia itu. Pertempuran pasti akan segera dimulai sesuai janjinya tadi.[Ceu, cepat! Tapi pelan-pelan, ya! Jangan sampai gaduh.] Kulayangkan chat dan langsung centang biru. Rupanya Ceu Lia dkk. sudah standby.[Ok, Mbak Bos.] Balasnya.Hanya menunggu lima