Share

Bab 3 Nemu Lagi

Aku segera meminta Li untuk mengantarkan ke Resto Kenanga. Jika sampai firasat tak enakku selama ini benar, terbukti Hans berkhianat, jangan harap ada ampun. Aku sudah menahan segala luapan emosi bak bom waktu yang tak lama lagi akan meledak.

“Bisa cepatan dikit enggak, sih?" protesku kepada Li Chen.

“Sabar, ini jalanan lumayan ramai.”

“Tahu-tahu gini, aku tadi naik ojek aja.”

“Sabar, Sal.” Li terus berusaha menenangkan.

“Ih, sabar-sabar. Kamu mana ngerti. Makanya cepetan kawin, biar tahu rasanya gimana was-was saat pasangan bersama yang lain.”

“Kenapa harus was-was? Toh, pasanganku nanti pasti setia.” Li begitu percaya diri.

“Ekhm," tanggapku tak berarti apa-apa.

Setelah sepuluh menit akhirnya sampai juga di Resto yang dimaksud. Harusnya bisa lebih cepat kalau Li tidak lamban. Mataku langsung membidik sebuah motor di parkiran. Bisa kupastikan itu motornya Hans.

Sebisa mungkin kuatur napas agar tidak menderu dan terengah. Kuredam segala gejolak yang berdentum agar tak meledak sia-sia. Jika iya, Hans main gila di sini, aku akan langsung melabrak.

Tanpa menunggu Li keluar dari mobil, aku bergegas mengayun langkah memasuki Resto. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru sampai tertangkap sosok suamiku. Benar saja dia tengah asyik tertawa bersama seorang wanita.

Kamu mulai membakar kepercayaanku, Hans. Bak bom yang menunggu detik-detik meledak, tanganku semakin mengepal kuat. Posisi duduk mereka yang membelakangi ini cukup menguntungkan. Aku bisa mengejutkan wanita gatel itu dengan jambakan. Good ide!

Satu, dua, tiga … hap. Rambut yang digerai dan bersandar di bahu Hans kuraih.

“Auw!” Sang empunya teriak. Seketika orang-orang di sekitar menoleh, memerhatikan apa yang terjadi.

“Ayang?” Hans menoleh cepat dengan mata membola.

“Dea?!” seruku terkejut.

“Ih, apa-apaan sih, Kak? Kok, aku dijambak?” Dia mendengus kesal sambil merapikan rambut ala kadarnya dengan jari-jemari.

“Astagfirullah, kirain siapa?” Aku kini memegang dada yang berubah lega. Rupanya wanita yang dituduhkan mesra oleh Li adalah Dea, adiknya Hans.

“Kamu mikir macam-macam tentang aku, Yang?” nada Hans tak biasa. Sepertinya dia sangat tersinggung.

“Maaf,” sesalku.

“Kamu tahu dari mana aku ada di sini? Apa kamu memata-mataiku? Mentang-mentang kamu banyak duit, jadi bebas mencurigai suamimu, iya?” cecarnya.

“Bukan seperti itu, Mas. Aku ha—”

“Argh, sudah-sudah! Kamu memang bebas lakukan apa pun sesukamu. Aku memang sampah tak berharga. Sekadar untuk dipercaya pun tak pantas.” Hans terdengar sangat tersinggung karena sudah dicurigai.

“Istrimu tidak salah. Saya yang laporkanmu padanya. Jadi ini adikmu? Kenapa mesra sekali?” Tiba-tiba Li yang baru muncul langsung membela.

“Oh, jadi kamu biang keroknya? Suka-sukalah. Orang dia adikku. Kami udah tumbuh bersama dalam waktu yang cukup lama. Wajarlah kalau dia manja sama kakaknya.”

“Iya. Aku tadi pusing. Makanya bersandar ke bahunya Kak Hans,” jelas Dea enteng.

“Ya sorry. Saya minta maaf," ujar Li, meski tak terlihat sebuah penyesalan.

“Mas, maaf, ya!” Aku memelas.

“Iya, Ayang. Maaf juga, aku tadi sedikit kasar bicaranya.” Nada Hans telah kembali melunak.

“Tak apa. Orang aku yang salah. Jadi wajar," ucapku.

Kami pun saling berangkulan.

“Huu … prok, prok, prok!” Orang-orang yang menyaksikan bersorak serta tepuk tangan.

Kami jadi malu dibuatnya. Setelah melerai pelukan, aku langsung pamit. Soalnya masih ada dokumen yang harus diselesaikan sebelum aku izin pulang lebih awal.

Sepanjang jalan, aku dan Li tidak saling membuka obrolan lagi. Lantaran, aku yang sengaja mendiamkannya karena kesal.

*

“Li, kok, gajiku sekarang segini? Padahal ‘kan kemarin kita goal dua proyek," protesku jelas tak terima.

“Bonusanmu ada. Tapi tidak bisa dicairkan semua.”

“Lho, maksudnya?” Dahiku berlipat tak paham.

“Sekarang di perusahaan kita ada program baru. Jadi setiap bonus dipotong untuk tunjangan hari tua.”

“Tidak masuk akal. Masa potongannya besar sekali?”

“Kamu mau sejahtera enggak di masa tua?”

“Ya, mau.”

“Kalau mau, udah jangan protes," tegas Li.

“Tapi Li, uang segini mana cukup untukku sebulan. Belum harus gaji pembantu, belanja bulanan, biaya makan, dan yang tak terduga.”

“Ekhm, bukannya untuk biaya suamimu dan keluarganya juga.”

“Jangan mulai, deh! Itu urusanku, kamu jangan ikut campur.”

Lama-lama aku makin kesal dan muak dengan si Li. Mentang-mentang perusahaan sendiri, modal sendiri, eh seenak jidat saja ngatur-ngatur dan keluarkan kebijakan.

*

“Yang, aku mau ikut Dea ke Bali," ucap Hans.

“Hah, mau apa?”

“Tahu sendiri ‘kan pacar dia kayak gimana?”

“Terus kaitannya?”

“Pacarnya juga ‘kan satu jurusan sama dia. Jadi sudah pasti ikut.”

Hans memang sering cerita, kalau dia sangat mengkwatirkan adik satu-satunya itu. Katanya dia harus terus menjalankan amanah almarhum Bapak. Dea menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang setelah Hans selediki ternyata badboy. Bahkan pernah ada korbannya sampai hamil.

Sebenarnya, Dea juga sudah dikasih tahu dan diingatkan. Akan tetapi, ya, namanya juga bucin akut. Begitulah! Susah.

“Aduh, Mas. Dea itu sudah besar. Cukup ingetin aja lagi. Lagian pasti malu, sudah sebesar itu masih dikuntit sama Kakaknya. Yang ada nanti, dia akan jadi bahan olok-olokan temannya.”

“Ya enggak terang-terangan, Ayang. Aku ikut ke sana tanpa sepengetahuan Dea. Jadi cukup awasi saja, gitu.”

Hans terus bersikuku agar aku mengizinkannya. Aku juga kalau jadwal meeting tidak padat di kantor, pasti akan ikut. Itung-itung liburan, tetapi apa boleh buat.

“Ya, boleh. Tapi hati-hati dan ingat jangan macam-macam!”

“Ya ampun, Yang, kamu tidak percaya sama aku?”

“Canda, Mas.”

“Hehe.” Wajah Hans yang sempat lesu berubah energik lagi.

“Terus, apa Mas butuh uang?”

“Kamu pengertian sekali," tanggapnya cepat, meski malu-malu.

“Tapi, maaf. Sekarang bonusku dipotong. Jadi sepertinya kita harus mulai mengurangi segala pengeluaran, Mas.” Aku berterus terang agar Hans tidak salah paham.

“Kok, bisa?” Hans terkejut.

“Iya, ada kebijakan baru di kantor.”

“Tetap saja ini enggak masuk akal, Yang. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Bos kamu saja.”

“Ya, meski Bosku itu menyebalkan, tapi aku yakin, dia bukan tipe orang yang suka mengambil hak orang lain. Untuk apa coba? Toh uang yang dia miliki itu sudah kebanyakan. Sedangkan uang bonusku, baginya pasti tidak seberapa.”

“Kamu selalu belain dia.” Riak muka Hans tak suka.

Padahal niatku sama sekali bukan mau membela. Kenyataannya memang Li Chen itu orang baik. Aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan jauh sebelum mengenal Hans. Meski kami beda keyakinan, akan tetapi hubungan yang terjalin cukup akrab dan solid.

*

“Eh, Nyonya, Sudah pulang?” tanya Meti—asisten rumah tanggaku.

“Iya, Met. Tuan ada?”

Aku memang selalu bicara santai dengan dia. Karena usianya memang lebih muda dariku.

“Tadi Tuan keluar, Nyonya.”

“Lho, kemana?”

“Tidak tahu. Tapi, tadi ada Non Dea ke sini.”

“Oh, sama Dea.”

Ya, paling Hans diminta ngantarin dia belanja untuk keperluan study tour-nya. Aku pun bergegas masuk kamar.

Segera kulucuti perhiasan yang menempel di tubuhku. Sebab aku akan lekas mandi. Biar pas Hans pulang, sudah wangi.

Saking terburu-buru, cincin nikah yang kusimpan di atas meja rias tersenggol, dan jatuh menggelinding masuk kolong ranjang king size.

Kuberjongkok, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Diraba-raba tidak kunjung kutemukan. Kolong ranjangku berukuran rendah, hanya satu jengkal saja tingginya.

“Hah, apa ini?” Saat aku merasa sesuatu teraba sedikit basah juga agak lengket.

Mataku dengan mode memicing, sontak terbuka dua kali lipat.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status