Share

Bab 3 Nemu Lagi

Author: Dinara L.A
last update Last Updated: 2023-05-04 08:41:41

Aku segera meminta Li untuk mengantarkan ke Resto Kenanga. Jika sampai firasat tak enakku selama ini benar, terbukti Hans berkhianat, jangan harap ada ampun. Aku sudah menahan segala luapan emosi bak bom waktu yang tak lama lagi akan meledak.

“Bisa cepatan dikit enggak, sih?" protesku kepada Li Chen.

“Sabar, ini jalanan lumayan ramai.”

“Tahu-tahu gini, aku tadi naik ojek aja.”

“Sabar, Sal.” Li terus berusaha menenangkan.

“Ih, sabar-sabar. Kamu mana ngerti. Makanya cepetan kawin, biar tahu rasanya gimana was-was saat pasangan bersama yang lain.”

“Kenapa harus was-was? Toh, pasanganku nanti pasti setia.” Li begitu percaya diri.

“Ekhm," tanggapku tak berarti apa-apa.

Setelah sepuluh menit akhirnya sampai juga di Resto yang dimaksud. Harusnya bisa lebih cepat kalau Li tidak lamban. Mataku langsung membidik sebuah motor di parkiran. Bisa kupastikan itu motornya Hans.

Sebisa mungkin kuatur napas agar tidak menderu dan terengah. Kuredam segala gejolak yang berdentum agar tak meledak sia-sia. Jika iya, Hans main gila di sini, aku akan langsung melabrak.

Tanpa menunggu Li keluar dari mobil, aku bergegas mengayun langkah memasuki Resto. Kuedarkan pandangan kesegala penjuru sampai tertangkap sosok suamiku. Benar saja dia tengah asyik tertawa bersama seorang wanita.

Kamu mulai membakar kepercayaanku, Hans. Bak bom yang menunggu detik-detik meledak, tanganku semakin mengepal kuat. Posisi duduk mereka yang membelakangi ini cukup menguntungkan. Aku bisa mengejutkan wanita gatel itu dengan jambakan. Good ide!

Satu, dua, tiga … hap. Rambut yang digerai dan bersandar di bahu Hans kuraih.

“Auw!” Sang empunya teriak. Seketika orang-orang di sekitar menoleh, memerhatikan apa yang terjadi.

“Ayang?” Hans menoleh cepat dengan mata membola.

“Dea?!” seruku terkejut.

“Ih, apa-apaan sih, Kak? Kok, aku dijambak?” Dia mendengus kesal sambil merapikan rambut ala kadarnya dengan jari-jemari.

“Astagfirullah, kirain siapa?” Aku kini memegang dada yang berubah lega. Rupanya wanita yang dituduhkan mesra oleh Li adalah Dea, adiknya Hans.

“Kamu mikir macam-macam tentang aku, Yang?” nada Hans tak biasa. Sepertinya dia sangat tersinggung.

“Maaf,” sesalku.

“Kamu tahu dari mana aku ada di sini? Apa kamu memata-mataiku? Mentang-mentang kamu banyak duit, jadi bebas mencurigai suamimu, iya?” cecarnya.

“Bukan seperti itu, Mas. Aku ha—”

“Argh, sudah-sudah! Kamu memang bebas lakukan apa pun sesukamu. Aku memang sampah tak berharga. Sekadar untuk dipercaya pun tak pantas.” Hans terdengar sangat tersinggung karena sudah dicurigai.

“Istrimu tidak salah. Saya yang laporkanmu padanya. Jadi ini adikmu? Kenapa mesra sekali?” Tiba-tiba Li yang baru muncul langsung membela.

“Oh, jadi kamu biang keroknya? Suka-sukalah. Orang dia adikku. Kami udah tumbuh bersama dalam waktu yang cukup lama. Wajarlah kalau dia manja sama kakaknya.”

“Iya. Aku tadi pusing. Makanya bersandar ke bahunya Kak Hans,” jelas Dea enteng.

“Ya sorry. Saya minta maaf," ujar Li, meski tak terlihat sebuah penyesalan.

“Mas, maaf, ya!” Aku memelas.

“Iya, Ayang. Maaf juga, aku tadi sedikit kasar bicaranya.” Nada Hans telah kembali melunak.

“Tak apa. Orang aku yang salah. Jadi wajar," ucapku.

Kami pun saling berangkulan.

“Huu … prok, prok, prok!” Orang-orang yang menyaksikan bersorak serta tepuk tangan.

Kami jadi malu dibuatnya. Setelah melerai pelukan, aku langsung pamit. Soalnya masih ada dokumen yang harus diselesaikan sebelum aku izin pulang lebih awal.

Sepanjang jalan, aku dan Li tidak saling membuka obrolan lagi. Lantaran, aku yang sengaja mendiamkannya karena kesal.

*

“Li, kok, gajiku sekarang segini? Padahal ‘kan kemarin kita goal dua proyek," protesku jelas tak terima.

“Bonusanmu ada. Tapi tidak bisa dicairkan semua.”

“Lho, maksudnya?” Dahiku berlipat tak paham.

“Sekarang di perusahaan kita ada program baru. Jadi setiap bonus dipotong untuk tunjangan hari tua.”

“Tidak masuk akal. Masa potongannya besar sekali?”

“Kamu mau sejahtera enggak di masa tua?”

“Ya, mau.”

“Kalau mau, udah jangan protes," tegas Li.

“Tapi Li, uang segini mana cukup untukku sebulan. Belum harus gaji pembantu, belanja bulanan, biaya makan, dan yang tak terduga.”

“Ekhm, bukannya untuk biaya suamimu dan keluarganya juga.”

“Jangan mulai, deh! Itu urusanku, kamu jangan ikut campur.”

Lama-lama aku makin kesal dan muak dengan si Li. Mentang-mentang perusahaan sendiri, modal sendiri, eh seenak jidat saja ngatur-ngatur dan keluarkan kebijakan.

*

“Yang, aku mau ikut Dea ke Bali," ucap Hans.

“Hah, mau apa?”

“Tahu sendiri ‘kan pacar dia kayak gimana?”

“Terus kaitannya?”

“Pacarnya juga ‘kan satu jurusan sama dia. Jadi sudah pasti ikut.”

Hans memang sering cerita, kalau dia sangat mengkwatirkan adik satu-satunya itu. Katanya dia harus terus menjalankan amanah almarhum Bapak. Dea menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang setelah Hans selediki ternyata badboy. Bahkan pernah ada korbannya sampai hamil.

Sebenarnya, Dea juga sudah dikasih tahu dan diingatkan. Akan tetapi, ya, namanya juga bucin akut. Begitulah! Susah.

“Aduh, Mas. Dea itu sudah besar. Cukup ingetin aja lagi. Lagian pasti malu, sudah sebesar itu masih dikuntit sama Kakaknya. Yang ada nanti, dia akan jadi bahan olok-olokan temannya.”

“Ya enggak terang-terangan, Ayang. Aku ikut ke sana tanpa sepengetahuan Dea. Jadi cukup awasi saja, gitu.”

Hans terus bersikuku agar aku mengizinkannya. Aku juga kalau jadwal meeting tidak padat di kantor, pasti akan ikut. Itung-itung liburan, tetapi apa boleh buat.

“Ya, boleh. Tapi hati-hati dan ingat jangan macam-macam!”

“Ya ampun, Yang, kamu tidak percaya sama aku?”

“Canda, Mas.”

“Hehe.” Wajah Hans yang sempat lesu berubah energik lagi.

“Terus, apa Mas butuh uang?”

“Kamu pengertian sekali," tanggapnya cepat, meski malu-malu.

“Tapi, maaf. Sekarang bonusku dipotong. Jadi sepertinya kita harus mulai mengurangi segala pengeluaran, Mas.” Aku berterus terang agar Hans tidak salah paham.

“Kok, bisa?” Hans terkejut.

“Iya, ada kebijakan baru di kantor.”

“Tetap saja ini enggak masuk akal, Yang. Jangan-jangan ini hanya akal-akalan Bos kamu saja.”

“Ya, meski Bosku itu menyebalkan, tapi aku yakin, dia bukan tipe orang yang suka mengambil hak orang lain. Untuk apa coba? Toh uang yang dia miliki itu sudah kebanyakan. Sedangkan uang bonusku, baginya pasti tidak seberapa.”

“Kamu selalu belain dia.” Riak muka Hans tak suka.

Padahal niatku sama sekali bukan mau membela. Kenyataannya memang Li Chen itu orang baik. Aku sudah mengenalnya sejak lama, bahkan jauh sebelum mengenal Hans. Meski kami beda keyakinan, akan tetapi hubungan yang terjalin cukup akrab dan solid.

*

“Eh, Nyonya, Sudah pulang?” tanya Meti—asisten rumah tanggaku.

“Iya, Met. Tuan ada?”

Aku memang selalu bicara santai dengan dia. Karena usianya memang lebih muda dariku.

“Tadi Tuan keluar, Nyonya.”

“Lho, kemana?”

“Tidak tahu. Tapi, tadi ada Non Dea ke sini.”

“Oh, sama Dea.”

Ya, paling Hans diminta ngantarin dia belanja untuk keperluan study tour-nya. Aku pun bergegas masuk kamar.

Segera kulucuti perhiasan yang menempel di tubuhku. Sebab aku akan lekas mandi. Biar pas Hans pulang, sudah wangi.

Saking terburu-buru, cincin nikah yang kusimpan di atas meja rias tersenggol, dan jatuh menggelinding masuk kolong ranjang king size.

Kuberjongkok, lalu mengulurkan tangan untuk mengambilnya. Diraba-raba tidak kunjung kutemukan. Kolong ranjangku berukuran rendah, hanya satu jengkal saja tingginya.

“Hah, apa ini?” Saat aku merasa sesuatu teraba sedikit basah juga agak lengket.

Mataku dengan mode memicing, sontak terbuka dua kali lipat.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 75 Cinta Sejati

    Kami menyerahkan masalah terkait teman Daffa yang melecehkan Qia kepada pengacara. Biarlah pengacara yang mengurusi segalanya. Sedangkan aku dan Irsyad fokus kepada dampak psikologis putri kami itu.Irsyad mengkonsultasikan masalah Qia kepada psikolog anak terbaik di kota Bandung. Kami masih beruntung, karena dampaknya belum terlalu jauh. Mungkin karena efek ada pembelaan juga dari Daffa sebagai kakak. Jadi rasa aman itu masih ada. Meski ada trauma berupa sedikit ketakutan kepada semua teman laki-laki di sekolahnya.Setelah 3 kali konsultasi, Alhamdulillah bisa dibilang Qia pulih. Kami memutuskan kalau Qia tidak masuk ke sekolah terlebih dahulu.“Bagaimana kalau kita liburan. Kalian mau ke negara mana?” tanya Irsyad di suatu sore.“Negara?” Daffa membelalak tak percaya. Sungguh terasa mimpi. Selama ini ingin sekedar berlibur ke tempat wisata terdekat saja tidak pernah kesampaian. Lalu tiba-tiba ia diajak ayah angkatnya berlibur ke luar negri.“Iya. Dafa sukanya Negara mana?” t

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 74 Masalah Daffa

    Aku dan Irsyad tentu panik saat Qia mengatakan kalau Daffa hilang. Orang dalam rumah semua berlarian mencari ke setiap sudut. Termasuk kami sebagai orang tua baru. Daffa benar-benar tak ditemukan.Lemas. Tungkaiku mendadak tak ada daya dan melorot ke lantai.“Dek!” Irsyad memburu dan memapahku untuk duduk di sofa. Sedangkan salah seorang asisten rumah bergegas membawakan segelas air minum. “Bang, kenapa Daffa pergi? Kemana dia? Bukankah ini baru pertama kali di Bandung? Kalau dia diculik atau dalam bahaya gimana?” Aku mencecar suami dengan segala pikiran burukku.Sungguh tak pernah terpikirkan jika Daffa akan pergi dari rumah. Dia tampak baik-baik saja dan tidak keberatan. Lalu hal apa yang membuat ia akhirnya memutuskan pergi? Kepala ini sakit sekali saat berusaha mencari jawabannya.“Tuan, apa kita nggak lapor polisi saja?” saran satpam rumah kami.“Belum 24 jam. Tidak bisa,” tangkas Irsyad.“Lagian, kenapa juga sampai tidak ada yang melhat Daffa pergi?” Nadaku ngegas kal

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 73 Anugerah

    Hari ini, kami mempersiapkan kamar untuk Daffa. Salah satu kamar tamu, akan disulap jadi kamar anak. Qia turut serta memilihkan segala macam fortnitur untuk keperluar kamar kakaknya itu. Sedangkan Daffa sendiri lebih banyak terdiam. Keceriaan belum kembali hiasi hari-harinya. Tentu saja jejak kesedihan ditinggal Meti masih berbekas luka.“Daf, kamu mau gambar apa?” tanyaku saat memilih seprei.“Bagaimana Ibu saja,” jawabnya pasrah.Ada rasa kagum di hati ini. Umumnya anak kekurangan seperti Daffa saat ditawari kemewahan akan antusias dan senang. Berbeda dengannya yang seolah semua ini tidak ada arti bila dibandingkan dengan kehadiran sang mama. Sekali pun Meti bukanlah orang tua yang baik. Sekali pun hidup bersama Meti, ia harus bekerja keras.Karena Daffa menyerahkan semua pilihan, jadi aku dan Qia saja yang memutuskan. Tak ingin berlama-lama belanja, kami segera menyelesaikannya. Aku juga tidak mau pusing-pusing menimbang untuk memilih. Asalkan sesuai dengan anak lelaki seumuran Daf

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 72 Keputusan

    Tiga bulan kemudian. “Hallo, Bu … Ma-ma, mama su-dah dipang-gil oleh Allah,” ucapnya terdengar serak di sambungan telepon. “Innalillahi wainnailaihi rojiun.” Aku, Irsyad dan Qia langsung berangkat ke Sukabumi untuk melayat.Sesampainya ternyata Meti baru saja sudah dikebumikan. Masih beruntung warga sekitar peduli dan mau mengurusi. Dengar-dengar marbot mesjid yang paling berjasa membantu. Karena beliau katanya cukup dekat dengan Daffa meski tidak ada hubungan darah.Di rumah duka, aku tidak melihat ibunya Hans atau Dea. Kata Daffa, merek memang belum dikasih tahu.Kini bocah hitam kurus itu tampak sembab juga kuyu. Kepergian sang mama benar-benar menyisakan duka yang mendalam."Maaf sudah menghubungi ibu dan bapak. Itu permintaan terakhir mama." Daffa merasa bersalah."Tidak perlu minta maaf, Nak. Kami pasti datang saat seperti ini." Irsyad yang menyahut."Iya, Nak." Aku duduk di tepat di sampingnya. Membelai lembut Surai Daffa. Terbersit rasa iba dan tak tega kepadanya.Kini di

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 71 Rencana

    POV. 3Dengan tubuh yang ringkih Meti berusaha untuk ke kamar mandi. Setidaknya ia harus cuci muka sebelum memutuskan keluar rumah.Daffa yang baru datang beli nasi uduk pagi ini terkejut melihat mamanya kepayahan. Ia lekas memburu untuk membantu."Mama mau kemana? Kenapa nggak tunggu aku aja?""Cuma mau ke kamar mandi. Mama kuat kok, Daffa."Meti menolak untuk dibantu. Ia ingin melakukannya sendiri meski dengan gerakan lamban. Daffa hanya memperhatikan tak berani membantah. Sebab, kalau mamanya sudah bersikukuh dan jika ia memaksa, maka akan kena marah.Meti sampai juga di kamar mandi yang langsung aroma tak sedap tercium dari dalam. Begitu masuk, lantainya juga kotor serta licin. Jika ia sedang kuat, biasanya ia sendiri yang sikat dan kuras. Namun, akhir-akhir ini tenaganya seolah terus tersedot oleh rasa nyeri.Masih dalam gerakan lamban Meti menggosok gigi serta mencuci muka. Setelah itu kembali ke kamar dan memilih pakaian terbaiknya."Mama mau kemana?""Mama ada perlu sama papam

  • Dalam Pernikahan Tanpa Nafkah   Bab 70 Mendung

    Meti tampak sudah putus asa. “Apa kamu melakukan pengobatan?” “Sekarang sudah tidak lagi."“Lho, kenapa? Kamu jangan menyerah, demi Daffa.” Aku mengulanginya. Berharap, Meti tetap hidup dan Daffa tetap tumbuh bersamanya. Maaf, aku merasa tidak siap mengurus anak itu.“Sudah kubilang jangan beri aku harapan!” nadanya penuh penekanan. “Semuanya akan sia-sia. Lihatlah ini!” sambung Meti seraya membuka ciputnya.Aku terperangah saat melihat kepala tanpa sehelai rambut. Sepertinya Meti sudah benar-benar hilang harapan.Hari beranjak semakin sore. Sebentar lagi magrib datang. Setelah mengobrol panjang, Daffa tetap mau tinggal dengan mama-nya. Sebetulnya yang merayu untuk tinggal bersama kami hanya Irsyad. Aku hanya diam dan tak berani membantah. Sebelum pulang, aku meninggalkan nomer kontak. Jadi kalau ada apa-apa, mereka tinggal menghubungi. Kurasa kebaikanku sudah lebih dari cukup.Namun saat Irsyad berikan sejumlah uang, baik anak ata

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status