Menjalani pernikahan tanpa cinta sungguh menyulitkan hidup Nayara Prameswari. Namun sebagai seorang istri, Nayara selalu patuh kepada suami. Ia mendambakan kasih sayang dan cinta sang suami sehingga membuatnya terus bertahan dalam siksaan lahir batin. Saat pesta ulang tahun pernikahan yang pertama tiba, suami dan mertuanya membuat pesta besar-besaran. Nayara bahagia sesaat hingga akhirnya ia tahu tujuan pesta itu diselenggarakan.
Lihat lebih banyak"Aku salah apa sama kalian?"
Tangis Nayara Prameswari pecah hingga tubuhnya bergetar. Ia tersungkur di lantai marmer berpola mozaik. Tetesan darah yang mengalir dari hidungnya langsung menodai lantai. Nayara mendongakkan kepala, menatap kedua kakak iparnya dengan tatapan memohon. Namun, Jeni dan Sintia justru membalas dengan sikap acuh tak acuh. Sintia yang pertama bereaksi. "Di keluarga ini, kamu itu cuma Babu! Kamu tau, di mana posisi Babu?!" Kemudian, Sintia menoleh kepada Jeni dan berkata, "Jeni, kasih tau dia! Di mana tempat seorang Babu hina kayak dia!" Jeni maju beberapa langkah hingga akhirnya berdiri di sisi kanan Nayara. Ia menarik rambut Nayara ke belakang dengan tangan kirinya. Lalu tanpa segan, ia langsung menginjak kaki kanan Nayara. "Aaarrghh!" Nayara berteriak kesakitan. "Sakit, Kak! Kakiku ... sakit ...." Nayara melirik kaki kanan Jeni yang masih berada di atas kaki kanannya. Sialnya, kaki kanan Nayara yang pincang itulah yang diinjak Jeni. Tanpa berperasaan, Jeni berkata dengan suara rendah yang dalam, "Babu akan selamanya berada di bawah kaki majikan. Paham, nggak?!" Karena Nayara tidak menjawabnya, Jeni menarik rambutnya lebih keras lagi hingga tatapan Nayara tertuju pada langit-langit ruang makan yang sangat tinggi. Jeni berteriak, "Jawab, Nay!" Pandangan Nayara kini menatap lampu gantung bertingkat yang memberikan pencahayaan berlapis di ruang makan. Sebelumnya, Jeni telah menampar Nayara berkali-kali hingga sudut bibirnya berdarah. Ditambah lagi, Sintia mendorong Nayara hingga kepalanya membentur sudut meja makan. Nayara telah menahan sakit kepala yang cukup lama hingga hidungnya mengeluarkan tetesan darah. Meskipun begitu, kedua kakak iparnya tidak melepasnya juga. "Aku ... mengerti." Suara yang dihasilkan Nayara sangat pelan hingga nyaris tidak terdengar. "Bisa-bisanya Dhirga punya Istri buruk rupa kayak kamu!" celetuk Sintia. "Apa sih, yang bisa dibanggakan dari kamu, hah?!" Jeni tidak mau kalah, ia berkata, "Kamu menikah sama Dhirga bukan karena cinta, tapi keterpaksaan. Jadi, sebaiknya kamu tahu diri!" Usai mengucapkan hal itu, Jeni melepas cengkeraman tangannya dari rambut Nayara. Belum sempat Nayara membalas, terdengar langkah kaki dari arah tangga. Dhirga muncul, menatap ketiganya dengan dahi berkerut. "Kenapa ribut-ribut?" tanya Dhirga. Dhirga menatap Nayara tanpa ekspresi. Ia tahu, istrinya terluka. Namun, tidak berniat membantunya. "Lihat, nih! Istri cacatmu sudah merusak gaunku sampai gosong. Nyetrika aja nggak becus!" Jeni mengangkat gaun pesta berwarna merah marun yang terbakar di bagian punggung. Wajahnya merah padam karena terkuras emosi. "Bukan aku, Mas," sanggah Nayara. "Tadi Kak Jeni manggil saat aku lagi nyetrika. Aku lupa belum mencabut kabel setrikanya." Jeni memang memanggil Nayara untuk menyiapkan sarapannya saat ia sedang menyetrika. Saat Nayara masih mengoleskan selai kacang pada roti, Jeni berteriak dari ruang laundry. Lalu, berjalan cepat menghampiri Nayara ke ruang makan dengan emosi meledak-ledak. Nayara tidak tahu jika gaun milik Jeni terbakar karena keteledorannya. Sebab itulah, Nayara menjadi linglung. Jeni menunjuk Nayara dengan wajah menantang. "Heh! Kamu yang salah, kenapa malah nyalahin aku? Aku nggak mau tau, kamu harus ganti gaunku!" Dhirga hanya diam. Ia menatap Nayara dengan dingin dan membiarkan istrinya dihujani makian. Tak ada sepatah kata pun yang keluar untuk melindunginya. "Istri macam apa kamu, Nay?! Kamu harus dikasih pelajaran!" celetuk Sintia, nada suaranya mengandung kebencian. Kedua mata Nayara terpejam sesaat guna menstabilkan emosi. Ia menahan diri agar tidak ada air mata yang tumpah. Dengan segenap tenaga, Nayara merangkak untuk meraih tongkatnya yang tergeletak tidak begitu jauh. 'Ah, sakit banget!' Nayara menahan sakit pada kaki kanannya. Nayara berusaha berdiri dengan bantuan tongkatnya. "Mas, tolong aku!" pinta Nayara. "Aku nggak melakukan apapun." Kali ini, Nayara bukan memohon belas kasih pada kakak iparnya, melainkan pada suaminya sendiri. Jeni mendengus kasar. "Dhirga, jadi Suami harus tegas. Kalau nggak, mau ditaruh di mana muka kamu sebagai kepala keluarga?" "Nasehati Istri kamu, Dhirga!" timpal Sintia. Nayara melihat Dhirga berjalan mendekatinya. Sontak, hatinya menjadi berbunga-bunga. Ia mengira, Dhirga pasti akan melindungi dari kekejaman kedua kakak iparnya. Plak! Tidak disangka, apa yang diharapkan Nayara bertolak belakang dengan takdirnya. Dhirga justru menampar Nayara dengan keras. "Nay, apa kamu bodoh?! Berapa kali harus aku ingatkan, jaga sikapmu di rumah ini!"“Dimas! Sudah kamu pindahkan perempuan itu?” Suara Oma terdengar tajam dan menggema dari seberang telepon.“Iya, Oma. Sedang aku urus,” jawab Dimas cepat, berusaha terdengar tenang meski jantungnya berdetak tak karuan.Klik.Telepon langsung terputus. Tak ada salam penutup, tak ada waktu untuk membantah. Seperti biasa, Salma bicara dengan nada perintah, tak memberi ruang untuk diskusi.Dimas menghela napas berat lalu menoleh pada Elena yang duduk di sampingnya. Perempuan itu ikut menatapnya, raut wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang sama.“Sepertinya memang tak ada pilihan lagi, Len. Aku harus segera pindahkan Nayara malam ini juga,” ujar Dimas, suaranya pelan namun tegas.Elena hanya mengangguk. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya membisu. Seolah menyetujui, meski dalam hatinya ada banyak yang ingin ia katakan.Tak lama, seorang dokter lewat di lorong, mengenakan jas putih yang bersih dan tergesa seperti biasa.“Dok!” panggil Dimas cepat.Dokter itu berhenti dan menoleh. “Iya, Pak D
“Kondisi tak terduga bagaimana, Dok?” tanya Dimas panik, matanya menatap penuh kecemasan.Dokter menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Ibu Nayara, saat menjalani operasi... ia terus-menerus mengigau menyebut nama Dhirga.”Dimas mengerutkan kening. “Tunggu, memangnya bisa seseorang mengigau saat sedang dioperasi?”“Sebenarnya sangat langka, Pak Dimas,” jelas dokter sambil memperbaiki posisi duduknya. “Selama saya menjadi dokter, baru dua kali saya mengalami kejadian semacam ini. Biasanya pasien dalam kondisi anestesi total tidak akan bisa berbicara, apalagi mengigau.”Dimas terdiam. Hatinya berdesir.“Apakah mungkin... Nayara rindu pada suaminya, Dok?” tanyanya ragu.“Saya menduga demikian,” jawab dokter tenang. “Kalau boleh memberi saran, sebaiknya Bapak segera menghubungi suaminya. Secara medis kondisi fisik Ibu Nayara stabil, tapi secara emosional, mungkin ia membutuhkan orang yang paling ia rindukan.”Kata-kata dokter itu bagai pisau bermata dua bagi Dimas. Di satu sisi,
"Ibu Clarissa," lanjut Sonia dengan suara bergetar, pelan, tapi cukup untuk membuat ruangan interogasi itu seakan runtuh oleh dentuman kejujuran.Kata-kata itu membuat dunia seperti menggelegar dalam telinga Januar. Sebuah senyum tipis merekah di wajahnya—bukan senyum sombong, tapi senyum lega seorang penyidik yang perjuangannya nyaris mencapai garis akhir. Tatapan matanya tajam menusuk ke dalam jiwa Sonia, memastikan bahwa tak ada lagi dusta tersisa.Kesaksian Sonia menjadi potongan terakhir dari puzzle yang telah ia susun dengan hati-hati. Dua alat bukti sah kini telah dikantongi: hasil digital forensik dan pengakuan langsung dari pelaku lain. Itu cukup untuk menetapkan Clarissa sebagai tersangka.Tanpa menunda waktu, Januar keluar dari ruang interogasi dan menuju ruang gelar perkara. Di sana, ia bersama tim penyidik lainnya mempresentasikan seluruh hasil penyelidikan. Setelah melalui pemaparan yang detail dan diskusi yang hangat, keputusan bulat diambil: Clarissa dan Sonia resmi di
“Tidak pernah, setahu saya,” jawab Clarissa dengan nada ragu.“Itu jawaban klien kami saat ini, dan mohon dicatat dengan jelas bahwa segala tuduhan harus berdasarkan bukti, bukan asumsi semata,” potong Nikolas tegas, tatapannya tajam mengarah pada penyidik di depannya.Januar, yang sejak tadi mencatat hasil pemeriksaan dengan serius, mengangguk kecil lalu menatap Clarissa lurus-lurus.“Tentu. Tapi saya ingatkan, jika nantinya ditemukan bukti tambahan yang menguatkan dugaan keterlibatan Saudari, maka kami tidak segan menetapkan status hukum yang berbeda,” ucapnya, tegas dan jelas.Suasana ruang interogasi mendadak terasa lebih dingin. Clarissa menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang. Januar melanjutkan pertanyaannya dengan suara yang tenang, namun penuh tekanan.“Apakah Saudari pernah meminjamkan ponsel kepada orang lain dalam dua minggu terakhir?”Clarissa menggeleng cepat. “Tidak. Ponsel saya selalu saya pegang sendiri.”Januar kembali mencatat jawabannya, lalu
"Kenal, Pak. Dia adalah istri pertama suami saya," jawab Clarissa pelan namun jelas, suaranya sedikit bergetar.Januar menatapnya tajam lalu mengangguk sebelum melanjutkan, "Apakah akun Facebook bernama CA Lovers ini milik Saudari?""Akun Facebook saya hanya satu, Pak. Atas nama Clarissa Anindita," jawabnya tegas.Januar meletakkan satu berkas di atas meja, menatap Clarissa dalam-dalam. "Saudari Clarissa, Saudari barusan menyatakan bahwa akun Facebook CA Lovers bukan milik Saudari. Namun berdasarkan hasil forensik digital, akun tersebut terhubung ke nomor 08xxxxxxx milik Saudari dan beberapa kali terpantau login dari perangkat yang terdaftar atas nama Saudari. Bisa dijelaskan?"Clarissa menelan ludah, tangannya yang di pangkuan mulai bergetar. "Itu bukan akun saya, Pak... Saya nggak tahu siapa yang bikin akun itu."Nikolas segera menyela, "Maaf, saya minta agar pertanyaan ini dijelaskan lebih lanjut datanya. Klien saya tidak bisa memberikan keterangan tanpa melihat bukti teknis yang d
“Silakan duduk, Pak Bram,” ujar Januar, menyilakan pria berjas abu-abu itu masuk ke ruang interogasi.Bram Hadiwijaya, CEO Darmaseraya Group, melangkah masuk dengan wajah tenang namun tegang. Pandangannya langsung bertemu dengan mata Clarissa yang sudah lebih dulu duduk di kursi saksi. Keduanya saling menatap sejenak. Tak ada keakraban di antara mereka—hanya kekosongan, seperti dua orang asing yang kebetulan berada di satu ruang yang sama. Bram pun duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping Clarissa.“Apakah Bapak mengenal wanita ini?” tanya Januar, membuka percakapan dengan nada datar.“Saya tidak mengenalnya,” jawab Bram cepat dan lugas.Januar mengangguk pelan, mencatat sesuatu di mapnya. Kemudian ia menoleh ke arah Clarissa.“Ibu Clarissa, apakah Anda sudah siap memberikan kesaksian?” tanyanya.Clarissa menoleh, wajahnya tampak cemas. “Saya masih menunggu suami saya, Pak.”Januar menarik napas panjang. Ia tahu bahwa proses tak bisa ditunda terlalu lama, namun situasi ini mem
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen