“F-Fargo?”
Mata Carol melebar terkejut melihat sosok pria yang ada di hadapannya ini Fargo. Wait! Fargo ada di Amsterdam. Tidak mungkin pria itu ada di hadapannya. Sial! Pasti dirinya salah mengenali seseorang. Carol menepis pikirannya, meyakinkan pada dirinya sendiri pasti dirinya ini salah. Tidak mungkin sosok pria yang di depannya ini adalah Fargo. Carol yakin ada yang tidak beres dengan otaknya itu. “Kenapa kau selalu membuat masalah, Carot!” suara geraman khas pria di depannya itu membuat Carol menyadari bahwa otaknya tidaklah salah. Ditambah nama paggilan ‘Carot’ yang hanya dipanggil dari mulut pria menyebalkan membuat Carol langsung sadar siapa sosok pria yang ada di depannya itu. Buru-buru, Carol menjauh dari pria itu. Beruntung injakan kakinya kuat di lantai. Jika tidak, maka sudah pasti Carol bisa saja kembali nyaris tersungkur. Oh, Hell! Betapa ceroboh dirinya. Napas Carol berembus panjang, berusaha untuk tenang seolah tak terjadi masalah apa pun. “Kau, Fargo, kan?” Ini memang pertanyaan bodoh, tapi Carol bertanya hanya untuk memastikan bahwa dirinya tidak salah. Yang Carol tahu Fargo tinggal di Amsterdam, tapi kenapa bisa ada di sini? Fargo merapikan jasnya yang sedikit berantakan akibat berdekatan dengan Carol. Tatapan dingin dan tegasnya seakan menunjukkan bahwa pria itu kesal kembali harus bertemu dengan Carol. Sialnya, Fargo selalu bertemu dengan Carol dikejadian-kejadian menyebalkan. Tiga tahun tak lagi melihat Carol, ternyata sekarang Fargo melihat sosok menyebalkan lagi di hadapannya tepat di hari pertama kembalinya ke Los Angeles. Ini benar-benar tak Fargo sukai. “Menurutmu siapa yang ada di depanmu, hah?! Kau itu kenapa selalu saja ceroboh!” seru Fargo dengan nada yang menahan rasa kesal dalam dirinya. Seketika mendengar jawaban dari sosok pria yang ada di depannya itu, membuat Carol menyadari siapa yang ada di depannya itu. Carol mengumpat dalam hati. Apa dunia sesempit ini? Di Amsterdam, dirinya bertemu dengan Fargo. Sekarang di kala Carol sedang terburu-buru, juga harus dipertemukan dengan Fargo. Semesta sedang mengajaknya bercanda. “Maaf, aku tidak sengaja menabrakmu. Tapi, jangan salahkan aku saja. Kau juga bersalah,” jawab Carol dengan nada ketus seakan dirinya tidak bersalah sepenuhnya. Bagi Carol, dalam hal ini memang tidak bisa dirinya disalahkan sepenuhnya. Tadi, dia terburu-buru sampai tak melihat jalan dengan baik. Namun, Fargo juga bersalah, karena berjalan tak menggunakan mata dengan baik. Sebelah alis Fargo terangkat, menatap wanita makluk aneh ini. Bisa-bisanya Carol melimpahkan kesalahan padanya. “Kau sudah gila. Kau jalan yang tidak becus, malah kau menyalahkanku. Apa tiga tahun pengobatan otakmu masih belum benar juga?” ucapnya sarkas menahan rasa kesal. Carol berdecak seraya mengumpat dalam hari meumpati sosok pria di depannya terus bersikap menyebalkan. “Aku sudah meminta maaf, Fargo. Kau ini berlebihan sekali. Aku tadi terburu-buru.” Fargo berusaha mengendalikan emosi dalam dirinya, mengabaikan ucapan Carol. Dia tahu berurusan dengan wanita itu hanya akan menguji kesabaran dirinya. “Sudah berapa kali kau minta maaf atas kecerobohanmu? Sudah sering, kan? Kau itu memang ceroboh! Jalan tidak pernah menggunakan mata dengan baik!” “Ck! Kau itu menyebalkan sekali, Fargo. Sudahlah Aku hari ini harus bertemu dengan tamu pentingku. Aku tidak bisa berbicara lama denganmu.” Carol menyadari dirinya memiliki janji bertemu dengan rekan bisnis pamannya. Jika dia masih tetap mengomel dengan Fargo, maka semua itu tidak akan ada hasil. Yang ada malah dia akan memperkeruh suasana dan berdampak pada mood-nya. “Kau pikir hanya dirimu yang sibuk? Aku bahkan jauh lebih sibuk darimu.” Fargo mengabaikan Carol, pria itu mengalihkan pandangannya pada pelayan yang menghampirinya. Tampak decakan lolos di bibir Carol ketika mendengar ucapan Fargo. Pun tak mau ambil pusing, Carol segera mengalihkan pandangannya pada pelayan yang menghampirinya. “Selamat pagi, Tuan, Nona. Apa kalian sudah melakukan reservasi?” tanya sang pelayan pada Carol dan Fargo penuh sopan. “Sudah, atas nama Donald Cole.” Carol dan Fargo kompak menjawab bersamaan. Sontak, mereka berdua terkejut karena menyebutkan nama yang sama. Detik itu juga Carol dan Fargo saling bertatapan, menatap bingung dan tak mengerti satu sama lain. “Kau—” “Kau kenapa menyebut nama Pamanku, Fargo?” seru Carol dengan nada dingin kala Fargo menyebut-nyebut nama pamannya. “Donald Cole adalah Pamanmu?” Mata tajam Fargo menatap lekat Carol, dan penuh tuntutan. Carol mengangguk. “Ya, Donald Cole adalah Pamanku. Hari ini Pamanku harus ke Florida. Aku diminta dia untuk menemui rekan binisnnya.” “Siapa nama rekan bisnis Pamanmu?” tanya Fargo dengan tatapan penuh tuntutan. “Tunggu sebentar—” Carol membuka dokumen di tangannya, melihat kartu nama yang terselip di sana. Berikutnya, dia segera melihat kartu nama itu dengan tatapan yang lekat dan seksama. Tiba-tiba mata Carol terperanjat terkejut melihat nama yang tertera di kartu nama itu. Carol mendekatkan kartu nama itu, memastikan nama yang dia baca tidak salah. Oh, Shit! Carol mengumpat dalam hati. Ternyata rekan bisnis yang dimaksud oleh pamannya adalah Fargo Jerald. Tadi dia tak melihat lebih dulu kartu nama dari rekan bisnis pamannya. Jika saja dia tahu, maka lebih baik Carol meminta bantuan asistennya untuk menemui Fargo. Carol memejamkan mata singkat. Dalam hati, Carol yakin dirinya pasti mendapatkan kutukan kesialan. Entah kenapa setiap kejadian-kejadian selalu saja bertemu dengan Fargo. Padahal dia sudah pusing dengan kehidupannya. Kenapa malah dipertemukan dengan pria menyebalkan itu? Cara bercanda semesta benar-benar keterlaluan dan tak bisa ditoleransi lagi. “Siapa nama rekan bisnis Pamanmu?” tanya Fargo lagi yang sejak tadi menunggu jawaban Carol. “Kau … kau yang merupakan rekan bisnis Pamanku. Maaf aku tidak tahu. Aku baru melihat kartu namamu di dokumen ini.” Carol menjawab santai tanpa dosa. Jika dia mengomel hanya sia-sia, bukan? Jadi lebih baik berpura-pura tak memiliki masalah. Walau dalam hati, Carol sangat jengkel. “Tuan, Nona, jadi kalian sudah reservasi atas nama Tuan Donald Cole?” tanya sang pelayan memastikan. “Ya,” jawab Fargo singkat. Disusul anggukkan kepala oleh Carol. Pun Fargo tak menyangka kalau akan bertemu lagi dengan Carol dalam situasi seperti ini. Padahal tujuan Fargo untuk menemui rekan bisnisnya. Andai Fargo tahu rekan bisnisnya berhalangan hadir dan digantikan oleh Carol, maka Fargo memilih menolak bertemu dengan Carol. Fargo malas jika harus berhadapan dengan Carol. “Baiklah, Tuan, Nona. Mari ikut saya ke dalam.” Sang pelayan berucap penuh sopan. Tanpa lagi berkata, Fargo dan Carol melangkah masuk ke dalam restoran, mengikuti sang pelayan yang sudah lebih dulu guna menunjukkan kursi meja makan yang telah dipesan oleh Donald Cole. Sepanjang perjalanan menuju kursi meja makan, Fargo dan Carol benar-benar bersikap sangat acuh dan seakan tak peduli satu sama lain. Mereka berdua layaknya orang yang enggan untuk saling mengenal. “Tuan, Nona. Silakan duduk. Jika kalian membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya,” ucap sang pelayan sopan. “Thanks,” ucap Carol dingin. “Saya permisi.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Carol dan Fargo. Carol lebih dulu duduk di kursi meja makan, disusul oleh Fargo. Para pelayan mengantarkan wine ke tengah-tengah mereka. Layaknya seakan pasangan yang romantis. Restoran ini sangat mendukung dari segi tatanan. Padahal mereka berdua hanya karena bertemu sebagai rekan bisnis saja. Tidak lebih dari itu. “Baiklah, kita langsung saja. Tolong tanda tangani dokumen ini demi mempersingkat waktu.” Carol memberikan dokumen yang ada di tangannya pada Fargo. Fargo mengambil dokumen tersebut, mengamati seksama setiap point-point yang ada di sana. “Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan,” ucapnya kala membaca dokumen itu. “Katakan, apa yang ingin kau tanyakan?” Carol menatap lekat Fargo. “Point nomor tiga, di mana project baru bisa dimulai awal tahun, ini aku keberatan. Awal tahun terlalu lama. Selain itu di luar kontrak, aku ingin sumber daya manusia yang bekerja menjalani project ini harus tepat dan berjumlah sesuai dengan standart yang ada.” Fargo meletakan dokumen tersebut di atas meja. “Aku belum bisa menandatangani dokumen itu. Perbaiki point nomor tiga. Buat list di luar kontrak siapa saja sumber daya manusia yang akan bekerja menjalani project ini.” “Ck! Kenapa kau itu menyebalkan sekali, Fargo. Kau tinggal tanda tangani saja dulu. Kau membuatku lelah harus bolak-balik,” keluh Carol kesal. “Telepon pamanmu untuk segera kembali dari Florida. Yang ingin aku temui adalah dia, bukan dirimu,” jawab Fargo dingin. Carol mendengkus tak suka. “Kenapa ada pria menyebalkan sepertimu di dunia ini? Tiga tahun tidak melihatmu, aku sudah sangat bahagia. Kenapa malah kau muncul di Los Angeles? Harusnya kau tinggal selamanya saja di Amsterdam.” Fargo tersenyum samar mendengar ucapan Carol. Pria itu mengambil wine dan menyesapnya perlahan. “Tinggal di mana pun adalah hakku. Bukan hanya dirimu yang kesal melihatku, aku pun merasakan hal demikian. Hidupku sudah damai dan tenang. Sekarang terusik karena melihat wanita berisik sepertimu.” “Kau—” Carol mengepalkan tangannya dengan kuat, berusaha bersabar. Kali ini dia tak bisa memaki Fargo, karena posisinya Fargo adalah rekan bisnis dari pamannya. Benar-benar sangat menyebalkan! Carol menyumpahi semesta yang mempertemukannya lagi dengan Fargo.Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj
Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se
Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan
Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b
Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu
“Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala
Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber
Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i
The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik