Los Angeles, California, New York, USA.
Fargo membuka kaca mata hitamnya, meletakan kaca matanya itu ke saku jas, dan melangkahkan kaki tegas menuju mobil yang telah menjemputnya di lobby bandara. Ya, dia telah tiba di Los Angeles. Tiga tahun dirinya meninggalkan kota di mana dirinya lahir dan dibesarkan membuat Fargo merindukan kota ini. Kota yang menyimpan jutaan memori di masa lalu yang tak akan mungkin terlupakan. Namun, meski demikian tetap saja Fargo tak mau terus terusan mengingat apa yang sudah berlalu. Selama tiga tahun Fargo meninggalkan kota ini, dia terlalu fokus pada pekerjaannya. Bahkan dia tak dekat dengan wanita manapun. Tujuannya meninggalkan Los Angeles, karena pria itu ingin fokus pada diri sendiri. Tak mau memikirkan apa yang sudah terjadi. Berdamai dengan kenyataan tak mudah. Satu-satunya yang dia lakukan adalah menyibukan diri. “Silakan, Tuan.” Gene membukakan pintu mobil untuk Fargo kala tuannya sudah tiba di lobby bandara. Pun tanpa mengatakan sepatah kata, Fargo masuk ke dalam mobil, bersamaan dengan Gene yang duduk di kursi depan tepat di samping sang sopir. Tak selang lama, sopir mulai melajukan mobil meninggalkan bandara tersebut. “Gene, apa hari ini Kimberly ada di rumahnya?” tanya Fargo seraya menatap Gene yang duduk di kursi depan. “Hari ini, Nyonya Kimberly memiliki jadwal yang cukup padat. Begitupun dengan Tuan Damian. Sementara Tuan Muda Diego pasti masih di sekolah, Tuan,” jawab Gene memberi tahu. Fargo menganggukkan kepalanya. Padahal niatnya pertama kali tiba di Los Angeles adalah mengunjungi Kimberly dan Diego. Namun, terpaksa dia harus mengulurkan niatnya. Dia sengaja tak memberi tahu pada siapa pun tentang kepulangannya ke Los Angeles. Alasannya, karena dia malas mendapatkan sambutan berlebihan dari ibunya. Selama tiga tahun ini, Fargo memang tak pernah pulang ke Los Angeles. Namun, hubungan Fargo dan keluarganya selalu lancar. Bahkan dia kerap melakukan video call dengan Diego. Wajah Diego sangat mirip dengan Damian. Tentu Fargo pernah memperbandingkan wajah Damian kecil dan Diego. Bisa dikatakan Diego layaknya fotocopy Damian. Tak sama sekali ada yang berbeda. “Tuan Fargo,” sapa Gene sopan. “Ada apa?” tanya Fargo dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. “Tuan, saya lupa memberi tahu siang ini Anda kalau Tuan Donald Cole akan bertemu dengan Anda untuk menandatangani perjanjian bisnis. Apa Anda ingin menunda pertemuan ini, Tuan?” tanya Gene penuh hati-hati. “Ck! Kenapa kau bisa lupa, Gene! Itu pertemuan penting!” sembur Fargo kesal pada sang asisten yang bisa lupa akan jadwalnya. Gene menelan salivanya susah payah. “Maaf, Tuan. Saya benar-benar lupa. Lain kali saya tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi.” Fargo mengembuskan napas kasar. Pria itu ingin mengamuk, tapi percuma saja. Mengamuk sia-sia karena semua sudah terjadi. “Jangan dibatalkan. Teruskan saja. Aku akan menemuinya sekarang.” “B-baik, Tuan,” jawab Gene patuh dan sopan. Selanjutnya, Gene memerintahkan pada sopir untuk putar arah menuju ke arah jalan—yang berbeda sesuai dengan alamat di mana Fargo akan bertemu dengan rekan Donald Cole. *** Carol menghempaskan tubuhnya ke kursi kebesarannya. Wanita cantik itu menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata lelah. Baru saja dia selesai meeting penting dengan salah satu rekan bisnisnya. Well, tak lagi terhitung berapa banyak pekerjaan yang dimiliki Carol, pasalnya beberapa tahun terakhir ini memang perusahaan skin care yang dibangun Carol dan Kimberly menuaikan hasil yang sangat meningkat tajam. Tentu ini adalah hasil kerja keras Carol dan Kimberly. Mereka sama-sama berjuang keras membesarkan perusahaan mereka. Ditambah baik Carol ataupun Kimberly masih memiliki perusahaan masing-masing yang mana menjadi tanggung jawab mereka. Itu yang sedikit menghambat keduanya, tapi tetap Carol dan Kimberly memperjuangkan selalu perusahaan yang telah mereka sama-sama bangun dari nol. Sejak usia Diego menginjak satu tahun, Kimberly sudah aktif mengelola perusahaan. Bisa dikatakan aktifnya Kimberly sangat membantu Carol. Meski selama ini Carol dibantu oleh Freddy, tetap saja ada beberapa hal yang tak enak jika Carol meminta bantuan pada Freddy. Beruntung, Diego bisa ditinggal selama Kimberly bekerja. Jadi Carol tak terlalu stress seperti sebelumnya. “Aku ingin sekali berlibur. Apa aku ambil libur saja? Ah! Jenuhnya di kota ini,” keluh Carol seraya memijat keningnya. Carol mengambil wine yang ada di hadapannya, menyesap wine tersebut, meminum secara perlahan. Wanita itu memejamkan mata lelah, berusaha menyingkirkan segala kepenatan dalam pikirannya. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Carol membuka matanya, melihat ke layar tertera nama Donald Cole—Pamannya—menghubungi dirinya. Kening Carol mengerut dalam, pamannya itu sangat jarang sekali menghubunginya. Namun, kenapa sekarang malah Pamannya itu menghubungi dirinya? Carol mendesah pelan memikirkan alasan kenapa pamannya menghubungi dirinya. Tak berlangsung lama, dia memilih untuk menjawab panggilan tersebut. Dia tak enak jika lama menjawab panggilan dari pamannya itu. “Hallo, Carol. Apa kau sibuk?” ujar Donald dari seberang sana. “Sedikit, tapi sekarang aku sedang bersantai di ruang kerjaku. Ada apa, Paman?” tanya Carol hangat. “Begini, Carol. Aku dan Bibimu harus terbang ke Florida mendadak. Ada acara yang kami tidak bisa untuk tidak datang. Sedangkan asistenku harus ikut denganku. Aku ingin meminta bantuanmu bertemu dengan salah satu rekan bisnisku yang baru saja pulang dari Amsterdam. Dokumen akan segera dikirimkan dan di dalam dokumen itu ada kartu nama dari pria yang akan kau temui. Untuk alamat restorannya nanti aku akan kirimkan lewat pesan. Bagaimana? Kau bisa membantuku, kan, Carol? Aku mohon untuk kali ini saja. Aku sangat percaya padamu, Carol. Ini kerja sama yang sangat penting.” Carol terdiam sejenak mendengar ucapan pamannya itu. Dia ingin sekali menolak, tapi rasanya tak mungkin. Dia tidak enak kalau sampai menolak permintaan Pamannya yang sudah memohon seperti ini. “Baiklah, Paman. Kirimkan saja dokumen itu. Aku akan menemui rekan bisnismu.” Tak ada pilihan lain, Carol harus terpaksa memenuhi keinginan pamannya. “Thanks, Carol. Orangku sudah di jalan mengantarkan dokumen itu. Kau bisa tunggu dia di lobby.” “Ya, Paman.” “Sekali lagi terima kasih, Carol.” “Sama-sama, Paman. Salamkan aku untuk Bibi. Take care.” Panggilan tertutup. Carol bangkit berdiri, mengambil tas dan kunci mobil, lalu melangkah keluar dari lobby perusahaan. Sebenarnya Carol ingin istirahat, tidur sebentar di ruang kerjanya, tapi terpaksa dirinya harus menunda waktu bersantai sampai tiba di rumah nanti. Di lobby, Carol sudah melihat staff dari pamannya yang berjalan menghampirinya. Raut wajah Carol yang dingin tetap terlukis senyuman kala staff dari pamannya menyapa dirinya. “Selamat siang, Nona Carol,” sapa staff dari pamannya itu. “Siang,” jawab Carol hangat. “Nona, ini dokumen dari Paman Anda.” Staff itu memberikan dokumen tersebut pada Carol. “Oke, thanks. Kau boleh pergi sekarang,” balas Carol kala menerima dokumen tersebut. “Baik, Nona. Kalau begitu saya permisi.” Staff dari pamannya itu langsung pamit undur diri dari hadapan Carol. Carol menatap dokumen di tangannya seksama. Wanita cantik itu hendak membuka dokumen tersebut, dan ingin mengambil kartu nama, tapi dering pesn masuk, membuat Carol mengurungkan niatnya untuk membuka dokumen tersebut. Carol menatap ke layar ponselnya ternyata itu dari pamannya yang membagikan padanya alamat restoran yang harus dia datangi. Tak mau berlama-lama, Carol memutuskan untuk segera menuju ke parkiran mobil. Di perjalanan, Carol memikirkan siapa rekan bisnis dari pamannya itu. Pasalnya Carol tak tahu perusahan apa yang bekerja sama dengan pamannya. Meski jarang menghubungi, tapi setiap kali kumpul keluarga, Carol cukup dekat dengan pamannya itu. Setibanya Carol di restoran, wanita itu segera turun dari mobil sambil membawa tas dan dokumen penting Pamannya itu. Berikutnya, dia melangkah masuk ke dalam restoran sedikit terburu-buru. Dia takut kalau dirinya sampai terlambat. Saat langkah kaki Carol dipercepat, tiba-tiba tanpa sengaja, Carol menabrak pria yang masuk ke dalam restoran. Dia hendak tersungkur, tapi tangan kokoh pria itu refleks, melingkar ke pinggangnnya begitu erat. Tubuhnya merapat pada tubuh gagah pria itu. Aroma parfum maskulin khas yang Carol seperti tak asing menciumnya seolah membuat otak Carol menjadi memikirkan seseorang. Saat Carol hendak mengeluarkan suara, betapa terkejutnya dia menatap sosok pria yang ada di hadapannya. Matanya melebar meyakinkan apa yang dia lihat ini salah. Namun tidak! Penglihatannya masih sangat bagus. Tak mungkin dirinya salah mengenali seseorang. “F-Fargo?”Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj
Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se
Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan
Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b
Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu
“Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala
Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber
Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i
The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik