Callista tersentak saat pria itu langsung memberikan black card pada manager klub malam itu. “Tuan? Tunggu kenapa anda membayarnya? Aku bisa membayarnya, Tuan.”
Pria itu tidak menjawab, setelah menyelesaikan pembayaran dia langsung berjalan meninggalkan Callista. Callista berteriak agar pria itu berhenti tapi pria itu tidak merespon dirinya.
Dengan cepat Callista berlari mengejar pria itu dan kini dia berhasil menahan lengan pria itu. “Tunggu tuan,” ucapnya dengan tergesa-gesa.
Pria itu membalikan diri, lalu dia menatap lekat manik mata biru Callista. “Jika kau ingin berterima kasih, maka tidak perlu berterima kasih,” kata pria itu dengan suara dingin.
“Bukan, aku bukan hanya ingin berterima kasih. Tapi aku ingin mengganti uangmu, Tuan. Aku tidak ingin memiiki hutang. Berikan nomor rekeningmu, aku akan mentransfer uang ke rekeninmu,” jawab Callista. Dia membalas tatapan pria bermata coklat di hadapannya itu.
Pria itu melangkah mendekat dan tersenyum miring lalu berkata, “Jika suatu saat kita bertemu lagi, kau bisa membayarnya. Tapi saat ini aku tidak menerima uang darimu.”
Callista mengerjap, dia tidak mengerti dengan apa yang di katakan pria itu. Pria itu terus tersenyum ke arah Callista. Tubuh tegap, wajah yang tampan dan mata berwarna cokat itu benar-benar membuat Callista tidak mampu mengalihkan pandanganya. Kemudian pria itu membalikan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Callista.
Olivia berlari menghampiri Callista yang berada di luar. Dengan cepat dia langsung menepuk bahu sahabatnya yang tengah melamun. “Callista, kau kenapa?” tegur Olivia yang sontak membuat Callista mengentikan lamunannya.
“Ah, tidak-tidak. Aku tidak apa-apa,” jawab Callista cepat.
“Lebih baik kita pulang saja sekarang,” balas Olivia.
Callista mengangguk setuju. Kini Callista dan Olivia berjalan meninggalkan klub malam itu. Olivia beruntung, dia dan Callista datang lebih awal hingga temannnya yang memiliki klub malam itu, tidak melihat kejadian tadi. Jika saja temannya melihat, pasti Olivia sungguh merasa tidak enak pada temannya. Dan akibat kekacauan malam ini, Olivia mengajak Callista untuk segera pulang.
***
Callista dan Olivia melepas heels dan melempar tas mereka sembarangan. Saat melihat tempat tidur, Callista dan Olivia langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Malam sudah larut, Olivia memutuskan untuk menginap di apartemen Callista. Beruntung mereka memiliki ukuran baju yang sama. Jadi Olivia sering meminjam baju Callista jika dirinya tengah menginap.
“Callista, apa kau tadi tidak bertanya nama pria yang menolongmu? Demi Tuhan, dia bukan hanya tampan tapi dia juga seksi. Apa kau tidak melihat? Tubuhnya tercetak begitu sempurna dengan dada bidang dan otot perut. Satu lagi, lengannya begitu menggoda. Dia sungguh pahatan yang sempurna,” kata Olivia yang masih membayangkan pria asing yang membantu Callista.
Callista mendesah pelan. “Aku bahkan mengucapkan kata terima kasih tapi dia mengabaikan ucapanku.”
Olivia berddecak pelan. “Kalau aku menjadimu, aku pasti akan langsung bertanya namanya. Jadi tidak perlu basa-basi!” cibir Olivia.
“Jangan bicara yang tidak-tidak, Olivia! Aku masih sangat lelah, kau tidak lihat? Anak buah ayahku membantingku?” seru Callista kesal.
Olivia mendengus. “Ini kesalahanmu sendiri, Callista Hutomo. Kau yang melarikan diri dari rumah. Kau juga yang mencari masalah dengan ayahmu itu. Aku rasa kau sangat mengenal baik ayahmu itu. Tapi kau malah melawannya, jika aku menjadi kau lebih baik aku menurut.”
Callista membalikan tubuhnya, seolah tidak memperdulikan perkataan Olivia itu. “Berisik kau Olivia! Lebih baik diam atau aku akan mengusirmu dari apartemenku. Kepalaku sakit mendengar suaramu!”
Olivia mencebikkan bibirnya. Menatap kesal sahabatnya itu. “Jika kau berani mengusirku percayalah seumur hidup kau tidak akan pernah menikah! Karena hanya aku satu-satunya sahabatmu yang mengingatkanmu memiliki kekasih.”
Callista mengumpat dalam hati, dia mengambil bantal dan melempr kasar ke wajah Olivia. Mulut sahabatnya itu benar-benar meembuatnya sakit kepala.
Olivia menangkap bantal yang di lempar Callista. Dia langsung melempar ke arah Callista. “Sialan kau, Callista!”
Dering ponsel terdengar, membuat Callista dan Olivia kini menoleh ke arah ponsel yang tidak henti berdering itu. Callista menghela napas berat, tengah malam seperti ini ada saja yang menganggunya.
Callista menyambar ponselnya yang berada di atas nakas, dia melihat ke layar tertera nama Jessica, kakaknya yang menghubungi dirinya. Callista menggeser tombol hijau di layar ponsel untuk menerima panggilan. Sebelum kemudian dia meletakan ponselnya mendekat ke telinganyaanya.
“Ada apa ka? Kenapa menghubungiku malam-malam seperti ini?“ jawab Callista dengan nada kesal saat panggilannya terhubung.
“Anak nakal! Berani kau menyambut kakakmu yang menghubungimu dengan nada seperti itu?” Suara Jessica meninggi dari seberang line.
Callista membuang napas kasar. Dia memijit pelipisnya. Hari ini benar-benar hari tersial baginya. “Katakan ka, ada apa? Aku ingin tidur aku lelah.”
“Katakan padaku, kenapa kau melawan anak buah Papa? Astaga Callista, sudah berapa banyak anak buah Papa yang kau buat masuk rumah sakit? Apa kau ini sengaja membuat Papa terkena serangan jantung?” seru Jessica.
“Ka, tidak perlu mengkhawatirkan papa. Aku sudah memeriksa kesehatannya. Papa sangat sehat, jantung papa juga sangat sehat. Aku pastikan papa tidaka akan terkena serangan jantung,” balas Callista yakin.
“Kau ini benar-benar, Callista! Lama kelamaan kakakmu ini juga terkena serangan jantung menghadapi wanita keras kepala sepertimu! Kau harus segera menghubungi papa dan minta maaf padanya. Jangan lagi membuat ulah Callista, sebentar lagi aku akan menikah. Aku akan disibukan dengan persiapanku menikah.”
“Ka, sudahlah aku ingin istirahat. Masalah minta maaf dengan papa nanti aku akan mengaturnya. Tidak sekarang, karena aku masih belum ingin bertemu dengannya sekarang. Kau sangat tahu alasannya.”
“Tapi-“
“Ka, besok aku memiliki jadwal di pagi hari. aku tutup,” potong Callista cepat. Dia langsung memutuskan sambungan teleponnya. Meletakan kembali ponselnya di atas nakas.
Callista kembali membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Olivia menatap Calista yang terlihat begitu lelah. Olivia mengerti, bagaimana perasaan Callista. Sejak dulu, Callista memang bermimpi menjadi seorang dokter. Bukan memimpin perusahaan keluarganya.
“Cal, tadi Ka Jessica menghubungimu?” tanya Olivia hati-hati. Dia melihat Callista yang terlihat begitu lelah.
“Ya, seperti yang kau tahu. Mereka akan terus memaksamu menjadi sesuatu yang mereka inginkan,” jawab Callista dengan helaan napas berat. “Terkadang aku iri denganmu, Olivia. Kau bisa memilih yang kau sukai. Kedua orang tuamu begitu mendukungmu menjadi seorang Dokter. Sedangkan aku? Tidak ada satu pun di anatara keluargaku yang menyentujui impianku ini.”
Olivia menatap lekat Callista, tangan Olivia mengusap dengan lembut lengan Callista. “Kau tahu? Orang tuaku selalu mengatakan setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan aku percaya, orang tuamu juga melakukan hal yang sama. Hanya cara mereka menujukannya berbeda.”
“Tapi mereka tidak pernah mendengar apa yang aku inginkan. Ayahku menginginkanku seperti kakakku Jessica. Aku tidak bisa hidup dalam sorotan kamera, terlebih para media akan bertanya masalah pribadi kita. Aku tidak menyukai hidup seperti itu,” jelas Callista yang menceritakan alasan dirinya enggan untuk menuruti keinginan ayahnya itu.
Olivia menggeleng pelan dan tersenyum. “Kau itu wanita teraneh yang pernah aku temui. Ketika semua orang menginginkan hidup diposisimu. Tapi kau malah tidak menginginkannya. Seharusnya kau senang menjadi pusat perhatian banyak orang.”
“Sudahlah aku ingin beristirahat, Aku tidak ingin membahas apapun.” Callista menarik guling, dia membalikan tubuhnya membelakangi Olivia. Kini yang dibutuhkan Callista adalah beristirahat. Dia malas jika harus membahas tentang keluarganya itu.
***
-To Be Continued
“Ah, lelah sekali.” Callista melangkah keluar dari ruang operasi. Setelah hampir sepuluh jam dia melakukan tindakan, kini dirinya begitu kelelahan.“Callista, apa kau langsung pulang?” tanya Olivia yang juga kelelahan. Dia memijat pelan tekuk lehernya. Tubuhnya seolah benar-benar remuk.“Mungkin iya, tubuhku lelah sekali. Aku ingin berendam,” jawab Callista. “Yasudah, aku ingin ke ruang kerjaku dulu, ya?”Olivia mengangguk. “Ya, aku juga ingin langsung pulang ke rumah.”Callista tersenyum. Kemudian melangkah masuk ke dalam ruang kerjanya. Meski lelah, tapi Callista selalu bahagia setiap kali operasi berhasil menyelamatkan pasiennya.Saat Callista baru saja tiba di ruang kerjanya—dia mendengar suara dering ponsel miliknya terus berdering. Callista mendekat, lalu mengambil ponselnya dan menatap ke layar. Seketika Callista mengembuskan napas kasar ketika melihat nomor Alice, ibunya tert
“Nyonya.” Seorang pelayan menghampiri Alin yang tengah menyirami bunga-bunga di tamannya.“Ada apa?” Alin bertanya pada pelayan yang kini berdiri di hadapannya.“Nyonya, maaf mengganggu anda. Tapi di depan ada tamu yang Bernama Nona Megan Alister ingin bertemu dengan anda. Beliau mengatakan anda sendiri yang mengundangnya,” ujar sang pelayan memberitahu.“Megan sudah datang?” Raut wajah Alin tampak begitu bahagia mendengar Megan Alister sudah datang. Ya, dia mengundang anak dari teman dekatnnya untuk berkunjung ke rumahnya.Sang pelayan menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya.”Alin tersenyum. “Kau siapkan minuman untuknya. Aku akan segera ke depan.”“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Alina.Alin terus mengembangkan senyumannya. Kini dia berjalan meninggalkan taman itu, menuju tempat di mana Megan Alist
Berita tentang Daniel Renaldy menjalin hubungan dengan Callista Hutomo, putri keluarga keluarga Michael Hutumo telah tersebar. Banyak yang berkomentar mereka adalah pasangan yang sempurna. Selama ini publik tidak pernah tahu tentang Callista. Karena memang hanya Putri sulung Michael hutumo, Jessica yang kerap kali muncul di hadapan media. Banyak orang pikir Michael hanya memiliki satu putri saja. Namun kenyataanya Michael memiliki putri yang berprofesi sebagai Dokter di rumah sakit milik Daniel.Semua berita yang tampil pagi ini, membuat raut wajah Alin berubah dipenuhi dengan amarah. Iris matanya penuh dengan kebencian mendalam.“Sialan!” Alin membanting vas bunga yang ada di hadapannya, hingga pecahan belingnya memenuhi lantai. Sorot mata Alin menajam, berkali-kali Alin mengumpat kasar.“Aku tidak akan pernah membiarkan putraku menikah dengan putrimu, Casandra,” geram Alin penuh dengan kebencian.Kini Alin menyambar kunci mobilny
Michael membanting kasar guci yang ada di ruang kerjanya. Kini, keadaan ruang kerja Michael benar-benar tampak begitu kacau. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya. Ya, Micahel tidak mampu lagi mengatasi amarahnya, kala melihat pemberitaan tentang putri bungsunya dan putra dari Gio Renaldy. Michael terus mengumpat kasar, merutuki kebodohannya sampai dia tidak tahu pemilik Queen Hospital, tempat di mana Callista bekerja adalah milik Daniel Renaldy. Jika saja, dia tahu sejak awal, maka ini tidak akan pernah terjadi.“Sialan kau, Gio. Aku tidak akan membiarkan putriku menikah dengan putramu!” geram Michael dengan tangan yang terkepal kuat. Rahangnya mengetat. Kilat kemarahan
Daniel duduk di kursi kebesaraannya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi seraya memejamkan matanya lelah. Pikirannya terus memikirkan perkataan kedua orang tuanya. Diawal hubungannya dengan Callista, kedua orang tuanya menyetujui hubungannya. Bahkan kedua orang tuanya begitu mendukung. Tapi, setelah mereka tahu Callista adalah putri Michael Hutomo, mereka langsung melarangnya menjalin hubungan dengan Callista. Daniel merasakan sesuatu hal antara keluarganya dan keluarga Callista.Tanpa ingin lagi berpikir, Daniel langsung menekan tombol interkom. Dia meminta Harry, assistantnya untuk segera datang menemuinya. Tidak lama kemudian, Harry melangkah masuk ke dalam
“Mereka baik,” jawab Daniel dengan nada datar dan tatapan begitu serius pada kekasihnya itu. “Callista, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,” lanjutnya yang membuat Callista bingung.“Ada apa, Daniel? Apa yang ingin kau tanyakan?” Alis Callista saling bertautan. Dia terus menatap Daniel. Sesaat, dia memperlihatkan tatapan Daniel yang terlihat ingin mengatakan sesuatu padanya. Sebuah tatapan yang sangat berbeda dari biasanya.“Apa kau mempercayaiku?” Daniel membawa t