Saraswati meronta, matanya dipenuhi gejolak emosi yang berkecamuk. Setiap bagian dari dirinya menolak untuk meninggalkan Nyai Dewanti sendirian, tetapi ia tahu bahwa Raka benar. Jika mereka kembali, mereka tidak hanya akan terbunuh, tetapi rahasia tentang dirinya juga akan lenyap bersama mereka. Dengan gigi terkatup rapat, ia akhirnya membiarkan Raka menariknya menjauh. Mereka berlari lebih dalam ke dalam hutan, menembus semak-semak dan ranting yang menggores kulit mereka tanpa ampun.
Jalan setapak yang mereka lalui semakin curam, membawa mereka menuruni lereng berbatu yang licin karena embun malam. Napas Saraswati memburu, tetapi ia terus memaksa dirinya untuk bergerak. Setiap langkah yang ia ambil kini bukan lagi sek
Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita ti
Ayunda Kirana masih berdiri di samping Saraswati, tetapi ia belum menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Wanita itu hanya mengamati situasi dengan mata penuh perhitungan, seolah menunggu sesuatu sebelum mengambil keputusan. Raka dan Raksa berdiri di sisi Saraswati, tubuh mereka tegang, siap untuk bertempur kapan saja. Sementara itu, Adhiraj telah mencabutpedangnya, ujungnya berkilat di bawah sinar matahari yang semakin meninggi.“Aku tidak ingin pertumpahan darah ini terjadi,&r
Saraswati menegang. Ia tidak mengenal mereka, tetapi kata-kata mereka menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar perusuh. Mereka memiliki tujuan. Raja mengangkat tangannya dan para pengawal segera membentuk pertahanan di sekelilingnya. “Siapa kalian?” suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Pria itu melangkah lebih dekat, dan dengan gerakan cepat, ia membuka penutup wajahnya. Semua orang terdiam ketika wajahnya terlihat di bawah cahaya pagi yang mulai menyinari halaman istana. Saraswati menahan napas. Ia mengenali wajah itu. Seorang bangsawan yang seharusnya telah mati bertahun-tahun lalu dalam pembersihan klan pemberontak.Raja tampak terkejut, tetapi hanya sesaat sebelum ia menguasai dirinya kembali. “Kau seharusnya sudah mati,”
Saraswati melangkah maju, memisahkan diri dari pasukannya. Raka dan Raksa tetap berada di belakangnya, tetapi tidak berusaha menghentikannya. Mereka tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia hadapi sendiri.Raja mengangkat satu tangan, memberi isyarat pada pasukannya untuk tetap diam. Ia menatap Saraswati dengan pandangan yang sulit diartikan—ada ketegasan, ada kemarahan, tetapi juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kebencian.“Kau datang jauh untuk ini,” katanya akhirnya, suaranya bergema di seluruh halaman istana. “Untuk apa, Saraswati? Untuk perang? Untuk melihat rakyat yang kau bawa ini mati demi ambisimu?”Saraswati menatapnya tanpa gentar. “Aku datang bukan untuk membunuh, tapi untuk mengambil kembali apa yang menjadi hakku.”R
Langkah kaki terdengar mendekat, dan Raka masuk ke dalam tenda tanpa permisi, ekspresinya tetap tenang tetapi ada ketegangan dalam gerakannya. Ia menatap Saraswati dengan saksama sebelum berbicara. “Mereka sedang bersiap. Pasukan kerajaan mulai bergerak.”Saraswati menoleh, matanya mencari jawaban di wajah Raka, tetapi pria itu tetap seperti biasanya—diam dan penuh perhitungan. “Berapa banyak?” tanyanya akhirnya.Raka menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Adhiraj memimpin langsung. Mereka tidak menunggu lama untuk bergerak. Mata-mata kita melihat mereka berkumpul di alun-alun utama. Tidak lama lagi, mereka akan mengunci ibu kota.”Saraswati mengepalkan tangannya, berpikir cepat. “Mereka ingin kita menyerang dalam posisi yang tidak menguntungkan,” gumamnya. “
Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan