"APA tidak apa-apa kita keluar seperti ini?" tanyaku pada gadis Jepang yang sangat manis.
Dia ini tipe waifu ideal bagi anak-anak otaku. Tubuhnya ramping, kulit wajahnya mulus, dengan rambut lurus panjang sepunggung berwarna hitam, matanya yang sipit berwarna senada, dan jangan lupakan senyumannya.
Aku bahkan sampai ragu, jika sampai sekarang dia masih menjomlo.
"Hm, benar juga." Yuki berhenti melangkah, matanya menatapku. "Tempat tinggal Onee-chan ada di mana?"
Aku tersenyum. "Di sebelah unit apartemen polisi rendahan satu itu."
Aku mendengkus, benar-benar tidak yakin dia seorang polisi rendahan. Apa jangan-jangan dia membohongiku? Demi menyembunyikan pekerjaannya, dia merahasiakannya dari orang asing sepertiku?
Tentu saja, aku bisa percaya jika ia polisi. Apalagi tadi ada Shinji Akira, kakak kandung Yuki yang memang bukan orang biasa. Sangat tidak mungkin Daniel mengenal Shinji, apalagi mereka bisa berbicara seakrab itu, jika dia hanya polisi rendahan, kan?
Yuki tersedak, mimik wajahnya menunjukkan bahwa aku adalah orang paling aneh yang pernah ada di dunia ini.
"Kenapa?" tanyaku tak nyaman.
"Dari mana Onee-chan tahu, kalau dia seorang polisi?"
Aku terdiam, mengingat-ingat masa lalu. "Sepertinya, dia yang mengatakannya langsung padaku."
Yuki terdiam, bibirnya terkatup, tatapannya lurus dan serius. Dia seperti sedang berpikir keras dan aku tidak suka melihatnya begitu yang berarti sedang mengabaikanku.
"Jadi, bagaimana? Apa kita akan kembali?"
Yuki menggeleng, pandangannya menelisir sekitar. Tempat sekitar tidak ramai, karena pemerintah memang meminta masyarakat untuk saling jaga jarak dan tidak diperbolehkan keluar, jika memang tak ada kepentingan berarti.
"Kurasa tidak perlu, kita bisa jalan-jalan sebentar." Yuki kembali memamerkan senyumannya. "Onee-chan bukan orang asli sini, kan?"
Aku mengangguk, lalu menghela napas kasar. "Sebenarnya, aku kemari untuk liburan, tapi ...."
"Onee-chan terjebak di rumah karena aturan mendadak dari pemerintah?" tebaknya, tepat sasaran. Tidak salah jika ia berhasil menjadi salah satu detektif termuda sepanjang sejarah.
Aku mendengkus. "Kalau bisa, aku ingin kembali ke negara asalku."
"Di mana?"
"Indonesia."
"Hm."
Aku memejamkan mata, kepala mendongak, seraya berkata, "Andaikan bandara tidak tutup-"
"Tempat itu harus ditutup," tegasnya. "Kalau tidak, pelaku bisa kabur dengan mudah dan pihak kepolisian akan semakin sulit mencari keberadaannya. Belum lagi, kasus ini tidak terjadi di satu tempat yang sama setiap malam, jadi sangat sulit untuk melacak dan memperkirakan di mana lokasi berikutnya."
"Kau tahu banyak, ya?" tanyaku langsung.
Yuki mengangguk. "Aku mengumpulkan semuanya dan menganalisisnya. Apa Onee-chan mau mendengar hipotesis sementara soal kasus ini?"
Aku menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal. Aku memang penasaran, tapi aku bukan orang yang suka memikirkan masalah rumit sejenis itu.
Tidak. Aku tidak mau repot-repot.
Hanya saja, aku merasa janggal dengan kasus yang mereka bicarakan. Setiap malam, selalu ada kasus baru, minimal di dua tempat lokasi kejadian. Sejauh ini, kasusnya belum sampai Akita, tapi entah kenapa Shinji bisa sampai turun tangan untuk ikut andil memecahkan masalah.
"Menurut informasi yang kudapat, ada klompotan pembunuh berantai yang sedang berkeliling Jepang. Mereka sangat berbahaya dan selalu beroperasi di tengah malam. Untuk meminimalisir korban, pemerintah menutup segala akses jalan keluar dan masuk. Sekaligus, agar pelaku bisa segera ditemukan."
"Tapi-" Aku melirik sekitar. Sepi, tapi bukan berarti tak ada orang. Jika memang rencana pemerintah begitu, harusnya, tempat ini benar-benar kosong. "Mereka ...?"
"Mereka bisa menjadi salah satu tersangka." Yuki memandangi mereka satu per satu. "Tentu saja, tak terkecuali Onee-chan."
Aku terdiam. Jika aku berani keluar begini, bisa saja aku dicurigai, tapi mana mungkin! Aku bahkan tidak berani membunuh semut dan nyamuk, mana mungkin aku membunuh manusia-ralat, banyak manusia.
"Aku bercanda," gumam Yuki kemudian, dia tersenyum tipis. "Louis Daniel Fernandesh, dia berasal dari Inggris. Salah satu bangsawan yang dihormati di sana, tapi dia jarang keluar dari tempat persembunyiannya." Yuki mengangkat bahu. "Aku tidak ragu, jika Onee-chan tidak mengenalnya, karena Onee-chan cukup naif untuk ukuran orang dewasa."
Aku terdiam. Daniel seorang bangsawan? Serius?
Aku tertawa hambar. "Kau pasti bercanda, Yuki. Mana mungkin Daniel seorang bangsawan? Dia hanya polisi rendahan yang suka masuk ke apartemenku seenaknya. Dia hanya pria mesum menyebalkan, tidak mungkin dia seorang bangsawan," bantahku. "Tidak mungkin."
"Itu kenyataannya." Yuki tersenyum tipis. "Untuk itulah Onii-chan mencarinya, karena diamnya Daniel menyimpan banyak informasi yang bahkan tidak diketahui oleh negaranya sendiri."
Tiba-tiba saja ekspresi Yuki berubah. Tatapannya berpindah, yang sebelumnya menatapku, kini melihat sekitar. Gerakannya yang terasa waspada membuatku ikutan awas.
"Ada apa?"
Yuki menggeleng, bibirnya kembali tersenyum. "Sebaiknya kita ke tempat Onee-chan saja, kurasa tempat ini tidak aman."
Aku tersenyum tidak nyaman. Memang, sebelum ada kejadian teror itu, tempat sudah terkenal tidak aman. Apartemen kumuh yang berada di gang sempit ujung jalan, siapa saja yang memiliki keperluan kemari hanyalah mereka yang terbiasa hidup di kalangan kelas menengah ke bawah.
Itulah mengapa, aku tidak kaget sewaktu Daniel bertindak tidak sopan dengan memasuki unit apartemenku seenaknya. Dan ketika Yuki bilang kalau Daniel seorang bangsawan.
Pasti ... semua itu hanya lelucon, kan?
"VAMPIR itu ada dan aku salah satu dari mereka."Daniel hanya memikirkan cara ini agar mereka bisa mempercayai kata-katanya, tapi sepertinya, cara ini saja tidak akan cukup."Ma-matamu ... berubah warna." Rieki kesulitan mengutarakan kalimat.Daniel tersenyum tipis, manusia biasa tidak akan mungkin bisa mengubah warna iris matanya."Kau punya penyakit, Tuan? Apa itu namanya ... sindrom wesdeburg, apa, ya?" ujar Rieki lagi."Sindrom Waardenburg," ralat Shinji. Namun, matanya memperhatikan Daniel dengan sangat baik. "Tapi kurasa, dia tidak memiliki penyakit langka itu."Daniel tersenyum miring. "Aku abadi, aku tidak bisa mati apalagi sakit. Aku vampir, kau bisa menyadarinya, kan?"
SHINJI dan temannya telah keluar dari apartemen Daniel saat kami sampai. Ekspresi laki-laki bertopi itu terlihat buruk, wajahnya yang merah, bibirnya yang pucat, dan tatapannya yang sayu membuatku iba."Kau kenapa?" tanyaku seraya mendekat, tapi Yuki ternyata ikut melangkah di sampingku."Apa yang terjadi?" tanya Yuki serius."Ah ... tidak apa-apa, aku hanya membayangkan sesuatu yang menjijikkan."Shinji dan Daniel tersenyum miring."Kalian yang membuatnya seperti ini? Tega sekali," komentarku."Kau salah sangka, Alin. Aku tak melakukan apa pun," sangkal Daniel cepat-cepat."Benarkah?" Aku semakin curiga. Pasti dia telah melakukan sesuatu sampai laki-laki itu menjadi begitu."Dia bohong." Shinji bersiul pelan, tangannya masuk ke saku celana, sedang kepalanya mendongak. "Yuki, Rieki, ayo kita pulang, sepertinya Daniel ingin berduaa
MALAM ini terasa begitu dingin. Bahkan untuk seorang vampir seperti Daniel, ia merasakan dingin itu memasuki tubuh dan mulai memeluk relung hatinya. Daniel juga merasakan firasat buruk yang sejak tadi terus mengganggu, seperti tengah mengintai mereka.Daniel melirik Alin yang tertidur lelap di atas ranjang. Pria itu ingin pergi, tapi ia merasa enggan. Ada sedikit ketakutan meninggalkan Alin malam ini, tapi ada rasa penasaran yang membuatnya harus segera pergi.Daniel melompat, dia berdiri di atas pagar pembatas balkon, sedang wajahnya menghadap bulan purnama yang berwarna merah."Malam yang begitu sempurna," ujarnya bertepatan dengan ponselnya yang berbunyi.Daniel tidak suka memakai ponsel, tapi ia memang memilikinya. Dia bahkan jarang mengeluarkan benda itu, karena tak ada seorang pun yang akan menghubunginya, kecuali satu orang ... Shinji Akira."Apakah sudah ada perkembanga
UNTUK pertama kalinya setelah tinggal beberapa hari di sini, aku bisa bangun siang. Biasanya Daniel akan membangunkanku—lebih tepatnya mengganggu tidur dan memaksa untuk segera memasak sarapan untuk kami berdua.Namun, entah apa yang terjadi dengannya pagi ini. Dia tidak muncul sama sekali. Aku berniat mencarinya setelah memasak dan mandi, tetapi niatku urung saat bel apartemen berbunyi, tepat setelah aku selesai mengenakan pakaian ganti."Fukumi-san, doushita?"Fukumi mengulum senyum, dia menyodorkan sebuah kantung plastik padaku. "Untuk sarapanmu.""Harusnya, kau tidak perlu repot-repot." Aku tetap menerima pemberian darinya, karena memang Fukumi adalah orang yang baik. Bukan hanya kali ini dia berbagi sarapan denganku maupun Daniel, tapi sudah beberapa kali."Daniel ... apa kau melihatnya?"Aku menggeleng. Jujur saja, tidak melihatnya di pag
DANIEL kehilangan semua rencana awalnya setelah apa yang terjadi tadi malam. Mata pria itu terpejam, kepalanya masih terngiang-ngiang oleh kalimat yang dilontarkan salah seorang vampir yang nyaris ia tangkap hidup-hidup."Daniel!" panggilan itu membuatnya menoleh. "Kau tidak mau mengganti pakaian sebelum pulang?"Daniel menatap pakaiannya semalam yang kini dipenuhi bercak darah mengering. Darah dari para vampir yang ia bunuh dengan kedua tangannya sendiri. Ia masih ingat, bagaimana kuku-kuku tajamnya menembus dada mereka dan meraup jantung vampir yang hanya bisa membelalak menatapnya."Tidak.""Kau tidak takut ... Alin akan mencurigaimu?"Daniel terdiam. Dia tidak mau Alin tahu, tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Sampai kapan ia harus menyembunyikan identitasnya dari wanita itu?"Itu bisa kupikirkan nanti."Daniel bangkit, dia sudah me
AKU terkejut setengah mati saat memasuki kamar. Di atas ranjang, Daniel tengkurap dengan kemeja putih yang dipenuhi darah. Aku segera berlari mendekat, menatap wajah Daniel yang kini terlihat sangat pucat."Daniel ... apa yang terjadi padamu?"Apa yang terjadi dengannya? Kenapa pakaiannya dipenuhi bercak darah? Apakah dia terluka?Aku menyentuh kemejanya. Darahnya sudah mengering, sepertinya luka semalam. Namun, apa benar dia terluka? Lalu, kenapa dia bisa sampai ke kamarku? Dan dari mana dia datang?Sejak tadi aku berada di ruangan depan, berbicara dengan Fukumi, harusnya, ia akan bertamu melalui pintu depan, kan?Aku mengusap pipinya. Dingin, tubuhnya sangat dingin. Aku mendekatkan wajahku ke hadapan wajahnya. Masih ada embusan napas, dia masih hidup, tapi kenapa tubuhnya ... dingin sekali."Apa yang telah terjadi
DANIEL berhasil menghentikan diri tepat pada waktunya. Pria itu bangkit, duduk di sebelah tubuh Alin yang tak tertutupi sehelai benang pun. Jemarinya bergerak menyentuh kulit wajah Alin yang kini terlihat pucat pasi."Apakah aku terlalu berlebihan?"Daniel menghela napas kasar. Matanya memejam, mengingat beberapa saat lalu mereka bercinta panas, lalu kemudian, ia menggigit Alin dan mengisap banyak darah, membuat Daniel harus segera membuat keputusan.Alin akan takut padanya ketika ia sadar nanti. Bahkan, mungkin saja wanita itu akan membencinya, menolak keberadaannya.Vampir tidak seharusnya ada di antara manusia. Mereka makhluk yang takkan bisa hidup berdampingan dengan manusia. Itu mengapa, selama ini ia mengurung diri di kamarnya.Namun, ketika ia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya, pertemuannya dengan Alin dan interaksi mereka berhasil membuat Daniel mengi
"AKU ingin tahu apa yang terjadi denganmu. Kau ... tidak terluka parah, kan?"Daniel berhenti, mata biru safirnya menatap lurus mataku. "Menurutmu?""Menurutku tidak, tapi kenapa pakaianmu dipenuhi bercak darah?"Walaupun tahu, pertanyaanku hanya akan dianggap angin lalu, tapi aku tetap ingin mengatakannya. Aku ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi padanya semalam, hingga membuat pakaiannya menjadi seperti itu.Daniel memejamkan mata. Aku menyentuhkan jemari ke pipi Daniel bersama dengan matanya yang kembali terbuka lebar. Warna biru safir yang selama ini kukagumi perlahan berubah warna menjadi merah.Sama seperti saat ia akan memasuki klimaks tadi, matanya berubah warna menjadi merah.Ini nyata.Aku tidak sedang berhalusinasi."Kau bisa me