“Cepat, Nisa. Apa kamu mau aku terlambat ke kantor?” Ferdi datang kembali ke dapur setelah selesai menyantap rotinya, tidak sabar menunggu kemunculan Nisa yang begitu lama.“Tapi, Tuan. Apa ini seriusan?” tanya Nisa masih sulit mempercayai.“Iya, serius. Bukankah tadi malam sudah kujelaskan. Serahkan pekerjaan itu kepada Bi Nia,” ucap Ferdi yang melihat Nisa lagi-lagi berkutat dengan cucian.Nisa menatap Bi Nia yang sudah berdiri di belakang Ferdi, wanita baya itu mengedikkan kepalanya ke samping, menyuruh Nisa agar menyingkir.“Sebentar lagi, Den Lana bangun. Dia akan ke sekolah, kan. Demamnya sudah turun,” ucapnya masih tidak percaya, seakan keduanya bersekongkol untuk mengerjainya.“Lima menit. Aku menunggu di mobil.” Tanpa banyak bicara lagi, Ferdi meninggalkan keduanya.“Cepatlah, Nisa. Jangan membantah, turuti apa yang Tuan Ferdi katakan.” Bi Nia mengambil cucian yang ada di tangan Nisa.“Maafkan Nisa, Bi,” ucap Nisa sebelum meninggalkan beliau untuk bersiap.“Lama sekali, aku h
“Cerdik juga ya kamu, bisa bekerja di kantor ini. Padahal Ferdi menemukan kamu di jalanan, kan. Kenapa bisa sampai ke titik ini, apa yang kamu berikan kepada bosmu itu sehingga dia rela memberikan posisi ini kepadamu.” Lucia berjalan berlengang lenggok mendekati Nisa. Tanpa sengaja Nisa memencet tombol setuju ke Email yang belum selesai dipelajarinya, menyayangkan perbuatannya itu lalu memperbaiki kesalahannya. Beruntung email tersebut adalah balasan yang perusahaan itu sudah tunggu, jadi kesalahan yang dilakukannya termasuk hal yang memang harus dilakukan.“Bila orang bicara itu diperhatikan. Tatap matanya! Jangan sibuk yang lain, dasar pembantu tiada akhlak,” maki Lucia, memancing perhatian orang-orang yang kebetulan berjalan di lantai itu.“Maaf, Nyonya. Bukan maksud saya seperti itu, saya hanya ingin menjawab cepat email yang tidak sengaja saya setujui,” jawab Nisa jujur.Lucia tertawa mengejek. “Tidak sengaja, tidak sengaja? Bilang saja kalau kamu tidak mampu.” Dengan percaya di
Lana melangkah ke lantai dasar menuju swalayan terbesar di gedung itu. Anak itu memilih beberapa makanan yang paling mahal dan besar, sebagai balas dendam karena tidak diperbolehkan membeli es krim.Nisa yang melihatnya, membiarkannya saja, asal yang dipilih anak itu makanan bermutu yang tidak membangkitkan kembali penyakit yang baru saja sembuh kemarin.Anak itu melirik Nisa setiap kali akan mengambil apa yang dia inginkan, berharap wanita yang menjaganya itu melarangnya atau panik karena tidak akan bisa membayar belanjaannya yang banyak. Namun Nisa tidak perlu khawatir karena kartu kredit milik Ferdi masih ada di tangannya. Dia belum memiliki kesempatan untuk mengembalikannya, nanti saat mereka pulang dari mall ini dia berniat akan mengembalikannya.“Den Lana, mau apa kamu membeli stroller? Itu dibutuhkan oleh bayi, kamu sudah tidak memerlukannya lagi karena kan sudah besar, apa kamu mau balik jadi bayi lagi?” tegur Nisa ketika Lana mencoba mengangkat sroller itu dan ingin meletakk
Nisa terkejut mendengar seruan itu, sementara Ferdi bersikap biasa saja bahkan seakan tidak melihat penampakan mantan istrinya yang sudah seperti hiena marah. Berkacak pinggang memelototi mobil Ferdi yang masuk ke garasi.Dan bocah yang duduk di bangku belakang bersama Nisa langsung melompat turun ketika melihat ibunya, padahal wajah wanita itu sudah mengebul merah."Ibuuuuu," teriak Lana.Beruntung wanita itu langsung menyambut anaknya ke dalam gendongannya. Nisa sempat mengira kalau Lucia bakal tidak mempedulikan Lana saking marahnya.Lucia langsung masuk ke rumah begitu Ferdi juga masuk, meninggalkan Nisa dengan barang belanjaan.Begitu masuk ke dapur, Nisa bertemu dengan Lala dan Ningsih yang akan pulang ke rumah masingmasing, namun mereka tidak mempedulikan Nisa yang menyapa."Sudah mau pulang, Mbak?" sapa Nisa saat berselisih dengan Lala, perempuan itu hanya meliriknya saja."Ini, aku bawakan roti buat anak Mbak di rumah." Nisa menyerahkan bungkusan kecil ke arah Ningsih, tapi p
"Bu-bukan, Nyonya. Kami hanya bercanda, lagian saya tidak tau seperti apa pelet itu," ujar Nisa terkejut karena suara itu begitu melengking hingga menusuk keras saraf pendengarannya."Benar begitu, Bi Nia?" Lucia menanyakan pembantu senior di rumah Ferdi."Betul, Nyonya," jawab beliau santai."Aku mau membuat spaghetti untuk Lana, cepat siapkan peralatannya," ujar Lucia lagi sambil menatap bengis ke arah Nisa.Tanpa diperintah dua kali, Nisa langsung beranjak dari tempatnya dan mengambil sebungkus spaghetti dan peralatan masak lainnya.*"Apa maksud Lana dengan pria tambun?" tanya Ferdi ketika putranya menceritakan tentang kejadian di mall tadi. Mengatakan kalau Mbak Nisa telah diganggu oleh pria tambun."Lelaki dengan perut besar, Yaaah. Dia mengganggu Mbak Nisa, menarrrik tangannya dengan keras," jawab Lana dengan kesal."Lalu, apa yang terjadi?" Ferdi bertanya lagi, entah kenapa dihatinya terasa ada yang mengganjal, meresahkan."Tentu saja Lana usir dia, Yah. Lana menyundul pantat
"Jangan terlalu percaya sama orang baik di depan kita, Mbak. Mereka bisa menusuk di belakang." Bukannya menjawab, Mang Udin malah semakin membuat Nisa bingung.Terlintas di benak Nisa tentang Bi Nia yang terkadang baik kepadanya, terkadang juga judes. Sama seperti 2 pekerja perempuan lainnya, sekarang mereka malah terang-terangan jutek padanya.Tiba-tiba Lana datang dan langsung meletakkan kepalanya di paha Nisa. Anak itu memejamkan matanya namun raut wajahnya mengatakan kalau anak itu sedang kesal.“Kenapa?” tanya Nisa sambil menyugar rambut anak itu. Dia sudah tidak aneh lagi dengan sikap Lana yang suka berubah-ubah terhadapnya, kadang baik kadang jutek bahkan terlihat manja.“Nenek. Lagi-lagi mengatai ibu,” jawabnya tanpa lama. “Padahal, kali ini ibu tidak buat salah.”“Kali ini?” tanya Nisa memancing respon anak itu.“Ya, memang ibu sering bikin ayah marah. Tapi kali ini kan tidak.” Lana masih memejamkan matanya, menikmati tangan Nisa yang memainkan rambutnya.Nisa tidak tau apa y
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b