Nisa menelepon suaminya, setelah panggilan yang ketiga barulah diangkat oleh lelaki itu. 'Mungkin karena nomer tak dikenal yang menghubunginya, makanya dia lama menerimanya', pikir Nisa.
"Ini aku Nisa, Mas. Istrimu. Sekarang aku lagi ada di rumah sakit, Mas. Tolong jemput aku, mereka tidak mengijinkan aku pulang sebelum ada waliku datang menjemput," ucap Nisa bergetar.Dia yakin suaminya itu tidak akan mau menjemput ke rumah sakit, apalagi suaminya itu pasti beranggapan yang dialami Nisa adalah hal yang sepele, dia paham jalan pikiran sang suami."Kamu bisa kabur kalau kamu mau!" bentakan nyaring dari seberang telepon membuatnya mengangkat bola matanya, melirik kepada sang empu ponsel karena yakin kalau lelaki itu mampu mendengar suara suaminya yang keras, apalagi Ferdi terus mengamatinya dengan seksama."Kamu gila, Mas? Jangan bilang kalau kamu masih di kantor," desis Nisa pelan, menjaga agar kata-katanya tidak terdengar oleh lelaki yang terus memperhatikannya itu. "Kamu bahkan tidak menghadiri pemakaman anak kita, tidak bisakah kamu meninggalkan pekerjaanmu sejenak? Kondisi tubuhku masih lemah, aku butuh kamu disisiku."Wajah Nisa kembali pias mendengar ucapan suami yang menuduhnya macam-macam, apalagi dia memakai ponsel orang lain untuk meneleponnya."Pantas saja kamu tidak pulang, padahal pemakaman sudah selesai tadi siang. Kamu selingkuh kan?" Suara suami Nisa jelas terdengarNisa sudah menduga kalau suaminya itu akan marah, tapi dia tidak menyangka kalau suaminya itu akan menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak.Nisa sudah gelisah karena takut pertengkaran mereka terdengar oleh sang empu ponsel, ingin berjalan menjauh namun tubuhnya masih lemah, menyuruh lelaki itu pergi tentu tidak sopan.Suaminya kembali memaki-makinya, menyalahkan tentang kematian anak mereka gara-gara kelalaian Nisa, tidak becus mengurus anak persis seperti ucapan mertuanya yang menohok ketika dipemakaman tadi siang.“Puas? Kamu telah lalai menjaga cucu satu-satunya Keluarga Mansyur? Dasar wanita sembrono!”“Dasar wanita sosialita, mana tau tentang mengurus anak, yang dia tau hanya bersolek saja.”“Memang niat terselubungnya juga, kan, membunuh cucu satu-satunya di keluarga kita.”Makian-makian itu kembali terngiang di kepalanya, membuat air mata itu kembali mengalir tanpa dapat dicegah. Karena dia wanita karir sebelumnya, bukan berarti dia wanita sosialita, kan?Dengan diam, Nisa menyerahkan ponsel Ferdi ketika panggilan itu dimatikan suami Nisa. Lelaki itu mengambilnya juga dengan diam dan masih menatap Nisa dengan tajam."Pergilah. Aku tidak akan menuntutmu. Aku bisa pulang sendiri nanti," ucap Nisa pelan.Tanpa kata, Ferdi keluar ruangan meninggalkan Nisa yang kembali merebahkan tubuhnya. Ferdi meletakkan ponsel ke telinganya dan berbicara dengan seseorang.Nisa meratapi nasibnya yang sangat sial, tidak sesuai dengan angan-angannya dulu ketika menerima lamaran sang suami.Sebelumnya mereka teman satu kantor dan ketika mereka akan memiliki anak, suaminya itu tidak mengijinkannya lagi bekerja agar Nisa bisa fokus menjaga anak mereka tanpa pengasuh.Dia mengira, setelah mereka memiliki bayi, suaminya itu akan semakin mencintainya dan memanjakannya.Tapi kenyataannya malah sebaliknya, semenjak mereka memiliki bayi lah lelaki itu berubah. Semenjak kesibukan Nisa hanya terfokus pada putra mereka.Mengabaikan tentang baju kerja suami yang belum disetrika, sarapan yang sering terlambat bahkan tidak ada sarapan sama sekali dan ketika suami pulang kerja pun dia sudah tidur karena kecapekan. Pria itu pun tidak mau membantu atau mengerti dengan keadaan istrinya yang kerepotan disuruh menjadi ibu rumah tangga dadakan."Kenapa semua lelaki itu egois? Kenapa semua kesalahan dilimpahkan kepadaku? Kalau ingin dilayani seharusnya mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantuku di rumah, kan. Bukan menyuruhku mengerjakan semuanya sendirian, aku bukan mesin yang tak bisa sakit," gerutu Nisa dalam tangisannya, mengira Ferdi sudah keluar ruangan padahal masih di ambang pintu."Aku sudah tidak sanggup memikul beban ini, ya Tuhan. Orang bilang Kau akan menguji umatmu sesuai dengan kesanggupannya, tapi mana buktinya? Aku benar-benar sudah lelah."Air mata Nisa tidak mau berhenti mengalir saat dia kembali mengingat bentakan-bentakan suaminya tadi. Apapun yang dilakukan Nisa selalu salah di mata sang suami.Wanita itu juga sempat curiga terhadap suaminya kalau sebenarnya lelaki itu memiliki perempuan lain, namun dia tidak memiliki bukti. Hanya menggunakan insting seorang istri saja, karena cara lelaki itu memperlakukannya telah berubah.Ferdi berjalan keluar ruangan tempat Nisa dirawat sambil meletakkan ponselnya di telinga. "Syukurlah kalau sudah ditemukan. Apa yang sedang dia lakukan di atas loteng?" Rupanya dia sedang menerima panggilan dari asisten rumah tangganya yang mengabarkan kalau anak Ferdi sudah ditemukan."Buang semua barang-barang wanita licik itu, kalau perlu kunci loteng itu!" Perintahnya tegas, matanya masih memancarkan kekhawatiran."Bisa-bisanya mereka melewatkan loteng itu. Hampir saja aku ke kantor polisi melaporkan anak hilang," gerutu Ferdi mematikan panggilannya."Aku tidak bisa membiarkan anakku bersama dengan wanita itu. Wanita tidak bertanggung jawab itu mampu meninggalkan anaknya seorang diri di rumah, sementara dia pergi berkencan." Ferdi masih saja mengomel, mengingat momen ketika anaknya ditemukan tertidur sendirian di rumah si ibu sementara mantan istrinya itu sedang bersenang-senang dengan seorang pria."Bahkan dia tidak memikirkan psikologis anak dan dengan keras kepala malah mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk bercerai denganku, cih dasar perempuan licik yang penuh ambisi. Setelah berpisah masih saja merepotkan, bahkan memperalat anak untuk mendapatkan uangku."Setelah mengucapkan kalimat itu, dia teringat dengan Nisa. Dia tidak habis pikir, ternyata ada juga lelaki yang seperti mantan istrinya. Sebelas dua belas lah mereka berdua itu.Ferdi belum mau meninggalkan rumah sakit, dia kembali berdiri di depan ruangan Nisa. Melihat bahu wanita itu terkadang bergerak karena membersit hidungnya atau sedang menyeka air mata yang mengalir di pipi dan membasahi bantal rumah sakit, rasa kasihan muncul di hati lelaki yang hampir berusia Dua Puluh Delapan tahun itu.Dia merasa tergerak, dia bisa merasakan bagaimana rasanya kehilangan, dicampakkan bahkan dia bisa membayangkan bagaimana rasanya tidak memiliki siapa pun yang bisa dimintai tolong.Lalu dia memutuskan untuk menghubungi nomer yang tadi digunakan oleh Nisa, namun panggilannya tidak kunjung diangkat."Kuharap kamu melihat istrimu di rumah sakit, dia sangat kesakitan. Aku akan bertanggung jawab jika kamu mau datang." Akhirnya Ferdi memutuskan untuk mengiriminya pesan."Siapa sebenarnya kamu, kenapa mencampuri urusan kami. Tinggalkan saja dia disana, wanita itu sudah dewasa." Balasan pesan dari suami Nisa datang beberapa detik kemudian."Tidak penting siapa aku, masalah administrasi istrimu nanti aku yang tanggung. Yang penting, kamu datang menjenguknya. Aku menabraknya di pemakaman, istrimu begitu terpuruk sepertinya, hibur lah dia." Ferdi kembali mengiriminya pesan. Dia tidak tega meninggalkan wanita lemah itu, bukan hanya tubuh tapi juga psikologisya.Entah apa yang dikirim oleh suami Nisa kemudian, karena Ferdi mematikan ponselnya dengan raut wajah tanpa ekspresi sebelum kembali menyimpannya ke saku celana. Apa suami Nisa mau datang?Sesuai janjinya kepada Bi Nia, Nisa membawa Lana untuk berjalan-jalan ke taman. Sesuai usul Mang Kardi, Nisa pun juga memanggil ojek online untuk membawa mereka pergi ke tempat tujuan yang jaraknya tidak terlalu jauh.“Hati-hati, Mbak. Kalau ada apa-apa, telpon saja Amang.” Pesan Mang Kardi ketika mereka sudah siap berangkat.“Siap, Mang,” jawab Nisa lalu motor yang membawa mereka mulai berjalan.Nisa memutuskan tetap membawa majikan kecilnya jalan-jalan sore itu, sesuai dengan pesan Bi Nia, meski dia tau kemungkinan kalau mereka sedang diawasi.Setelah sampai di taman, wanita itu tidak menyesal dengan keputusannya setelah melihat Lana yang begitu senang dan mencoba semua permainan yang ada di taman itu. Memang anak itu kalau setiap hari sabtu sore, selalu ke tempat itu, tapi tidak membuatnya membuatnya puas dengan semua permainan itu. Dia akan bermain mandi bola, memancing ikan dan menaiki odong-odong.Dan setelah satu jam mereka berada di taman, Nisa kembali melihat ada lelaki ting
Seperti biasa, Nisa membawa Lana pulang dengan berjalan kaki karena jarak antara sekolah dan rumahnya hanya berjarak 2 kompleks perumahan."Bagaimana, Mbak. Mau tidak jadi mamaku?" tanya Nisa sebel;um mereka sampai di rumah bertingkat 3."Apa ayahmu yang menyuruhmu, Den?""Jangan panggil aku Aden lagi.""Aku masih pengasuhmu lho, Den Lana," ujar Nisa tertawa."Aku hanya tidak ingin mereka memecatmu. Kalau kamu jadi mamaku, tentu mereka tidak akan berani memecatmu." Lana berlari masuk ke dalam pagar yang sudah dibuka Mang Kardi saat melihat mereka berjalan mendekat."Ngambek lagi, Mbak? Majikan kecil kita?" tanya Mang Kardi saat Nisa melewati beliau."Iya, Mang. Mungkin dia kecapekan," ujar Nisa beralasan.Nisa melongokkan kembali kepalanya melewati pagar setelah kakinya melangkah ke dalam, mengintip ke arah kedatangannya bersama Lana tadi.“Ada apa, Mbak?” tanya Mang Kardi heran melihat tingkah Nisa yang seperti anak kecil main petak umpet.“Ada yang membuntuti kita dari tadi, Mang,”
“Menikahlah denganku.” Ucapan Ferdi terus terngiang dalam benak Nisa.Dia tidak mampu berkata-kata saat di dalam ruang kerja lelaki itu, pikirannya berlarian kesana kemari. Sekarang pun masih, dia sedang berada di dapur dan sedang herpikir, 'kenapa bos kerennya itu bisa tertarik dengan janda seperti dirinya?'Sementara Ferdi juga sedang galau di ruangannya, dia merasa seperti kehilangan kharismanya.“Bagaimana kalau dia menolakku, aku tidak akan punya keberanian lagi untuk bertemu dengannya. Bodoh bodoh bodoh.” Ferdi memukul kepalanya seiring dengan umpatan yang dia lontarkan.“Seharusnya aku melakukan pendekatan terlebih dahulu. Dia pasti terkejut dengan pernyataanku tadi kan.” Ferdi menggaruk belakang kepalanya dengan kasar, sehingga rambut bagian belakangnya mencuat berantakan. Teringat ucapan kaki tangan sekaligus orang yang memberikan petuah cinta, begitu teman sekaligus bosnya curhat tentang seorang wanita. Lelaki seusia Ferdi yang bernama Herdiansyah. Lelaki yang dianggap sama
Merasa mendapat penolakan, membuat Ferdi diam sepanjang jalan. Sedangkan Nisa sering melirik ke samping, ke tempat Ferdi duduk di belakang kemudi, khawatir kalau lelaki itu marah atas sikapnya yang tanpa pikir panjang menampik perhatian majikannya yang tidak biasa.Ferdi menutup erat mulutnya, bahkan kalau perlu menahan nafasnya juga. Dia tidak pernah mendapat penolakan dari wanita manapun karena dia memang tidak pernah membuka hatinya kepada lawan jenis, setelah dikhianati oleh gebetannya sewaktu kuliah dulu.Bahkan ketika sampai ke rumah pun, Ferdi masih tetap tidak mau membuka mulutnya, padahal biasanya dia akan bicara walau tanpa ekspresi, “harus sudah stand by jam 8 pagi besok di mobil, setelah mengantar Lana sekolah lanjut ke kantor.”“Apa dia marah karena ku tolak papahannya tadi? Huh, kekanak-kanakan sekali. Lagian mana mungkin aku mau digandeng oleh bosku sendiri sementara banyak mata yang memperhatikan kami, apa dia tidak memikirkan reputasinya?” gumam Nisa bertanya-tanya sa
"Apa Mbak Nisa dan ayah berpacaran?" tanya Lana ketika mereka sudah sampai di mall dengan diantar oleh sopir kantor."Kenapa Den Lana bisa berpikir begitu?" tanya Nisa terkejut karena anak sekecil itu bisa tau mengenai pacaran."Sama seperti ibu yang sering bawa lelaki ke rumah. Ibu bilang itu pacar ibu, mereka sering makan malam bersama. Mbak bakal pergi makan malam dengan ayah, kan?" ujar Lana, masih menggengam tangan Nisa yang menggandengnya dari ketika mereka turun dari mobil, karena anak itu sering berlari-lari hingga Nisa kesulitan mengejarnya."Kami bukan hanya makan berdua saja, Lana. Tapi juga ada klien Tuan Ferdi." Nisa memilih menjawab Lana dengan gaya dewasa, karena dia yakin dengan gaya anak itu mungkin bisa mengerti."Kalau klien perusahaan, kenapa tidak bertemu di kantor saja, Mbak. Kenapa harus makan malam?" Tuh kan, anak itu sedikit banyaknya sudah mengerti."Iya kalau klien kantor, tapi ini klien Tuan Ferdi dan beliau sedang merayakan ulang tahunnya yang ke - 70.""W
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri