Share

6. Sarapan Mie Instan

"Ayo, Non. Ikuti bibi ke dalam," ucap Bi Nia setelah melihat orang yang dimaksud oleh Ferdi, menuruni mobil.

"Panggil saja Nisa, Bi. Gak usah pakai 'non'," balas Nisa merasa tidak enak.

Nisa memasuki kamar yang cukup besar untuk ukuran asisten rumah tangga. Bahkan memiliki kamar mandi sendiri, dia merasa seperti sedang mengkos ketika kuliah dulu.

"Ini kamar untuk saya sendiri, Bi?" tanyanya sopan karena lawan bicaranya sudah tua, seusia almarhumah ibunya.

"Iya, Nisa. Kamar aku ada di sebelah, panggil saja kalau ada yang dibutuhkan," ujar Bi Nia ramah, raut wajahnya menjadi lebih ramah, berbeda dengan yang pertama dilihat Nisa tadi, lebih waspada.

Kamar itu begitu berantakan karena bekas kamar pengasuh anak majikan yang tiba-tiba mengundurkan diri.

"Baik, Bi. Bibi istirahat saja, biar Nisa yang membereskan semua ini," ujar Nisa sambil menangkap tangan Bi Nia yang akan menarik seprai dan sarung bantal.

Lalu beliau mengambil seprai dan sarung bantal yang baru untuk Nisa. "Istirahatlah, besok bangunlah pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan untuk Tuan Ferdi. Aku akan pergi mencari pengasuh baru buat bos kecil kita nanti," ujar beliau.

"Iya, Bi."

*

Nisa sudah bangun sebelum jam 5 pagi. Kebiasaannya bangun ketika masih memiliki balita untuk memberikan asi untuk anaknya, sekarang kegiatan itu berganti dengan dia yang harus mengosongkan payudaranya.

Untungnya majikan baru Nisa yang ternyata duda beranak satu itu, terbiasa sarapan dengan roti isi dan kopi hitam. Pekerjaan mudah bagi Nisa yang tidak memiliki kepandaian dalam memasak.

Sarapan Ferdi sudah siap ketika dia menuruni lantai 3 rumahnya, jadi ketika lelaki itu duduk di meja makan, Nisa sudah sibuk dengan cuciannya di teras belakang.

Bi Nia dengan cekatan memberikan catatan untuk tugas Nisa di rumah itu, bahkan lengkap dengan jam berapa pekerjaan itu harus selesai dikerjakan terutama sarapan 2 beranak majikannya itu.

TENG!

Alarm di jam beker di dapur berbunyi, tanda dia harus menyiapkan sarapan untuk bos kecil. Yang sangat mengagumkan dikeluarga itu adalah penghuninya sangat tepat waktu dan sangat konsisten, bahkan anak berusia 5 tahun itu selalu bangun di jam delapan pagi.

Bos kecil itu bernama Lana Ahmad, mengingatkan Nisa dengan anaknya yang juga bernama Lana, Maulana.

"Eyakh! Makanan apa ini? Kucing?" teriak Lana sambil meludahkan makanan di mulutnya.

Sesuai instruksi, Nisa membuat Nasi goreng bayam untuk anak itu, tidak lupa dicampur dengan telor orek.

"Sarapan Den Lana, nasi goreng kesukaannya, kan?" ujar Nisa langsung melepas pekerjaannya menjemur pakaian begitu mendengar seruan menggelegar dari meja makan.

Nisa tidak hanya sendirian pembantu di rumah itu. Ada pembantu yang membersihkan rumah, ada yang bertugas merawat kebun dan halaman, belum lagi ada 2 satpam yang menjaga area rumah itu.

"Ini bukan makanan kesukaanku! Ini bubul kucing, lembek!" teriaknya melengking.

Tidak ada yang berani mendekati anak itu karena takut akan dipecat, sebab dikira sudah tidak becus menemani anak majikan.

"Siapa kamu? Mana Bi Nia yang beltugas memasak nasi goleng kesukaanku? Apa kamu mau dipecat juga, sepelti Yuni beloooo." Anak kecil yang bicaranya cadel itu melotot menyeramkan ke arah Nisa yang tergopoh-gopoh mendatangi meja makan.

"Bi Nia sedang keluar sebentar, jadi sarapan ini saya yang membuatnya," ujar Nisa begitu sudah sampai ke meja makan. "Apa Den Lana tidak menyukainya?" tanya Nisa lembut ketika melihat wajah mungil yang mendeliknya itu.

"Makan aja sendili!" Anak itu mendorong piring makannya menjauh.

Nisa memakan sedikit hasil buatannya, memang terasa menggelikan karena terlalu lembek, apalagi sudah dingin. "Euh, benar, rasanya menggelikan," ujar Nisa menjulurkan lidahnya dengan mata terpejam sebelah, ekspresi yang disukai anaknya dahulu.

Anak itu memang meliriknya dengan tertarik, tapi masih dengan sikap sangar yang ditunjukkannya. "Buatkan makanan yang lain, aku lapalll."

"Of course, tentu saja, Tuan Muda. Makanan ini sudah tidak layak, saya akan membuatkan Anda makanan terenak di dunia," ujar Nisa dengan gaya Uncle Muthu di salah satu kartun.

Wajah anak itu sudah mulai lemas dan memperhatikan Nisa yang sibuk di depan kompor. "Hei, aku gak boleh makan mie itu," serunya ketika Nisa membuka bungkus mi instan.

"Serius gak mau ini?" Nisa menunjukkan bungkus itu yang sudah terbuka separo.

Anak itu jadi ragu, wajahnya menunjukkan kalau sebenarnya dia mau. Nisa meletakkan telunjuknya di depan bibir dan berbisik, "Ssst, asal Den Lana gak bilang-bilang, saya akan memberikan mie ini sedikit."

"Aku mau semuanya," ucapnya tanpa pikir panjang.

"Umm... oke," ujar Nisa dengan gaya berpikir keras.

Mie intan itu direbusnya dengan 2 telur dan dicampur sedikit sawi. Nisa menyajikan mie itu di mangkuk besar dan sepiring nasi.

"Makanlah dengan nasi biar kenyang, kalau gak habis biar saya yang menghabiskannya," ucap Nisa penuh kemenangan karena melihat binar bahagia di mata bos kecilnya.

"Kamu mau kemana, kamu halus disini menyuapiku. Bagaimana kalau kuah panas ini membakal lidahku, apa kamu mau beltanggung jawab. Bantu tiup!" Perintah pria kecil itu begitu Nisa berbalik akan kembali ke belakang. Wajahnya kembali sangar dan kaku.

Nisa kembali dan duduk di samping Lana. Meniup mie instan itu dan menyuapinya. Begitu anak itu menyukainya, Nisa menyendok sedikit nasi dan memasukkan sendok itu ke mangkuk agar kuah mie itu sangkut ke dalam sendok.

"Mie nya juga," ucap Lana menunjuk mangkuk begitu anak itu cuma melahap nasi dan kuah, meminta Nisa menyuapkan mie nya ke mulut mungilnya.

Nisa mengingat momen ketika anaknya yang masih berusia 7 bulan memakan mie goreng, anaknya itu suka makan sendiri dan Nisa membiarkannya meski makanannya berceceran ke pipi atau mengotori bajunya.

Mata Nisa mulai berembun lalu berkaca-kaca karena anak majikannya itu mengingatkannya kepada almarhum anaknya.

"Jangan menghubungiku, apalagi tentang masa lalu. Tapi kalau kamu memohon untuk rujuk, aku bisa mempertimbangkannya." Ucapan Rif'at sebelum Nisa keluar rumah dengan menyeret koper besar, tiba-tiba mampir di kepalanya.

"Jangan terlalu banyak berharap, Mas. Hutang perawatan rumah sakit putra kita juga tidak akan aku pinta darimu, aku yang akan membayarnya lunas," jawab Nisa saat itu tanpa menoleh ke arah mantan suaminya.

Dia tahu, Rif'at hanya ingin Nisa memohon ampun dan merasa bersalah. Pria itu terbiasa diagungkan seperti yang dilakukan oleh bawahannya di kantor dan dia suka ketika Nisa selalu bergantung padanya.

Nisa menghembuskan nafasnya kasar melalui hidung lalu mendenguskan tawa. Mengingat penampilan mantan suaminya yang biasa saja, tanpa jas mengkilapnya Rif'at hanya terlihat seperti lelaki biasa yang tidak terurus, seluruh tubuhnya bau asap rokok dan matahari karena belum mandi padahal siang telah berganti dengan malam.

"Apa kamu sudah gila? Aku tidak mau diulus oleh olang gila," seru Lana tiba-tiba yang melihat Nisa tertawa sambil meneteskan airmata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status