Orang-orang yang melihat dan yang bertemu langsung dengan Lana, mungkin berpendapat kalau anak itu adalah anak yang pintar, mandiri dan dapat diandalkan. Namun Nisa melihatnya berbeda, wanita itu merasa kasihan dengan anak yang baru berusia 5 tahun itu sudah harus mandiri, menahan emosinya untuk tidak menangis, bertahan tegar agar terlihat manis di hadapan sang ayah.Anak majikannya itu terlihat berusaha dewasa sebelum usianya, membentengi dirinya agar tidak bersifat seperti anak kecil yang cengeng, terutama di depan Ferdi Rahardian.Tapi setelah beberapa saat mereka sudah berada di taman tujuan mereka, Nisa ingin menarik semua pemikirannya.“Anak kecil tetap saja anak kecil, usilnya minta ampun. Apalagi ini anak laki, pasti senang melihat orang dewasa kesusahan,” gerutu Nisa sambil celingak celinguk mencari keberadaan Lana yang sudah menghilang dari pengawasan.Padahal anak kecil itu baru saja ada di dekat ayunan sebelum menyuruh Nisa membeli minuman.“Tapi, Den Lana tidak boleh minu
Sesorean itu, Nisa hanya memperhatikan Lana main dari jarak jauh, karena anak itu tidak memperbolehkannya mendekat. Sepertinya, Lana masih marah kepada Nisa mengenai di sekolah tadi.Lana memang anak yang pendendam, dia melakukan itu karena masih malu kepada Nisa, sebab wanita itu menggendongnya pagi-pagi dan menepuk-nepuk pantatnya, hal yang tidak pernah dirasakannya dengan ibu kandungnya sendiri. Dia merasa bersalah karena merasa nyaman, merasa bersalah terhadap ibunya."Den Lana, Aden mau sekolah tidak? Di sekolah nanti, Aden akan banyak teman. Jadi bisa menulis, membaca, juga berhitung." Nisa mencoba menarik perhatian anak kecil itu lagi, namun Lana masih asik dengan mainan legonya."Atau, Den Lana mau latihan dulu sama saya, kita beli alat tulisnya dulu, bagaimana?" Sambung Nisa semakin mendekat dan memasang beberapa lego yang dapat dijangkaunya. Lana yang tadinya berusaha tidak mempedulikan Nisa, meliriknya sebentar sebelum membuang pandangannya ketika Nisa juga menatapnya.Nis
"Ya, Ayah. Lana mau sekolah," ujar Lana antusias.Ferdi senang mendengarnya. "Kalau begitu, tidurlah lagi. Besok, ayah akan belikan semuanya.""Lana mau tas sekolah Boboiboy halilintal ya, Yah." Lana menarik-narik tangan ayahnya."Yang seperti apa itu?" tanya Ferdi tidak mengerti."Itu lho, kaltun yang seling Lana tonton," jawab Lana, berharap ayahnya mengerti. "Anak kecil yang sangat kuat, ada petil di sekelilingnya," lanjut Lana menjelaskan.Tetap saja Ferdi tidak paham acara anak-anak sekarang. "Ya, sudah. Nanti belinya sama Lana saja, ya.""Mbak Nisa juga ikut?" tanya Lana, karena dia tau pengasuhnya itu paham dengan kartun yang biasa ditontonnya, sering Nisa menyebutkan tokoh-tokoh pada kartun itu dengan benar."Boleh, nanti Lana lah yang ajak mbaknya," ujar Ferdi lega, anaknya masih antusias."Yes!" Lana terlihat senang.Anak itu langsung tertidur begitu Ferdi menyuruhnya, karena kalau Lana bangun kesiangan mereka akan batal pergi.*Karena hari itu hari sabtu dan Ferdi tidak m
“Ini lho, Mbak. Wanita ini mengganggu pemandangan toko saja. Sebaiknya kamu pergi dari sini, hey wanita pembawa sial.” Kekasih Rif’at mengibaskan tangannya ke arah Nisa.Ferdi yang baru saja menyelesaikan pembayarannya, melihat kalau Nisa dikerubungi orang, apalagi salah satu orang itu mantan suami Nisa sendiri, dengan bangganya sambil menggandeng mesra wanita seksi. Tentu dia mengerti apa yang sedang terjadi, pria itu mencoba mempermalukan pengasuh anaknya.“Ayah, apa Mbak Nisa dibully olang?” tanya Lana ketika dia juga melihat orang-orang yang terlihat mencaci Nisa.“Dari mana Lana tau tentang pembullyan?” Ferdi merasa anak seusia Lana aneh saja kalau tau tentang perundungan.“Ayah, Lana bukan hanya menonton kaltun di lumah, tapi belita juga,” jawab anak itu heran karena ayahnya masih menganggapnya hanya anak kecil ingusan.Ferdi tebahak. “Baik, ayah minta maaf karena sudah salah menilaimu. Ayo, kita bantu Mbak Nisa.”“Maaf, Mbak. Ada keperluan apa Mbak sampai berdiri di depan toko
Setelah mengatakan ancaman itu, Lucia langsung pergi meninggalkan 2 pembantu yang duduk di lantai sabil membersihkan sayur.Nisa dan Lala saling berpandangan, Lala memutar bola matanya seakan hal seperti itu sudah biasa sementara Nisa mengangkat kedua bahunya tidak peduli. Namun, setelah kejadian itu Lana menjadi kembali ke pengaturan awal lagi. Anak itu berubah kaku dan sering tidak mendengarkan ucapan Nisa, Lana lebih patuh dengan ucapan Bu Nia. Yang lebih mengherankannya lagi, Lala dan Ningsih yang biasanya ramah, sekarang jadi lebih cuek kepadanya.“Lho, Den Lana. Sudah hampir jam delapan, kenapa belum bangun juga?” Nisa mejenguk kamar majikan kecilnya, karena tidak biasanya anak itu kesiangan, dan anak itu terlihat masih terpejam dengan keringat membasahi keningnya.“Sudah, aku mau bobok sebental lagi saja, Mbak,” jawab Lana lalu membalik tubuhnya membelakangi Nisa.“Kamu panas sekali, Nak,” gumam Nisa saat tangannya mencoba memegang punggung Lana. Lalu keluar kamar untuk mencar
“Cepat, Nisa. Apa kamu mau aku terlambat ke kantor?” Ferdi datang kembali ke dapur setelah selesai menyantap rotinya, tidak sabar menunggu kemunculan Nisa yang begitu lama.“Tapi, Tuan. Apa ini seriusan?” tanya Nisa masih sulit mempercayai.“Iya, serius. Bukankah tadi malam sudah kujelaskan. Serahkan pekerjaan itu kepada Bi Nia,” ucap Ferdi yang melihat Nisa lagi-lagi berkutat dengan cucian.Nisa menatap Bi Nia yang sudah berdiri di belakang Ferdi, wanita baya itu mengedikkan kepalanya ke samping, menyuruh Nisa agar menyingkir.“Sebentar lagi, Den Lana bangun. Dia akan ke sekolah, kan. Demamnya sudah turun,” ucapnya masih tidak percaya, seakan keduanya bersekongkol untuk mengerjainya.“Lima menit. Aku menunggu di mobil.” Tanpa banyak bicara lagi, Ferdi meninggalkan keduanya.“Cepatlah, Nisa. Jangan membantah, turuti apa yang Tuan Ferdi katakan.” Bi Nia mengambil cucian yang ada di tangan Nisa.“Maafkan Nisa, Bi,” ucap Nisa sebelum meninggalkan beliau untuk bersiap.“Lama sekali, aku h
“Cerdik juga ya kamu, bisa bekerja di kantor ini. Padahal Ferdi menemukan kamu di jalanan, kan. Kenapa bisa sampai ke titik ini, apa yang kamu berikan kepada bosmu itu sehingga dia rela memberikan posisi ini kepadamu.” Lucia berjalan berlengang lenggok mendekati Nisa. Tanpa sengaja Nisa memencet tombol setuju ke Email yang belum selesai dipelajarinya, menyayangkan perbuatannya itu lalu memperbaiki kesalahannya. Beruntung email tersebut adalah balasan yang perusahaan itu sudah tunggu, jadi kesalahan yang dilakukannya termasuk hal yang memang harus dilakukan.“Bila orang bicara itu diperhatikan. Tatap matanya! Jangan sibuk yang lain, dasar pembantu tiada akhlak,” maki Lucia, memancing perhatian orang-orang yang kebetulan berjalan di lantai itu.“Maaf, Nyonya. Bukan maksud saya seperti itu, saya hanya ingin menjawab cepat email yang tidak sengaja saya setujui,” jawab Nisa jujur.Lucia tertawa mengejek. “Tidak sengaja, tidak sengaja? Bilang saja kalau kamu tidak mampu.” Dengan percaya di
Lana melangkah ke lantai dasar menuju swalayan terbesar di gedung itu. Anak itu memilih beberapa makanan yang paling mahal dan besar, sebagai balas dendam karena tidak diperbolehkan membeli es krim.Nisa yang melihatnya, membiarkannya saja, asal yang dipilih anak itu makanan bermutu yang tidak membangkitkan kembali penyakit yang baru saja sembuh kemarin.Anak itu melirik Nisa setiap kali akan mengambil apa yang dia inginkan, berharap wanita yang menjaganya itu melarangnya atau panik karena tidak akan bisa membayar belanjaannya yang banyak. Namun Nisa tidak perlu khawatir karena kartu kredit milik Ferdi masih ada di tangannya. Dia belum memiliki kesempatan untuk mengembalikannya, nanti saat mereka pulang dari mall ini dia berniat akan mengembalikannya.“Den Lana, mau apa kamu membeli stroller? Itu dibutuhkan oleh bayi, kamu sudah tidak memerlukannya lagi karena kan sudah besar, apa kamu mau balik jadi bayi lagi?” tegur Nisa ketika Lana mencoba mengangkat sroller itu dan ingin meletakk