"Lihatlah suamimu itu! Bisanya cuma makan tidur, makan tidur saja tiap hari. Dia seperti bukan menantu tapi cuma mau numpang hidup di rumah ini."
Ucapan dari seorang wanita tua berumur sekitar 56 tahun itu sudah berhasil membuat Victor George menghentikan suapan terakhirnya. Saat ini, sepasang suami istri tengah menikmati makan siang mereka. Namun, tiba-tiba sang mertua datang lalu mengoceh tak jelas. Ya, inilah kenyataannya. Bukan hanya setiap hari wanita tua itu berbicara seperti ini, bahkan setiap waktu ketika Victor melakukan hal yang tidak beliau sukai, maka wanita tersebut pastilah mengoceh. Joanna, yang merupakan mertua dari Victor George. Sejak kehilangan suami, beliau tidak bisa berbuat banyak. Ditambah dengan sang putri yang terus bertahan demi lelaki yang bisa dikatakan sampai sekarang pun belum mendapatkan pekerjaan. Bukan tidak mampu, hanya saja Victor tidak memiliki pendidikan yang tinggi sehingga sulit untuk mendapatkan pekerjaan tetap. Berbeda dengan sang istri yang jika menjadi pelayan restoran pun sudah bisa diterima di salah satu resto di sana. Tinggal di sekitaran pesisir pantai, tentu sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Ditambah dengan minimnya pengalaman. Anna Jessica yang merupakan istri sah dari Victor tentu tidak keberatan. Karena bagaimana pun Victor adalah lelaki yang ia cintai selama ini. Usia pernikahan mereka baru setahun, akan tetapi sampai sekarang mereka belum dikaruniai seorang anak. Beruntunglah, dengan begitu Jessica masih bisa melakukan aktivitasnya dengan bebas tanpa beban harus mengurus bayi. Namun, tetap saja, keinginan Jessica mendapat momongan sangatlah besar. Hanya saja untuk sekarang mungkin belum mereka pikirkan. Kondisi ekonomi mereka sejak menikah pun sering naik turun. "Eh, ibu, baru pulang? Sini, biar aku siapin juga buat ibu, ya?!" Jessica tidak mau sang ibu mengoceh pun segera menyambut beliau yang baru saja pulang. Di hari minggu, biasanya sang ibu suka keluar dengan teman seumurannya. Lagi pula, berada di rumah ini membuat Joanna tak betah, apa lagi melihat ketika Jessica memanjakan sang suami. Itu adalah hal yang menjijikan bagi Joanna. Tatapan Joanna begitu tajam dan itu mengarah hanya kepada Victor saja. "Tidak! Ibu gak akan makan kalau masih ada lelaki pengangguran itu! Setiap hari ibu melihatnya hanya begitu-begitu saja. Kalau tidak makan ya main, kalau tidak main ya tidur. Apa kamu tahan dengan lelaki pengangguran seperti dia, Jessica? Ibu yang melihatnya saja sudah muak! Baiknya kamu bercerai saja dengan dia!" Apa? Bercerai? Semudah itu Joanna memerintahkan Jessica yang begitu cinta terhadap Victor? Victor yang mendengarnya pun tentu marah. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia sadar kalau dirinya memanglah seorang pengangguran yang sulit mendapat pekerjaan. Ditambah dengan pendidikannya yang rendah. Padahal, setiap hari Victor selalu mencari pekerjaan di pesisir. Setidaknya ia bisa membantu orang di sana. Namun, setiap kali Victor mau membantu, selalu saja ada orang yang menyerobot seperti mereka pun membutuhkan pekerjaan itu. Victor bisa apa? Sempat dia diancam agar tidak ikut campur masalah pekerjaan di sana. Itulah kenapa Victor dicap sebagai pengangguran paling lama. Mendengar ocehan sang ibu, Jessica lalu meninggalkan kursinya untuk kembali membujuk sang ibu. Jessica tidak mau sang ibu terus membenci suaminya. Bagaimana pun, Jessica begitu cinta pada Victor. "Ibu, sepertinya ibu lelah. Ayo, biar aku temani ibu istirahat." Jessica tadinya mau membawa sang ibu ke kamarnya. Namun, seketika terdengar suara klakson di luar sana. Bip ... bipp!! Suara klakson itu berasal dari sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah mereka. Jika bisa dikatakan, rumah ini merupakan peninggalan dari ayah Jessica sendiri alias suami dari Joanna. Segera! Jessica maupun Joanna melihat siapa yang datang di hari minggu ini. Dilihatnya di sana, ternyata itu adalah putra ketiga yang artinya kakak dari Jessica. Dia datang bersama sang suami serta anak-anak mereka yang sudah cukup dewasa. "Ibu ... Jessica ..." Seorang perempuan keluar dari mobil segera berjalan ke arah Joanna dan Jessica ketika mereka membukakan pintu. Sementara Victor masih berdiri di samping kursi sebab ia baru menghabiskan makan siangnya. Victor mengelap mulutnya yang basah karena habis minum. Melihat ada kakak ipar datang, Victor pun segera membawa piring serta gelas kotor ke belakang sana. Setelah itu Victor pun turut menyambut mereka. "Halo, apa kabar, Kakak ipar?" Victor bertanya pada Vivian, Kakak ipar sekaligus kakak perempuan dari sang istri. Ketika Victor menyodorkan tangannya untuk menyambut, seketika Vivian mun menoleh. Tatapan Vivian sama seperi Joanna yang tentu tidak menyukai Victor. Vivian bahkan mengangkat sebelah bahunya serta menampar tangan Victor yang hendak memberi salam. Jessica sebagai seorang istri tentunya merasa bersalah akan kelakuan ibu dan kakaknya. Namun, di satu sisi Jessica tidak bisa memaksa mereka untuk menyukai Victor. Sejak pertama, mereka memang tidak pernah menyukai keberadaan Victor, apalagi sejak menikah. "Singkirkan jauh-jauh tanganmu itu! Aku tidak mau menyentuh laki-laki malas seperti kamu, Victor." Vivian berkata dengan nada angkuhnya. Di sana, Victor hanya bisa mengangguk lalu menarik tangannya kembali. "Halo, Ibu." Suami dari Vivian pun baru keluar dari mobil. Ia membawa banyak oleh-oleh dari rumahnya dan tentu, Joanna menyambutnya dengan hangat. "Hai, menantu kesayangan ibu. Kau apa kabar, Nak? Waahh terlihat makin gagah saja dirimu." Joanna tentu membanggakan sang menantu satu ini. Tidak, bukan hanya Marten saja yang Joanna banggakan, ada menantu yang lain terkecuali Victor. "Hehe, baik, Ibu. Ini aku bawa banyak buat ibu sama Jessica, tapi ..." Marten lalu menatap ke arah Victor. Joanna pun paham. "Aduh, makasih banyak. Gak perlu kamu belikan buat lelaki payah seperti dia. Harusnya dia sendiri yang bisa belikan banyak untuk ibu tapi nyatanya dari menikah saja hanya penyakit saja yang dia kasih," celetuk Joanna. Lagi-lagi Victor hanya bisa menghela napas. Jessica yang melihat suaminya berekspresi seperti itu tentulah paham. Jessica tentu mengelus tangan Victor seolah memberi Victor untuk tetap sabar. Joanna lalu membuka isi dari paper bag yang diberikan oleh Marten di sana. Ternyata isinya banyak makanan termasuk makan siang serta beberapa barang yang lain. "Waah ... kamu tau saja kalau ibu belum makan siang, Nak." Joanna senang diberikan makanan kesukaannya oleh Marten. Lalu Joanna membuka paper bag yang lainnya. "Uuhh, apa lagi ini?" Joanna melihat isinya. "Waahh gaun! Cantik sekali." "Apa ibu suka?" tanya Marten dan Joanna pun mengangguk seraya menempelkan gaun itu pada tubuhnya. "Suka sekali, pasti mahal." Marten hanya terkekeh. "Coba buka yang lainnya. Di dalam sana ada kotak kecil yang sengaja aku belikan untuk ibu." Joanna pun mengikuti apa yang Marten arahkan. Ya, di dalam sana selain gaun serta barang yang lain, Joanna menemukan sebuah kotak yang pas untuk ia genggam. "Apa ini?" Joanna ragu. "Buka saja," perintah Marten lagi. Karena penasaran, lalu Joanna pun membukanya. Tidak biasanya menantunya ini memberinya sesuatu yang banyak dan lagi ada kejutan lain di dalam sana. Sewaktu Joanna membuka kotak kecil yang Marten maksud, seketika matanya melotot sempurna. "Ya ampun ... berlian?"Levin sampai bertanya-tanya sendiri, untuk apa Victor datang kemari? Dan lagi dari mana dia tahu dia bekerja di sini? Apakah dari Jessica? "Victor, untuk apa kau kemari? Apakah hendak melamar pekerjaan di sini?" kata Levin seolah merendahkannya.Kesalahan Levin bukan hanya di sini saja. Dia pernah menuduh Victor kalau Victor telah berselingkuh. Padahal kenyataannya dialah yang berselingkuh. Dialah yang telah menduakan istrinya, tetapi Victor yang mendapat getahnya. Ini sangat tidak adil jika terus dibiarkan. Levin tidak akan berpikir terlebih lagi dia tidak akan berubah sedikitpun. Namun, perihal hubungan Levin dan Lussy, Victor sama sekali tidak mengetahuinya. Tetapi yang jelas, seseorang yang pernah berselingkuh tidak akan pernah berubah, Bahkan dia akan melakukan yang berulang kali sampai dia puas. Entahlah."Levin, apa kau tidak tahu kesalahanmu sendiri?" pemilik perusahaan ini telah bicara langsung dengan Levin di hadapan para pekerja. "Kesalahanku? Apakah aku telah membuat ke
Bukan Hal mudah untuk meyakinkan seseorang, apalagi kepada orang baru yang Bahkan orang itu terlihat sejati mata orang lain. Dia sangat ditakuti banyak orang termasuk anak buahnya sekalipun.Namun, Victor tentu mudah. Ia tentu memanfaatkan apa yang dia miliki sekarang ini. Dan sudah terbukti jika uang adalah jawaban dari semua masalah.Sesuai kesepakatan mereka, pria itu telah memberitahu siapa-siapa saja pelanggan yang datang kepadanya. Siapa-siapa saja orang yang berani membeli barangnya dengan harga yang cukup tinggi.Setiap orang yang membeli barangnya adalah orang yang memiliki rencana tertentu termasuk, dia.Ya, ketika pria itu memberitahu nama-nama dari pelanggannya, dari 2 hari kebelakang sampai hari kemarin, ternyata ada satu orang yang Victor kenali. Jelas saja, dia terlalu bodoh. Dia menyebutkan namanya memakai nama asli bukan nama samaran. Tetapi di sini, Victor sangat beruntung. Sepertinya dia juga tidak salah tempat, dia tidak salah sasaran, dia tidak salah menemui oran
"Bukan apa-apa." Victor menjawab demikian.Mereka lalu masuk ke dalam rumah besar itu. Di sana nampak seseorang yang tengah duduk santai. Iya memakai topi koboi, di tangannya, ya Tengah menghisap sebatang rokok. Ya, Iya pemiliknya. Jack mengantar Victor ke hadapan orang itu."Hormat tuan." Jack memberi hormat dengan cara membungkukkan setengah badannya di hadapan pria itu. Tetapi tidak dengan Victor. Victor sama sekali tidak tahu apa yang harus dia lakukan tetapi, pria itu menatapnya sinis."Ada hal apa yang Membawamu menghadapku? Apakah ada pelanggan untukku?"Jack mengangguk. "Ya, Tuan. Dialah pelanggan kita yang baru." Jack menunjuk ke arah Viktor dan memang Victor lah pelanggan barunya.Victor masih tidak berbuat apa-apa. Dia masih belum paham apa yang harus dia lakukan sekarang. Namun, Jack memberitahunya."Bungkukkan setengah badanmu di hadapan Tuan." Terpaksa Victor melakukannya. Sesuai dengan arahan Jack, picture membungkukkan setengah badannya sesuai dengan apa yang dia laku
Victor jelas membantah. "Itu bukan milikku, aku tidak pernah menggunakannya." "Bohong, kau berbohong!!" gadis itu seperti tak percaya jika hasil tersebut bukan milinya. "Temanku yang tak sengaja menggunakan barang itu. Dia sepertinya dijebak." Dijebak? "Lalu di mana temanmu?" tanya gadis itu. Dia seperti mengetahui sesuatu. "Masih dirawat. Dia perlu perawatan intensif." Masuk akal. Jika memang Victor yang memakainya, mana mungkin dia ada di sini sekarang. Gadis itu percaya jika bukan Victor yang mengenakannya. "Jangan pernah memakai barang ini dan jangan mau walaupun sedikit." Victor mengerutkan keningnya seolah tak paham akan apa yang dia katakan. Namun, apakah dia tahu tentang narko** jenis Xx14 seperti yang dituliskan di sana? "Kau tau, Nona?" Gadis itu mengangguk. "Ada sesuatu yang ..." "Total belanja $2...." Ucapan Frya terhenti oleh seorang kasir yang menagih total belanjaannya. Cukup banyak, tetapi bukan masalah bagi Victor. "Silakan, Tuan, terimakasih." Kasir itu
Itu hanya dugaan sementara, Leo tetap harus diperiksa langsung untuk mengecek apakah benar ia telah menggunakan barang terlarang itu? Dugaan sementara mengatakan kalau Leo tidak sengaja atau bahkan ada unsur keterpaksaan sebab, bagi orang yang tahu akan barang itu, tidak mungkin dia berani menggunakannya sebab kandungan serta kadar yang dihasilkan sungguh buruk. Tidak lama, hasilnya telah keluar. Hasil menunjukkan jika dugaan itu memang benar. Keadaan Leo pun tetap sama. Dia banyak bergumam serta mengatakan sesuatu hal yang tidak dimengerti, bahkan perkataannya ke mana-mana. "Di sana ada bulan, bentuknya setengah meter dari persegi panjang. Diameternya seperempat dari bentuk lonjong tak berdasar." Leo semakin mengada-ngada. Melihat keadaan Leo seperti itu, Victor lantas mencari tahunya. Berawal dari kegiatan Leo, hingga keberadaan Leo seharian kemarin. 'Tidak salah. Leo hanya ada di kantor sejak kemarin. Itu artinya ...' Victor berpikir demikian. Ia lalu mengecek alat penangkap
"Papa, kamu kasar sekali. Ini sakit!" Elly mendapat perlakuan tak mengenakan dari Parker ayahnya sendiri. Dari tadi, Parker terus memaksanya untuk ikut dengannya. Lagi, Parker bahkan memperlakukan Elly seperti bukan anaknya saja. Dia begitu kasar. "Kamu sudah keterlaluan, Elly. Untuk apa kamu ikut dengan lelaki brengsek itu, hah!" Parker malah menyalahkan Elly. "Papa, aku tidak ikut dengan Paman Victor, justru Paman Victor telah menyelamatkan aku dari kakek tua yang kejam. Dia yang telah menyiksaku." Parker mencoba untuk meredakan emosinya. Bukan ini yang ia maksud. Sepertinya dia harus kembali ke rencananya yang ingin mengetahui informasi tentang cincin itu. Seharusnya dia tidak kasar, dengan begitu Elly akan memberitahu apa yang dia inginkan. Dia telah salah mengambil langkah. "Maafkan aku, putriku, aku terlalu emosi." Kali ini Parker meminta maaf kepadanya. Elly tentu paham. Tetapi ia tidak suka terus diintimidasi. "Papa, tolong jangan berpikiran buruk tentang Paman Victor.