Share

Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan
Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan
Penulis: Juniarth

Jasa Pacar Sewaan

"Masa akhir cicilan rumah untuk bulan lalu dan bulan ini akan habis tiga hari lagi, Jihan. Kalau kamu masih nunggak lagi, dengan terpaksa kami akan menyitanya dan kamu rugi sendiri."

Ini masih pagi dan bagian administrasi pihak pengembang sudah memperingatkan melalui sambungan telfon. Dua bulan ini aku menunggak pembayaran karena belum ada biaya.

Niat hati ingin menyicil properti berupa rumah sederhana dan isinya untuk kedua orang tua di kampung halaman. Setelah rumah mewah keluargaku disita bank. Namun, tujuan baikku itu kini mengalami kendala karena pengeluaran bulan ini terlalu banyak.

"Tolong beri saya waktu sedikit lagi, Pak." Mohonku, mencoba terdengar memelas agar pihak administrasi memberikan kelonggaran.

Tapi bagian administrasi justru berdecak kesal lalu kembali berucap.

"Kamu itu termasuk yang paling longgar aturannya, Jihan. Customer yang lain nggak dikasih kelonggaran nunggak kayak gini. Khusus kamu, saya tangguhkan dua bulan karena dulu kenal baik sama Papamu."

Sungguh jika aku tidak jatuh miskin seperti ini, mana mungkin sudi menunggak pembayaran cicilan rumah dan isinya.

"Saya akan usahakan secepatnya, Pak." Akhirnya aku mengalah.

"Tiga hari lagi! Kalau nggak segera dibayar, rumah dan isinya kami sita!"

Mati aku!

Belum sempat aku bereaksi, sambungan telfon kami berakhir dan aku hanya bisa mendesah lelah. Mengabaikan tumpukan kertas inputan admin produksi dan purchasing barang di gudang.

Empat tahun lalu, kedua orang tuaku bangkrut total karena gagal dalam pemilihan calon legislatif. Juga ditipu tim sukses yang berkata akan memenangkan Papa saat pemilihan.

Sejak kejadian itu, akhirnya aku berubah mandiri demi bertahan hidup. Lalu menyicil rumah dan isinya sejak dua tahun lalu. Sayang jika harus diambil kembali oleh pihak pengembang karena dianggap wan prestasi.

Kepalaku mendadak pening memikirkan biaya cicilan properti yang tidak murah dan menangguhkan pekerjaan. Tanganku bergera lincah di atas layar ponsel untuk menghubungi seseorang yang selama dua tahun ini banyak berjasa membantu terbebas sedikit demi sedikit dari lilitan masalah finansial.

Maklum, gaji sebagai staff inventory and control hanya berkisar empat juta saja.

“Han, jangan main hape! Nanti kalau ketahuan Pak Akhtara, bisa dimakan lo!” tegur temanku satu kubikel.

“Ini penting! Menyangkut masa depan gue!” ucapku lirih tapi tegas.

“Lo nggak tahu apa kalau ruangan kerja kita cuma kehalang sekat kaca doang sama ruangannya Pak Akhtara? Nanti dia bisa ngamuk kalau tahu karyawannya nggak profesional." bisik temanku dengan nada memperingatkan, "Mana tadi pagi orangnya uring-uringan gara-gara bagian gudang ketahuan ngambil barang.”

Aku tidak menggubris ucapannya lalu kembali menekuri ponsel. Masalah cicilan properti adalah hal yang tidak bisa dikompromi. Karena jika tidak segera dilunasi maka usaha kerasku selama dua tahun ini akan hilang sia-sia.

“Jihan!”

Mendengar namaku diteriakkan, kepalaku langsung mendongak dan mendapati Pak Akhtara, manajerku, berdiri dengan wajah tidak bersahabat dengan berkacak pinggang. Tanganku bergegas memasukkan ponsel ke dalam tas lalu berdiri dan membungkuk hormat.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?”

“Mau sampai kapan mainan hape, heh?! Saya butuh krosscheck inputan admin produksi dan purchasing! Tapi kamu saya perhatikan dari tadi justru sibuk sama urusanmu sendiri!" Lalu telunjuknya menunjuk ke lantai kantor, "Ini bukan pabrik nenekmu lalu kamu bisa main hape sampai bosan saat jam kerja!”

Suara Pak Akhtara terdengar lantang di ruang kerjaku yang dihuni sekitar sepuluh orang karyawan. Sungguh sangat memalukan ditegur atasan di depan karyawan yang lain.

“Maaf, Pak.” Aku berucap lirih.

“Hari ini pabrik ada masalah besar tapi kamu malah sibuk sama urusan pribadimu! Kalau nggak bisa kerja mending kamu ajuin surat resign!” ucapnya dengan tangan berkacak pinggang.

“Saya minta maaf, Pak,” ucapku penuh penyesalan.

“Kerja yang benar! Segera krosscheck inputan admin biar saya bisa lanjut kerja! Bukan nungguin kamu sibuk sama urusan sendiri!”

Aku segera mengangguk patuh dengan perasaan malu, bingung, dan kesal. Lalu Pak Akhtara kembali ke ruangan kebesarannya.

“Bener apa kata gue ‘kan, Han?!” bisik temanku.

Aku hanya menghela nafas pendek lalu berusaha fokus bekerja dengan benar. Meski bayangan cicilan properti rumah terus membayangi karena belum mendapatkan solusi. 

Bagaimana caraku mendapatkan uang instan sebanyak itu?

Apa iya aku harus menjual kehormatan sampai ke tulang-tulangnya?

***

Jemari lentikku mengulir layar ponsel sembari menunggu pesan dari seseorang yang selama dua tahun ini sudah menjadi 'manager' abal-abalku. Dia bertugas mencari klien atau lelaki yang ingin berkencan denganku.

Hanya sebatas kencan. Tidak lebih!

Selain sebagai staf di sebuah pabrik aku juga memiliki profesi sampingan dengan menjadi 'pacar sewaan'. Pekerjaan yang sudah dua tahun ini kulakoni untuk kembali membahagiakan kedua orang tua dengan jalan sedikit miring.

Semoga saja hari ini ada pelanggan pacar sewaan berkantong tebal yang mau memberi bonus besar agar cicilan propertiku segera teratasi.

"Halo, Ra? Gimana? Sorry tadi siang nggak bisa lanjut. Gue ditegur atasan," ucapku dengan nada bersalah.

"Gercep banget lo, Han? Lagi butuh duit?" Tebaknya.

"Banget! Rumah yang ditempati Mama Papa di kampung halaman bisa dicabut kalau besok nggak bayar!"

Rara terkekeh sialan di ujung telfon. Andai dia dekat, mungkin wajahnya akan kulempari dengan telur.

"Ada klien buat lo. Lumayan berduit orangnya.”

Aku melebarkan mata saat mendengar ucapannya.

“Beneran?”

"Ya elah. Beneran lah. Lo pikir gue nggak profesional apa meski cuma jadi manajer ehem-ehem? Dia udah gue jelasin tentang prosedur pacar sewaan beserta harganya. Bentar lagi gue kasih lo nomer ponselnya. Seperti biasa, yang profesional dan jangan norak."

"Gue paham! Udah dua tahun ikut lo!"

"Pinter!"

Lalu Rara mengirimkan nomer lelaki itu dan segera kumulai percakapan pertama kami dengan memberinya nama 'Mister A'.

[Pesanku : Selamat siang. Aku Dara, pacar sewaan.]

Sengaja aku memakai nama samaran, Dara.

[Mister A : Oke.]

[Pesanku : Nanti malam kita ketemu di Bittersweet Café. Meja nomer 15.]

[Mister A : Boleh.]

Ketika malam menjelang, aku segera menuju Bittersweet Cafe, lokasi yang kami sepakati. Mengenakan pakaian selayaknya akan bertemu pacar sungguhan berupa dres malam selutut warna hitam berlengan pendek.

Mengikat rambut ikalku yang panjang berwarna sedikit kepirangan dengan make up minimalis namun tetap menawan.

Usai turun dari taksi, aku mengeratkan cardigan yang membungkus bagian atas tubuh. Nanti akan kulepas saat bertemu dengan klien untuk memberi kesan atraktif di awal pertemuan. Apalagi kata admin agensi pacar sewaan tadi, ia adalah lelaki yang memiliki uang berlebih.

Siapa tahu di lain kesempatan dia tertarik dan memakaiku kembali untuk acara yang lain.

Aku melangkah pasti menuju kafe dengan flat shoes warna hitam dengan motif swarovski yang menambah kesan berkilau.

Kuedarkan pandangan untuk mencari meja 15.

Seorang lelaki masih memakai kemeja kerja tengah duduk memunggungi pintu kafe. Lalu aku mendekat dan berdiri di depannya dengan bahasa tubuh yang sopan. 

"Selamat malam," sapaku.

Lelaki itu mendongak dan kedua mata kami bertatapan.

Sontak aku melebarkan mata tidak percaya begitu pula sebaliknya. Bahkan aku menutup mulut dengan satu tangan sedang lelaki itu menatapku dengan mata membola.

"Jihan?"

"P ... Pak Akhtara?" ucapku terbata dengan wajah terkejut.

"Kamu?" tanyanya dengan alis berkerut dan menunjukku.

Seakan-akan mencari kebenaran atas dugaan kami.

"Eh ... maksud saya, kamu … Dara? Dara pacar sewaan?" tanyanya memastikan.

Mati aku!

Juniarth

hai readers ... Semoga terhibur dengan novel terbaru author. Enjoy reading ...

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
THIKA Sary
wah kaya'y bakal seru jga nih cerita'y🫰
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status