enjoy reading ... Klik gem dan tinggalkan komentar yang mendukung. Terima kasiiiiihh....
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali
Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a
"Ehm ... kamu udah makan malam?" Aku melirik ke kiri lalu kembali menatap Pak Akhtara yang sudah duduk di bangku kemudi. Ada apa gerangan manajer sekaligus suami kontrakku ini bertanya tentang aku sudah makan atau belum? "Belum, Pak." Jawabku jujur. Kepalanya lantas mengangguk pelan dengan menatapku, "Mau makan malam dulu?" Jamur yang seharusnya berisi spora, kini berisi pertanyaan tentang sikap Pak Akhtara yang berubah sedikit baik itu, tumbuh berjejer di dalam otakku. "Boleh, Pak." "Saya udah nyuruh Bik Wati nyiapin makan malam untuk kita di rumah." Oh ... aku pikir beliau akan membawaku makan malam di luar. Ternyata, kami akan makan malam di rumahnya. Mungkin Pak Akhtara tidak mau menuai resiko jika kami keluar berduaan. Tidak lucu andai ada orang kantor yang memergoki kebersamaan kami lalu muncul kesalahpahaman yang membuat kami dikenai sanksi perusahaan. Peraturan perusahaan kami menyebutkan jika sesama karyawan tidak boleh menjalin hubungan asmara atau melakukan perse
Asem! “Aku … aku di kamarnya Pa ---, eeh … Mas Akhtara kok, Ma. Tuh dia lagi mandi,” ucapku gugup. Bergegas aku memasukkan perlengkapan make up ke dalam tas dengan tergesa-gesa padahal belum memakai lipstick. “Aku mau siapain minum untuk Mas, Ma. Nanti disambung lagi!” Tanpa salam, aku langsung mematikan sambungan video call Mama. Sejurus kemudian menghela nafas lega sembari mengusap dada. “Hampir aja. Mampus gue. Bisa-bisanya nyokap teliti banget sama kamar ini padahal cuma ditidurin semalam doang. Lain kali nggak usah lah video call Mama di kamar. Bisa berabe gue.” Usai memoles make up dengan benar, aku segera keluar kamar untuk meletakkan baju kotor di keranjang yang sudah disiapkan Bik Wati. Bersebelahan dengan keranjang pakaian kotor Pak Akhtara. Bila di kos, aku harus mencuci sendiri pakaian kotorku, namun mulai hari ini aku kembali dilayani seperti saat Mama dan Papa kaya raya. Lumayan lah. Setidaknya taraf hidupku naik satu tingkat meski menjadi istri kontrak manajerku.
Siapa sangka jika Sabrina itu adalah wujud perempuan solihah? Memakai gamis panjang, jilbab lebar, dengan riasan masa kini yang membuatnya sedap dipandang mata. Tapi aku tidak bisa melihat bagian perutnya apakah dia sedang hamil ataukah tidak. Sebab tertutup oleh meja dan sebagian tubuh Pak Akhtara. Pikiranku pun berkelana, jika ia adalah wujud perempuan solihah, benarkah ia sedang mengandung anak Pak Akhtara? Setahuku, perempuan dengan pakaian seperti itu sangat menjaga aurat. Tapi jika ia sampai hamil apakah itu artinya mereka sebenarnya telah menikah siri lalu Pak Akhtara menceraikannya secara sepihak? Duh duh duh ... Sekalipun aku tidak mengenal Sabrina, jika memang Pak Akhtara senakal itu, beliau benar-benar akan kusuruh menikahi Sabrina yang asli dan memintanya menghentikan pernikahan kontrak kami. Sesama perempuan bukankah harus saling mendukung?"Mbak, mau pesan apa?" Aku langsung menoleh ke arah pramusaji yang bertanya. Duh ... mengganggu saja!"Ehm ... cappucino dingin
"Bukan urusanmu!" ucapku ketus dengan menajamkan tatapan. Aku berusaha menguasai diri dan bersikap waspada pada sosok wanita yang berdiri di hadapanku ini. Wanita dengan penampilan luar biasa meski usianya hampir sama dengan Pak Akhtara. Menenteng tas seperti milik para artis namun dengan jenis KW, mengenakan dres malam selutut warna hitam, dengan make up sedikit lebih menantang, dan rambut direbonding lurus berkilau. Kemudian dia menatapku dari atas hingga bawah dengan tatapan menhina dan senyum sinis yang merendahkan. "Ngacangin siapa kamu, perempuan murahan?" tanyanya lalu bersedekap hingga terpampang dengan jelas merk duplicate tas kecilnya. "Jaga mulutmu!" "Ngapain harus dijaga kalau emang kamu tuh perempuan murahan? Biar semua orang tahu lah kalau kamu itu pe-la-kor!" ucapnya dengan menunjuk wajahku. Aku makin menajamkan tatapan dengan perasaan geram dihina seperti itu. Beruntung di depan rumah makan ini hanya ada kami berdua yang sedang terlibat pertengkaran. Setidakn